BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
“Sekalipun langit akan runtuh, hukum harus ditegakkan”, merupakan salah satu adagium hukum yang cukup dikenal terutama dalam kalangan ahli hukum.
Adagium tersebut seolah memberi harapan yang sangat kuat bagi setiap manusia bahwa tidak ada yang bisa menghalangi tegaknya hukum didunia ini. Pertanyaan
paling mendasar adalah, mengapa harus ada hukum? Atau mengapa harus hukum yang mengatur manusia dalam kehidupannya? Bukankah hukum diciptakan oleh
manusia itu sendiri? Berarti, manusia menciptakan sesuatu yang mana sesuatu itu justru mengatur dirinya sendiri.
Menurut J van Aperdoorn, semua manusia mengetahui dan menyadari bahwa hukum itu tidak sembarang ada lahir. Hukum berangkat dari apa yang
hidup dan diakui oleh masyarakat tersebut. Hukum sudah lama hidup sebagai asas ataupun nilai dalam kehidupan masyarakat. Sebagai contoh seperti apa yang
pernah terjadi pada bangsa Jerman Germania. Bangsa-bangsa Germania di Eropa pada mulanya hanya hidup menurut hukum Germanianya sendiri.
Perundang-undangannya belum mereka ketahui dan dengan demikian hukum tumbuh semata-mata karena kebiasaan rakyat dan peradilan rakyat. Peradilan
merupakan faktor yang penting mengenai pembentukan hukum, pada masa waktu perundang-undangan belum memegang peranan, hukum merupakan faktor yang
terpenting. Peradilan Germania adalah peradilan rakyat, pengadilan Germania
Universitas Sumatera Utara
adalah pengadilan rakyat, pada mana semua orang sebangsa harus ikut serta. Sebagaimana bangsa itu mempunyai bahasa sendiri, demikian juga mereka
melakukan peradilannya, bangsa itu membentuk hukumnya sendiri yang kemudian menjadi darah dagingnya.
4
Lebih lanjut, Van Apeldoorn dalam bukunya “Pengantar Ilmu Hukum”, menyampaikan bahwa perdamaian diantara manusia dipertahankan oleh hukum
dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang tertentu, kehormatan, jiwa, harta benda, dan sebagainya, terhadap yang merugikannya. Kepentingan dari
perorangan dan kepentingan dari manusia selalu bertentangan satu sama lain. Pertentangan kepentingan ini selalu akan menyebabkan pertikaian, bahkan
peperangan antara semua orang melawan semua orang, jika hukum tidak bertindak sebagai upaya mempertahankan perdamaian. Hukum memandang
perdamaian dengan melihat kepentingan-kepentingan yang bertentangan secara teliti dan mengadakan keseimbangan diantaranya, karena hukum hanya dapat
mencapai tujuan mengatur pergaulan hidup secara damai jika ia menuju peraturan yang adil, artinya peraturan yang mana terdapat suatu keseimbangan
Pada saat itu, hukum lahir karena kehendak rakyat yang membutuhkannya, dan hukum dirancang memang untuk kebaikan dan kepentingan bersama. Seperti
sebuah budaya, hukum bukan sekedar kata-kata yang terukir indah dalam kitab- kitab, tetapi menjadi tolak ukur perilaku manusia berakar pada nilai agar dapat
diterima di masyarakat untuk mencapai perdamaian sebagai cita-cita masyarakat.
4
L. J van Aperdoorn, Pengantar Ilmu Hukum Jakarta: Pradnya Paramita,1981, hal. 20.
Universitas Sumatera Utara
antara kepentingan-kepentingan yang dilindungi, dan setiap orang memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya.
5
Jadi, tidak dapat dipungkiri penegakan hukum
6
Menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan”, sulit untuk mencari
pedoman pelaksanaan tugas penegakan ketertiban dan kepastian hukum, terutama disebabkan faktor transisi nilai kesadaran yang sedang kita alami. Faktor kedua,
disamping perubahan nilai-nilai, simpang siurnya perundang-undangan, dan masih banyaknya peraturan peraturan positif yang masih berasal dari kodifikasi
jaman kolonial. Diantara semua faktor-faktor tersebut, yang salah satunya adalah penegakan hukum yang tegas. Tegas dalam arti hukum itu tidak dipermainkan
atau diperjual-belikan untuk kepentingan dan keuntungan pribadi pejabat penegak hukum, seperti yang selalu didengar ungkapan bersayap KUHP: Kalau ada Uang
sebagai salah satu kunci untuk mencapai perdamaian dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam
masyarakat. Masalah selanjutnya adalah, bagaimana seharusnya penegakan hukum itu karena pada faktanya dengan melihat, mengetahui dan menyadari
sangat sulitlah menegakan hukum itu, bak mendirikan tiang di tengah laut yang sedang mengamuk.
5
Ibid, hal. 23.
6
Elwi Danil, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014, hal 265-266, mengemukakan bahwa, “penegakan hukum dalam
pengertian law enforcement seperti yang secara praktis selama ini dikenal hanyalah merupakan bagian dalam penegakan hukum dalam arti yang luas dan umum. Oleh karena itu, konsep law
enforcement dapat dikatakan dan diterjemahkan sebagai penegakan hukum dalam arti sempit. Meskipun demikian, penegakan hukum dalam pengertian yang sempit itu dapat digunakan sebagai
salah satu tolak ukur untuk menentukan penegakan supremasi hukum. Artinya penegakan hukum adalah gambaran awal untuk menentukan ukuran dan penilaian tentang apakah hukum itu
berdaulat atau tidak. Penegakan hukum dapat pula dipahami dan digambarkan sebagai sebuah proses yang melibatkan berbagai institusi penegak hukum law enforcement officers sebagai
komponen, yaitu, polisi, jaksa, dan hakim termasuk penasihat hukum.
Universitas Sumatera Utara
Habis Perkara, atau hukum itu diperlakukan berbeda-beda kepada masyarakat. Hal tersebut seperti ungkapan dari Oliver Goldsmith : Law grind the poor, and rich
men rule the law hukum hanya menggilas orang miskin, sebaliknya orang kaya menguasai hukum.
7
Perpres Nomor 7 Tahun 2005 diatas mengadopsi pemikiran Friedman mengenai sistem hukum yang dituangkan didalam Bab 9 Tentang Pembenahan
Sistem dan Politik Hukum yang meliputi substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Ketiga hal ini dapat pula digunakan sebagai kajian untuk melihat
faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Chaeruddin juga mengutip pendapat Friedman, bahwa substansi hukum adalah aturan, norma, dan pola
perilaku manusia yang ada dalam sistem. Substansi juga berarti produk yang Chaerudin dalam bukunya “Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum
Tindak Pidana Korupsi”, bahwa masalah penegakan hukum menjadi salah satu agenda dari sejumlah masalah dalam Pembangunan nasional sebagaimana
dinyatakan dalam Bab I Sub A Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009,
menyatakan sebagai berikut : “...masih banyak peraturan perundang-undangan yang belum
mencerminkan keadilan, kesetaraan dan penghormatan serta perlindungan terhadap hak asasi manusia, masih besarnya tumpang tindih peraturan
perundangan di tingkat pusat dan daerah dan menghambat iklim usaha dan pada gilirannya menghambat peningkatan kesejahteraan masyarakat,
belum ditegakkannya hukum secara tegas, adil dan tidak diskriminatif, serta memihak kepada rakyat kecil serta belum dirasakan putusan hukum
oleh masyarakat sebagai putusan yang adil dan tidak memihak melalui proses yang transparan.”
7
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan 1, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hal. 78.
Universitas Sumatera Utara
berupa atau aturan peraturan perundang-undangan dihasilkan oleh orang-orang yang berada dalam sistem tersebut.
8
Meskipun telah banyak peraturan perundang-undangan yang dibuat, akan tetapi masyarakat menilai undang-undang yang ada tidak berpihak atau
melindungi kepentingan mereka, sehingga undang-undang yang dibuat belum mencerminkan efektivitasnya sama sekali, karena substansinya terlalu simbolik
tanpa tujuan instrumental. Efektivitas keberlakuan melalui peraturan perundang- undangan sangat tergantung pada pemahaman masyarakat tentang hukum itu
sendiri.
9
Faktor struktur hukum legal structure, meliputi : struktur institusi penegakan hukum kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan termasuk aparat-
aparatnya polisi, jaksa, dan hakim, dan hierarki lembaga peradilan
10
yang bermuara pada Mahkamah Agung. Apabila dikaitkan dengan program
pembangunan hukum dewasa ini, kedua unsur di atas merupakan bagian dari reformasi dibidang hukum, yaitu enforcement apparatus reform reformasi
penegakan dan aparat penegak hukum dan judicial reform reformasi badan peradilan.
11
Faktor kebudayaan legal culture, pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsep abstrak
8
Chaerudin, dan kawan-kawan , Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Bandung: PT Refika Aditama,2008, hal.59
9
Ibid, hal. 60
10
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pada pasal 24 ayat 1 kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggara-kan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; ayat 2 kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lembaga peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
11
Chaerudin, dan kawan-kawan, op.cit, hal. 62.
Universitas Sumatera Utara
mengenai apa yang baik dan buruk. Faktor ini sangat kuat pengaruhnya dalam masyarakat terhadap upaya penegakan hukum. Apabila hukum dirasakan telah
diresponsif dan aspiratif, para pemimpin negara telah pula memberikan teladan menaati dan menghargai hukum, memberikan saluran keadilan yang dapat
memuaskan masyarakat, maka dengan sendirinya masyarakat akan lebih menghargai hukum. Faktor-faktor inilah yang akan memberi sumbangan besar
dalam membentuk budaya hukum masyarakat.
12
12
Ibid, hal. 73
Hukum dilihat sebagai pedang bermata dua, tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Mungkin istilah ini dapat menggambarkan keadaan hukum dinegara kita
saat ini. Banyak sekali yang mengeluarkan pemikiran pesimis terhadap penegakan hukum di Indonesia pada saat ini. Memang tidak dapat kita berdalih dalam
masalah ini. Para pelaku tindak kriminal yang berasal dari masyarakat bawah atau masyarakat biasa, dijatuhi hukuman yang cukup berat dengan tindak pidana biasa.
Seperti pencurian sendal, atau beberapa potongan kayu atau beberapa ons biji cokelat, atau kasus lainnya yang tuntutan atau putusannya mengandung
kontroversi dalam masyarakat yang menuntut keadilan berimbang. Tuntutan masyarakat tersebut dilatarbelakangi karena kasus seperti itu dihukum dengan
sangat berat, tetapi pada kasus-kasus besar yang menyangkut para pejabat atau penyelenggara negara tidaklah demikian. Perbedaan cara penegak hukum dalam
menangani kasus demikian menjadi pertanyaan besar masyarakat, masihkah negara memihak rakyat? Atau rakyat dibutuhkan hanya sebagai syarat berdirinya
suatu negara, agar Indonesia diakui keberadaannya dimata dunia.
Universitas Sumatera Utara
Berangkat dari masalah di atas, jika melihat pada dewasa ini tindak pidana yang dari dulu hingga saat ini sangat hangat serta gencar diberitakan tidak hanya
dalam lingkup nasional, tetapi merambah kancah internasional salah satunya adalah tindak pidana korupsi, yang sudah tidak asing lagi bagi seluruh lapisan
masyarakat. Terkait dengan tindak pidana tersebut, defenisi korupsi itu sendiri beraneka ragam karena sudah sangat banyak ahli yang menerjemahkannya sesuai
dengan keadaan dan situasi yang berbeda. Black’s Law Dictionary yang dikutip oleh Chaerudin, bahwa korupsi
adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah
menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-
hak dari pihak lain.
13
Suyatno dalam bukunya “Korupsi Kolusi dan Nepotisme”, memberi pandangan bahwa korupsi merupakan salah satu dari penyakit birokrasi yang
mengganggu sistem pembangunan. Keberadaannya tidak bisa dipungkiri, namun sulit untuk dibuktikan atau untuk diberantas. Korupsi bisa berkaitan dengan
norma hukum, sosial, ekonomi, psikologis, bahkan spiritual. Lebih lanjut lagi, Suyatno berpendapat korupsi hampir identik dengan gejala masyarakat serba
‘instan’. Mereka menghendaki semua cita-cita dan impiannya tercapai dalam waktu singkat, tanpa banyak biaya, tenaga dan keahlian. Korupsi bisa dimaknai
pula sebagai penggunaan kekuasaan danatau kewenangan yang melebihi batas
13
Ibid, hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
yang diijinkan. Disamping itu, korupsi berkaitan pula dengan pelanggaran hak atas orang lain secara melawan hukum.
14
Secara konseptual, Suyatno memandang hukum diyakini sebagai alat pengontrol dan sekaligus penegak keadilan. Kemampuan hukum bukan hanya
terletak pada pasal-pasal yang tertulis dalam kitab undang-undang, namun juga terletak pada kemampuan penegak hukum untuk memanfaatkannya. Seberapa
jauhkah komitmen aparat penegak hukum, merupakan pertanyaan yang perlu dijawab dalam rangka sumbangannya terhadap pemberantasan tindak pidana
korupsi. Untuk lebih jelasnya bagaimana korupsi
itu dalam hukum positif di Indonesia akan di bahas pada bagian tinjauan pustaka dalam skripsi ini.
15
Dalam kaitannya dengan pemberantasan korupsi, Suyatno berpandangan bahwa pengawal peraturan perundang-undangan seperti polisi, hakim, inspektur,
jaksa, dan pembela ikut menentukan sukses atau tidaknya pemberantasan korupsi. Apabila didalam penegakan hukum itu masih terjadi mercenary corruption
16
14
Suyatno, Korupsi Kolusi dan Nepotisme Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005, hal. 15-16.
15
Ibid, hal. 127.
16
Ibid, hal. 18. Suyatno mengutip defenisi korupsi yang dikemukakan oleh Benveniste 1991 dalam bukunya “Birokrasi”. Salah satu defenisi korupsi adalah mercenary corruption, yaitu
jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.
, maka yang terjadi ialah terbentuknya multiplier effect efek penggandaan
korupsi. Nampaknya peranan lembaga peradilan merupakan kunci terakhir untuk menyelesaikan masalah korupsi dan nepotisme. Jika itu yang dimaksud, maka
kemungkinan terjadinya korupsi tidak bisa dibendung, mana kala lembaga peradilan tidak dapat berbuat adil. Dalam hal ini, unsur manusia memegang
Universitas Sumatera Utara
peranan penting dan menentukan. Untuk itu, didalam lembaga peradilan, orang- orangnya harus dipilih dari mereka yang memiliki integritas yang tidak diragukan.
Seleksi untuk menguji integritas ini tidak bisa dilakukan oleh orang lain, selain oleh pribadi masing-masing.
17
Korupsi sebagai kejahatan luar biasa menurut Chairuman Harahap dalam
bukunya
“
Merajut Kolektivitas Melalui Penegakan Supremasi Hukum” telah merugikan suatu bangsa, menurunkan derajat pemerintahnya sendiri, dan
menghambat perkembangan perekonomian rakyat. Bisa dikatakan kejahatan dalam bentuk korupsi ini korbannya adalah negara, tidak lagi individu atau pun
badan hukum saja. Bahkan tidak lagi pada tingkat nasional, tetapi sampai lintas batas negara. Kompleksitas masalah KKN Korupsi Kolusi dan Nepotisme,
khususnya korupsi di Indonesia telah merasuk ke dalam budaya dan telah berlangsung demikian lama. Oleh karena itu upaya pemberantasan –terlebih yang
menyangkut pada instansi pemerintah – adalah sesuatu yang amat sulit, kalau bukan mustahil. Pesimisme ini bukannya tidak berdasar, karena instansi
pemerintah sebagai leading sector dalam total kehidupan bernegara dan berbangsa terutama dinegara berkembang. Kaum birokrasi yang mengendalikan pemerintah
ini mendapat legitimasi dan kewenangan yang besar dalam melakukan apa saja, termasuk untuk menentukan retorika politik mengenai masalah KKN.
18
Chairuman Harahap mengutip dalam Tap. MPR Nomor
VIIIMPR2001,MPR, yang menjadi rekomendasi arah kebijakan pemberantasan
17
Ibid, hal. 21.
18
H. Chairuman Harahap, Merajut Kolektivitas Melalui Penegakan Supremasi Hukum, Bandung: Citra Pustaka Media, 2003, hal. 132.
Universitas Sumatera Utara
dan pencegahan KKN Korupsi Kolusi dan Nepotisme. Dalam konsideran ketetapan ini dikonstantir bahwa KKN adalah permasalahan yang sudah sangat
serius dan merupakan kejahatan yang luar biasa serta menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bertolak dari kenyataan dan pemikiran itu
maka dalam ketetapan ini juga ditegaskan bahwa pembaruan komitmen dan kemauan politik untuk memberantas dan mencegah KKN memerlukan
langkah-langkah percepatan dengan arah kebijakan yang antara lain sebagai berikut :
19
a. Mempercepat proses hukum terhadap aparatur pemerintah, terutama aparat
penegak hukum dan penyelenggara negara yang diduga melakukan praktek KKN, serta terhadapnya dapat dilakukan tindakan administratif untuk
memperlancar proses hukum; b.
Melakukan penindakan hukum yang lebih bersungguh-sungguh terhadap semua kasus KKN yang telah terjadi dimasa lalu, dan bagi mereka yang
telah terbukti bersalah agar dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya; c.
Mendorong partisipasi masyarakat luas dalam mengawasi dan melaporkan kepada pihak yang berwenang, berbagai dugaan praktek KKN yang
dilakukan oleh pegawai negeri, penyelenggara negara dan anggota masyarakat;
d. Mencabut, mengubah dan mengganti semua peraturan perundang-undangan,
serta keputusan penyelenggara negara yang berindikasi melindungi atau memungkinkan terjadinya KKN;
19
Ibid, hal. 123-124.
Universitas Sumatera Utara
e. Merevisi semua peraturan perundangan yang berkenaan dengan korupsi,
sehingga sinkron dan konsisten antara satu dengan yang lainnya; f.
Membentuk undang-undang serta peraturan pelaksananya untuk membantu percepatan dan efektivitas pelaksanaan pemberantasan dan pencegahan
korupsi, yang muatannya meliputi Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Perlindungan Saksi dan Korban, Kejahatan Terorganisasi,
Kebebasan Mendapatkan Informasi, Etika Pemerintahan, Kejahatan Pencucian Uang, dan Ombudsman;
g. Perlu segera membentuk undang-undang guna mencegah terjadinya
perbuatan-perbuatan yang secara langsung atau tidak langsung menjadi daya dorong danatau pembukaan untuk tindak pidana korupsi.
Untuk mengantisipasi berkembang biaknya kejahatan yang merugikan halayak banyak ini, segala usaha dilakukan pemerintah baik dalam membentuk
peraturan dan badaninstitusilembaga yang secara khusus menangani kejahatan ini. Di Indonesia kita mengenal suatu badan atau lembaga anti korupsi yang
independen, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi KPK dengan payung hukum lembaganya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau selanjutnya disebut dengan UU KPK. Dalam salah satu poin menimbang UU KPK adalah :
“Bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal.
Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah
merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional.”
Universitas Sumatera Utara
Marwan Effendy, dalam bukunya “Korupsi dan Strategi Nasional Pencegahan serta Pemberantasannya”, apabila melihat kebelakang, sejarah
panjang mencatat bahwa berbagai upaya telah ditempuh pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, seperti pembentukan
badantimkomisi untuk penanggulangan tindak pidana korupsi, antara lain:
20
a. Pada permulaan tahun 1967 dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi TPK.
Tahun 1967 sampai dengan 1982 dikendalikan oleh Jaksa Agung, ketika itu diketuai oleh Jaksa Agung Sugiharto;
b. Komisi Empat K4 Januari-Mei 1970 diketuai Wilopo;
c. Komisi Anti-Korupsi KAK Juni-Agustus 1970 beranggotakan Angkatan
66 seperti Akbar Tanjung, dan kawan-kawan; d.
Operasi Penertiban berdasarkan Inpres Nomor 9 Tahun 1977 Tentang Operasi Tertib beranggotakan Menpan Menteri Penertiban Aparatur
Negara, Pangkopkamtib Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan Dan Ketertiban dan Jaksa Agung dibantu pejabat di daerah dan
Kapolri; e.
Tim Pemberantasan Korupsi tahun 1982 diketuai M.A Mudjono; f.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dibentuk Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi TGTPK yang diketuai Andi Handoyo;
20
Marwan Effendy, Korupsi dan Strategi Nasional Pencegahan serta Pemberantasannya 1, Jakarta: GP Press Group, 2013, hal 5-6.
Universitas Sumatera Utara
g. Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara KPKPN yang
diketuai Yusuf Syakir, berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi,
Kolusi Dan Nepotisme; h.
Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di ketuai Hendarman Supanji berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 tanggal 25 Mei
2005; i.
Selain badan tersebut, ada juga lembaga atau institusi pengawasan keuangan dan pemerintah yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945
atau undang-undang atau peraturan-peraturan lain yang dikeluarkan pemerintah seperti Badan Pemeriksa Keuangan BPK
21
j. Disamping itu, lembaga sosial masyarakat yang peduli terhadap korupsi
seperti Indonesian Corruption Watch ICW, Masyarakat Transparansi Indonesia MTI, KONSTAN, PUKAT dan lain sebagainya, turut juga
mendorong kiprah institusi penegak hukum yang diberi wewenang oleh undang-undang mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi di negara
ini. , Menko
EkuinWasbang, BPKP, Inspektorat Jenderal, Badan Pengawas Non Departemen, Bawasda Propinsi dan Bawasda KabupatenKota;
21
Undang-Undang Dasar 1945, op.cit, pada Pasal 23E ayat 1 untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa
Keuangan yang bebas dan mandiri; ayat 2 hasil pemeriksaan keuangan diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
sesuai dengan kewenangannya; ayat 3 hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan danatau badan sesuai dengan undang-undang. Selanjutnya pasal 23F ayat 1 anggota
Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden, ayat 2 Pimpinan Badan
Pemeriksa Keuangan dipilih dari dan oleh anggota.
Universitas Sumatera Utara
Upaya tersebut sepertinya tidak membuahkan hasil, walaupun di era orde reformasi upaya pemberantasan korupsi begitu gencar dimana jumlah perkara
korupsi yang ditangani jauh berlipat kali dibandingkan di era orde sebelumnya, justru sebaliknya malah tetap saja hujatan demi hujatan dilayangkan kepada
Pemerintah khususnya penegak hukum karena dipandang tidak mampu merespon kebutuhan masyarakat.
22
Pada tanggal 27 Desember 2002, untuk pertama kalinya UU KPK disahkan dan diundangkan, juga telah dilakukan pemilihan pimpinannya oleh
DPR diakhir tahun 2003 yang terdiri dari Taufiqurrahman Ruki sebagai ketua dan Erry Riyana Harjapamekas, Amien Sunaryadi, Sjahruddin Rasul dan Tumpak
Hatorangan Panggabean sebagai wakil ketua.
23
Denny Indrayana, dalam bukunya “Indonesia Optimis”
24
, bahwa pada level undang-undang, tentu undang-undang antikorupsi adalah induk dari semua
aturan korupsi. Setelah mencabut undang-undang antikorupsi yang lama
25
22
Marwan Effendy 1, op.cit.
23
Ibid, hal. 7.
24
Denny Indrayana, Indonesia Optimis Jakarta: PT Buana Ilmu Populer, 2011, hal. 152
25
Ermansjah Djaja, Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia 1 Bandung: Mandar Maju, 2010, hal. 32-34, menyatakan bahwa : “Keberadaan tindak pidana korupsi sebenarnya telah
lama ada dalam hukum positif di Indonesia, yaitu sejak berlakunya Kitab Undang-undang Hukum Pidana Wetboek van Strafrecht pada 1 Januari 1918 dengan Staatsblad 1915 Nomor 752, tanggal
15 Oktober 1915. Pasca kemerdekaan, dimana masih dalam keadaan perang berdasarkan Undang- Undang Nomor 74 Tahun 1957 juncto Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1957, yang mana dalam
rangka pemberantasan tindak pidana korupsi telah diterbitkan peraturan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi untuk yang pertama kali, yaitu Peraturan Penguasa Militer tanggal 09 April
1957 Nomor PrtPM061957, tanggal 27 Mei 1957 Nomor PrtPM031957, dan tanggal 1 Juli 1957 Nomor PrtPM0111957. Berdasarkan pasal 96 ayat 1 Undang-undang Dasar Sementara
1950, diterbitkanlah Peratutan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 yang kemudian ditetapkan menjadi undang-undang dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1961 menjadi Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Ternyata dalam penerapan dan pelaksanaannya Undang-
Undang Nomor Prp 24 Prp Tahun 1960 belum mencapai hasil seperti yang diharapkan, sehingga 11 tahun kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
,
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk selanjutnya disebut Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Selanjutnya, Indonesia telah pula
meratifikasi Konvensi PBB Antikorupsi United Nations Convention Against Corruption
26
dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Conventions Against Corupption 2003. Undang-undang
antikorupsi dilengkapi dengan UU KPK, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang TPPU,
undang-undang Pengadilan Tipikor
27
26
Marwan Effendy, Kejaksaan dan Penegakan Hukum 2 Jakarta: Timpani Publishing, 2010, hal. 54, menyatakan bahwa : “ Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB dalam beberapa waktu
tahun terakhir, telah menyetujui dan menetapkan sejumlah konvensi yang berkaitan dengan upaya meningkatkan kejahatan, yaitu United Nations Convention Against Illicit Trafiic in Narcotic Drugs
and Phychotropic Substance pada tahun 1988 dan United Nations Convention On Transnational Organized Crime UNTOC pada tahun 2000 serta United Nations Convention Against Corruption
UNCAC pada tahun 2003. Salah satu bagian penting dalam konvensi-konvensi PBB tersebut adalah adanya pengaturan yang berkaitan dengan penelusuran penyitaan dan perampasan hasil dan
instrumen tindak pidana termasuk kerja sama internasional dan rangka pengembalian hasil dan instrumen tindak pidana antar negara.
27
Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil di Indonesia Malang: Bayumedia Publishing, 2005, hal. 426, menyatakan bahwa disamping sebagai landasan untuk
dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 juga sebagai landasan dibentuknya pengadilan tindak pidana korupsi yang bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Pasal 53. Pengadilan tindak pidana korupsi ini berada dilingkungan
peradilan umum yang untuk pertama kali dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yng wilayahnya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia pasal 54.
dengan payung hukum yaitu Undang- Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi,
undang-undang Keterbukaan Informasi Publik dengan payung hukum yaitu Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik,
Universitas Sumatera Utara
dan lain-lain. Keberadaan beberapa regulasi itu menghadirkan sistem bernegara yang lebih transparan dan akuntabel. Misalnya, UU KPK menegaskan perlunya
pelaporan harta kekayaan pejabat negara. Mekanisme yang sebelumnya dikerjakan oleh KPKPN Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara
akhirnya dilakukan oleh KPK, setelah KPKPN “dilikuidasi” melalui perubahan undang-undang. Mekanisme pelaporan ini, meski masih menyimpan beberapa
persoalan misalnya, terkait ketiadaan sanksi tegas jika tidak melaporkan, tetapi diharapkan menggunakan sistem antikorupsi yang lebih baik.
Marwan Effendy mengemukakan bahwa KPK makin menunjukkan gregetnya didalam penanganan tindak pidana korupsi tersebut pada saat pimpinan
KPK jilid II yang komisionernya terdiri dari Antasari Azhar, Haryono Umar, Mochammad Jasin, Chandra M. Hamzah, Bibid Samad Rianto, cukup banyak
tokoh-tokoh nasional yang menjadi penyelenggara negara dan juga penegak hukum serta pejabat yang duduk dipusat kekuasaan diseret ke pengadilan,
meskipun Antasari Azhar berhenti ditengah jalan karena harus berurusan dengan kasus pidana. KPK terus memberantas korupsi dengan bergabungnya kembali
Tumpak Hatorangan Panggabean yang kemudian digantikan oleh Busyro M. Muqoddas untuk menggantikan Antasari Azhar paruh waktu sebagai Komisioner
KPK periode tahun 2007 sampai dengan 2011. Setelah itu Komisioner KPK jilid III terdiri dari Abraham Samad, Bambang Widjojanto, Zulkarnain, M. Busyro
Muqoddas, dan Adnan Pandu Praja periode tahun 2011 sampai dengan 2015.
28
28
Marwan Effendy 1, op.cit, hal. 10
Universitas Sumatera Utara
Langkah-langkah yang dilakukan KPK tersebut nampaknya akan didukung sepenuhnya oleh segenap komponen bangsa asal tetap berada dikoridor hukum
dan seyogianya diikuti oleh pihak Kepolisian RI dan Kejaksaan, apalagi selama ini perkara tindak pidana korupsi yang ditangani kedua institusi penegak hukum
ini jauh lebih banyak secara kuantitatif dibandingkan KPK, meskipun pemberitaannya tidak sehiruk pikuk perkara tindak pidana korupsi yang ditangani
oleh KPK yang sebagian besar diperoleh melalui operasi tertangkap tangan yang begitu fantastis.
29
Menurut Denny Indrayana, KPK telah terbukti merupakan garda depan dalam upaya menjerat koruptor. Kewenangan khusus
30
yang mereka miliki berdasarkan UU KPK membuat upaya pemberantasan korupsi berjalan tidak
dengan cara normal, tetapi dengan cara yang lebih luar biasa.
31
Hal menggembirakan juga terlihat dari penyelamatan keuangan negara asset
recovery, dari tahun 2005-2010, nilainya terus meningkat baik dari hasil gratifikasi maupun dari hal korupsi.
32
Tabel 1 : Data Keuangan Negara Yang Berhasil Dikembalikan Seperti dalam tabel berikut:
33
Tahun Jumlah Pengembalian Uang Negara Dalam Rp
Dari Kasus Korupsi Dari Gratifikasi
29
Ibid, hal. 11.
30
Arry Anggadha, Purborini, Mahkamah Agung: Pencekalan, kewenangan Spesial KPK, 11 September 2009, http:politik.news.viva.co.idnewsread89678ma_pencekalan_kewenangan_
spesial_kpk, pada tanggal 22 November 2015,pukul 21:34 WIB bahwa Pasal 12 ayat 1 UU KPK berisi mengenai kewenangan KPK dalam menyelidiki, menyidik, dan penuntutan. Diantara
kewenangan spesial itu adalah menyadap dan mencekal. Adapun kewenangan Komisi diatur dalam Pasl 6 huruf c, antara lain KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dan
memerintahkan kepada seseorang bepergian ke luar negeri. KPK juga dapat melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang
ditangani.
31
Denny Indrayana, op.cit, hal. 156.
32
Ibid, hal. 161.
33
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
2005 6.943.820.000,00
15.346.167,00 2006
12.771.271.205,00 219.250.985,00
2007 42.367.181.017,00
2.891.593.968,00 2008
407.890.880.495,00 3.909.252.922,00
2009 132.698.259.00,00
1.288.339.128,00 2010
151.296.672.531,00 1.798.049.921,00
Denny Indrayana mengungkapkan bahwa perbaikan regulasi antikorupsi bukan berarti aturan antikoruptor kita sudah sempurna. Tidak ada sistem ataupun
hukum yang sempurna. Selalu saja ada kekurangan dan karenanya upaya perbaikan harus terus menerus dilakukan. Termasuk dalam regulasi antikorupsi,
disamping soal pengaturan tentang perampasan aset yang masih belum ada, dan karenanya diperlukan.
34
Berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang senyatanya telah merugikan keuangan negara, menghambat pembangunan, menurunkan kualitas bangsa
Indonesia dimata dunia tidaklah lagi dapat dianggap sepele dan ditindaklanjuti sebagaimana adanya saja tanpa ada perkembangan. Dunia pada dewasa ini telah
memiliki sejumlah teknis dan prosedur yang semakin berkembang mengikuti dinamisnya tindak pidana dalam hal ini korupsi agar dapat memberantas dan
menanggulanginya. Pemerintah tidak bisa hanya menghukum para pelaku korupsi, tetapi harus dapat mengembalikan sejumlah kerugian yang ditimbulkan dari
tindak pidana korupsi melalui mekanisme yang diatur dalam perundang- undangan. Sebab, jika hanya dengan menghukum badani kepada para pelaku
korupsi, tidak akan bisa mengembalikan keadaan perekonimian bangsa yang sudah diserap oleh oknum-oknum tersebut. Pengembalian keuangan negara
34
Ibid, hal. 155.
Universitas Sumatera Utara
memang bukanlah hal mudah. Bahkan mungkin akan adanya pengenyampingan- pengenyampingan dari aturan yang berlaku agar dapat ditelusuri aliran dan
dirampas serta dikembalikan kepada negara sebagai pemegang yang berhak. Marwan Effendy, dalam bukunya “Pemberantasan Korupsi dan Good
Governance”, mengungkapkan bahwa saat ini pemerintah juga telah merancang kebijakan-kebijakan yang dapat membantu lembaga independen ini untuk
memberantas korupsi baik segi nasional maupun internasional. Tidak hanya dalam penyelidikan, penyidikan, penuntutan saja lembaga ini dibutuhkan. Tujuan
pemberantasan tindak pidana korupsi sebenarnya tidak semata-mata hanya menghukum para pelakunya saja, tetapi juga bagaimana mengembalikan
keuangan negara tersebut. Salah satu bentuk upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam rangka mengamankan aset guna pengembalian keuangan
negara yang telah diselewengkan oleh para pelaku tindak pidana korupsi adalah dengan melakukan penyitaan atas berbagai aset atau harta kekayaan milik para
pelaku tersebut. Baik berupa barang bergerak maupun tidak bergerak yang diduga berasal dari hasil korupsi maupun yang bukan dari hasil korupsi yang dipandang
perlu untuk dilakukan penyitaan guna pengembalian keuangan.
35
35
Marwan Effendy, Pemberantasan Korupsi dan Good Governance 3, Jakarta: PT. Timpani Publishing, 2010, hal.86-87.
Sebab, apa yang menjadi milik negara, haruslah dikembalikan, agar dapat menjaga keseimbangan
yang sempat goyah akibat kejahatan itu, dan selayaknyalah sudah menjadi tugas peraturan untuk memayungi setiap kebijakan yang dibuat untuk mengembalikan
keseimbangan dalam masyarakat tadi, lembaga yng dimaksud dapat leluasa melaksanakan hak dan kewajibannya yang sudah dilindungi oleh aturan tadi.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian singkat latar belakang diatas, maka penulis memilih untuk mengambil dan mendalami isi dari judul skripsi ini, yaitu Peran Komisi
Pemberantasan Korupsi Dalam Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dari Tindak Pidana Korupsi.
B. Perumusan Masalah