A. Tugas Dan Kewenangan KPK
Dalam bab yang sebelumnya telah dituangkan sedikit beberapa hal yang dimiliki oleh lembaga KPK. Mengenai tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh
KPK, undang-undang juga memuat poin-poin tersebut dalam Bab II tentang Tugas, Wewenang dan Kewajiban. Kewenangan KPK sendiri ada berdasarkan
tugas yang diamanatkan dalam Pasal 6, yaitu: “Pasal 6
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: a.
koordinasi
178
b. supervisi
dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
179
c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak
pidana korupsi; terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi;
d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi;
e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.”
Dalam melaksanakan tugas diatas, KPK diberi kewenangan sesuai dengan pembagian tugasnya masing-masing, yang dijabarkan dalam Pasal selanjutnya,
diantaranya: 1.
Untuk tugas koordinasi, dalam Pasal 7 UU KPK memberikan kewenangan:
178
Mengenai kewenangan koordinasi ini, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak memberikan penjelasan secara
langsung defenisi kewenangan koordinasi ini. Tetapi berdasarkan Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa yang dimaksud
dengan koordinasi adalah bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi memberikan pengarahan, pedoman, petunjuk, atau melakukan kerja sama
dengan instansi yang terkait dengan kegiatan pemberantasan korupsi dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik berpotensi korupsi diakses dari http:acch.kpk.go.iddocuments
1018036745 RUUNo30-2002pembahasan.pdf aebb0a1c-040d-4468-8074-999fd9aff281, pada tanggal 11 Februari 2016, pada pukul 00:08 WIB.
179
Ibid, Yang dimaksud dengan supervisi adalah tindakan pemantauan, pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang
berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik berpotensi korupsi.
Universitas Sumatera Utara
“a. mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
b. menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak
pidana korupsi; c.
meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
d. melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; e.
meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.”
Berdasarkan sebuah Laporan Penelitian tentang “Penguatan Pemberantasan Korupsi melalui Fungsi Koordinasi dan Supervisi KPK”, oleh
Febri Diansyah, Emerson Yuntho, dan Donal Fariz dari Indonesia Corruption Watch, bahwa lahirnya tugas koordinasi KPK tidak terlepas dari tekad pembuat
undang-undang untuk menjaga agar jangan sampai terjadi kondisi dimana pembentukan suatu lembaga baru berakibat mandulnya peranan lembaga penegak
hukum lainnya. Bila KPK diberikan tugas yang persis sama dengan lembaga penegak hukum lain tanpa ada pembedaan, tentunya akan terjadi tumpang tindih
kewenangan yang dapat memandulkan salah satu lembaga. Sehingga bila sebuah lembaga penegakan hukum dibentuk, maka mesti ada spesifikasi tugas yang
diberikan padanya. Hal ini ditujukan agar:
180
a. Tidak terjadi tumpang tindih kewenangan;
b. Lembaga yang satu tidak mereduksi keberadaan yang lain, melainkan harus
saling mendukung; c.
Jangan sampai terjadi konflik atau tarik menarik kewenangan.
180
Febri Diansyah, Emerson Yuntho, dan Donal Fariz, Laporan Penelitian tentang Penguatan Pemberantasan Korupsi melalui Fungsi Koordinasi dan Supervisi Komisi
Pemberantasan Korupsi KPK diakses dari blob:http3Awww.antikorupsi.org99f061fb-43f1- 4d26-ba9f-077ee3bb17a8, pada tanggal 28 Januari 2016, pada pukul 22:24 WIB.
Universitas Sumatera Utara
2. Untuk tugas supervisi, berdasarkan Pasal 8 UU KPK memberikan
kewenangan yang diantaranya:
181
a. Melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang
menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan
publik; b.
Mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. Lebih lanjut
dijelaskan dalam Pasal 9 UU KPK, bahwa pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi dengan alasan: “1 Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak
ditindaklanjuti; 2 Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau
tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan; 3 Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi
pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya; 4 Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;
5 Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau
6 Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan
dapat dipertanggungjawabkan.” Enam alasan di atas menurut Febri Diansyah dan kawan-kawan dapat
dikelompok menjadi dua bagian, yaitu:
182
a. KPK dapat mengambil alih perkara bila kepolisian dan kejaksaan dinilai
tidak mampu melaksanakannya. Ketidakmampuan tersebut bisa saja
181
Ibid.
182
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
disebabkan hambatan internal lembaga terkait atau bisa juga karena adanya intervensi kekuasaan eksekutif terhadap kepolisian dan kejaksaan;
b. KPK dapat mengambil alih perkara karena kepolisian dan kejaksaan dinilai
tidak mau menjalankan tugasnya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketidakmauan bisa saja karena alasan penanganannya
mengandung unsur korupsi atau dapat juga karena secara internal tidak ada niat baik untuk menindaklanjuti perkara tertentu.
Febri Diansyah dan kawan-kawan, berpandangan bila dua alasan tersebut terjadi, maka KPK dapat melaksanakan kewenangannya sebagaimana diatur
dalam Pasal 8 ayat 2 UU KPK. Namun bila KPK menilai kepolisian dan kejaksaan dapat menjalankan penindakan perkara korupsi, maka KPK hanya akan
melakukan supervisi, yaitu memastikan proses hukum yang dijalankan sesuai dengan aturan hukum dan strategi pemberantasan korupsi. Untuk tugas supervisi,
KPK mengelompokkannya menjadi dua macam, yaitu supervisi umum dan supervisi khusus. Supervisi umum terhadap kepolisian dan kejaksaan dilakukan
bersamaan dengan waktu pelaksanaan koordinasi. Sedangkan supervisi khusus terhadap perkara-perkara yang ditangani kejaksaan dan kepolisian dilakukan atas
permintaan kepolisian atau kejaksaan danatau atas inisiatif dari KPK yang didasarkan atas pertimbangan pimpinan KPK. Adapun pertimbangan pimpinan
tersebut tersebut didasarkan pada:
183
a. Perkara-perkara yang melibatkan aparat penegak hukum danatau
penyelenggara negara;
183
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
b. Perkara-perkara yang mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat;
c. Perkara-perkara yang menyangkut kerugian negara sangat besar, atau;
d. Pertimbangan lainnya.
3. Untuk tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam Pasal 12 UU
KPK memberikan kewenangan : “a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;
b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri;
c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang
keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa; d.
Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka,
terdakwa, atau pihak lain yang terkait;
e. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk
memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya; f.
Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait;
g. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi
perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh
tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa;
h. Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara
lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri;
i. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk
melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.”
4. Untuk tugas pencegahan, dalam Pasal 13 UU KPK, memberikan
kewenangan dalam langkah dan upaya untuk: “a. Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan
penyelenggara negara; b. Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi;
c. Menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang
pendidikan; d.
Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi;
e. Melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum;
Universitas Sumatera Utara
f. Melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi.”
5. Untuk tugas monitor, dalam Pasal 14 UU KPK memberikan kewenangan:
“a. Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah;
b. Memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem
pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi; c. Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan, jika saran Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai usulan perubahan tersebut
tidak diindahkan.”
Mengutip pendapat Marwan Effendy dalam bukunya “Kejaksaan Dan Penegakan Hukum”, bahwa letak keberhasilan pemberantasan korupsi tidak
terletak pada banyaknya pelaku korupsi koruptor yang dibawa ke pengadilan untuk diadili atas tindak pidana korupsi, tetapi yang lebih penting adalah untuk
mengajak orang untuk tidak berperilaku koruptif serta mengembalikan kerugian negara melalui uang pengganti, harta yang disita dan dirampas untuk negara serta
denda yang dijatuhkan sebagai pidana diharapkan akan dapat mengurangi bahkan menghilangkan salah satu motif dasar pelaku korupsi maupun calon pelaku tindak
pidana yaitu untuk mendapatkan keuntungan yang ekonomis. Namun, penyitaan dan perampasan terhadap harta pelaku tersebut hendaknya disertai dengan
langkah-langkah yang konstruktif untuk menjaga kestabilan nilai dan harta atau barang yang telah disitadirampas sehungga tujuan semula untuk mengembalikan
kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan si koruptor dapat tercapai.
184
Berkaitan dengan uang pengganti dalam tindak pidana korupsi, mengutip sebuah jurnal berjudul “Penerapan dan Pelaksanaan Pidana Uang Pengganti
184
Marwan Effendy 2, op.cit, hal. 42.
Universitas Sumatera Utara
Dalam Tindak Pidana Korupsi” oleh Ismansyah, diadopsinya pidana uang pengganti ke dalam sistem hukum pidana yang pada awalnya hanya dikenal dalam
instrumen hukum perdata pada dasarnya dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa koruptor harus diancam dengan sanksi pidana seberat mungkin agar mereka
jera.
185
Mengutip dari sebuah tesis karya Romi Tri Waldy, dengan judul “Pembayaran Uang Pengganti Sebagai Salah Satu Bentuk Pengembalian
Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi”, bahwa konsep pidana uang
pengganti menurut ahli hukum pidana Romli Atmasasmita dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa koruptor harus diancam dengan sanksi pidana seberat mungkin
agar mereka jera. Menilik sistem pemidanaan yang dianut undang-undang korupsi baik yang lama maupun yang baru, setiap orang memang sudah sepatutnya takut
untuk melakukan korupsi. Pertimbangan lain yang melatarbelakangi munculnya konsep pidana uang pengganti adalah dalam rangka mengembalikan uang negara
yang melayang akibat suatu tindak pidana korupsi. Pemikiran ini sejalan dengan definisi dari korupsi itu sendiri. Menurut undang-undang, salah satu unsur tindak
pidana korupsi adalah adanya tindakan yang merugikan keuangan negara. Dengan adanya unsur ini maka setiap terjadi suatu tindak pidana korupsi akan
menimbulkan kerugian pada keuangan negara.
186
185
Ismansyah , Penerapan dan Pelaksanaan Pidana Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi diakses dari
http:ejournal.unp.ac.idindex.phpjdarticleviewFile1137972, pada tanggal 12 Maret 2016, pukul 16:34 WIB.
186
Romi Tri Waldy, Pembayaran Uang Pengganti Sebagai Salah Satu Bentuk Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan
Universitas Sumatera Utara
Dalam persfektif politik kriminal, maka pidana pembayaran uang pengganti dipandang sebagai suatu usaha rasional untuk menekan kerugian yang
ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi.
187
Eti Laila Kholis, dalam bukunya “Pembayaran uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi”, yang dikutip dari Romi Tri Waldy, bahwa tujuan adanya pidana
uang pengganti sebagai alat untuk memidana seberat mungkin para koruptor agar mereka jera dan untuk menakuti orang lain agar tidak melakukan korupsi. Tujuan
lainnya adalah untuk mengembalikan uang negara yang hilang akibat suatu perbuatan korupsi. Pemikiran ini sejalan dengan definisi tindak pidana korupsi.
Menurut undang-undang, salah satu unsur tindak pidana korupsi adalah adanya tindakan yang merugikan negara. Dengan adanya unsur ini, maka setiap terjadi
suatu tindak pidana korupsi pasti akan menimbulkan kerugian pada keuangan negara. Merupakan suatu hal yang wajar apabila pemerintah kemudian
menerapkan suatu kebijakan yang tertuang dalam undang-undang untuk mengupayakan kembalinya uang negara yang hilang akibat tindak pidana korupsi
tipikor.
188
“Dalam hal menentukan jumlah pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi, adalah sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi dan bukan semata-mata sejumlah kerugian keuangan negara yang diakibatkan.”
Mengenai jumlah uang pengganti, berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung nomor 5 tahun 2014 Tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti Dalam
Tindak Pidana Korupsi, pada Pasal 1:
Ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi diakses dari http:repository.usu. ac.idbitstream123456789438714Chapter20I.pdf, pada 09 Februari 2016, pukul 13:56 WIB.
187
Ibid.
188
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Dalam penjelasannya Pasal 1 diatas dinyatakan: “Sesuai dengan pasal 18 ayat 1 huruf c UU Nomor 31 Tahun 1999 yang
pada intinya mengatakan bahwa besaran harta benda terpidana yang diperoleh dari tindak pidana korupsi tersebut. Oleh karenanya, dalam
peraturan Mahkamah Agung ini, parameter perhitungan besaran uang pengganti ialah sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi. Dengan demikian, pemahaman bahwa parameter perhitungan besaran uang pengganti ditinjau dari besaran
kerugian sudah tidak dapat diterapkan dalam suatu persidangan tindak pidana korupsi.”
“Bahwa dengan adanya pemahaman besar uang pengganti dilihat dari harta benda yang diperoleh terdakwa, maka para hakim pada tingkat judex factie
diharuskan dapat menggali keterangan mengenai besarnya jumlah harta benda yang diperoleh terdakwa dari suatu tindak pidana korupsi.”
Dalam jurnal Ismansyah tersebut, bahwa pada prakteknya dengan konsep ini hakim pasti akan menemui kesulitan dalam menentukan besaran uang
pengganti, diantaranya:
189
1. Hakim akan sulit memilah-milah mana aset yang berasal tipikor dan mana
yang bukan. Dalam jaman yang serba canggih ini, sangat mudah bagi para koruptor untuk melakukan metamorfosa aset-aset hasil korupsinya asset
tracing melalui jasa transaksi keuangan dan perbankan. Selain itu, untuk melakukan hal ini jelas butuh keahlian khusus serta data dan informasi yang
lengkap. Belum lagi kalau berbicara soal waktu yang tentunya tidak sebentar, apalagi jika harta yang akan dihitung berada di luar negeri
sehingga membutuhkan birokrasi diplomatik yang pasti sangat rumit dan memakan waktu;
2. Perhitungan besaran uang pengganti akan sulit dilakukan apabila aset
terdakwa yang akan dinilai ternyata telah dikonversi dalam bentuk aset yang
189
Ismansyah , op.cit.
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan sifatnya mempunyai nilai yang fluktuatif, seperti aset properti, perhiasan, saham dan sebagainya;
3. Belum terciptanya kesamaan persepsi dan koordinasi yang terpadu di antara
aparat penegak hukum yang ada dalam usaha untuk mencegah dan menangani tidak pidana korupsi. Akibatnya dalam beberapa kasus terjadi
kebuntuan komunikasi dan mispersepsi diantara penegak hukum yang ada. Mengutip dari skripsi karya Fuad Akbar Yamin, tentang “Tinjauan Yuridis
Terhadap Uang Pengganti Untuk Pengembalian Kerugian Negara Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi”, Universitas Hasanuddin Makassar, bahwa pidana
pembayaran uang pengganti merupakan konsekuensi dari akibat tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
sehingga untuk mengembalikan kerugian tersebut diperlukan sarana yuridis yakni dalam bentuk pembayaran uang pengganti. Uang pengganti merupakan suatu
bentuk hukuman pidana tambahan dalam perkara korupsi. Pada hakikatnya baik secara hukum maupun doktrin, hakim tidak diwajibkan selalu menjatuhkan pidana
tambahan.Walaupun demikian, khusus untuk perkara korupsi hal tersebut perlu untuk diperhatikan. Hal tersebut disebabkan karena korupsi adalah suatu
perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang merugikan atau dapat merugikan keuangan negara. Dalam hal ini kerugian negara tersebut harus
dipulihkan. Salah satu cara yang dapat dipakai guna memulihkan kerugian negara tersebut adalah dengan mewajibkan terdakwa yang terbukti dan meyakinkan telah
melakukan tindak pidana korupsi untuk mengembalikan kepada negara hasil korupsinya tersebut dalam wujud uang pengganti. Sehingga, meskipun uang
Universitas Sumatera Utara
pengganti hanyalah pidana tambahan, namun adalah sangat tidak bijaksana apabila membiarkan terdakwa tidak membayar uang pengganti sebagai cara untuk
memulihkan kerugian negara. Terdakwa perkara korupsi yang telah terbukti dan menyakinkan melakukan tindak pidana korupsi terbebas dari kewajiban untuk
membayar uang pengganti apabila uang pengganti tersebut dapat dikompensasikan dengan kekayaan terdakwa yang dinyatakan dirampas untuk
negara atau terdakwa sama sekali tidak menikmati uang tersebut, atau telah ada terdakwa lain yang telah dihukum membayar uang pengganti, atau kerugian
negara masih dapat ditagih dari pihak lain..
190
Berkaitan dengan hal mekanisme pengembalian kerugian keuangan negara yang disebutkan oleh Marwan Effendy diatas uang pengganti, denda, dan
penyitaan harta, tugas dan kewenangan KPK yang paling dominan dalam hal ini tentu akan mengarah kepada tugasnya yang ketiga dalam Pasal 6, yaitu melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Tetapi Apabila dikaitkan dengan kewenangan penuntutan dari penuntut umum
untuk melakukan tuntutan atas uang pengganti yang dihubungkan dengan kerugian negara yang diakibatkan, maka penuntut umum dalam hal ini akan
berpedoman pada Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor Se- 003AJa022010 Tahun 2010 Tentang Pedoman Tuntutan Pidana Perkara Tindak
Pidana Korupsi, yang diterbitkan sebagai dasar untuk mencegah atau meminimalkan disparitas tuntutan pidana.
190
Fuad Akbar Yamin , Tinjauan Yuridis Terhadap Uang Pengganti Untuk Pengembalian Kerugian Negara Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi, Universitas Hasanuddin
Makassar diakses dari http:repository.unhas.ac.idbitstreamhandle1234567896760FUAD 20AKBAR, pada tanggal 12 Maret 2016, pukul 15:21 WIB.
Universitas Sumatera Utara
bukan berarti kewenangan koordinasi, supervisi, pencegahan dan monitor tidak memiliki kaitan dengan mekanisme ini. Kewenangan koordinasi dan supervisi
akan sangat membantu KPK dalam melaksanakan proses pengembalian kerugian keuangan negara. Sebab dari sisi aturan hukum yang mengatur tugas dan
wewenang KPK, terlihat jelas bahwa tugas koordinasi dan supervisi KPK tampak sangat besar, yang mana KPK adalah komandan di antara lembaga penegak
hukum yang ada dalam proses pemberantasan korupsi. Hal diatas dikaitkan dengan mengingat bahwa proses penyitaan dilakukan
selama proses penyidikan sesuai hukum acara pidana Indonesia yang tertuang dalam Pasal 1 butir 16 KUHAP:
“Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak
bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.”
Sedangkan mengenai denda dan uang pengganti diperoleh dari putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Mengenai kewenangan KPK dalam
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan telah dijabarkan diatas. Melihat tugas dan kewenangan KPK diatas, apabila dikaitkan dengan
struktur organisasi dalam tubuh KPK, tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan berada dibawah bidang penindakan. Lebih jelasnya dapat dilihat
mengenai struktur organisasi KPK dalam bagan.
Universitas Sumatera Utara
Bagan 1: Struktur Organisasi KPK
191
191
Laporan Akuntabilitas Kinerja KPK Tahun 2010 diakses dari http:www.kpk. go.idimagespdfLAKIPLAKIP20KPK20Tahun202010.pdf, pada 20 Februari 2016, pukul
06:30 WIB.
Pimpinan Penasihat
Deputi Pencegahan
Deputi Penindakan
Deputi Informasi dan Data
Deputi Pengawasan
Internal dan Pengaduan
Masyarakat Sekretariat
Jenderal
Sekretariat Deputi Bidang
Pencegahan Sekretariat
Deputi Bidang Penindakan
Direktorat Pendaftaran dan
Pemeriksaan LHKPN.
Direktorat Penyelidikan
Satgas- Satgas
Direktorat Gratifikasi
Direktorat Penyidikan
Direktorat Pendidikan dan
Pelayanan Masyarakat
Satgas- Satgas
Direktorat Penuntutan
Direktorat Penelitian dan
Pengembangan Satgas-
Satgas Satgas
Eksekusi Koordinasi dan
Supervisi Sekretariat
Deputi Bidang Informasi Dan
Data Direktorat
Pengolahan Informasi Dan
Data
Direktorat Monitor
Direktorat Pembinaan
Jaringan Kerja Antar Komisi
Dan Instansi Sekretariat
Deputi Bidang PIPM
Direktorat Pengawasan
Internal Direktorat
Pengaduan Masyrakat
KORSESPIM Biro SDM
Biro Umum
Biro Hukum Biro Humas
Biro Perencanaan Dan Keuangan
Universitas Sumatera Utara
Khusus untuk Bidang Penindakan, yang memiliki tugas menyiapkan rumusan kebijakan dan melaksanakan kebijakan di Bidang Penindakan Tindak
Pidana Korupsi TPK. Deputi Bidang Penindakan menyelenggarakan fungsi :
192
1.
Perumusan kebijakan untuk sub bidang Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan serta Koordinasi dan Supervisi penanganan perkara TPK oleh
penegak hukum lain;
2.
Pelaksanaan penyelidikan dugaan TPK dan bekerjasama dalam kegiatan penyelidikan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum lain;
3.
Pelaksanaan penyidikan perkara TPK dan bekerjasama dalam kegiatan penyidikan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum lain;
4.
Pelaksanaan penuntutan, pengajuan upaya hukum, pelaksanaan penetapan hakim dan putusan pengadilan, pelaksanaan tindakan hukum lainnya dalam
penanganan perkara TPK sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
5.
Pelaksanaan kegiatan koordinasi dan supervisi terhadap aparat penegak hukum lain yang melaksanakan kegiatan penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan perkara TPK;
6.
Pelaksanaan kegiatan kesekretariatan, pembinaan sumbe rdaya dan dukungan operasional di lingkungan Deputi Bidang Penindakan;
7.
Koordinasi, sinkronisasi, pemantauan, evaluasi dan pelaksanaan hubungan kerja pada bidang Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan serta
192
Deputi Penindakan KPK diakses dari http:www.kpk.go.ididtentang-kpkstruktur- organisasideputi-penindakan, pada tanggal 18 Februari 2016, pada pukul 22:16 WIB.
Universitas Sumatera Utara
Koordinasi dan Supervisi penanganan perkara TPK oleh penegak hukum lain; dan
8.
Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Pimpinan sesuai dengan bidangnya.
Deputi Bidang Penindakan dipimpin oleh Deputi Bidang Penindakan dan bertanggungjawab atas pelaksanaan tugasnya kepada Pimpinan KPK. Deputi
Bidang Penindakan membawahkan:
193
1.
Direktorat Penyelidikan;
2.
Direktorat Penyidikan;
3.
Direktorat Penuntutan;
4.
Unit Kerja Koordinasi dan Supervisi; dan
5.
Sekretariat Deputi Bidang Penindakan. Dari rincian fungsi deputi penindakan diatas, KPK tentunya tidak berjalan
sendiri. Untuk memaksimalkan kinerja dan mencapai tujuannya, KPK menggandeng institusi-institusi terkait dalam upaya pemberantasan korupsi,
terutama dalam upaya pengembalian kerugian keuangan negara. Untuk melihat kondisi sebenarnya yang ada di lembaga KPK mengenai penanganan kasus-kasus
dan kerja sama dengan Kejaksaan dan Kepolisian, berikut disajikan rekapitulasi koordinasi dan supervisi lembaga KPK dengan Kepolisian dan Kejaksaan selama
tahun kerja 2004 sampai 2015 per 31 Desember 2015.
193
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Rekapitulasi Koordinasi dan Supervisi Koordinasi-Supervisi dengan Kepolisian Kejaksaan.
Fungsi koordinasi dan supervisi antara KPK dengan POLRI dan Kejaksaan Agung terus diperkuat dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi. Penguatan kerja sama dan koordinasi dilakukan salah satunya adalah saling tukar informasi berkenaan dengan proses
penyidikan dengan dikeluarkannya Surat Perintah Dimulainya Penyidikan SPDP. Tercatat per 31 Desember 2015, di tahun 2015 KPK menerima SPDP dari Kepolisian sebanyak 196 perkara, sedangkan dari Kejaksaan sebanyak 876 perkara.
Tabulasi Data SPDP dari Kepolisian dan Kejaksaan Tahun 2004-2015 per 31 Desember 2015
Dalam Tabel 3: Rekapitulasi Koordinasi dan Supervisi Jabatan
2004 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
2012 2013
2014 2015
Jumlah Kepolisian
120 171
520 169
191 92
196 220
200 234
273 196
2.582 Kejaksaan
297 582
644 437
446 558
1.176 1.131
767 923
911 876
8.748 Jumlah
417 753
1.164 606
637 650
1.372 1.351
967 1.157
1.184 1072
11.330 Dalam Grafik 1: Rekapitulasi Koordinasi dan Supervisi
Sumber :
http:acch.kpk.go.idstat istik-korsup
0,0 500,0
1.000,0 1.500,0
2004 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
2012 2013
2014 2015
Kejaksaan Kepolisian
Universitas Sumatera Utara
B. Kerja Sama KPK Dengan Instansi Atau Lembaga Lain Yang Terkait