Delik Kerugian Keuangan Negara Dalam Undang Nomor 31 Tahun

g. Kurang dan terbatasnya lingkungan yang anti korupsi; h. Struktur pemerintahan yang lunak; i. Perubahan radikal sehingga terganggunya kestabilan mental. Ketika suatu sistem nilai mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai suatu penyakit tradisional; j. Kondisi masyarakat, karena korupsi dalam suatu birokrasi bisa memberikan cerminan keadaan masyarakat secara keseluruhan. 20. Faktor politik; 21. Budaya organisasi pemerintah

A. Delik Kerugian Keuangan Negara Dalam Undang Nomor 31 Tahun

1999 JO Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Yunus Husein, dalam hasil penelitian “Penerapan Unsur Merugikan Keuangan Negara dalam Delik Tindak Pidana Korupsi” oleh Emerson Yuntho, dan kawan-kawan, yang menyebutkan ada beberapa cara terjadinya kerugian negara, yaitu kerugian negara yang terkait dengan berbagai transaksi: 77 1. Transaksi barang dan jasa; 2. Transaksi yang terkait dengan utang- piutang; 3. Transaksi yang terkait dengan biaya dan pendapatan. 77 Emerson Yuntho, dan kawan-kawan, Indonesia Corruption Watch, Hasil Penelitian Penerapan Unsur Merugikan Keuangan Negara dalam Delik Tindak Pidana Korupsi, diakses dari http:www.antikorupsi.orgsitesantikorupsi.orgfilesdocKajianpolicypaperkeuangannegara. pdf, pada 28 Januari 2016, pukul 19:23 WIB. Universitas Sumatera Utara Masih menurut Yunus Husein, dalam penelitian itu juga, bahwa tiga cara terjadinya kerugian negara tersebut menimbulkan beberapa kemungkinan peristiwa yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara: 78 1. Pengadaan barang dengan harga yang tidak wajar karena jauh di atas harga pasar; 2. Harga pengadaan barang dan jasa wajar namun tidak sesuai dengan spesifikasi barang dan jasa yang dipersyaratkan; 3. Terdapat transaksi yang memperbesar utang negara secara tidak wajar; 4. Piutang negara berkurang secara tidak wajar; 5. Aset negara berkurang karena dijual dengan harga yang murah atau dihibahkan kepada pihak lain atau ditukar dengan pihak swasta atau perorangan ruilslag; 6. Memperbesar biaya instansi atau perusahaan. Hal ini dapat terjadi baik karena pemborosan maupun dengan cara lain; 7. Hasil penjualan suatu perusahaan dilaporkan lebih kecil dari penjualan sebenarnya. Pandangan lain mengenai terjadinya kerugian negara juga disampaikan Soeharto dari BPKP, dalam hasil penelitian itu juga, Soeharto menyebutkan terjadinya kerugian negara disebabkan karena: 79 1. Pengeluaran atas suatu sumber kekayaan negara atau daerah, atau atas pendapatan negara atau daerah berupa uang, barang, atau bentuk lainnya yang seharusnya tidak dapat dikeluarkan, tetapi dikeluarkan; 78 Ibid. 79 Ibid. Universitas Sumatera Utara 2. Pengeluaran atas suatu sumber atau kekayaan negara atau daerah, atau atas pendapatan negara atau daerah yang lebih besar dari yang seharusnya; 3. Berkurang atau hilangnya sumber kekayaan negara atau daerah, atau pendapatan atau pemasukan negara atau daerah yang seharusnya diterima; 4. Berkurangnya hak atas suatu negara atau daerah dari yang seharusnya didapat. Eddy Mulyadi Soepardi, dalam ceramah ilmiah yang berjudul “Memahami Kerugian Keuangan Negara Sebagai Salah Satu Faktor Unsur Tindak Pidana Korupsi”, bahwa masih ada faktor lain yang dapat menyebabkan kerugian keuangan negara selain faktor diatas yang dapat ditinjau dari: 80 1. Sisi pelaku a. Perbuatan bendaharawan yang dapat menimbulkan kekurangan perbendaharaan, disebabkan oleh antara lain adanya pembayaran, pemberian atau pengeluaran kepada pihak yang tidak berhak, pertanggungjawaban laporan yang tidak sesuai dengan kenyataan, penggelapan, tindak pidana korupsi, dan kecurian karena kelalaian; b. Pegawai negeri non bendaharawan, dapat merugikan keuangan negara dengan cara antara lain pencurian atau penggelapan, penipuan, tindak pidana korupsi, dan menaikkan harga atau merubah mutu barang; 80 Eddy Mulyadi Soepardi, Dalam Ceramah Ilmiah, Memahami Kerugian Keuangan Negara Sebagai Salah Satu Faktor Unsur Tindak Pidana Korupsi diakses dari http:www.feunpak.web.idicfileceramah-fh.pdf, pada tanggal 05 Februari 2016, pukul 19:22 WIB. Universitas Sumatera Utara c. Pihak ketiga dapat mengakibatkan kerugian keuangan negara dengan cara antara lain menaikkan harga atas dasar kerjasama dengan pejabat yang berwenang, dan tidak menepati perjanjian wanprestasi. 2. Sisi sebab a. Perbuatan manusia, yakni perbuatan yang disengaja, dan tidak disengaja, karena kelalaian, kesalahan atau ketidakmampuan, serta pengawasan terhadap penggunaan keuangan negara yang tidak memadai; b. Kejadian alam, seperti bencana alam, dan proses alamiah seperti membusuk, menguap, menyusut, dan sebagainya; c. Peraturan perundang-undangan dan situasi moneterperekonomian, yakni kerugian keuangan karena adanya pengguntingan uang sanering, gejolak moneter yang mengakibatkan turunnya nilai uang sehingga menaikkan jumlah kewajiban negara dan sebagainya. Setelah menguraikan sebab-sebab terjadinya korupsi diatas, baik secara umum maupun yang langsung berkaitan dengan kerugian keuangan negara, selanjutnya dapat dilihat konsep kerugian keuangan dan atau perekonomian negara. Berbicara tentang kerugian keuangan negara dan perekonomian negara, tampaknya tidak hanya masuk dalam ranah hukum pidana. Di dalamnya terdapat unsur ilmu ekonomi, dan ilmu lain yang berkaitan. Namun, berdasarkan batasan sub judul di atas, maka yang akan di bahas adalah delik yang menimbulkan kerugian keuangan negara dan perekonomian negara kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Universitas Sumatera Utara Adami Chazawi, memberi pandangan bahwa dalam undang-undang ini Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, tindak pidana korupsi dapat dikelompokkan berdasarkan dapat-tidaknya merugikan keuangan atau perekonomian negara, dibagi dalam dua bagian, yaitu: 81 1. Tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dan; 2. Tindak pidana korupsi yang tidak mensyaratkan dapat menimbulkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Tindak pidana korupsi pada bagian pertama merupakan tindak pidana formil delik formil, yang artinya terjadinya tindak pidana secara sempurna tidak perlu menunggu timbulnya kerugian negara. Asalkan dapat ditafsirkan menurut akal sehat bahwa suatu perbuatan dapat menimbulkan kerugian bagi negara, maka perbuatan tersebut sudah dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi yang terdapat unsursyarat dapat merugikan keuangan dan atau perekonomian negara terdapat dalam Pasal 2, 3, dan 15 jo Pasal 2 dan 3 sepanjang percobaan, pembantuan dan permufakatan jahat itu dilakukan dalam rangka melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 2 dan 3. Demikian juga dalam Pasal 16 diisyaratkan dapat menimbulkan kerugian negara sepanjang orang yang berada di luar wilayah hukum Republik Indonesia itu memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 2 dan 81 Adami Chazawi, op.cit, hal.30-31. Universitas Sumatera Utara Pasal 3. Terhadap bentuk-bentuk tindak pidana korupsi yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya pada bagian kedua tidak memerlukan unsur atau syarat dapat merugikan keuangan dan atau perekonomian negara. Dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001: “Pasal 2 1 Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 satu milyar rupiah; 2 Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.” “Pasal 3 Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 satu milyar rupiah.” Apabila ditelaah lebih lanjut, perbuatan yang memenuhi unsur-unsur penting yang terdapat dalam Pasal 2 agar dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi, menurut Marwan Effendy, dalam bukunya “Tipologi Kejahatan Perbankan Dari Perspektif Hukum Pidana”, diantaranya: 82 82 Marwan Effendy, Tipologi Kejahatan Perbankan Dari Perspektif Hukum Pidana 4, Sumber Ilmu Jaya, 2005, hal. 91. Universitas Sumatera Utara

1. Setiap orang

Pengertian setiap orang dalam pasal ini, siapa saja yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, baik dalam kapasitasnya sebagai pegawai negeri atau pihak swasta. Menurut Elwi Danil, bahwa pada dasarnya yang dapat melakukan tindak pidana adalah manusia natururlijke persoon. Hal ini dapat disimpulkan dari rumusan tindak pidana dalam undang-undang yang selalu dimulai dengan kata “barang siapa” yang tidak dapat diartikan lagi selain orang manusia. Disamping itu yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana adalah manusia. Hal itu disebabkan karena kesalahan baik dalam bentuk kesengajaan maupun kealpaan merupakan sikap dalam batin manusia. Atas dasar pemikiran itu pulalah maka dalam penjelasan KUHP Memorie van Toelichting,yaitu penjelasan atas Pasal 59 KUHP ditegaskan bahwa, suatu tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia. Akan tetapi, di dalam perkembangan pemikiran hukum pidana, ajaran seperti itu sudah ditinggalkan. 83 Martiman Prodjohamidjojo, memberi pendapat istilah yang lazim dalam perundang-undangan pidana ataupun KUHP memakai kata “barang siapa”. Pengertian “setiap orang” atau “barang siapa” ialah orang atau orang-orang yang apabila orang atau orang-orang tersebut terbukti memenuhi unsur-unsur delik yang diatur dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka orang atau orang-orang itu disebut sebagai si pelaku atau si pembuat dari delik tersebut. Adalah sangat jarang 83 Elwi Danil, op.cit, hal. 104. Universitas Sumatera Utara delik korupsi dilakukan oleh seseorang saja, dan sangat dimungkinkan delik korupsi dilakukan oleh beberapa orang lainnya. Jika hal itu dilakukan secara bersama-sama dengan orang lain, baik dalam bentuk “mededaderschap” atau “turut serta” Pasal 55 ayat 1 KUHP atau juga dalam bentuk “uitloking” atau “menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu delik” Pasal 55 ayat 2 KUHP, maupun dalam bentuk “medeplichtigheid” atau “membantu melakukan” Pasal 56 KUHP. 84 Mengenai korporasi sebagai subyek hukum dalam tindak pidana korupsi, menurut Komariah Emong Sapardjaja yang dikutip oleh Elwi Danil, pada mulanya sulit diterima badan hukum dapat melakukan tindak pidana, karena badan hukum bukanlah subjek hukum dalam hukum pidana. Bertolak dari ketentuan yang ada dalam KUHP, sejak KUHP dibuat sudah terlihat bahwa subjek hukum pidana hanyalah orang pribadi. Hal tersebut tidak saja disebabkan karena seluruh rumusan tindak pidana dalam KUHP selalu diawali dengan perkataan “barang siapa”, melainkan juga bunyi Pasal 59 KUHP yang membatasi kepada pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris secara pribadi. Akan tetapi jika dikaitkan dengan laju perkembangan ekonomi dan Dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menegaskan bahwa setiap orang adalah perseorangan atau termasuk korporasi. Korporasi menurut Pasal 1 angka 1 undang-undang tersebut adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. 84 Martiman Prodjohamidjojo, op.cit. hal. 52-55. Universitas Sumatera Utara teknologi, dan dengan melihat pada pertumbuhan dan peran badan hukum, maka penempatan badan hukum sebagai subyek hukum pidana secara umum dalam kehidupan hukum pidana di Indonesia sudah merupakan sesuatu yang mendesak. Dalam peraturan perundang-undangan pidana tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, tidak ditentukan adanya ketentuan secara khusus untuk mengatur kualifikasi si pembuat pelaku sebagai subjek tindak pidana korupsi. Menurut Elwi Danil, artinya bahwa rumusan tindak pidana korupsi sejak semula tidak pernah menentukan subjek dengan kualifikasi tertentu. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam merumuskan tindak pidana korupsi selalu diawali dengan kata “barang siapa”. Demikian dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, mengawali rumsan dengan kata “setiap orang” yang berarti siapa saja. 85 Elwi Danil berpendapat, dalam menyikapi pertumbuhan perilaku yang koruptif, pembuat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menempuh kebijakan yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pembuat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, khususnya menyangkut subyek hukum pidana tentang korupsi. Meskipun sama-sama melakukan perluasan mengenai pengertian pegawai negeri, namun dalam soal subyek hukum pidana pembuat undang-undang korupsi yang baru tampak lebih maju daripada undang-undang korupsi sebelumnya. Hal tersebut terbukti dengan adanya kebijakan melakukan perluasan subyek hukum 85 Elwi Danil, op.cit, hal. 105. Universitas Sumatera Utara tentang korupsi, yang tidak saja berupa orang perorangan melainkan juga korporasi. 86 Selain alasan diatas, Martiman Prodjohamidjojo juga memberikan pandangan bahwa delik korupsi telah merayap dan menyelinap sehingga menggerogoti keuangan negara, perekonomian negara dan merugikan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, dipandang perlu memperluas subyek delik korupsi, meliputi korporasi yang dikenai sanksi, perluasan pengertian pegawai negeri dari Pasal 92 KUHP maupun Undang-Undang Nomor 8 tahun 1961. 87 Dapat dikenakannya sanksi pidana terhadap korporasi dalam tindak pidana korupsi menurut Elwi Danil cukup beralasan pula dalam menampung beberapa rekomendasi Kongres PBB mengenai The Prevention of Crime and The Treatments of Offenders, diantaranya : 88 a. Dalam rekomendasi Kongres PBB ke-8 Tahun 1990 antara lain ditegaskan agar ada tindakan terhadap perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam perkara korupsi take appropriate mesures against enterprise involved in corruption; b. Dalam dokumen Kongres PBB ke-9 di Kairo antara lain ditegaskan sebagai berikut: bahwa korporasi, asosiasi kriminal atau individu terlibat dalam penyuapan para pejabat untuk alasan yang tidak semua bersifat ekonomis. Namun dalam banyak kasus masih ada penyuapan digunakan untuk mencapai keuntungan ekonomis. Tujuannya adalah membujuk para pejabat untuk memberikan berbagai perlakuan khusus dan istimewa. 86 Ibid, hal. 107 87 Martiman Prodjohamidjojo, op.cit. hal. 110. 88 Elwi Danil, op.cit, hal. 109 Universitas Sumatera Utara Dalam kaitan pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai subyek tindak pidana korupsi, penentuan kesalahan korporasi menurut Elwi Danil dilakukan dengan cara mengidentifikasikannya dengan sikap batin pengurus korporasi. Untuk itu harus dibuktikan bahwa pelaksanaan tindak pidana tersebut merupakan business policy yang diputuskan oleh mereka yang berwenang dalam korporasi tersebut, dan keputusan itu diterima sebagai kebijakan korporasi. 89

2. Secara melawan hukum

Andi Hamzah, dalam bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana”, mengemukakan bahwa, pengertian “melawan hukum” itu sendiri bermacam- macam. Ada yang mengartikan sebagai tanpa hak sendiri Zonder eigen recht, bertentangan dengan hak orang lain tegen eens anders recht, bertentangan dengan hukum obyektif tegen het objective recht. Andi Hamzah mengutip pendapat Noyon-Langemeyer, bahwa karena bermacam-macamnya pengertian melawan hukum itu, ada baiknya fungsi kata itu hendaknya disesuaikan dengan setiap delik tanpa secara asasi menghilangkan kesatuan artinya. 90 Mohammad Ekaputra, dalam buku “Dasar-Dasar Hukum Pidana”, menyatakan bahwa salah satu unsur penting dari suatu tindak pidana adalah unsur melawan hukum wederrechtelijk, unsur ini merupakan suatu penilaian objektif yang diberikan terhadap suatu perbuatantindakan. Menurut Simon yang dikutip oleh Mohammad Ekaputra pengertian dari sifat melawan hukum adalah bertentangan dengan hukum pada umumnya, tetapi dalam hubungan sifat melawan hukum sebagai salah satu unsur delik ditegaskannya, supaya selalu 89 Ibid, hal. 113 90 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, 1, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994, hal. 131-132. Universitas Sumatera Utara berpegang kepada norma delik sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang hukum pidana. Juga mengutip pendapat dari Sudarto, suatu perbuatan dikatakan melawan hukum, jika perbuatan itu telah sesuai dengan rumusan delik sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Namun perbuatan yang telah memenuhi rumusan delik itu tidak selalu bersifat melawan hukum, sebab mungkin ada sebab yang menghilangkan sifat melawan hukum dari suatu perbuatan. 91 Perbuatan melawan hukum dalam ilmu hukum dibedakan atas dua, melawan hukum secara formil dan melawan hukum secara materiil. Menurut Andi Hamzah, melawan hukum formil adalah perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang. Apabila suatu perbuatan telah mencocoki rumusan delik, maka biasanya dikatakan telah melawan hukum secara formil. Melawan hukum materiil harus berarti hanya dalam arti negatif, artinya kalau tidak ada melawan hukum materiil maka merupakan dasar hukum pembenar. Dalam penjatuhan pidana harus dipakai hanya melawan hukum formil, artinya yang bertentangan dengan hukum positif yang tertulis, karena alasan asas nullum crimen sine lege stricta yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP. 92 H. Zamhari Abidin, dalam bukunya “Pengertian dan Asas Hukum Pidana”, bahwa ajaran melawan hukum formil formele wederrechttelijkheid yang dianut salah satunya oleh Simons, berpendapat bahwa, “wederrechtelijk is in strijd met het recht in het algemene” melawan hukum adalah bertentangan dengan hukum dalam arti umum. Unsur melawan hukum bukan merupakan unsur daripada delik dan karena itu tidak harus dibuktikan, kecuali bilamana dengan tegas-tegas 91 Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Medan: USU Press, 2013, hal. 127. 92 Andi Hamzah 1, op.cit, hal 133. Universitas Sumatera Utara dinyatakan sebagai unsur seperti dalam Pasal 167, 333 dan 406 KUHP, maka haruslah dibuktikan. Istilah-istilah dalam KUHP misalnya, “dengan tanpa hak” Pasal 303, 548, 549 KUHP, “dengan melampaui kekuasaannya” Pasal 430, 429 KUHP, “dengan melawan hukum” Pasal 179, 180 KUHP. Ajaran melawan hukum materiil materiele wederrechtelijkheid, merupakan perbuatan yang bertentangan dengan asas-asas umum yang terdapat dalam lapangan hukum. penganutnya seperti van Hamel yang sepakat dengan pendapat Hoge Raad Mahkamah Agung Belanda dengan salah satu arrestnya, “Zonder eigen recht of zonder eigen bevoegdheid” tanpa ada haknya atau tanpa ada wewenangnya. Unsur melawan hukum adalah unsur daripada setiap delik, dan karena itu haruslah dibuktikan. 93 Mohammad Ekaputra berpendapat bahwa sifat melawan hukum formal mengandung arti semua bagian atau unsur-unsur dari rumusan delik telah terpenuhi. Sifat melawan hukum formal terjadi karena suatu perbuatan itu telah memenuhi rumusan delik dari undang-undang. Sifat melawan hukum formal merupakan syarat untuk dapat dipidananya suatu perbuatan yang bersumber dari asas legalitas. Menurut ajaran sifat melawan hukum formil, sifat melawan hukum perbuatan itu dapat hapus hanya berdasarkan ketentuan undang-undang, dengan kata lain alasan untuk menghapuskan sifat melawan hukum tidak boleh di ambil diluar hukum positif. Jadi, menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan melawan atau bertentangan dengan undang-undang hukum tertulis. Menurut ajaran melawan hukum materiil, yang disebut dengan melawan hukum tidaklah 93 H. Zamhari Abidin, Pengertian dan Asas Hukum Pidana Dalam Schema atau Bagan dan Synopsis atau Catatan Singkat, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986, hal 18. Universitas Sumatera Utara hanya sekedar bertentangan dengan hukum tertulis, tetapi juga bertentangan dengan hukum tidak tertulis. Menurut ajaran sifat melawan hukum materiil, sifat melawan hukum suatu perbuatan yang nyata-nyata masuk ke dalam rumusan suatu delik, dapat hapus berdasarkan ketentuan undang-undang dan juga berdasarkan aturan yang tidak tertulis. Jadi, menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan bertentangan dengan undang-undang hukum tertulis, dan juga bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis, misalnya bertentangan dengan tata susila dan sebagainya. 94 Penerapan ajaran sifat melawan hukum materiil dengan fungsi positif seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut, dikalangan Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, yang dimaksud perbuatan melawan hukum pada Pasal 1, dalam penjelasannya bahwa: “Ayat ini tidak menjadikan perbuatan melawan hukum sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum, melainkan melawan hukum ini adalah sarana untuk melakukan perbuatan yang dapat dihukum yaitu memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan. Pengertian melawan hukum dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun, berdasarkan Penjelasan Umum, yaitu : “Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perudang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.” 94 Mohammad Ekaputra, op.cit, hal. 132-133. Universitas Sumatera Utara para ahli hukum dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga ia merupakan suatu pelanggaran terhadap asas legalitas. Oleh karena itu, fungsi positif dari ajaran sifat melawan hukum materiil tidak mungkin diterapkan. 95 Akan tetapi, apabila dikaitkan dengan karakteristik undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai suatu undang-undang pidana khusus, maka penerapan fungsi positif dalam ajaran sifat melawan hukum materiil menurut Elwi Danil patut dipertimbangkan sebagai suatu yang eksepsional sifatnya. Kerangka berpikir seperti itu akan menjadi semakin penting bila dikaitkan karakteristik tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crima, maka penerapan fungsi positif ajaran sifat melawan hukum materiil dapat diposisikan sebagai extra ordinary instrument. Elwi Danil mengaitkan dengan kenyataan yang berkembang dewasa ini , apabila pemberantasan tindak pidana korupsi hanya bersandar pada sifat melawan hukum formil saja, maka banyak pelaku perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat bersifat koruptif dan merugikan keuangan negara dalam skala yang sangat besar tidak mampu dijangkau oleh ketentuan undang-undang yang ada. Akibatnya para pelaku perbuatan yang dipandang koruptif dan tercela itu menjadi tidak dapat dijatuhi pidana. Penerapan fungsi positif ajaran sifat melawan hukum materiil dalam kebijakan legislasi, akan memperlihatkan relevansinya kaitannya dengan perkembangan jenis kejahatan yang sering tidak terdeteksi dan terantisipasi oleh pembuat undang-undang. Disamping itu , perlu juga dipahami bahwa tujuan untuk menempatkan asas ajaran melawan hukum materiil sebagai instrumen khusus 95 Elwi Danil, op.cit, hal. 152 Universitas Sumatera Utara adalah untuk mempermudah proses pembuktian tindak pidana korupsi dipersidangan. 96

3. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau

suatu korporasi. Namun, penjelasan ini telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor: 003PUU-IV2006, dalam poin mengadili, bahwa perbuatan melawan hukum materiil dalam Pasal 2 dan 3 undang-undang tersebut adalah ”bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” dan dinyatakan “tidak memiliki kekuatan hukum mengikat”. Dengan demikian, maka perbuatan melawan hukum yang dirumuskan dalam Pasal 2 adalah perbuatan melawan hukum formil saja. Beberapa pengertian dari unsur ketiga ini diantaranya: a. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, memperkaya artinya menjadikan lebih kaya 97 b. Martiman Prodjohamidjojo, bahwa yang dimaksud dengan “memperkaya” diri sendiri atau orang lain, atau korporasi, menurut ketentuan ini, ialah selalu dan terus menerus tanpa henti menambah harta kekayaan dengan jalan melawan hukum, hingga kekayaan yang diperoleh sebagai tambahan itu tidak seimbang dengan sumber atau penghasilan kekayaan yang ia miliki. Tetapi pengertian memperkaya diri sendiri itu sifatnya adalah relatif, artinya perbuatan atau kegiatan yang menjadikan suatu kondisi objektif, tingkat kemampuan materiil tertentu dijadikan lebih meningkatkan lagi dalam pengertian yang tetap relatif, walaupun ; 96 Ibid, hal. 153-154. 97 KBBI, op.cit. Universitas Sumatera Utara secara subjektif orang yang bersangkutan mungkin merasa belum kaya. Pengadilan Negeri Purwokerto yang dikutip Martiman Prodjohamidjojo, dalam memberikan tafsiran kata “memperkaya diri sendiri, harus ditafsirkan membuat kaya orang kaya tanpa melihat sudah kayatidakbelum kaya, dengan jalan melawan hukum” 98 c. Berbeda dengan pendapat Sudarto yang dikutip oleh Marwan Effendy, bahwa perbuatan memperkaya artinya berbuat apa saja, misalnya mengambil, memindahbukukan, menandatangani kontrak dan sebagainya sehingga si pembuat bertambah kaya ; 99 d. Marwan Effendy dalam pendapatnya, bahwa ada tidaknya hal memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan itu, dilihat dari penghasilannya. Apakah penghasilannya memungkinkan adanya penambahan kekayaan yang bersangkutan. Dibandingkan antara kekayaan yang ada dengan penghasilannya. Bila kekayaan menunjukkan lebih besar dari penghasilan, perlu diteliti jauh dan terdakwa harus menjelaskan dari mana asal usul kekayaannya itu. Jika penjelasannya tidak masuk akal, maka ada petunjuk bahwa ia telah melakukan tindak pidana korupsi. Mengingat bahwa yang diperkaya itu, disamping terdakwa mungkin juga orang lain dari terdakwa atau suatu korporasi, maka harus juga diperiksa kekayaan dari orang lain atau suatu korporasi itu yang diduga memperoleh hasil dari korupsi. Disamping itu, menurut putusan Mahkamah Agung Nomor: 951KPid1982 tanggal 10 Agustus 1982 dan Nomor: ; 98 Martiman Prodjohamidjojo, op.cit. hal. 65. 99 Marwan Effendy, 4,op.cit. hal. 103. Universitas Sumatera Utara 275KPid1983 tanggal 15 Desember 1983, kata ‘memperkaya’, dapat juga diartikan memperoleh hasil korupsi, walau hanya sebagian 100 e. Topo Santoso, Rosalita Chandra, dan kawan-kawan dalam sebuah e-book yang berjudul “ Panduan Investigasi dan Penuntutan dengan Pendekatan Hukum Terpadu”, menurut Sukardi bahwa pengertian dari memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi adalah upaya untuk mengumpulkan kekayaan yang tidak setara dengan penghasilannya atau penambahan kekayaan dari sumber yang tidak sah; ; 101 f. Topo Santoso, dan kawan-kawan juga mengutip dari Wiyono tentang pengertian lain dari memperkaya adalah perbuatan yang dilakukan untuk menjadi lebih kaya, sedangkan berdasarkan putusan pengadilan negeri Tangerang tanggal 13 Mei 1992 No. 18PidB-1992PN TNG memperkaya adalah menjadikan orang yang belum kaya menjadi kaya atau yang sudah kaya bertambah kaya 102 g. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, dalam penjelasan Pasal 1 bahwa: ; “Perkataan memperkaya diri sendiri 103 100 Ibid, hal. 104. atau orang lain atau suatu badan dalam ayat ini dapat dihubungkan dengan Pasal 18 ayat 2, yang 101 Topo Santoso, Rosalita Chandra, dan kawan-kawan, e-book Panduan Investigasi dan Penuntutan dengan Pendekatan Hukum Terpadu diakses dari http:www.cifor.orgpublications pdf_files BooksBSinaga1101.pdf, pada 23 Maret 2016, pukul 01:46 WIB. 102 Ibid. 103 Tim IT dari Pengadilan Negeri Kayagung, Sumatera Selatan, “Pemahaman Unsur Memperkaya, Dan Atau Menguntungkan Pada Tindak Pidana Korupsi”, mengutip pendapat Oemar Seno Adji yang telah menulis penafsiran sendiri mengenai pengertian tentang perbuatan “Memperkaya diri “, yang sering terlihat dalam beberapa perkara dengan melepaskan hubungannya dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 pada hakikatnya adalah diluar konteks perundang-undangan dan penjelasan resminya. Dari pendapat Oemar Seno Adji, tidak mempermasalahkan kemungkinan timbulnya kasus korupsi yang pada saat disidik harta kekayaan yang ratusan juta rupiah telah habis dipakai berjudi atau berfoya-foya oleh tersangka, kalau terjadi hal seperti itu dengan berpegang pada pendapat Oemar Seno Adji, apakah unsur “Memperkaya diri. “ masih dapat dibuktikan ? Dalam kaitan antara unsur “memperkaya ”, diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, penjelasan dan undang-undang itu sendiri, menggunakan kata “ dapat dihubungkan “ berarti tidak mesti selalu harus dihubungkan, jadi bila terdapat cukup bukti bahwa tersangkaterdakwa atau Universitas Sumatera Utara memberi kewajiban kepada terdakwa untuk memberikan keterangan tentang sumber kekayaannya sedemikian rupa, sehingga kekayaan yang tak seimbang dengan penghasilannya atau penambahan kekayaan tersebut, dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi lain bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.” h. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, pengertian “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” dapat dikaitkan dengan Pasal 37A 104 i. Putusan Mahkamah Kosntitusi Nomor 44PUU-XI2013, mengenai unsur memperkaya: ayat 1 dan ayat 2 Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001; “Adapun perbuatan yang dilakukan menurut unsur “memperkaya” diri sendiri atau orang lain atau korporasi adalah: 1 Memperkaya diri sendiri, artinya bahwa dengan perbuatan melawan hukum itu pelaku menikmati bertambahnya kekayaan atau harta benda miliknya sendiri; 2 Memperkaya orang lain, artinya akibat perbuatan melawan hukum dari pelaku, ada orang lain yang menikmati bertambahnya kekayaannya atau bertambahnya harta bendanya. Jadi disini yang diuntungkan bukan pelaku langsung; 3 Memperkaya korporasi, atau mungkin juga yang mendapat keuntungan dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku adalah suatu korporasi, yaitu kumpulan orang atau kumpulan kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.” orang lain atau suatu Badan “telah memperoleh” harta uang barang dan hasil perbuatan tersangkaterdakwa yang melawan hukum, maka pembuktian unsur ini sudah cukup; Kata-kata telah memperoleh diberi tanda kutip, sebab hasil korupsi tersebut oleh Pasal 1 ayat 1 tidak hanya dari hasil “ MengambilMenggelapkan” tetapi juga dari sumber lain misalnya “menerima hasil dari suatu pertanggungjawaban fiktif diakses dari http:www.pnkayuagung.go.idimagespnkag DokumenPEMAHAMANUNSURMEMPERKAYA.pdf , pada 22 Maret 2016, pukul 23:59 WIB. 104 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa dalam Pasal 37 A ayat1 Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan; ayat 2 Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Universitas Sumatera Utara j. Sebuah artikel yang berjudul “Pemahaman Unsur Memperkaya, Dan Atau Menguntungkan Pada Tindak Pidana Korupsi”, oleh Tim IT dari Pengadilan Negeri Kayugung, Sumatera Selatan dalam pertimbangan hukum putusan pidana kasus korupsi Pengadilan Negeri Sukabumi No.31Pid.B2008PN.Smi atas nama terpidana DRS. Endin Samsudin, MM., tertanggal 03 Juli 2008, halaman 385, yang dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No.334Pid2008PT.Bdg, tertanggal 01 September 2008 Majelis Hakim dalam kesempatan tersebut telah memberikan batasan kerugian negara senilai Rp.100.000.000.-seratus juta rupiah, untuk dapat memudahkan kategoriukuran nilai ”memperkaya” sebagai suatu kriteria dalam menentukan batas dan tolok ukur yang membedakan antara kriteria unsur ”memperkaya” dengan kriteria unsur ”menguntungkan”. Dengan perkataan lain memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi tidak harus berarti terdakwa menjadi kaya atau bertambah kekayaannya atas perolehan keuangan negara tersebut. Selanjutnya, dalam pengertian kaya yang harus diperhatikan bukan saja si pelaku menjadi bertambah kekayaannya di luar apa yang semestinya ia dapatkan secara sahresmi, akan tetapi juga menyangkut nilai substansi dari jumlah uang yang ia terima sehingga dapat dikatakan si pelaku tersebut karenanya menjadi kaya. 105

4. Dapat merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara

Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 pada Pasal 1 ayat 1 huruf a: 105 Tim IT dari Pengadilan Negeri Kayagung, Sumatera Selatan, op.cit. Universitas Sumatera Utara “Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu Badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971: “Yang dimaksud dengan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan perekonomian negara ialah pelanggaran-pelanggaran pidana terhadap peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam bidang kewenangannya seperti dimaksud dalam Ketetapan MPRS No. XXIIIMPRS1966.” Sebelum frasa merugikan keuangan negara terdapat kata “dapat” yang menjadikan pasal ini masuk ke dalam delik formil sesuai penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999: “...Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.” Barda Nawawi Arief yang dikutip oleh Marwan Effendy, dengan dicantumkannya kata dapat didepan unsur merugikan keuangan negara pada Pasal 2 dan 3, merubah delik tersebut menjadi delik formil. Lebih lanjut menurut Marwan Effendy jika perubahan tersebut mengacu kepada pengertian delik formil, sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 362 106 atau 372 107 106 KUHP, op.cit, Pasal 362, Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah. 107 Ibid, Pasal 372 , Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah. KUHP, maka akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan terdakwa tidak perlu dibuktikan. Universitas Sumatera Utara Permasalahannya apakah pengertian delik formil yang dimaksudkan pada Pasal 2 dan 3 sama dengan pengertian delik dalam Pasal 362 atau 372 KUHP. Dalam Pasal 362 atau 372 KUHP , wujud barang sesuatu yang diambil atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa adalah nyata dan nilainya telah ditetapkan lebih dari Rp 250,- dalam Pasal 364 KUHP sehingga tidak perlu lagi dibuktikan apakah akibat perbuatan terdakwatersangka tersebut, korban dirugikan atau tidak. Berbeda dengan Pasal 2 dan 3 undang-undang korupsi, menurut Marwan Effendy jika keuangan negara tersebut berwujud barang sesuatu yang nyata, seperti rumah, mobil, perhiasan dan sebagainya, tidak menimbulkan permasalahan dalam memformulasikan ke dalam berkas perkara dan surat dakwaan, tetapi jika sebaliknya maka kata dapat dari rumusan Pasal 2 dan 3 harulah dikaji terlebih dulu. 108 Marwan Effendy, mengacu pada pengertian delik formil diatas, berarti kata “dapat” didalam rumusan kedua pasal ini, tidak dapat ditafsikan secara sempit, mengingat kata “dapat” padanannya adalah kata “bisa”, atau dengan kata lain “potensi”, bukan “mungkin”. Jadi kata “dapat” mengandung adanya suatu kepastian dan terukur, tidak bersifat abstrak. Untuk menentukan dapat tidaknya atau bisa tidaknya keuangan negara perlu diketahui berapa potensi dari kerugian tersebut potential loss. Artinya perkiraan besar potential loss yang ditimbulkan oleh perbuatan tersangka atau terdakwa terukur. Untuk mendapatkan ukuran potential loss tentunya diperlukan audit terlebih dahulu. 109 108 Marwan Effendy, 4, Op.cit. hal. 107. 109 Ibid, hal. 108. Universitas Sumatera Utara Pendapat hakim Mahkamah Konstitusi dalam poin konsideran Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003PUU-IV2006, yang antara lain: “Menimbang ...... bahwa kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU PTPK menyebabkan perbuatan yang akan dituntut di depan pengadilan, bukan saja karena perbuatan tersebut “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara secara nyata”, akan tetapi hanya “dapat” menimbulkan kerugian saja pun sebagai kemungkinan atau potential loss, jika unsur perbuatan tindak pidana korupsi dipenuhi, sudah dapat diajukan ke depan pengadilan. Kata “dapat” tersebut harus dinilai pengertiannya menurut Penjelasan Pasal 2 ayat 1 tersebut di atas, yang menyatakan bahwa kata ”dapat” tersebut sebelum frasa ”merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, menunjukkan bahwa tindak pidana tersebut merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi, cukup dengan dipenuhinya unsur perbuatan yang dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat. Karena itu Mahkamah dapat menerima penjelasan Pasal 2 ayat 1 sepanjang menyangkut kata ”dapat” sebelum frasa ”merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Menimbang bahwa Mahkamah berpendapat, kerugian yang terjadi dalam tindak pidana korupsi, terutama yang berskala besar, sangatlah sulit untuk dibuktikan secara tepat dan akurat. Ketepatan yang dituntut sedemikian rupa, akan menimbulkan keraguan, apakah jika satu angka jumlah kerugian diajukan dan tidak selalu dapat dibuktikan secara akurat, namun kerugian telah terjadi, akan berakibat pada terbukti tidaknya perbuatan yang didakwakan. Hal demikian telah mendorong antisipasi atas akurasi kesempurnaan pembuktian, sehingga menyebabkan dianggap perlu mempermudah beban pembuktian tersebut. Dalam hal tidak dapat diajukan bukti akurat atas jumlah kerugian nyata atau perbuatan yang dilakukan adalah sedemikian rupa bahwa kerugian negara dapat terjadi, telah dipandang cukup untuk menuntut dan memidana pelaku, sepanjang unsur dakwaan lain berupa unsur memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi dengan cara melawan hukum wederrechtelijk telah terbukti. Karena, tindak pidana korupsi digolongkan oleh undang-undang a quo sebagai delik formil. Dengan demikian, kategori tindak pidana korupsi digolongkan sebagai delik formil, di mana unsur-unsur perbuatan harus telah dipenuhi, dan bukan sebagai delik materil, yang mensyaratkan akibat perbuatan berupa kerugian yang timbul tersebut harus telah terjadi. Kata “dapat” sebelum frasa ”merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, dapat dilihat dalam arti yang sama dengan kata “dapat” yang mendahului frasa “membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang”, sebagaimana termuat dalam Pasal 387 110 110 KUHP,op.cit, Pasal 387 ayat1 Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun seorang pemborong atau ahli bangunan atau penjual bahan-bahan bangunan, yang pada waktu membuat bangunan atau pada waktu menyerahkan bahan-bahan bangunan, melakukan KUHP. Delik demikian dipandang terbukti, kalau unsur Universitas Sumatera Utara perbuatan pidana tersebut telah terpenuhi, dan akibat yang dapat terjadi dari perbuatan yang dilarang dan diancam pidana tersebut, tidak perlu harus telah nyata terjadi.” Pada bab sebelumnya telah diuraikan pengertian keuangan negara baik dari para pendapat ahli maupun dari hukum positif di Indonesia. Secara khusus, pengertian keuangan negara menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dalam penjelasannya bahwa: “Keuangan negara seperti yang dimaksud oleh Undang-undang ini meliputi juga keuangan daerah atau suatu badanbadan hukum yang menggunakan modal atau kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat dengan dana-dana yang diperoleh dari masyarakat tersebut untuk kepentingan sosial, kemanusiaan dan lain-lain. Tidak termasuk keuangan negara dalam undang-undang ini ialah keuangan dari badanbadan hukum yang seluruhnya modal diperoleh dari swasta misalnya P.T., Firma, CV. dan lain- lain.” Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, pada penjelasan umum, yaitu: “Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena : 1 berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah; 2 berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik NegaraBadan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara. Sedangkan yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.” sesuatu perhuatan curang yang dapat membahayakan amanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang; ayat2 Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa yang bertugas mengawasi pemhangunan atau penyerahan barang-barang itu, sengaja membiarkan perbuatan yang curang itu. Universitas Sumatera Utara Marwan Effendy melihat penafsiran autentik tentang pengertian keuangan negara dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 lebih luas. Perbedaannya terletak pada suatu badan hukum yang mempergunakan kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat, dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tidak dicantumkan lagi. Sehingga dalam hal ini menurut Marwan bagi bank yang menyelewengkan atau menyalahgunakan dana yang dihimpun dari nasabah atau masyarkat tidak dapat dijerat lagi dengan undang- undang tindak pidana korupsi, hanya dijerat oleh delik-delik yang dirumuskan dalam Undang-Undang Perbankan. 111 111 Marwan Effendy 4,op.cit. hal. 106. Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 di atas, dapat dilihat frasa kekayaan “yang dipisahkan” atau “yang tidak dipisahkan”. Pengertian kekayaan negara yang dipisahkan dan tidak dipisahkan mengalami benturan dalam dua peraturan perundang-undangan. Diantaranya dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara untuk selanjutnya disebut dengan Undang-Undang BUMN dan UUKN. Undang-Undang BUMN, mensyaratkan keuangan negara yang dipisahkan dalam Pasal 1 angka 10, bahwa: “Kekayaan negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero danatau Perum serta perseroan terbatas lainnya.” Universitas Sumatera Utara Dalam Penjelasan Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang BUMN, yang dimaksud dengan dipisahkan adalah: “Pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.” Dengan demikian, kekayaan negara yang dipisahkan yang dijadikan modal untuk BUMN berdasarkan pengertian diatas adalah tunduk pada hukum perdata privat, bukan masuk dalam ranah pidana dalam hal ini korupsi. Berbeda dengan UUKN dalam Pasal 2 huruf g, menyatakan bahwa keuangan negara salah satu bentuknya adalah: “Kekayaan negarakekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara perusahaan daerah.” Dalam arti bahwa, undang-undang ini menghendaki berlakunya hukum pidana publik dalam lingkup keuangan negara, yang mana kekayaan negara baik yang dipisahkan atau tidak adalah bagian dari hukum publik. Hal ini menjadi perdebatan, karena pasal yang kontradiktif ini dapat menyebabkan penafsiran yang berbeda-beda terutama dalam menjerat para koruptor yang melakukan korupsi dalam ruang lingkup Badan Usaha Milik NegaraBadan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara. Pada tanggal 18 September 2014, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan atas permohonan pengajuan gugatan yang diajukan oleh pemohon yang Universitas Sumatera Utara berasal dari Center for Strategic Studies University of Indonesia CSS-UI yang diwakili oleh Prof. Dr. Arifin P. Soeria Atmadja, S.H.,dan kawan-kawan, dengan register Putusan Nomor: 48PUU-XI2013, dalam konsideran poin 3.17: “Menurut Mahkamah, adanya ketentuan Pasal 2 huruf g dan huruf i UU 172003 bertujuan agar negara dapat mengawasi bahwa pengelolaan keuangan negara dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945. Konsekuensi dari hal tersebut adalah bahwa BHMN PT atau badan lain yang menggunakan fasilitas dari pemerintah atau menggunakan fasilitas dari negara haruslah tetap dapat di awasi sebagai konsekuensi dari bentuk pengelolaan keuangan negara yang baik dan akuntabel.” Melalui putusan itu, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa status kekayaan negara yang bersumber dari keuangan negara dan dipisahkan dari APBN untuk disertakan menjadi penyertaan modal di BUMND atau badan-badan lain tetap menjadi bagian dari rezim keuangan negara. W. Riawan Tjandra, berpendapat bahwa pengertian yang dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang BUMN diatas sebenarnya harus melihat sumber kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN, yang menunjukkan bahwa uang negara tersebut harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai uang negara yang bersumber dari APBN. BUMN hanya sebatas mengelolanya tetapi sifat kekayaan negara yang bersumber dari APBN kiranya tidak menghilangkan karakteristiknya sebagai uang negara, meskipun dikelola oleh BUMN. 112 Dengan demikian, kekayaan negara yang dipisahkan sebagai bentuk penyertaan modal bagi BUMNBUMD masih dalam lingkup keuangan negara sesuai dengan UUKN, yang mana hukum pidana masih dapat diberlakukan untuk 112 W. Riawan Tjandra, op.cit, hal. 10. Universitas Sumatera Utara menilai kerugian keuangan negara yang diakibatkan dari tindak pidana korupsi yang dilakukan direksi atau pegawai dari BUMNBUMD tersebut. Selanjutnya pengertian kerugian keuangan negara, yang tercantum dalam Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara: “Kerugian NegaraDaerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Demikian dengan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan BPK: “Kerugian NegaraDaerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” Dalam Penjelasan Pasal 32 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yang dimaskud dengan : “Yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik 113 “Kerugian negara dapat terjadi karena pelanggaran hukum atau kelalaian pejabat negara atau pegawai negeri bukan bendahara dalam rangka pelaksanaan kewenangan administratif atau oleh bendahara dalam rangka pelaksanaan kewenangan kebendaharaan. Ganti rugi sebagaimana dimaksud didasarkan pada ketentuan Pasal 35 yang ditunjuk.” Lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 59 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara: 114 113 Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 17PMK.012008 Tentang Jasa Akuntan Publik, pada Pasal 1 angka 2, menyebutkan bahwa akuntan Publik adalah akuntan yang telah memperoleh izin dari Menteri untuk memberikan jasa sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini. Undang-undang Nomor 17 Tahun 114 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, bahwa dalam Pasal 35 ayat 1 setiap pejabat negara dan pegawai negeri bukan bendahara yang melanggar Universitas Sumatera Utara 2003 tentang Keuangan Negara. Penyelesaian kerugian negara perlu segera dilakukan untuk mengembalikan kekayaan negara yang hilang atau berkurang serta meningkatkan disiplin dan tanggung jawab para pegawai negeripejabat negara pada umumnya, dan para pengelola keuangan pada khususnya.” Sebuah naskah publikasi yang berjudul “Penggalian Putusan Hakim: Penerapan Unsur Memperkaya DanAtau Menguntungkan Dalam Undang- Undang Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan Putusan Pemidanaan Tindak Pidana Korupsi” oleh Anto Widi Nugroho, bahwa mengenai unsur “merugikan keuangan negara” aparat penegak hukum bekerjasama dengan instansi terkait yaitu BPK atau BPKP yang membantu penyidik menghitung kerugian negara. Namun demikian, kerugian bagi keuangan atau perekonomian negara kerugian negara bukanlah menjadi syarat untuk terjadinya tidak pidana korupsi Pasal 2 secara sempurna, melainkan akibat kerugian negara dapat timbul dari perbuatan memperkaya diri dengan melawan hukum tersebut. Ukurannya dapat menimbulkan kerugian yang didasarkan pada pengalaman dan logikaakal orang pada umumnya dengan memperhatikan berbagai aspek sekitar perbuatan yang dikategorikan memperkaya diri tersebut. Oleh karena kerugian ini tidak perlu timbul, maka cukup menurut akal orang pada umumnya bahwa dari suatu perbuatan dapat menimbulkan kerugian negara tanpa merinci dan menyebut adanya bentuk dan jumlah kerugian negara tertentu sebagaimana pada tindak hukum atau melalaikan kewajibannya baik langsung atau tidak langsung yang merugikan keuangan negara diwajibkan mengganti kerugian dimaksud; ayat 2 setiap orang yang diberi tugas menerima, menyimpan, membayar, danatau menyerahkan uang atau surat berharga atau barang- barang negara adalah bendahara yang wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada Badan Pemeriksa Keuangan; ayat 3 setiap bendahara sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian keuangan negara yang berada dalam pengurusannya; ayat 4 ketentuan mengenai penyelesaian kerugian negara diatur di dalam undang-undang mengenai perbendaharaan negara. Universitas Sumatera Utara pidana materiil. Untuk membuktikan bahwa hal itu dapat merugikan negara, semua bergantung pada kemampuan hakim dalam menganalisis dan menilai aspek-aspek yang menyertai atau ada di sekitar perbuatan dalam rangkaian peristiwa yang terjadi. 115

1. Setiap orang.

Setelah menguraikan penjelasan delik Pasal 2, demikian juga dengan delik pada Pasal 3 yang juga mensyaratkan adanya unsur kerugian keuangan dan atau perekonomian negara seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dengan unsur- unsurnya : Pengertian subyek hukum dalam Pasal 3 ini berbeda dengan Pasal sebelumnya, karena adanya unsur “kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan”, mempersempit makna setiap orang. Disini titik beratnya hanya pada pegawai negeri yang perbuatannya terkait dengan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya. 116 115 Anto Widi Nugroho, Penggalian Putusan Hakim: Penerapan Unsur Memperkaya DanAtau Menguntungkan Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan Putusan Pemidanaan Tindak Pidana Korupsi diakses dari Penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, bahwa: “Undang-undang ini memperluas pengertian Pegawai Negeri, yang antara lain adalah orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang mempergunakan modal atau fasilitas dari Negara atau masyarakat. Yang dimaksud dengan fasilitas adalah perlakuan istimewa yang diberikan dalam berbagai bentuk, misalnya bunga pinjaman yang tidak wajar, harga yang tidak wajar, pemberian izin yang eksklusif, termasuk keringanan bea masuk atau pajak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” http:eprints.ums.ac.id31461 12Naskah_Publikasi.pdf, pada tanggal 23 Maret 2016, pukul 00:03 WIB. 116 Marwan Effendy, 4, op.cit.hal 113. Universitas Sumatera Utara Elwi Danil berpandangan apabila dikaitkan dengan kedudukan pegawai negeri yang dimaksud, titik pangkal persoalan subyek hukum dalam tindak pidana, sebenarnya terletak pada rumusan mengenai pegawai negeri dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 yang membuat pembatasan pegawai negeri sebagai subyek tindak pidana korupsi, sesuai dengan penjelasan Pasal 2, bahwa pengertian pegawai negeri dalam pasal ini tidak hanya mencakup pengertian pegawai negeri dalam Pasal 92 117 K.U.H.P. dan pengertian pegawai negeri menurut hukum Administrasi seperti diatur dalam Undang-undang No. 18 tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepegawaian, yang meliputi orang- orang yang menerima gajih atau upah dari keuangan negara atau daerah, tetapi selain dari itu juga meliputi orang-orang yang menerima gajih atau upah dari suatu badanbadan hukum yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lainnya yang mempergunakan modal dan kelonggaran- kelonggaran dari negara atau masyarakat dengan dana-dana yang diperoleh dari masyarakat tersebut untuk kepentingan sosial, kemanusiaan dan lain-lain . 118

2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi. Marwan Effendy, berpandangan bahwa pengertian menguntungkan diri sendiri adalah menambah harta kekayaan atau harta benda atau dapat juga 117 KUHP, op.cit, Pasal 92 ayat 1 Yang disebut pejabat, termasuk juga orang-orang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum, begitu juga orang- orang yang bukan karena pemilihan, menjadi anggota badan pembentuk undang-undang, badan pemerintahan, atau badan perwakilan rakyat, yang dibentuk oleh pemerintah atau atas nama pemerintah; begitu juga semua anggota dewan subak, dan semua kepala rakyat Indonesia asli dan kepala golongan Timur Asing, yang menjalankan kekuasaan yang sah; ayat 2 Yang disebut pejabat dan hakim termasuk juga hakim wasit; yang disebut hakim termasuk juga orang-orang yang menjalankan peradilan administratif, serta ketua-ketua dan anggota-anggota pengadilan agama; ayat 3 Semua anggota Angkatan Perang juga dianggap sebagai pejabat. 118 Elwi Danil, op.cit, 106. Universitas Sumatera Utara diartikan telah menikmati hasil-hasil yang diperolehnya dari perbuatan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan. Pendapat Sudarto yang dikutip oleh Marwan Effendy, menguntungkan diri sendiri adalah unsur batin yang menentukan arah dari perbuatan penyalahgunaan dan sebagainya. Adanya unsur ini harus pula ditentukan secara obyektif dengan memperhatikan segala keadaan lahir yang menyertai perbuatan tersangka. 119 Unsur “menguntungkan diri sendiri”, menurut Martiman Prodjohamidjojo, disini adalah sama dengan pengertian dan penafsirannya dengan “menguntungkan diri sendiri” yang tercantum dalam Pasal 378 KUHP 120 . Meskipun tidak ada unsur melawan hukum, akan tetapi unsur itu ada secara diam-diam, sebab tiap perbuatan delik, selalu ada unsur melawan hukum “menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum” berarti “menguntungkan diri sendiri tanpa hak”. Unsur “orang lain” dan atau “korporasi” masih sama maknanya dengan Pasal 2. 121 Pengertian lainnya dalam Topo Santoso, Rosalita Chandra, dan kawan- kawan, frasa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menurut Sukardi adalah upaya untuk mengumpulkan kekayaan yang tidak setara dengan penghasilannya atau penambahan kekayaan dari sumber yang tidak sah. Pengertian lain dari ‘menguntungkan’ menurut Wiyono adalah dengan mendapatkan untung, yaitu pendapatan yang diperoleh lebih besar dari 119 Marwan Effendy, 4, op.cit. 120 KUHP, op.cit, Pasal 378, Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang rnaupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun. 121 Martiman Prodjohamidjojo, op.cit. hal. 69 Universitas Sumatera Utara pengeluaran, di sini terlihat bahwa menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi merupakan tujuan dari pelaku tindak pidana korupsi. 122 Selain itu, dalam artikel yang disusun oleh Tim IT dari Pengadilan Negeri Kayagung, Sumatera Selatan,unsur “menguntungkan diri atau orang lain atau suatu korporasi”, artinya adanya fasilitas atau kemudahan sebagai akibat dari perbuatan menyalahgunakan wewenang. Tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi ialah suatu kehendak yang ada dalam pikiran atau alam batin si pembuat yang ditujukan untuk memperoleh suatu keuntungan menguntungkan bagi dirinya sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Memperoleh suatu keuntungan atau menguntungkan artinya memperoleh atau menambah kekayaan dari yang sudah ada. Kekayaan dalam arti ini tidak semata- mata berupa benda atau uang saja, tetapi segala sesuatu dapat dinilai dengan uang termasuk hak. Tujuan untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain dan atau suatu badan dalam suatu tindak pidana korupsi adalah merupakan unsur batin yang menentukan arah dari perbuatan penyalahgunaan kewenangan tersebut. Adanya unsur ini harus pula ditentukan secara objektif dengan memperhatikan segala keadaan lahir yang menyertai perbuatan tersangka itu ante factum dan post factum. 123 Jika dikaitkan unsur menguntungkan dalam Pasal 3 dengan unsur memperkaya dalam Pasal 2, dalam artikel tersebut juga dinyatakan bahwa 122 Topo Santoso, Rosalita Chandra, dan kawan-kawan, op.cit. 123 Tim IT dari Pengadilan Negeri Kayagung, Sumatera Selatan, op.cit. Universitas Sumatera Utara diantara kedua unsur tersebut memiliki pengertian yang multitafsir, sebagai berikut : 124 a. Unsur “memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi” Pasal 2 ayat 1 dan unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” Pasal 3, merupakan unsur yang bersifat alternatif sehingga tidak perlu pelaku tindak pidana korupsi harus menikmati sendiri uang hasil tindak pidana korupsi karena cukup si pelaku memperkaya orang lain atau menguntungkan orang lain; b. Unsur “memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi” lebih sulit membuktikannya karena harus dapat dibuktikan tentang bertambahnya kekayaan pelaku korupsi sebelum dan sesudah perbuatan korupsi dilakukan. Namun secara teoritis, unsur “memperkaya diri” sudah dapat dibuktikan dengan dapat dibuktikannya bahwa pelaku tindak pidana korupsi berpola hidup mewah dalam kehidupan sehari-harinya, sedangkan unsur “menguntungkan diri atau orang lain atau suatu korporasi”, artinya padanya ada fasilitas atau kemudahan sebagai akibat dari perbuatan menyalahgunakan wewenang; c. Unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” yaitu adanya penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Di sini tidak ada perhitungan sebelum menjabat dan sesudah menjabat. Subyeknya dijelaskan ialah pejabat publik bukan orang swasta. Perhitungan jumlah kerugian negara juga harus dengan akuntan publik dan berapa besar uang pengganti yang harus dibayar memerlukan perhitungan yang cermat 124 Ibid. Universitas Sumatera Utara dibuktikan dengan alat bukti yang ada. Jika dilihat penjelasan Pasal 32 ayat 1 maka juga harus dengan perhitungan oleh akuntan publik. Hakim pun harus memakai pertimbangan obyektif dengan hati nuraninya, dengan memperhatikan apa yang telah terbukti di sidang pengadilan. Dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971, unsur menguntungkan ini terdapat dalam Pasal 1 ayat 1 huruf b: “Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu Badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.” Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971: “Tindak pidana korupsi ini memuat sebagai perbuatan pidana unsur menyalah gunakan kewenangan yang ia peroleh karena jabatannya, yang semuanya itu menyerupai unsur dalam Pasal 52 125

3. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana, yang ada

padanya, karena jabtan atau kedudukan K.U.H.P. yang selain dari itu memuat pula unsur yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara serta dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, tidak memberikan defenisi mengensi unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi. Martiman Prodjohamidjojo, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “menyalahgunakan kewenangan”, dapat ditafsirkan bahwa orang dimaksudkan adalah seorang pejabat yang memiliki suatu kekuasaan, yang perbuatan itu 125 KUHP, Op.cit, Pasal 52, Bilamana seorang pejabat karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya , atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga. Universitas Sumatera Utara dilakukan dengan melawan hukum. Atau dengan kata lain, ia dengan wewenangnya “berlindung” dibawah kekuasaan hukum. Namun, frasa “menyalahgunakan wewenang” tidak hanya terdapat dalam lingkup hukum publik dalam hal ini hukum pidana, tetapi juga berlaku dalam hukum perdata dan administrasi negara. Yang dimaksud dengan “kesempatan”, ialah keleluasaan, memperoleh peluang, mumpung bahasa Jawa. Yang dimaksud dengan “sarana”, ialah alat, media, segala sesuatu yang dipakai sebagai alat dalam mencapai tujuan atau maksud. Baik kata-kata “menyalahgunakan”, “kewenangan”, “kesempatan”, atau “sarana”, semuanya dikaitkan karena jabatan atau kedudukan yang dijabatnya atau yang diperolehnya. Pengertian “jabatan”, berasal dari kata jabat yang berarti memegang, atau melakukan pekerjaan, dalam fungsinya sedangkan “jabatan” berarti pekerjaan atau tugas, fungsi ataupun dinas. 126 Marwan Effendy, memberikan defenisi “menyalahgunakan wewenang” yang berarti menyalahgunakan kewajiban yang dibebankan oleh atau yang melekat pada jabatan atau kedudukan yang menunjukkan kepada “posisi” subyek hukum selaku pegawai negeri di institusi tempatnya bekerja. Menyalahgunakan kesempatan berarti menyalahgunakan peluang atau waktu yang ada yang seharusnya dipergunakan menjalankan kewajibannya sesuai dengan jabatan dan kedudukan yang telah digariskan oleh tujuan pokok dan fungsi institusi. Menyalahgunakan sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan berarti menyalahgunakan atribut yang menjadi instrumen kewajiban sesuai dengan tujuan pokok dan fungsi institusi. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau 126 Martiman Prodjohamidjojo, op.cit. hal .70-71 Universitas Sumatera Utara sarana yang ada terkait dengan posisinya selaku pegawai negeri di insitusi itu secara salah, dapat disebut dengan “misbruik van gezag atau van bevoegheid”. 127 “....Ajaran tentang “Autonomie van het Materiele Strafrecht hak otonomi hukum pidana materiel” diterima oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang selanjutnya dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung R.I. No. 1340 KPid1992 tanggal 17 Pebruari 1992 sewaktu adanya perkara tindak pidana korupsi yang dikenal dengan perkara “Sertifikat Ekspor” dimana Drs. Menyok Wijono didakwa melanggar Pasal 1ayat 1 sub b Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 sebagai Kepala Bidang Ekspor Kantor Wilayah IV Direktorat Jenderal Bea Cukai Tanjung Priok, Jakarta. Oleh Mahkamah Agung R.I. dilakukan penghalusan hukum rechtsvervijning pengertian yang luas dari Pasal 1 ayat 1 sub b Undang- Undang No. 3 Tahun 1971 dengan cara mengambil alih pengertian “menyalahgunakan kewenangan” yang ada pada Pasal 52 ayat 2 huruf b Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut atau yang dikenal dengan detournement de pouvoir. Memang pengertian detournement de pouvoir dalam kaitannya dengan Freies Ermessen Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 979 KPID2004 tanggal 10 Juni 2005, yang dalam poin menimbang halaman 87 sampai 88: 128 1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan ; ini melengkapi perluasan arti berdasarkan Yurisprudensi di Prancis yang menurut Prof. Jean Rivero dan Prof. Waline, pengertian penyalahgunaan kewenangan dalam Hukum Administrasi dapat diartikan dalam 3 wujud, yaitu : 2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lain ; 127 Marwan Effendy, 3, op.cit.hal 114. 128 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006, Secara bahasa Freies Ermessen berasal dari kata frei artinya bebas, lepas, tidak terikat dan merdeka. Freies artinya orang yang bebas, tidak terikat dan merdeka. Sedangkan Ermessen berarti mempertimbangkan, menilai, menduga dan memperkirakan. Freies Ermessen berarti orang yang memiliki kebebasan untuk menilai, menduga dan mempertimbangkan sesuatu. Istilah ini kemudiaan secara khas digunakan dalam bidang pemerintahan, sehingga Freies Ermessen diskresionare diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang gerka bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harrus terikat sepenuhnya pada undang-undang. Universitas Sumatera Utara 3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.” Demikian banyaknya pendapat mengenai penyalahgunanan wewenang yang tidak hanya dalam satu ruang lingkup hukum, tetapi bisa masuk dalam beberapa ruang lingkup hukum lain yang saling berhubungan.

4. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

Penjelasan unsur ini sama dengan apa yang telah diuraikan dalam Pasal 2.

B. Pemeriksaan Terhadap Kerugian Keuangan Negara