Keaslian Penulisan Tinjauan Kepustakaan

Secara teoritis, dengan mengkaji berbagai batasan permasalahan diatas dapat memberikan sedikit masukan dan sumbangan pemikiran dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi yang terfokus pada pengembalian kerugian keuangan negara yang saat ini sedang gencar dibicarakan para ahli hukum, agar secara nyata penegakan hukum tindak pidana korupsi itu dapat mengembalikan stabilitas perekonomian bangsa yang sempat merosot akibat tindak pidana tersebut. Selain itu, apa yang dituangkan dalam skripsi ini yang juga diambil dari sumber-sumber lain, yang dapat membantu dalam pemahaman lebih dalam mengenai pengembalian kerugian keuangan negara. Secara praktis, manfaat dari skripsi ini kiranya dapat memberikan informasi mengenai upaya pengembalian kerugian keuangan negara oleh lembaga KPK kepada semua kalangan, melalui uraian konsep kerugian keuangan negara kaitannya dengan tindak pidana korupsi. Selain dari itu, juga memberikan sedikit uraian mengenai kewenangan-kewenangan KPK dalam upaya pengembalian kerugian keuangan negara, termasuk pada hubungan kerja sama KPK dengan lembaga dalam dan luar negeri. Skripsi ini memang tidaklah mungkin dapat dengan sempurna diselesaikan dan dirampungkan dengan baik. Oleh karena itu, kiranya apa yang menjadi manfaat penulisan skripsi ini baik secara teoritis maupun praktis dapat tersampaikan walaupun dengan berbagai kelemahan dan kekurangan dalam kelengkapannya.

E. Keaslian Penulisan

Dalam membuktikan keaslian penulisan ini, dengan mengajukannya terlebih dahulu ke Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Universitas Sumatera Utara yang mana setelah melalui beberapa tahapan pemeriksaan dinyatakan melalui surat tertanggal 08 Januari 2016 bahwa tidak ada judul skripsi yang sama dengan judul skripsi ini yaitu Peran Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Pengembalikan Kerugian Keuangan Negara Dari Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, dengan memeriksa dan menelusuri melalui media elektronik dalam hal ini internet untuk memastikan lebih lanjut keaslian penulisan skripsi ini, apakah ada yang sama secara substansi dan segala pembahasannya. Setelah melihat bahwa tidak ada yang sama, maka dengan mengambil judul dan membahasnya melalui permasalahan yang dirangkum sendiri melalui pemikiran dan diskusi yang dilakukan. Pembahasan yang dituangkan dalam skripsi ini juga tidak terlepas dari teori-teori dan sumber-sumber yang telah ada sebelumnya yang secara valid menjelaskan lebih dalam lagi mengenai permasalahannya.

F. Tinjauan Kepustakaan

1. Tindak Pidana Korupsi

Badan Eksekutif Bank Dunia menyetujui strategi antikorupsi pada bulan September 1997 36 , yang mendefinisikan korupsi sebagai “pemanfaatan fasilitas publik untuk keuntungan pribadi.” 37 36 Asian Development Bank, Anti Korupsi Dan Integritas, diakses dari http:www.adb.orgsitesdefaultfilesinstitutional-document33272filesanticorruption-and- integrity-id.pdf, pada tanggal 7 Desember 2015, pukul 22:07 WIB, bahwa Pendekatan Bank Dunia mendambakan suatu strategi yang seimbang untuk memerangi korupsi yang bertumpu pada empat tonggak: i mencegah penipuan dan korupsi dalam proyek-proyek yang dibiayai oleh Bank Dunia; ii membantu negara-negara yang meminta bantuan Bank Dunia dalam upaya mereka untuk mengurangi korupsi; iii mempertimbangkan korupsi secara lebih eksplisit dalam strategi bantuan negara, dialog tentang kebijakan, analisa, serta pemilihan dan perancangan proyek; serta iv lebih menyuarakan dan mendukung untuk upaya-upaya internasional untuk mengurangi korupsi. 37 Jonathan R. Pincus, Jeffrey A. Winters, Membongkar Bank Dunia Reinventing the World Bank, Jakarta: Cornell University Press, Ithaca and London, Djambatan, hal.222. Universitas Sumatera Utara Fockema Andreae yang dikutip oleh Jur Andi Hamzah dalam bukunya “Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional”, kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari asal kata corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Prancis, yaitu corruption, dan Belanda, yaitu corruptie korruptie. Arti harafiah dari kata ini ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah seperti dapat dibaca dalam The Lexicon Webster Dictionary tahun 1978: 38 “corruption L, corruptio n-, The act corrupting or the state of being corrupt; putrefactive decomposition; putrid matter; moral perversion; depravity, perversion of integrity; corrupt or dishonest proceedings, bribery; perversion from a state of purity; debasement, as of a language; a debased from a world korupsi, dalam bahasa Latin, korupsi –kata benda-, perbuatan merusak atau negara yang menjadi korup; keadaan yang semakin membusuk; masalah yang buruk; perbuatan moral yang tak wajar; bejad moral; berlawanan dengan integritas; buruk atau cara kerja yang tidak jujur; penyuapan; perbuatan yang tak wajar dari apa yang menjadi dasar negara; kehinaan, dalam suatu istilah; perbuatan yang dipandang rendah oleh dunia.” Istilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata Bahasa Indonesia itu, disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dikutip oleh Jur 38 Jur Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007, hal. 4-6. Universitas Sumatera Utara Andi Hamzah, bahwa korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. Pengertian KKN Korupsi Kolusi dan Nepotisme dimuat dalam Pasal 1 butir 3, 4, dan 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme. Dalam pasal 1 butir 3 dimuat pengertian korupsi sebagai berikut : “Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana korupsi.” Ermansjah Djaja, mengutip beberapa defenisi korupsi dari para ahli seperti: 39 a. Menurut Wijowasito sebagai penyusun Kamus Umum Belanda Indonesia, corruptie yang juga disalin menjadi corruptien dalam Bahasa Belanda mengandung arti perbuatan korup, penyuapan. b. Menurut Gurnar Mydral yaitu : “To include not only all forms of improper or selfish exercise of power and influence attached to a public office or the special position one occupies in the public life but also the activity of the bribers korupsi tersebut meliputi kegiatan- kegiatan yang tidak patut yang berkaitan dengan kekuasaan, aktivitas-aktivitas pemerintah, atau usaha-usaha tertentu untuk memperoleh kedudukan secara tidak patut, serta kegiatan lainnya seperti penyogokan”. c. Menurut Helbert Edelherz dalam bukunya yang berjudul “The Investigation of White Collar Crime, A Manual for Law Enforcement Agencies”, yang dikutip juga oleh Ermansjah Djaja, bahwa perbuatan korupsi disebutkan sebagai berikut : 39 Ermansjah Djaja, 1, Op.cit, hal. 23-25. Universitas Sumatera Utara “White collar crime : an illegal act or service of illegal acts commited by nonphysical means and by concealment or guile, to obtain or property, to avoid business or personal advantage kejahatan kerah putih: suatu perbuatan atau serentetan perbuatan yang bersifat ilegal yang tidak dilakukan secara fisik, tetapi dengan akal bulusterselubung untuk mendapatkan uang atau kekayaan serta menghindari pembayaranpengeluaran uang atau kekayaan atau untuk mendapatkan bisnis keuntungan pribadi”. d. Dalam hukum positif khususnya dalam Pasal 1 butir 1 Bab I Ketentuan Umum UU KPK disebutkan pengertian tindak pidana korupsi : “Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.” Dengan demikian dapat dijabarkan mengenai pengertian dari “Tindak Pidana Korupsi” adalah semua ketentuan umum materiil yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang diatur dalam pasal-pasal 2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,12A,12B,13,14,15,16,21,22,23 dan 24. Ermansjah Djaja mengungkapkan bahwa pada dasarnya pengertian korupsi sangat beraneka ragam, karena tergantung pada situasi dan kondisi terjadinya tindak pidana tersebut. Ada yang menyamakannya dengan penyuapan, atau menggolongkan penyuapan sebagai bentuk tindak pidana korupsi, ada pula yang Universitas Sumatera Utara memasukkan gratifikasi sebagai salah satu bentuknya juga. Selain itu, penyalahgunaan jabatan dan penyelewengan kekuasaan juga bisa dikatakan sebagai perbuatan korupsi apabila terbukti telah merugikan keuangan negara. Variasi defenisi ini juga dipengaruhi oleh perkembangan jaman dan kejahatan yang dinamis, berkembang pesat dalam masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001, tindak pidana korupsi yang dimaksud adalah: 40 a. Merugikan keuangan negara Pasal 2, Pasal 3; b. Penyuapan Pasal 5 ayat 1 huruf a dan b, Pasal 5 ayat 2, Pasal 6 ayat 1 huruf a dan b, Pasal 6 ayat 2, Pasal 11, Pasal 12 huruf a, b, c, dan d,Pasal 13; c. Penggelapan dalam jabatan Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, b, dan c; d. Pemerasan Pasal 12 huruf e, g, f; e. Perbuatan curang Pasal 7 ayat 1 huruf a, b, c dan d, Pasal 7 ayat 2, Pasal 12 huruf h; f. Benturan kepentingan dalam pengadaan Pasal 12 huruf i; g. Gratifikasi Pasal 12B j.o Pasal 12C. Disamping itu istilah korupsi, oleh Sudarto dalam buku “Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia”, yang dikutip oleh Martiman Prodjohamnido dalam bukunya “Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi”, bahwa dibeberapa negara dipakai juga untuk menunjukkan keadaan dan perbuatan yang busuk. Korupsi banyak dikaitkan dengan ketidakjujuran seseorang di bidang 40 Ibid, hal. 54-55. Universitas Sumatera Utara keuangan. Banyak istilah dibeberapa negara, ‘gin moung’ Muangthai, yang berarti ‘makan bangsa’; ‘tanwu’ Cina, yang berarti ‘keserakahan’, ‘bernoda’; ‘oshoku’ Jepang, yang berarti ‘kerja kotor’. Selain itu, Martiman Prodjohamnido juga mengutip pendapat para ahli dan membagikannya dalam beberapa sudut pandang, yakni : 41 a. Rumusan dari sudut pandang teori pasar Jacob van Klaveren yang mengatakan bahwa seorang pengabdi negara pegawai negeri yang berjiwa korup menganggap kantorinstansinya sebagai perusahaan dagang, dimana pendapatannya akan diusahakan semaksimal mungkin; b. Rumusan yang menitikberatkan jabatan pemerintah : 1 L. Bayley, perkataan korupsi dikaitkan dengan perbuatan penyuapan yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan sebagai akibat adanya pertimbangan dari mereka yang memegang jabatan bagi keuntungan pribadi. 2 M. Mc Mullan, menyebutkan seorang pejabat pemerintahan dikatakan ‘korup’ apabila ia menerima uang yang dirasakan sebagai dorongan untuk melakukan sesuatu yang ia bisa lakukan dalam tugas jabatannya pada hal ia selama menjalankan tugasnya seharusnya tidak boleh berbuat demikian. Atau dapat berarti menjalankan kebijaksanaannya secara sah untuk alasan yang tidak benar dan dapat merugikan kepentingan umum yang menyalahgunakan kesewenangan dan kekuasaan. 41 Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Bandung: Mandar Maju, 2001, hal. 7-12. Universitas Sumatera Utara 3 J.S Nye, korupsi sebagai perilaku yang menyimpang dari kewajiban- kewajiban normal suatu peran instansi pemerintah, karena kepentingan pribadi keluarga, golongan, kawan, teman, demi mengejar status dan gengsi, atau melanggar peraturan dengan jalan melakukan atau mencari pengaruh bagi kepentingan pribadi. Hal itu mencakup tindakan seperti penyuapan memberi hadiah dengan maksud hal-hal menyelewengkan seseorang dalam keadaan pada jabatan dinasnya; nepotisme kedudukan sanak saudaranya sendiri didahulukan, khususnya dalam pemberian jabatan atau memberikan perlindungan dengan alasan hubungan asal-usul dan bukannya berdasarkan pertimbangan prestasi; penyalahgunaan atau secara tidak sah menggunakan sumber penghasilan negara untuk kepentingankeperluan pribadi. c. Rumusan korupsi dengan titik berat pada kepentingan umum Carl J. Friesrich, mengatakan bahwa pola korupsi dapat dikatakan ada apabila seseorang memegang kekuasaan yang berwenang untuk melakukan hal- hal tertentu seperti seorang pejabat yang bertanggung jawab melalui uang atau semacam hadiah lainnya yang tidak diperbolehkan oleh undang-undang; membujuk untuk mengambil langkah yang menolong siapa saja yang menyediakan hadiah dan dengan demikian benar-benar membahayakan kepentingan umum. d. Rumusan korupsi dari sisi pandang politik Mubyarto mengutip pendapat, Theodore M. Smith, dalam tulisannya “Corruption Tradition and Change”, yang kembali dikutip oleh Martiman Universitas Sumatera Utara Prodjohamnido yang menyatakan bahwa, secara keseluruhan korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai masalah politik daripada masalah ekonomi. Ia menyentuh keabsahan legitimasi pemerintah di mata generasi muda, kaum elite terdidik dan pegawai pada umumnya. Korupsi mengurangi dukungan pada pemerintah dari kelompok elite di tingkat propinsi dan kabupaten. Rumusan- rumusan pengertian korupsi pada dasarnya dapat memberi warna pada korupsi dalam hukum positif. Karena itu, maka rumusan pengertian korupsi tidak ada yang sama pada setiap negara, tergantung pada tekanan atau titik beratnya yang diambil oleh pembentuk undang-undang. Dari rumusan pengertian korupsi sebagai tercermin di atas bahwa korupsi menyangkut segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintahan, penyelewengan kekuasaan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik serta penempatan keluarga, klik golongan ke dalam dinas di bawah kekuasaan jabatannya. e. Rumusan korupsi dari sisi sosiologi Pengkajian makna korupsi secara sosiologi, jika memperhatikan uraian Syed Hussein Alatas, dalam bukunya “The Sociology of Corruption”, yang dikutip Martiman Prodjohamnido, antara lain, menyebutkan bahwa terjadi korupsi adalah apabila seorang pegawai negeri meminta pemberian yang disodorkan oleh seorang dengan maskud mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa pada kepentingan-kepentingan si pemberi. Kadang-kadang juga berupa perbuatan menawarkan pemberian uang hadiah lain yang dapat menggoda pejabat. Termasuk dalam pengertian ini juga pemerasan yakni permintaan pemberian atau Universitas Sumatera Utara hadiah seperti itu dalam pelaksanaan tugas-tugas publik. Sesungguhnya istilah itu sering pula dikenakan pada pejabat-pejabat yang menggunakan dana publik yang mereka urus bagi keuntungan mereka sendiri. Selanjutnya pendapat Hussein yang lagi dikutip oleh Martiman, Hussein menambahkan bahwa yang termasuk pula sebagai korupsi adalah pengangkatan sanak saudara, teman-teman atau kelompok politik pada jabatan-jabatan dalam kedinasan aparatur pemerintahan tanpa memandang keahlian mereka, maupun konsekuensinya pada kesejahteraan masyarakat yang dinamakan nepotisme, sehingga dapat diketahui adanya empat jenis perbuatan yang tercakup dalam istilah korupsi, yakni penyuapan, pemerasan, nepotisme dan penggelapan. Dapatlah digarisbawahi bahwa setiap pelaksanaan tugas jabatan dalam aparatur pemerintahan yang bersifat koruptif ditandai oleh adanya penyuapan, pemerasan, nepotisme dan penggelapan. Piers Bleirne dan James Messerschmidt dalam buku Elwi Danil, “Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya”, memandang korupsi sebagai sesuatu yang erat kaitannya dengan kekuasaan. Untuk itu mereka menjelaskan adanya empat tipe korupsi, yakni political bribery, political kickbacks, election fraud, dan corrupt compaign practices: 42 a. Political bribery berkaitan kekuasaan di bidang legislatif sebagai badan pembentuk undang-undang. Badan legislatif tersebut dikendalikan oleh suatu kepentingan karena dana yang dikeluarkan pada masa pemilihan umum sering berhubungan dengan aktivitas perusahaan tertentu yang bertindak sebagai pemilik perusahaan berharap agar anggota parlemen yang telah diberi dukungan dana pada 42 Elwi Danil, op.cit, hal. 9-10. Universitas Sumatera Utara saat pemiihan umum dapat membuat peraturan perundang-undangan yang menguntungkan usaha atau bisnis mereka; b. Political kickbacks adalah kegiatan korupsi berkaitan dengan sistem kontrak pekerjaan borongan antara pejabat pelaksana atau pejabat terkait dengan pengusaha yang memberikan kesempatan atau peluang untuk mendapatkan banyak uang bagi kedua belah pihak; c. Election fraud adalah korupsi yang berkaitan langsung dengan kecurangan- kecurangan dalam pemilihan umum, baik yang dilakukan oleh calon penguasa atau calon anggota parlemen, ataupun oleh lembaga pelaksana pemilihan umum; d. Corrupt campaign practice adalah korupsi yang berkaitan dengan kegiatan kampanye dengan menggunakan fasilitas negara dan bahkan juga penggunaan uang negara oleh calon penguasa yang saat itu memegang kekuasaan. Benveniste yang dikutip juga oleh Elwi Danil, juga memandang korupsi dari berbagai aspek, dengan memberikan pemahaman terhadap korupsi atas empat jenis yaitu : a. Discretionery corruption, yakni korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun tampaknya bersifat sah, bukanlah praktik-praktik yang dapat diterima oleh para anggota organisasi; 43 b. Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu; 44 43 Ibid, hal. 10. 44 Ibid, hal. 11. Universitas Sumatera Utara c. Mercenary corruption, yakni jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan; 45 d. Ideological corruption, ialah jenis korupsi illegal maupun discretionary yang dimaksud untuk mengejar tujuan kelompok. 46 Elwi Danil juga mengemukakan bahwa upaya untuk menciptakan suatu pemerintahan yang baik good governance dalam kerangka pengimplementasian kehendak rakyat seperti dimaksudkan dalam Ketetapan MPR Nomor XIMPR1998 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas KKN, secara normatif ditempuh kebijakan untuk membentuk berbagai peraturan perundang-undangan, yang diawali dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme. Selanjutnya diundangkan pula Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. 47 Menyadari akibat yang ditimbulkan oleh perilaku korupsi, maka segala daya dan upaya perlu dikerahkan untuk menanggulanginya, baik dalam bentuk sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya, termasuk di dalamnya peningkatan kapasitas kelembagaan penegak hukum. Salah satu aspek kelembagaan yang perlu didayagunakan menurut Elwi Danil untuk menanggulangi korupsi adalah dengan membentuk pengadilan khusus tindak Untuk melaksanakan amanat ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, maka pada 27 Desember 2002 diundangkanlah UU KPK. 45 Ibid, hal. 12. 46 Ibid. 47 Ibid, hal. 44. Universitas Sumatera Utara pidana korupsi. Keinginan untuk membentuk pengadilan khusus itu kemudian terwujud dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Kebijakan perundang-undangan tersebut di atas secara politis pada akhirnya dapat ditempatkan dalam kerangka upaya untuk memberantas tindak pidana korupsi. Dalam konteks itu pula, undang- undang korupsi memiliki kedudukan sebagai peraturan yang akan memayungi umbrella regulation terhadap undang-undang yang lain dalam upaya menciptakan ‘good governance’. 48 Tindak pidana korupsi bukan lagi kejahatan konvensional yang bisa di anggap remeh. Berkali-kali pemerintah berusaha mengubah dan mengganti peraturan perundang-undangan yang mengatur tindak pidana korupsi agar sesuai dengan perkembangan jaman yang cukup cepat dan dinamis. Sampai hari ini saja tercatat paling sedikit ada tujuh undang-undang khusus yang secara normatif masih berlaku, dan dapat didayagunakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Undang-undang tersebut meliputi : 49 a. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah di ubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ; b. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; 48 Ibid, hal. 45. 49 Ibid, hal. 58. Universitas Sumatera Utara c. Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi; d. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme; e. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang; f. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban; g. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa Anti-Korupsi, 2003. Menurut sejarah, dalam buku R. Wiryono, “Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, 50 50 R. Wiryono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal. 3-5. pada waktu seluruh wilayah negara Republik Indonesia dinyatakan dalam keadaan perang atas dasar Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 Tentang Pencabutan Regelingen Of De Staat Van Oorlog En Van Beleg Dan Penetapan Keadaan Bahaya jo Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Pernyataan Keadaan Perang Sebagai Yang Telah Dilakukan Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 225 Tahun 1957 Tanggal 17 Desember 1957, dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi telah dikeluarkan Peraturan Perang PusatKepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958 Nomor PrtPeperpu0131958 serta peraturan- Universitas Sumatera Utara peraturan pelaksanaannya dan Peraturan Penguasa Perang PusatKepala Staf Angkatan Laut tanggal 17 April 1958 Nomor PrtZI7. Oleh karena Peraturan Penguasa Perang tersebut hanya berlaku untuk sementara temporer, maka Pemerintah Republik Indonesia menganggap bahwa Peraturan Penguasa Perang Pusat yang dimaksud perlu diganti dengan peraturan perundang-undangan yang berbentuk undang-undang. Dengan adanya keadaan yang mendesak dan perlunya diatur segera tindak pidana korupsi, maka atas dasar Pasal 96 ayat 1 UUDS 1950 51 Di dalam penerapannya ternyata Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 masih belum mencapai hasil seperti yang diharapkan sehingga terpaksa diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971. Setelah lebih dari dua dasawarsa berlaku, , pengganti Peraturan Penguasa Perang Pusat tersebut ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan yang berbentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, yaitu dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan, Dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian atas dasar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1960 menjadi Undang- Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan, Dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. 51 Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia UU No. 7 Tahun 1950, LN 1950–56, d.u. 15 Ag 1950. Presiden Republik Indonesia Serikat, pada Pasal 96 ayat 1 Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung-djawab sendiri menetapkan undang-undang darurat untuk mengatur hal-hal penjelenggaraan-pemerintahan jang karena keadaan-keadaan jang mendesak perlu diatur dengan segera. 2 Undang-undang darurat mempunjai kekuasaan dan deradjat undang-undang; ketentuan ini tidak mengurangi jang ditetapkan dalam pasal yang berikut. Universitas Sumatera Utara ternyata Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, apalagi dengan terjadinya parktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melibatkan para penyelenggara negara dengan para pengusaha. Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika kemudian MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara saat itu menetapkan Tap. MPR Nomor XIMPR1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme yang antara lain menetapkan ‘agar diatur lebih lanjut dengan undang-undang tentang upaya pemberantasan tindak pidana korupsi’yang dilakukan dengan segera dengan melaksanakan secara konsisten Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Atas dasar Tap MPR Nomor XIMPR1998 ini, kemudian ditetapkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mulai berlaku sejak tanggal 16 Agustus 1999, dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140. Adapun Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan tidak berlaku lagi. Namun, kemudian diadakan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut dengan ditetapkannya Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang –Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134 yang mulai berlaku pada tanggal 21 November 2001. Universitas Sumatera Utara Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 oleh Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut adalah berupa : 52 a. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan tentang adanya perubahan terhadap penjelasan Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, penjelasan yang lain dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Thaun 1999, baik penjelasan umum maupun penjelasan pasal demi pasal masih tetap berlaku; b. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 rumusannya diubah dengan tidak mengacu pada pasal-pasal dalam KUHP, tetapi langsung menyebutkan unsur- unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal KUHP yang diacu. Perlu mendapat perhatian bahwa ketentuan yang masing-masing terdapat dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, semula- sebelum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001- adalah ketentuan-ketentuan yang mengaitkan dengan mencantumkan ketentuan dalam KUHP, yaitu : 53 1 Bab VIII menyangkut kejahatan terhadap penguasa umum, yakni Pasal 209, Pasal 210; 2 Bab XXI tentang perbuatan curang yakni Pasal 387, Pasal 388; 3 Bab XXVIII tentang kejahatan jabatan yakni pada Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, dan 52 R. Wiryono, op.cit, hal. 4. 53 Elwi Danil, Op.cit, hal. 26-27. Universitas Sumatera Utara Pasal 435 KUHP yang naskah aslinya mempergunakan bahasa Belanda, yaitu seperti yang terdapat dalam Wetboek van Starfrecht. Rumusan delik tindak pidana korupsi yang ada dalam KUHP, dapat dikelompokkan atas empat tindak pidana yaitu: 54 1 Kelompok tindak pidana penyuapan, Pasal 209, Pasal 210, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420; 2 Kelompok tindak pidana penggelapan, yakni Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417; 3 Kelompok tindak pidana kerakusan knevelarij atau exortion, yakni Pasal 423 dan Pasal 425; 4 Kelompok tindak pidana yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir dan rekanan, yakni terdiri dari Pasal 387, Pasal 388, Pasal 435. Dikatakan tidak mengacu lagi pada pasal-pasal dari KUHP, karena dalam Pasal 43B Undang-Undang Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sendiri telah ditentukan bahwa: “Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435 KUHP Kitab Undang-undang Hukum Pidana jis. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Berita Republik Indonesia II Nomor 9, Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang- undang Hukum Pidana Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660 sebagaimana telah beberapa 54 Ibid. Universitas Sumatera Utara kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara, dinyatakan tidak berlaku.” Tetapi meskipun demikian, putusan pengadilan dan pendapat pakar mengenai unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal KUHP yang diacu, menurut R. Wiryono, masih dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam menerapkan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12. 4 Pasal 1 angka 3 Undang –Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa di antara Pasal 12 dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 disisipkan pasal baru, yaitu Pasal 12A, 12B, 12C; 5 Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa di antara Pasal 26 dan Pasal 27 disispkan pasal baru, yaitu Pasal 26A; 6 Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dipecah menjadi Pasal 37 dan Pasal 37A; 7 Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa di antara Pasal 38 dan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 disispkan pasal baru, yaitu Pasal 38A, Pasal 38B, dan Pasal 38C; 8 Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa dalam Bab VI dan Bab VIIditambah Bab VIA yang berisi Pasal 43A; 9 Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa dalam Bab VIIsebelum Pasal 44 ditambah Pasal 43B. Universitas Sumatera Utara

2. Keuangan Negara Republik Indonesia

Karmin, dalam bukunya “Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya”, bahwa secara etimologi, keuangan berasal dari kata dasar uang. Pengertian uang secara luas adalah sesuatu yang dapat diterima secara umum sebagai alat pembayaran dalam suatu wilayah tertentu atau sebagai alat pembayaran utang atau sebagai alat untuk melakukan pembelian barang dan saja. Dengan kata lain, uang merupakan alat yang dapat digunakan dalam suatu wilayah tertentu saja. 55 Julius R. Latumaerissa, dalam bukunya “Bank dan Lembaga Keuangan Lain”, bahwa defenisi uang dilihat dari aspek hukum adalah sebagaimana kata uang yang dirumuskan oleh undang-undang atau ketentuan hukum yang berlaku. Dilihat dari aspek fungsi, uang termasuk segala sesuatu yang melaksanakan fungsi-fungsi uang dan selain itu tidak. Dua diantara fungsi-fungsi ini yaitu fungsi sebagai satuan nilai dan sebagai standar pembayaran tertunda, atau pembayaran masa depan tidak dapat membantu untuk menentukan benda yang mana yang dapat dikatakan sebagai uang dan mana yang tidak, karena benda-benda tersebut merupakan abstraksi yang dapat dihubungkan dengan banyak benda lain yang berbeda. 56 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI, uang adalah alat tukar atau standar pengukur nilai kesatuan hitungan yang sah, dikeluarkan oleh pemerintah suatu negara berupa kertas, emas, perak, atau logam lain yang dicetak 55 Karmin., Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya Jakarta: PT RajaGrafindo Persadaa, 2008, hal. 13. 56 Julius R. Latumaerissa, Bank dan Lembaga Keuangan Lain Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2011, hal. 4-5. Universitas Sumatera Utara dengan bentuk dan gambar tertentu, atau harta kekayaan, sedangkan keuangan adalah neraca dan laba rugi. 57 Terdapat cukup banyak variasi pengertian keuangan negara yang dikutip oleh W. Riawan Tjandra, dalam bukunya “Hukum Keuangan Negara”, tergantung dari aksentuasi terhadap suatu pokok persoalan dalam pemberian defenisi dari ahli di bidang keuangan negara. Berikut akan ditunjukkan beberapa pengertian dari keuangan negara: 58 a. Menurut M. Ichwan Keuangan negara adalah rencana kegiatan secara kuantitatif dengan angka-angka diantaranya diwujudkan dalam jumlah mata uang, yang akan dijadikan untuk masa mendatang, lazimnya satu tahun mendatang. b. Menurut Geodhart Keuangan negara merupakan keseluruhan undang-undang yang ditetapkan secara periodik yang memberikan kekuasaan pemerintah untuk melaksanakan pengeluaran mengenai periode tertentu dan menunjukkan alat pembiayaan yang diperlukan untuk menutup pengeluaran tersebut. Unsur-unsur keuangan negara menurut Geodhart meliputi : 1 Periodik; 2 Pemerintah sebagai pelaksana anggaran; 3 Pelaksanaan anggaran mencakup dua wewenang, yaitu wewenang pengeluaran dan wewenang untuk menggali sumber-sumber pembiayaan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran yang bersangkutan, dan; 57 Kamus Besar Bahasa Indonesia diakses dari http:kbbi.web.idakun, pada tanggapukul 21:27 WIB. 58 W. Riawan Tjandra, Hukum Keuangan Negara Jakarta: PT Grasindo, 2006, hal.1-3. Universitas Sumatera Utara 4 Bentuk anggaran negara adalah berupa suatu undang-undang. c. Menurut Glenn A. Welsch Budget adalah suatu bentuk statement dari rencana dan kebijaksanaan manajemen yang dipakai dalam suatu periode tertentu sebagai petunjuk atau blue print dalam periode itu. d. Menurut John F. Due Budget adalah suatu rencana keuangan untuk suatu periode waktu tertentu. Government budget anggaran belanja pemerintah adalah suatu pernyataan mengenai pengeluaran atau belanja yang diusulkan dan penerimaan untuk masa mendatang bersama dengan data pengeluaran dan penerimaan yang sebenarnya untuk periode yang telah lampau. Unsur-unsur defenisi John F. Due menyangkut hal-hal berikut : 1 Anggaran belanja yang memuat data keuangan mengenai pengeluaran dan penerimaan dari tahun-tahun yang sudah lalu; 2 Jumlah yang diusulkan untuk tahun yang akan datang; 3 Jumlah taksiran untuk tahun yang sedang berjalan; 4 Rencana keuangan tersebut untuk suatu periode tertentu. e. Menurut Otto Ekstein Anggaran belanja adalah suatu pernyataan rinci tentang pengeluaran dan penerimaan untuk waktu satu tahun. f. Menurut van der Kemp Universitas Sumatera Utara Keuangan negara adalah semua hak yang dapat dinilai dengan uang demikian pula segala sesuatu baik berupa uang ataupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan hak-hak tersebut. g. Seminar ICW Indonesische Comptabiliteits Wet, tanggal 30 Agustus – 5 September 1970 di Jakarta Merekomendasikan pengertian keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu, baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Pengertian keuangan negara sebagai salah satu rekomendasi seminar ICW tersebut dinilai mendekati pengertian keuangan negara menurut pendapat van der Kemp. Pengertian keuangan negara menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara selanjutnya disebut UUKN dalam Pasal 1 butir 1 adalah: “Semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara yang berkaitan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.” Pengertian keuangan negara menurut Muhammad Djafar Saidi, dalam bukunya “Hukum Keuangan Negara”, memiliki substansi yang dapat ditinjau dalam arti luas maupun dalam arti sempit. Keuangan negara dalam arti luas mencakup : 59 a. Anggaran pendapatan dan belanja negara; 59 Muhammad Djafar Saidi, Hukum Keuangan Negara Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Rajawali Pers, 2008, hal. 2-3. Universitas Sumatera Utara b. Anggaran pendapatan dan belanja daerah; c. Keuangan negara pada badan usaha milik negara badan usaha milik daerah. Sementara itu, Muhammad Djafar Saidi juga mengemukakan bahwa keuangan negara dalam arti sempit hanya mencakup keuangan negara yang dikelola oleh tiap-tiap badan hukum dan dipertanggungjawabkan masing- masing. 60 Berdasarkan penjelasan UUKN, bahwa pendekatan yang digunakan dalam merumuskan pengertian keuangan negara adalah sebagai berikut : 61 a. Dari sisi objek, yang dimaksud keuangan negara meliputi semua hak dan, kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara yang berkaitan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut; b. Dari sisi subjek, yang dimaksud keuangan negara adalah meliputi seluruh objek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, danatau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negaradaerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara; c. Dari sisi proses, keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut di atas mulai dari 60 Ibid. 61 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Universitas Sumatera Utara perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban; d. Dari sisi tujuan, keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan, dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan danatau penguasaan objek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Ruang lingkup keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UUKN adalah : a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman; b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga; c. Penerimaan negara; d. Pengeluaran negara; e. Penerimaan daerah; f. Pengeluaran daerah; g. Kekayaan negarakekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negaraperusahaan daerah; h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan danatau kepentingan umum; i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Kekayaan pihak lain yang dimaksud pada Pasal 2 poin i UUKN ditegaskan bahwa kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan oleh negara. Menurut Muhammad Djafar Saidi, bahwa ketentuan ini mengandung makna bahwa kekayaan pihak swasta, tatkala memperoleh fasilitas dari negara, merupakan keuangan negara pula. 62

3. Lembaga KPK dalam Hukum Positif di Indonesia

62 Muhammad Djafar Saidi, op.cit, hal.7. Universitas Sumatera Utara Sebelumnya di atas, telah sedikit disinggung mengenai lembaga KPK di Indonesia. Pada bagian ini, akan lebih di rinci lagi bagaimana sebenarnya lembaga anti korupsi ini di Indonesia. Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa dalam waktu paling lambat 2 dua tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian telah diwujudkan dengan UU KPK yang dipertegas dalam Pasal 2 UU KPK; “Dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut KPK- Komisi Pemberantasan Korupsi.” Ermansjah Djaja, dalam bukunya “Memberantas Korupsi Bersama KPK: Kajian Yuridis Normatif UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 Versi UU Nomor 30 Tahun 2002”, bahwa penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen, serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya secara optimal, intensif, efektif, profesional, dan berkesinambungan. Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, Pemerintah Indonesia telah meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi. Berbagai kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis Universitas Sumatera Utara Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XIMPR1998 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Berdasarkan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, badan khusus tersebut selanjutnya disebut KPK, memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan 63 , penyidikan 64 , dan penuntutan 65 , sedangkan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan pertanggungjawaban, tugas dan wewenang serta keanggotaannya diatur dengan undang-undang. Pada saat sekarang pemberantasan tindak pidana korupsi sudah dilaksanakan oleh berbagai institusi seperti kejaksaan 66 dan kepolisian 67 63 M. Yahya Harahap, 1, op.cit, hal. 101, bahwa penyelidikan berarti serangkaian tindakan mencari dan menemukan sesuatu keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan kejahatan dan pelanggaran tindak pidana atau yang diduga sebagai perbuatan tindak pidana. 64 Ibid, hal. 109, bahwa Pasal 1 butir 2, penyidikan berarti serangkaian tindakan yang dilakukan pejabatpenyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya. 65 KUHP dan KUHAP Beserta Penjelasannya Bandung: Citra Umbara, 2010, dalam Pasal 1 butir 7, menuangkan pengertian penuntut dalam hal ini penuntutan-kata kerja, bahwa penuntut adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. 66 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, pada Pasal 2 ayat 1 kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam undang-undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain bnerdasarkan undang-undang. Pustaka Yustisia, cet. Kesatu, 2010, hal. 63, pada Pasal 1 ayat 1 kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundangan-undangan. 67 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, pada Pasal 1 butir 1 bahwa Kepolisian adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. dan badan-badan lain yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, pengaturan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam undang-undang Universitas Sumatera Utara ini dilakukan secara berhati-hati agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dengan berbagai instansi tersebut. 68 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 pada dasarnya bersifat menambah atau melengkapi hukum pidana yang telah ada dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas KKN. Dengan adanya UU KPK, maka ketentuan hukum korupsi dalam hal penanganan tindak pidana korupsi telah mengalami kemajuan yang luar biasa dan jauh meninggalkan hukum pidana khusus lainnya. 69 Berdasarkan penjelasan UU KPK, bahwa dalam proses pembentukan KPK, tidak kalah pentingnya adalah sumber daya manusia yang akan memimpin dan mengelola KPK. Undang-undang ini memberikan dasar hukum yang kuat sehingga sumber daya manusia tersebut dapat konsisten dalam melakukan tugas dan wewenangnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini. KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen, melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ‘kekuasaan manapun’ adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang KPK atau anggota komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apa pun. 70 68 Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK: Kajian Yuridis Normatif UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 Versi UU Nomor 30 Tahun 2002 2 Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal. 183-184. 69 Adami Chazawi, Op.cit, hal. 423-424. 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Universitas Sumatera Utara Pimpinan KPK terdiri dari 5 lima orang yang merangkap sebagai anggota yang semuanya adalah pejabat negara. Pimpinan tersebut terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat sehingga sistem pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi tetap melekat pada KPK. Berdasarkan ketentuan ini maka persyaratan untuk diangkat menjadi anggota KPK, selain dilakukan secara transparan dan melibatkan keikutsertaan masyarakat, juga harus memenuhi persyaratan administratif dan harus melalui uji kelayakan fit and proper test yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, yang kemudian dikukuhkan oleh Presiden Republik Indonesia. 71 Di samping itu, untuk menjamin perkuatan pelaksanaan tugas dan wewenangnya, KPK dapat mengangkat Tim Penasihat yang berasal dari berbagai bidang kepakaran yang bertugas memberikan nasihat atau pertimbangan kepada KPK. Adapun mengenai aspek kelembagaan, ketentuan mengenai struktur organisasi KPK diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan masyarakat luas tetap dapat ikut berpartisipasi dalam aktivitas dan langkah-langkah yang dilakukan KPK, serta pelaksanaan program kampanye publik dapat dilakukan secara sistematis dan konsisten, sehingga kinerja KPK dapat diawasi masyarakat luas. Untuk mendukung kinerja KPK yang sangat luas dalam pemberantasan 71 Ibid. Universitas Sumatera Utara tindak pidana korupsi, maka KPK perlu didukung oleh sumber keuangan yang berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara. 72 KPK dibentuk dan berkedudukan di ibukota negara, dan jika dipandang perlu sesuai dengan kebutuhan masyarakat, KPK dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi. Dalam menjalankan tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, KPK di samping mengikuti hukum acara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juga dalam undang- undang ini dimuat hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus lex specialis. Di samping itu, untuk meningkatkan efisensi dan efektivitas penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, maka dalam undang-undang ini diatur mengenai pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan tindak pidana korupsi tersebut bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh majelis hakim terdiri atas 2 dua orang hakim Pengadilan Negeri dan 3 tiga orang hakim ad hoc. Demikian pula dalam proses pemeriksaan baik ditingkat banding maupun kasasi juga dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri atas 2dua orang hakim dan 3 tiga orang hakim ad hoc. 73 “Perkara tindak pidana korupsi diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu 90 sembilan puluh hari kerja Untuk menjamin kepastian hukum, pada tiap tingkat pemeriksaan ditentukan jangka waktu, sesuai dalam Pasal 58 ayat 1 UU KPK: 72 Ibid. 73 Ibid. Universitas Sumatera Utara terhitung sejak tanggal perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.” Pasal 60 ayat 1 UU KPK: “Dalam hal putusan Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi dimohonkan kasasi kepada Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama 90 sembilan puluh hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung secara tegas.” Untuk mewujudkan asas proporsionalitas, dalam undang-undang ini diatur pula mengenai ketentuan rehabilitasi dan kompensasi, sesuai dengan Pasal 63 ayat 1 UU KPK: “Dalam hal seseorang dirugikan sebagai akibat penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi secara bertentangan dengan Undang- Undang ini atau dengan hukum yang berlaku, orang yang bersangkutan berhak untuk mengajukan gugatan rehabilitasi danatau kompensasi.” Berdasarkan penjelasan pasal 5 UU KPK dalam menjalankan tugas, dan wewenangnya KPK berasaskan kepada : “a. Kepastian hukum, adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi; b. Keterbukaan, adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas dan fungsinya; c. Akuntabilitas, adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan Komisi Pemberantasan Korupsi harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. Kepentingan umum, adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif; e. Proporsionalitas, adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara tugas, wewenang, tanggung jawab, dan kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi.” Universitas Sumatera Utara

G. Metode Penelitian