Latar Belakang Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif Justice Pada Tindak Pidana Pencurian yang dilakukan oleh Orang Dewasa (Studi Pada: Polresta Medan)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Asas “ultimum remedium” obat yang terakhir adalah salah satu asas dalam hukum pidana yang menggambarkan sifat pidana yaitu jika tidak perlu sekali maka suatu pidana tidak juga perlu untuk digunakan sebagai sarana penghukum melainkan peraturan pidana tersebut sebaiknya dicabut apabila dirasa tidak ada manfaatnya. Para ahli juga berpendapat beragam mengenai tujuan pemidanaan itu sendiri, apabila berkaca dari sifatnya sebagai ultimum remedium maka fokus utama suatu pidana adalah pelaku kejahatan dan tindak pidananya. Pelaku kejahatan yang disebut sebagai penjahat ini diartikan secara Yuridis adalah orang-orang yang melanggar peraturan atau Undang-Undang pidana dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan serta dijatuhi hukuman. 1 Merekalah yang akan merasakan pidana yang diberikan oleh penegak hukum melalui sebuah sistem yang disebut sebagai sistem pemidanaan. Menurut Jan Remmelink, Pemidanaan adalah pengenaan secara sadar dan matang suatu azab oleh instansi yang berwenang kepada pelaku yang bersalah melanggar suatu aturan hukum 2 , sedangkan Sudarto mengatakan bahwa pemidanaan merupakan penetapan pidana dan tahap pemberian pidana. Pendapat ahli lainnya yang menjabarkan gambaran mengenai bagaimana pemidanaan itu masih banyak, namun pada intinya tetap berfokus pada proses pelaksanaan 1 Team Teaching Kriminologi FH USU, Monograf Kriminologi, Medan:2014, hal. 11 2 Marlina, Hukum Penitensier, Bandung:Rafika Aditama,2011, hal. 33 Universitas Sumatera Utara pidana, yang mana proses ini lah yang kemudian akan dilewati oleh pelaku tindak pidana Narapidana sebagai suatu bentuk nestapa atas perbuatan yang dilakukannya. Tujuan dari pemidanaan itu sendiri dapat dilihat berdasarkan penjelasan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP 3 yang menyebutkan ada empat teori pemidanaan, yaitu: Teori Pembalasan Vergeldings-Theorie, Teori Mempertakutkan Afchrikkings-Theorie, Teori Memperbaiki Verbeterings- Theorie , dan Teori yang menggabungkan ketiganya Teori Gabungan. Teori tujuan pemidanaan lainnya yang kemudian dikenal adalah Teori Perlindungan Masyarakat Social Defence-Theorie yang berkembang dari Teori bio-sosiologis, yang dipelopori oleh Ferri. Pandangan ini lah yang diterima oleh Union-Internationale de Droit Penal atau Internationale Kriminalistische Vereinigung IKU atau Internationale Association For Criminology berdiri 1 Januari 1889 suatu lembaga kajian hasil studi antropologi dan sosiologis yang mengakui bahwa pidana adalah salah satu alat paling ampuh untuk memerangi kejahatan, namun bukan satu-satunya karena yang seharusnya dilakukan adalah memadukan kebijakan sosial khususnya dengan tindakan-tindakan preventif. 4 Kajian tersebut dapat diartikan sebagai proses pencarian salah satu makna atau tujuan dari Hukum yang sesungguhnya yaitu keadilan. 3 Di dalam Penjelasan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana disebutkan ada empat filsafat tujuan pemidanaan, yaitu: Teori Pembalasan Vergeldings-Theorie yang menurut Emmanuel Kant, bahwa “Siapa membunuh harus dibunuh”. “Blood for blood, eyes for eyes, Teori Mempertakutkan Afchrikkings-Theorie menurut Van Feurbach, hukuman yang dijatuhkan harus mempertakutkan orang agar tidak berbuat jahat, Teori Memperbaiki Verbetering-Theorie dikemukakan oleh pujangga lain, bahwa hukum itu bermaksud pula untuk memperbaiki orang yang telah berbuat kejahatan, dan teori yang menggabungkan ketiganya Teori Gabungan, bahwa dasar dari penjatuhan hukuman itu adalah pembalasan, mempertakutkan, mempertahankan tata- tertib kehidupan, dan memperbaiki orang yang telah berbuat tidak bisa diabaikan. 4 Marlina, Op.Cit, hal. 70 Universitas Sumatera Utara Mudzakir mengatakan bahwa hukum pidana Indonesia dalam sistem peradilan pidana saat ini belum bisa memberikan keadilan bagi masyarakat karena keadilan yang ditegakkan masih bersifat retributive, sedangkan konsep keadilan dalam penal policy pada masa depan harus menggeser perspektif keadilan retributif kepada perspektif restoratif. 5 Howard Zehr, salah satu pelopor Keadilan Restoratif di tahun 1990-an, mengusulkan untuk mengubah lensa menjadi ‘lensa restoratif’ changing Lenses, 2015. Ia mendorong pemulihan rusaknya kehidupan bersama dan harkat martabat manusia oleh karena pelanggaran atau kejahatan bukan dengan memberikan hukuman pada pelakunya, tetapi dengan memulihkan restorasi hubungan personal antara korban dan pelaku pelanggaran atau kejahatan, serta memulihkan keharmonisan kehidupan bersama, itulah keadilan restoratif. 6 Konsep seperti itu di Indonesia baru diterapkan secara Nasional dalam sistem peradilan pidana anak yang dikenal dengan istilah Diversi dan Restoratif Justice. Diversi dalam sistem peradilan pidana anak ini merupakan upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk mengalihkan kasus pidana yang dilakukan oleh anak melalui mekanisme formal kearah mekanisme informal. Upaya yang dilakukan tersebut yang kemudian menggunakan pendekatan Restoratif Justice atau lebih dikenal dengan istilah keadilan restoratif. Konsep Diversi dengan pendekatan keadilan restoratif itu sendiri lahir didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan pidana konvensional dinilai 5 Ibid, hal. 72 6 Yoachim Agus, Keadilan Restoratif, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2015, hal.6-7 Universitas Sumatera Utara lebih banyak menimbulkan bahaya daripada kebaikan. 7 Fenomena saat ini adalah dimana masyarakat sudah terlalu sering memandang pelaku kejahatan sebagai satu-satunya faktor kejahatan, seolah-olah kejahatan tidak bisa disebabkan faktor- faktor lainnya seperti faktor lingkungan keluarga, kurangnya pendidikan, kurangnya pemahaman nilai-nilai agama, atau bahkan faktor yang mungkin saja datang dari korban kejahatan itu sendiri, apabila ditelusuri lebih mendalam bahkan beberapa alasan tersebut mungkin saja justru bersumber dari kelemahan Negara. Kenyataan yang saat ini terjadi adalah pelaku kejahatan wajib diproses di pengadilan, hal ini berbeda dengan kasus yang dilakukan oleh anak yang memiliki pengaturan khusus dalam sistem peradilan pidana anak. Kasus pidana yang dilakukan oleh anak wajib menempuh proses Diversi dan Restoratif Justice, apabila: 1. Diancam dengan pidana penjara dibawah 7 tujuh tahun; dan 2. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana 8 Sistem seperti ini sudah ada sejak di undang-undangkannya Undang- Undang nomor 11 tahun 2012 tentang SPPA yang memberikan legalitas bagi penerapan Konsep Diversi pada anak, tentunya dengan mempertimbangkan anak sebagai aset penting suatu Negara yang patut diberikan suatu kekhususan demi melindungi generasi muda bangsa. Pertimbangan dilakukan diversi oleh pengadilan yaitu filosofi sistem peradilan pidana anak untuk melindungi dan merehabilitasi protection and 7 Marlina, Op.Cit, hal. 73 8 Lihat Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang No.11 tahun 2012 Universitas Sumatera Utara rehabilitation anak pelaku tindak pidana. Tindakan diversi juga dilakukan sebagai upaya pencegahan seorang pelaku anak menjadi pelaku kriminal dewasa. Usaha pencegahan anak inilah yang membawa aparat penegak hukum untuk mengambil wewenang diskresi atau di Amerika Serikat sering disebut juga dengan istilah deinstitutionalization dari sistem peradilan pidana formal. 9 Tujuan lain diterapkannya konsep Diversi dengan pendekatan Restoratif Justice ini yaitu pemidanaan untuk merestorasi atau mengembalikan kondisi yang rusak kepada keadaan semula. Konsep seperti ini yang juga perlu dikaji dan diterapkan dalam sistem Peradilan Pidana Konvensional di Indonesia bukan hanya sistem Peradilan Anak. Terciptanya perdamaian antara pelaku dan korbankerabatnya menjadi nilai kebaikan yang patut diapresiasi pada penerapan sistem hukum pidana di Indonesia. Dalam menyikapi tindak pidana yang dianggap dapat direstorasi kembali dikenal suatu paradigma penghukuman yang disebut sebagai restorative justice, dimana pelaku didorong untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya kepada korban, keluarganya, dan juga masyarakat. Program utamanya adalah “a meeting place for people ” guna menemukan solusi memperbaiki hubungan dan mengganti kerusakan akibat kejahatan peace. 10 Sistem peradilan pidana konvensional di Indonesia masih cenderung mengarah pada retributif Justice, hal ini yang menjadi alasan bahwa menggunakan pendekatan restoratif justice tersebut tentunya tidak mudah. Sistem peradilan 9 Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana, Medan:USU Press, 2010, hal. 11 10 Kuat Puji Prayitno, “Restoratif Justice untuk Peradilan di Indonesia”, Jurnal Dinamika Hukum , Vol.12 No.3 September 2012 hal. 409 Universitas Sumatera Utara pidana konvensional yang saat ini diterapkan adalah sebagai satu proses melihat ke masa lalu bagaimana kesalahannya dan memberikan pembalasan kepada si pelaku, namun bukan berarti suatu keniscayaan peradilan pidana konvensional Indonesia suatu saat juga menerapkan sistem pemidanaan berdasarkan pendekatan Restoratif Justice. Perkembangan masyarakat menuntut adanya keadilan restoratif yang tidak hanya diterapkan bagi pelaku anak, namun juga pelaku kejahatan yang dilakukan orang dewasa. Kebijakan hukum seperti ini dapat dikembangkan untuk tindak pidana tertentu bagi orang dewasa dengan beberapa kondisi, diantaranya: 1. Tindak Pidana yang dilakukan dengan ancaman dibawah 5 tahun, 2. Dipengaruhi oleh faktor ekonomi yang minim, dan 3. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana residivis Kriteria lainnya masih sangat mungkin dapat dikembangkan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum, dimana hal ini memang menjadi sebuah tantangan penegakan hukum mencapai tujuan hukum yang semaksimal mungkin. Kenyataan lainnya yang menjadi faktor diperlukannya kebijakan hukum seperti ini adalah pelaku yang dibina dalam Lembaga Pemasyarakatan diharapkan dapat menjadi masyarakat normal lainnya, padahal fungsi LP seperti itu saat ini dirasa masih jauh dari yang diharapkan. Pembinaan pun seolah-olah tidak berarti ketika masih saja ada yang disebut ‘residivis’ 11 atau bahkan tidak mengurangi tingkat kejahatan karna justru 11 Menurut penjelasan pasal 486 KUHP, syarat-syarat disebut residivis umum adalah mengulangi kejahatan yang sama atau oleh undang- undang dianggap sama macamnya ‘sama macamnya’ yang dimaksud misalnya kali ini mencuri maka lain kali juga mencuri, antara melakukan kejahatan yang satu dengan yang lain sudah ada putusan hakim, harus merupakan Universitas Sumatera Utara semakin meningkat dari tahun ke tahun, bahkan ironisnya, tidak jarang terjadi kejahatan lainnya di dalam Lembaga Pemasyarakatan karena kontrol yang masih minim sedangkan jumlah pelaku kejahatan semakin banyak. Penanganan tindak pidana tidak pernah terlepas dari sebuah proses panjang dengan berbagai tahapan dan aparat yang berwenang disetiap tahapnya. Sebelum masuk pada proses peradilan, maka setiap tindak pidana yang berawal dari dugaan akan diproses pada tahap penyelidikan dan penyidikan di kepolisian, selanjutnya dilimpahkan berkasnya ke kejaksaan yang kemudian akan dilakukan penuntutan di Peradilan. Kepolisian merupakan pemangku kewenangan pada tahap awal untuk memroses tindak pidana tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan 12 , bahkan didalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak SPPA kesempatan untuk melakukan proses diversi pertama kali diberikan pada tahap di Kepolisian. Prinsip-prinsip keadilan restoratif didasari oleh pandangan bahwa kehidupan manusia dalam masyarakat bersifat relasional. Setiap tindakan berkaitan dengan tindakan-tindakan lain sebelumnya, maka tindak kejahatan yang dilakukan oleh seorang pelaku bukanlah semata-mata tanggungjawab pelaku sendiri. Tindak kejahatan itu berkaitan dengan kondisi sosial masyarakat dan kondisi korban. Misalnya seseorang mencuri uang, tindakan tersebut tidak semata-mata tanggungjawab si pelaku. Tindakan tersebut bisa jadi didorong oleh ketidakadilan sosial dalam masyarakat, sehingga si pencuri terjepit dalam hukuman penjara, jangka waktu melakukan pengulangannya tidak lebih dari 5 tahun, terhitung sejak tersalah menjalani sama sekali atau sebagian dari hukuman yang telah dijatuhkan. 12 Lihat UU no. 2 tahun 2002 tentang kepolisian, pasal 4-9 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dan Peraturan Kepala Kepolisian nomor 14 tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana. Universitas Sumatera Utara kemiskinan lalu mencuri. Bisa juga tindakan mencuri itu didorong oleh kekayaan si korban yang melimpah-limpah sehingga merangsang keinginan si pencuri untuk mencuri uang, dengan kata lain si pencuri bisa jadi merupakan korban dari situasi sosial dalam masyarakat. 13 Ada beberapa kasus pencurian selama ini yang menjadi sorotan bagi masyarakat luas, salah satu contohnya saja kasus Pencurian yang dilakukan oleh Nenek Asyani, yang mana telah diputus pada Pengadilan tingkat pertama dengan vonis 1 tahun penjara masih dilanjutkan ke tingkat Banding atas perbuatan yang dibuktikan di pengadilan yaitu pencurian beberapa batang kayu dari hutan yang disebut milik PERHUTANI. Sebuah proses pengadilan yang diterapkan pada nenek ini dinilai sebagai kelemahan hukum pada sistem peradilan umum dikarenakan pemidanaan seperti ini tidak mencerminkan keadilan dan kemanfaatan apabila langsung diterapkan. Kisah lainnya yang mengusik rasa keadilan adalah kisah ‘Mbok Minah’, Nenek dari Desa Darma Kradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas yang berusia 55 tahun ini harus menjalani masa tahanan rumah selama tiga bulan karena ia dituduh mencuri buah kakao tiga biji ditempatnya bekerja di PT Rumpun Sari Antan 4 di Desa Darma Kradenan tak jauh dari rumahnya. 14 Sungguh ironi ketika ada perkara-perkara pencurian yang notabene adalah ringan harus diselesaikan hingga pada proses penuntutan. Melihat kondisi tersebut penulis kemudian mengumpulkan data tindak pidana pencurian dari salah satu wilayah hukum kepolisian di Indonesia yaitu Kepolisian Resor Kota Medan guna 13 Yoachim, Op.Cit., hal.45 14 Ibid , hal.2 Universitas Sumatera Utara menganalisa jumlah kejahatan pencurian yang terjadi dan melihat persentasi jumlah penyelesaiannya yang dilakukan secara konvensional untuk kemudian melihat bagaimana penanganan Tindak Pidana tersebut. Data kriminalitas pencurian Satuan Resor Kriminal Polresta Medan Sejajaran, pada tiga tahun terakhir ini yaitu tahun 2013, 2014, dan 2015 cukup besar. Jumlah kejahatan total criminal total setiap tahunnya mencapai angka 4000-6000 khusus tindak pidana pencurian saja. Adapun jenis tindak pidana pencurian yang memperoleh angka tertinggi adalah pencurian kendaraan bermotor. Jumlah kejahatan yang selesai diproses criminal cleareance setiap tahunnya tidak sebanding dengan jumlah kejahatan total, yang mampu diselesaikan pertahunnya hanya 50-60 dari jumlah kejahatan total tersebut. 15 Hasil wawancara dengan beberapa orang penyidik di Kepolisian ini juga menyampaikan bahwa hal ini dikarenakan sebuah proses yang panjang harus ditempuh yakni tahap penyelidikan dan penyidikan pelaku kejahatan pencurian tersebut. Pelaku Kejahatan bukan saja objek melainkan subjek yang tidak berbeda dengan manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana sehingga tidak harus diberantas, oleh karena itu sebisanya pidana dijadikan ‘obat terakhir’ oleh aparat penegak hukum. Konsep diversi dan restorative justice yang baru beberapa tahun digunakan pada sistem peradilan pidana anak, tidak menjadi penghambat dipelajarinya 15 Hasil analisa dari data kriminalitas pencurian SAT Reskrim Polresta Medan Sejajaran yang diperoleh pada saat riset tanggal 02 februari 2016 Universitas Sumatera Utara kemungkinan konsep ini diterapkan dalam scope yang lainnya salah satunya pada pelaku Tindak Pidana Pencurian. Penerapan suatu kebijakan hukum tentunya tidak bisa dilakukan tanpa adanya pengaturan tertulis yang mendasarinya. Penerapan konsep Diversi dan restoratif justice pada kondisi yang dijelaskan tersebut tentunya hanya dapat diterapkan apabila nilai-nilai kebaikan yang dialaskan bagi terciptanya kebijakan hukum tersebut tidak melanggar asas legalitas yang dijunjung tinggi oleh prinsip Hukum Pidana di Indonesia. Berdasarkan uraian diatas, Penulis pada akhirnya tertarik untuk membuat skripsi dengan judul “Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif Justice pada Tindak Pidana Pencurian yang dilakukan oleh Orang Dewasa Studi pada: Polresta Medan” yang kemudian akan dibahas pada bab-bab selanjutnya dalam skripsi ini.

B. Perumusan Masalah