Jurnal Kesimpulan Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif Justice Pada Tindak Pidana Pencurian yang dilakukan oleh Orang Dewasa (Studi Pada: Polresta Medan)

C. Jurnal

Kuat Puji Prayitno, Restoratif Justice untuk Peradilan di Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum , Volume 12 Nomor 3, September 2012. Yutirsa Yunus, Analisis Konsep Retoratif Justice melalui Sistem Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Jurnal Rechtsvinding, Volume 2 nomor 2, Agustus 2013. Sefriani, “Urgensi Rekonseptualisasi dan Legislasi Keadilan Restoratif di Indonesia”, Jurnal Rechts Vinding, Volume 2 nomor 2, Agustus 2013. Apong Herlina, “Restorative Justice”, Jurnal Kriminologi Indonesia, Volume 3 Nomor III September 2004.

D. Website

www.repository.usu.ac.id http:pm-bangil.go.iddata?p=207 LawEducation,http:balianzahab.wordpress.commakalah-hukummetode- penelitian-hukum, Keadilan Restorasi,http:www.negarahukum.comhukumkeadilan-restorasi.html Universitas Sumatera Utara BAB III PENGEMBANGAN KONSEP DIVERSI DAN RESTORATIF JUSTICE BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN YANG DILAKUKAN OLEH ORANG DEWASA A. Konsepsi Diversi dan Restoratif Justice pada Sistem Peradilan Umum 1. Prinsip-Prinsip Dasar Konsep Diversi dan Keadilan Restoratif Ketentuan mengenai Diversi pada Sistem Peradilan di Indonesia diatur dalam UU No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, di dalam pasal 6 undang-undang ini disebutkan yang menjadi tujuan dari Diversi itu sendiri adalah mencapai perdamaian antara korban dengan anak, menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan menanamkan tanggung jawab kepada anak. 75 Menurut United Nations Standard Minimum Rules For the Administration of Juvenile Justice The Beiing Rules, diversi memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut: 76 a. Diversi dilakukan setelah melihat pertimbangan yang layak, yaitu penegak hukum polisi, jaksa, hakim dan lembaga lainnya diberi kewenangan untk menangani pelanggar-pelanggar hukum berusia muda tanpa menggunakan pengadilan formal; b. Kewenangan untuk menentukan diversi diberikan kepada aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim serta lembaga lain yang menangani kasus anak-anak ini, menurut kebijakan mereka, sesuai 75 Lihat Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang SPPA 76 Yutirsa Yunus, Op.Cit., hal.235-236 Universitas Sumatera Utara dengan kriteria yang ditentukan untuk tujuan itu di dalam sistem hukum masing-masing dan juga sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung di dalam The Beijing Rules; c. Pelaksanaan Diversi harus dengan persetujuan anak, atau orang tua atau walinya, namun demikian keputusan untuk pelaksanaan diversi setelah ada kajian oleh pejabat yang berwenang atas permohonan diversi tersebut; d. Pelaksanaan diversi memerlukamn kerja sama dan peran masyarakat, sehubungan dengan adanya program diversi, seperti: pengawasan, bimbingan sementara, pemulihan, dan ganti rugi kepada korban. Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak AKH 77 dan orangtuawalinya, korban beserta orangtuawalinya, petugas pembimbing kemasyarakatan BAPAS, pekerja sosial profesional, dan apabila diperlukan dalam musyawarah tersebut dilibatkan tenaga kesejahteraan sosial danatau masyarakat. 78 Beberapa hal didalam UU SPPA yang wajib diperhatikan oleh Aparat Penegak Hukum Polisi, Jaksa, dan Hakim dalam melakukan Diversi terhadap kasus-kasus yang melibatkan AKH adalah hal-hal berikut: a. Adanya persetujuankesepakatan perdamaian antara anak pelaku dan orangtuawali anak dengan anak korban dan orangtuawali korban dengan atau tanpa ganti kerugian Pasal 6 huruf a dan Pasal 11 huruf a 77 Menurut Ketentuan Umum UU SPPA, AKH adalah Anak yang berkonflik dengan Hukum yang berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana 78 Lihat Pasal 8 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA Universitas Sumatera Utara b. Kategori tindak pidana yang dilakukan anak diancam pidana penjara dibawah 7 tujuh tahun Pasal 7 ayat 2a dan Pasal 9 ayat 1a c. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana Pasal 7 ayat 2 b d. Umur anak, semakin muda umur anak maka semakin tinggi prioritas melakukan diversi Pasal 9 ayat 1 huruf b dan Penjelasannya e. Hasil penelitian kemasyarakatan dari BAPAS Pasal 9 ayat 1 huruf c f. Dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat Pasal 9 ayat 1 huruf d g. Penuntut umum wajib mengupayakan diversi dalam waktu paling lama 7 tujuh hari setelah menerima berkas perkara dari Penyidik, dan dilaksanakan paling lama 30 tiga puluh hari Pasal 42 ayat 1 dan 2 h. Apabila proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau kesepakatan diversi tidak dilaksanakan maka proses peradilan pidana anak dilanjutkan Pasal 13 huruf a dan b 79 Konsep ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan restoratif justice keadilan restorative sebagai alternatif untuk menangani anak-anak yang berkonflik hukum. Didalam UU SPPA sudah sangat jelas pula diatur mengenai kewajiban untuk mengutamakan pendekatan keadilan restoratif tersebut, namun prosesnya belum diatur secara rinci. Dewasa ini, di beberapa Negara maju, keadilan restoratif restorative justice bukan sekedar wacana para akademisi dan praktisi hukum pidana dan kriminologi. Di Amerika Utara, Australia, dan sebagian Eropa, keadilan restoratif sudah diterapkan pada semua tahap proses peradilan pidana yang konvensional, yaitu tahap penyidikan dan penuntutan, tahap adjudikasi dan tahap eksekusi pemenjaraan. 80 79 Elisabeth, dkk., Op.Cit., hal.39 80 Eriyantouw wahid, Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional dalam Hukum Pidana , Jakarta:Universitas Trisakti, 2009, hal.1 Universitas Sumatera Utara Karakteristik dari peradilan restorative adalah Just Peace Principle atau keadilan yang dilandasi perdamaian antara pelaku, korban, dan masyarakat. Prinsip ini berlandaskan pemikiran bahwa keadilan dan perdamaian pada dasarnya tidak dapat dipisahkan. Perdamaian tanpa keadilan adalah penindasan, keadilan tanpa perdamaian adalah bentuk baru penganiayaan atau tekanan. Dikatakan sebagai Just Peace Principles atau Just Peace Ethics karena pendekatan dalam Restoratif Justice menerapkan prinsip dasar pemulihan kerusakan kepada mereka yang menderita kerugian akibat kejahatan; diberikannya kesempatan pad apelaku untuk terlibat dalam pemulihan keadaan tersebut, diberikannnya peran pada pengadilan dan masyarakat untuk menjaga ketertiban umum dan melestarikan perdamaian yang adil. Tujuan yang ingin dicapai melalui proses kooperatif yang melibatkan semua pihak stakeholders. 81 Restoratif justice bukanlah teori baru bagi masyarakat internasional termasuk Indonesia. Konsep ini bahkan diyakini sudah menjadi dominant teory dalam sistem peradilan pidana seluruh dunia. Para pakar hukum pidana meyakini bahwa konsep restorative justice sudah ada sejak manusia pertama kali membentuk komunitas. Konsep ini dimanfaatkan sebagai salah satu bentuk utama dari keadilan di mayoritas sistem kebudayaan di dunia. 82 Prinsip dasar keadilan restoratif yang dikemukakan oleh Yoachim dalam bukunya “Keadilan Restoratif”, menyampaikan ada tiga prinsip, yaitu: 81 Sefriani, “Urgensi Rekonseptualisasi dan Legislasi Keadilan Restoratif di Indonesia”, Jurnal Rechts Vinding , Volume 2 nomor 2, Agustus 2013, hal.279 82 Ibid., Universitas Sumatera Utara a. Keadilan Restoratif mengutamakan pemulihan atau restorasi bagi semua pihak yang terkena dampak dari tindak kejahatan, yaitu korban, pelaku, dan masyarakat. Korban adalah pihak pertama yang paling dirugikan oleh karena kejahatan. Ia menderita secara fisik dan mental. Pelaku kejahatan menderita kerugian juga, dengan melakukan kejahatan seorang pelaku kejahatan mengalami kemerosotan mental. Ia kehilangan daya kontrol diri dan kemampuannya untuk mengikuti hati nuraninya. Ia menyerah pada godaan-godaan buruk dan kehilangan kemampuan diri untuk memilih yang baik dan yang benar. Tatanan kehidupan juga kehilangan kedamaian, diganti oleh ketakutan, kecemasan, saling curiga, dan perasaan tertekan. Hubungan sosial antar warga menjadi rusak oleh karena saling menyalahkan satu sama lain. Kondisi yang rusak seperti itulah yang ingin dipulihkan melalui keadilan restoratif justice. b. Berkaitan dengan cita-cita pemulihan restorasi diatas, keadilan restoratif fokus pada kebutuhan ketiga pihak, yaitu korban, pelaku kejahatan, dan masyarakat, yang tidak dipenuhi oleh proses peradilan. Proses peradilan pidana yang selama ini berjalan sering mengabaikna korban kejahatan, karena korban kejahatan diambil alih oleh Negara, maka Negara akan menghukum sedangkan korban kejahatan tidak mendapatkan hak apa-apa, sehingga dalam hal ini korban diabaikan dan oleh karena itu keadilan restoratif hadir untuk fokus pada kebutuhan korban Universitas Sumatera Utara c. Keadilan restoratif memperhatikan kewajiban dan tanggungjawab yang muncul oleh karena tindak kejahatan. Pelaku kejahatan wajib memulihkan kerusakan yang diderita korban dan masyarakat. Kewajiban terhadap korban dilakukan pertama-tama dengan mengakui bahwa ia bersalah. Pengakuan ini penting, karena ini merupakan bukti pengakuan atas penderitaan yang dialami korban. Pengakuan dan permohonan maaf tersebut merupakan proses yang penting didalam penyembuhan luka-luka batin dan penderitaan mental korban. Pelaku kejahatan juga berkewajiban memberikan kompensasi untuk membayar biaya penyembuhan luka-luka fisik dan mengganti kehilangan materi korban. 83 Berdasarkan prinsip-prinsip di atas Howard Zehr menegaskan keadilan restoratif dalam enam hal, yaitu: a. Keadilan restoratif bukanlah pertama-tama berarti memaafkan dan rekonsiliasi. Ada banyak pihak, termasuk korban dan para pembela korban curiga bahwa keadilan restoratif adalah bentuk pemaksaan pada korban untuk memaafkan dan berdamai dengan pelaku tindak pidana kejahatan. b. Keadilan restoratif bukan sekedar mediasi. Keadilan ini mengutamakan adanya perjumpaan, namun bukan pertama-tama untuk membuat mediasi. Istilah ‘mediasi’ tidak tepat digunbakan untuk 83 Yoachim Agus, Op.Cit., hal.34-38 Universitas Sumatera Utara menyebut keadilan restorative. Pendekatan restoratif tetap bisa terjadi apabila pertemuan antar korban dan pelaku tidak terjadi. c. Keadilan restoratif bukanlah dimaksudkan untuk memberikan efek jera agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya lagi, melainkan yang dipentingkan oleh pendekatan restoratif adalah kebutuhan tiga pihak yang berurusan dengan tindak pidana tersebut yaitu korban, pelaku, dan masyarakat. d. Keadilan restoratif bukan program siap pakai dengan cetak-biru yang telah terjadi. Program-program restorative terus mencari bentuk, sesuai dengan kondisi masyarakat serta budaya yang ada. e. Keadilan restorative tidak hanya dapat diterapkan pada kasus-kasus kecil atau kasus-kasus baru, melainkan pada kasus apa saja yang menerapkan prinsip-prinsip dasar diatas. f. Keadilan restoratif bukan dimaksudkan untuk menggantikan sistem hukum. Keadilan restoratif bukanlah untuk menggantikan pemenjaraan dan retribusi. Keadilan restoratif menekankan pemulihan kerusakan dan keretakan yang diakibatkan adanya tindak kejahatan. Kejahatan itu memuat dimensi kemasyarakatan, lokal, dan personal. Pendekatan retributif dan legal hanya memandang dari dimensi publik dan kemasyarakatan, dan kurang melihat dimensi lokal dan personal sehingga penanganannya diserahkan pada Negara. Pendekatan Universitas Sumatera Utara restoratif membuatnya seimbang dengan memperhatikan dimensi lokal dan personal. 84 Penjelasan terhadap definisi restoratif justice yang dikemukakan oleh Toni Marshal dalam tulisannya “Restorative Justice an Overview”, dikembangkan oleh Susan Sharpe dalam bukunya “Restorative Justice a Vision For Hearing and Change” mengungkapkan 5 prinsip kunci dari restoratif justice yaitu: a. Restoratif Justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus; b. Restoratif Justice berusaha menyembuhkan kerusakan atau kerugian yang ada akibat terjadinya tindak kejahatan; c. Restoratif Justice memberikan pertanggungjawaban langsung dari pelaku secara utuh; d. Restoratif Justice mencarikan penyatuan kembali kepada warga masyarakat yang terpecah atau terpisah karena tindak criminal; e. Restoratif Justice memberikan ketahanan kepada masyarakat agar dapat mencegah terjadinya tindakan kriminal berikutnya 85 Berbagai prinsip keadilan Restoratif yang telah di kemukakan oleh beberapa ahli dan pemerhati hukum tersebut pada intinya berprinsip yang sama. Sebuah keadilan yang saat ini dibutuhkan masyarakat di dunia adalah keadilan yang mendamaikan dan memperbaikimemulihkan keadaan yang tidak seimbang dalam masyarakat, yang diakibatkan oleh adanya kejahatan yang mampu mengubah pola pikir retributif. 84 Ibid ., hal.38-40 85 Keadilan Restorasi, http:www.negarahukum.comhukumkeadilan-restorasi.html, diakses pada tanggal 26 Januari 2016 pukul 17.50 WIB Universitas Sumatera Utara

2. Program Diversi dan Restoratif Justice pada Sistem Peradilan Pidana di Dunia

Diversi telah diterapkan setidaknya pada sepuluh Negara di Dunia, di mana penerapannya untuk permasalahan anak konflik hukum AKH. Diversi telah dianggap sebagai bentuk alternatif penyelesaian yang baik untuk mengubah perilaku menyimpang anak, dengan adanya keterlibatan keluarga, komunitas dan polisi, sehingga membuat anak memahami dampak atas tindakan yang dilakukannya. Program Diversi di Canada salah satu contohnya, merupakan hasil amandemen Criminal Code Canada untuk alternatif hukuman anak dan remaja yang tertuang dalam Bill C-41 1996. Di provinsi Bohol-Philiphina, diversi diatur dalam Child and Youth Relations Unit CYRU Bohol. Adapun diversi di Bohol dapat dilihat melalui beberapa bentuk, yaitu: a. Teguran formal maupun informallisan b. Ganti rugi atau konsekwensi kerusakan c. Penyitaan benda yang digunakan untuk melakukan pelanggaran d. Denda e. Permintaan maaf secara lisan atau tulisan f. Pemberian nasehat dan pengawasan g. Pemberian nasehat kepada keluarga dan anak h. Menyerahkan kepada komunitas berbasis program yang ada i. Menyerahkan kepada institusi sosial 86 Program Diversi ini lebih lanjut dapat dijelaskan dengan memberikan beberapa contoh program Diversi sebagai berikut: 87 86 Elisabeth, dkk., Op.Cit., hal.40 87 Apong Herlina, “Restorative Justice”, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol.3 No.III September 2004;19-28., hal. 27-28 Universitas Sumatera Utara a. Non-Intervensi Non intervensi merupakan upaya terbaik, oleh karena itu Diversi tanpa melalui proses formal merupakan upaya yang optimal, terutama bagi tindak pidana yang tidak serius dimana keluarga, sekolah atau lembaga pengawasan sosial informal lainnya telah beraksi atau akan bereaksi dengan cara yang layak dan membangun b. Peringatan Informal Peringatan Informal melibatkan polisi untuk mengatakan kepada si anak bahwa apa yang diperbuatnya adalah salah dan memperingatkannya untuk tidak melakukannya lagi. Tidak ada berita acara untuk ini. c. Peringatan Formal Polisi harus mengantar si anak pulang dan memberinya peringatan dihadapan orang tuawalinya. Polisi dapat mencatat peringatan ini dalam catatan Diversi yang disimpan di kantor polisi. d. Permohonan maaf Pelaku harus meminta maaf kepada korban. Hal ini dapat dilakukan melalui banyak cara. Contohnya, si anak menulis surat permohonan maaf atau diminta untuk datang ke korban dan meminta maaf. e. Mengganti kesalahan dengan kebenaran atau restitusi Anak diminta mengganti kesalahannya dengan kebaikan. Contohnya apabila seorang anak menendang keranjang sampah, si anak diminta untuk mengembalikan sampah pada tempatnya. Contoh lain, si anak Universitas Sumatera Utara diminta untuk membayar kembali kerugian yang diderita oleh korban dengan memperhitungkan kemampuan si anak untuk membayar kembali. f. Pelayanan masyarakat Anak dapat diminta melakukan pelayanan masyarakat atau memenuhi tugas selama beberapa jam. Pelayanan masyarakat yang berjalan dengan baik dan dikaitkan dengan tindak pidana mempunyai fungsi pengembangan dan pendidikan. Contohnya, seorang anak yang mengotori tembok atau tempat umum, kemudian diminta membersihkan apa yang telah diperbuatnya atau mengecet tembok kembali. Anak dapat pula diminta untuk membuat untuk membuat poster tentang lingkungan yang bersih dan menempelkannya di tempat-tempat umum. g. Pelibatan dalam program keterampilan hidup Program Diversi yang lain adalah melibatkan anak pada program keterampilan hidup yang dijalankan oleh oleh pelayanan sosial atau LSM. Program keterampilan hidup dapat dilakukan bagi anak yang melakukan tindak pidana atau untuk seluruh anak di masyarakat secara umum. h. Rencana individual antara Polisi, Anak, dan keluarga Melibatkan Anak, keluarga dan Polisi untuk bersama-sama membahas hal-hal yang harus dilakukan. Mengganti kesalahan dengan kebenaran bagi Korban; mengganti kesalahan dengan kebenaran bagi masyarakat; Universitas Sumatera Utara memperkuat hubungan keluarga dan sistem bantuan di sekeliling Anak dan keluarga; mencegah terjadinya tindak pidana lagi. i. Rencana yang diputuskan oleh pertemuan tradisional Kasus-kasus Anak dapat juga dilimpahkan ke pertemuan masyarakat tradisional. j. Rencana yang didasarkan pada hasil pertemuan kelompok keluarga. Pertemuan kelompok keluarga adalah pertemuan semua pihak yang dirugikan oleh tindak pidana untuk bersama-sama memutuskan hal-hal yang harus dilakukan untuk memperbaiki kesalahan dan mencegah terjadinya lagi. Penanganan non formal pada anak ini sangat berhubungan dengan konsep pendekatan keadilan restoratif. Sebuah konsep penanganan perkara anak yang mengakomodasi nilai-nilai yang terdapat pada Konvensi hak anak yang diratifikasi oleh Indonesia melalui UU SPPA yang telah mengadopsi nilai-nilai kebaikan yang berkembang di dalam masyarakat dunia. Menurut PBB, “program keadilan restoratif” adalah program apapun yang menggunakan proses restoratif dengan sasaran untuk mencapai hasil yang diinginkan. Tujuannya adalah memulihkan kedamaian dan hubungan yang rusak melalui celaan terhadap perilaku jahat dan menguatkan nilai-nilai yang hidup dalam komunitas. Para korban diperhatikan kebutuhannya dan para pelaku didorong untuk bertanggungjawab, maka harus dipahami makna proses restoratif dan makna hasil restoratif. 88 88 Eriyantouw wahid, Op.Cit., hal.17 Universitas Sumatera Utara Proses restoratif adalah proses apapun di mana korban kejahatan dan pelaku kejahatan, dan bilamana perlu, anggota-anggota komunitasnya yang terkena dampak kejahatan, secara aktif berpartisipasi bersama, guna memutuskan masalah-masalah yang timbul akibat kejahatan tersebut, dan biasanya dengan dibantu oleh seorang fasilitator, sedangkan hasil restoratif adalah kesepakatan yang dicapai dari suatu proses restoratif termasuk misalnya, pemilihan program seperti program pemulihan; program pemberian ganti rugi; dan program kerja sosial. Terhadap kejahatan berat programnya dapat diganti dengan program-program lain. 89 Menurut Centre of Justice Reconciliation di Washington DC, Amerika Serikat, berikut adalah beberapa praktik atau program keadilan restoratif: a. Pertemuan Mediasi Korban-Pelaku Victim Offender Mediation atau Rekonsiliasi Korban-Pelaku Korban kejahatan diberi kesempatan tatap muka dengan pelaku kejahatan dalam suasana yang aman dan dipersiapkan. Kejahatan yang telah terjadi pun dibicarakan di mana pelaku didorong agar memikirkan dampak kejahatan yang diperbuatnya dan mau bertanggungjawab dengan melakukan pemulihan. Praktik mediasi ini dikembangkan dari Kanada, sesuai dengan namanya maka pertemuan dibantu seorang mediator. 90 Istilah lainnya untuk menyebut praktik ini adalah Victim-Offender Reconciliation Programs VORP. Pada akhir 1970-an pertemuan- 89 Ibid., hal.18 90 Ibid. Universitas Sumatera Utara pertemuan antara korban dan pelaku kejahatan lebih memilih mediasi antara korban dan pelaku dari pada rekonsiliasi, pada model ini lebih banyak orang dapat dilibatkan, apalagi jika menyangkut perkara serius. Model ini telah diperkenalkan di Inggris, Skandinavia, dan Negara-negara Eropa Barat. 91 Umbreit dan Coates menyatakan bahwa tujuan penyelesaian dengan VOM adalah to “humanize” the justice system. Pendekatan dikatakan lebih humanis karena berusaha mengeliminir beberapa masalah. Pertama, tidak lagi mengasingkan hubungan dengan korban pasca proses peradilan ke tempat sekunder sehingga konsekuensi kejahatan yang dialaminya tidak diperhatikan. Di sisi lain, masuknya para pihak dalam menyelesaikan masalah adalah significant part dan menjadi ciri khas model restoratif. Kedua, secara efektif bertanggung jawab kepada korban atas pemulihan kerugian materil dan moral dan menyediakan berbagai kesempatan untuk dialog, negosiasi, dan resolusi masalah. Ketiga, memberi rasa hormat kepada martabat manusia the respect for human dignity, karena peradilan restorative tidak terpisah dari model perlindungan hak asasi manusia bahkan mereka berdua mencari kebaikan bersama they both seek a common good. 92 91 Yoachim Agus, Op.Cit., hal. 30 92 Kuat Puji Prayitno, Op.Cit., hal.415 Universitas Sumatera Utara b. Proses Pertemuan Keluarga atau Pertemuan Kelompok Komunitas PKK atau Family Group Conference FGC Korban, pelaku, dan keluarga, serta handai taulan dan para pendukung utama dari kedua pihak bertemu dan memutuskan cara penanganan periode sesudah terjadi kejahatan. Para pendukung pelaku kejahatan dimungkinkan berhubungan langsung dengan para pendukung utama dari kedua pihak. PKK diadaptasi dari praktik-praktik tradisi Maori di New Zealand, kemudian di Australia dimodifikasi menjadi Acara Temu Korban dengan prakarsa kepolisian, karena itu dikenal sebagai Pertemuan Polisi. 93 Program ini pertama kali diterapkan di Selandia Baru. Model musyawarah disesuaikan dengan kondisi sesaat, namun yang mesti terjadi adalah rapat atau pembicaraan dari keluarga pelaku. Rapat ini kemudian menghasilkan keputusan yang akan dibawa pada rapat dengan keluarga korban. Dibandingkan dengan Mediasi Pelaku-Korban VOM, praktik restorative justice ini lebih banyak melibatkan anggota keluarga. 94 Dalam proses yang panjang itu fasilitator musyawarah kelompok keluarga FGC harus terus menerus melakukan pendampingan pada keluarga korban dan pelaku. Kalau kondisi sudah sungguh-sungguh siap, musyawarah dapat dilakukan. Seluruh proses musyawarah harus mengarah pada pemulihan hubungan antara para pihak korban dan pelaku. Pihak pelaku harus mengakui, menyesali, dan bertanggung jawab atas 93 Eriyantouw Wahid, Op.Cit., hal.19 94 Yoachim Agus, Op.Cit., hal.47 Universitas Sumatera Utara tindakannnya, serta puncaknya adalah kesediaan minta maaf, sedangkan pihak korban mau memaafkan. Musyawarah juga membicarakan ganti rugi atau konpensasi yang harus ditanggung oleh pihak pelaku, pastinya tidak lah mudah menetukan besarnya konpensasi itu, karena berapapun besarnya ganti rugi atau konpensasi tidak akan seimbang dengan penderitaan korban. Besarnya ganti rugi atau konpensasi lebih merupakan symbol dari penyesalan dan tanggung jawab pelaku. 95 c. Proses Restoratif Acara Lingkar Perdamaian atau Acara Lingkar Penjatuhan Sanksi Program ini dipersiapkan guna mencari solusi dan konsensus mengenai sanksi yang dapat diterima pihak-pihak berkepentingan. Konsensus diupayakan bersama oleh komunitas, para korban dan pelaku, para pendukung kedua pihak, hakim, jaksa, penasehat hukum, aparat pengadilan, dan aparat kepolisian. Proses ini bertujuan melangsungkan proses penyembuhan pihak-pihak yang terkena dampak perkara, acara semacam itu memberi kesempatan kepada pelaku untuk melakukan perbaikan serta membuka ruang bagi para korban, para pelaku, keluarga, dan komunitas saling mencurahkan isi hati dengan menciptakan rasa berkomunitas dan pelbagai nilainya. Praktik restorative ini diadaptasi dari tradisi penduduk pribumi Amerika Utara. 96 Menurut Olga Botcharova 1998 dalam gagasannya tentang lingkaran kekerasan cycle of violence, ada beberapa tahap yang harus 95 Ibid., hal.78 96 Eriyantouw Wahid, Op.Cit., hal.19. Universitas Sumatera Utara dilewati untuk sampai pada kesediaan untuk memaafkan dan rekonsiliasi. Tahap-tahap tersebut adalah: 1 mengungkapkan kesedihan; 2 menerima kehilangankerugian dan berani menghadapi ketakutan; 3 memikirkan kondisi pelaku, mengapa mereka melakukan itu; 4 bergerak mengatasi toleransi; 5 memilih untuk memaafkan; 6 menegosiasikan penyelesaian masalah; 7 menetapkan keadilan restorative; 8 bergerak menuju rekonsiliasi. Namun, bila tahap-tahap tersebut tidak diproses dan dilalui dengn baik, yang terjadi adalah tindakan pembalasan yang dibenarkan act of justified aggression, meski demikian Botcharova yakin bahwa di kedalaman jiwa manusia terdapat kebaikan dasar basic goodness yang dapat mencegah manusia dari keinginan untuk membalas dengan tindakan kekerasan. 97 Bentuk-bentuk program di atas terus-menerus mengalami modifikasi, bahkan bentuk-bentuk tersebut kadang-kadang saling bercampur, namun perlu dicatat bahwa keadilan restoratif tidak selalu mengharuskan terjadinya pertemuan langsung antara korban dan pelaku tindak kejahatan. Kadang- kadang korban tidak mempunyai kebutuhan untuk bertemu langsung dengan pelaku, begitu pula pelaku terkadang tidak butuh bertemu dengan korban. 98 Sejauh ini, sudah terlihat bahwa keadilan restoratif merupakan fenomena yang mendunia. Di Eropa, sistem dan budaya kawasan yang berbeda memberi pengaruh pada pendekatan restoratif. Di Irlandia Utara 97 Yoachim Agus, Op.Cit., hal.77 98 Ibid ., hal.48-49 Universitas Sumatera Utara misalnya diterapkan pada alternative penyelesaian tindak kekerasan dan di Eropa Timur untuk reformasi peradilan. 99 Keadilan Restoratif di Afrika nampak dari revitalisasi praktik-praktik pribumi asli dan peningkatan sanksi kerja sosial. Di Timur Tengah, eksperimen keadilan restoratif berawal dari proses penyelesaian konflik tradisional. Di kawasan lain Asia, terkait peradilan anak dimana pelakunya dikeluarkan dari Peradilan. 100 Konsep keadilan restorative memang telah mendapatkan inspirasinya dari pelbagai praktik keadilan kaum aborigin indigenous people di pelbagai tempat, seperti selandia baru, Amerika Utara, Kanada, Australia, dan sebagainya. Praktik-praktik kaum aborigin tersebut dihapus ketika terjadi penjajahan dan pengaruh Negara-negara Eropa, namun kemudian praktik- praktik tersebut digali kembali, dihidupkan, dan dikembangkan menjadi keadilan restorative. 101 Beberapa Negara yang sudah mulai mengembangkan konsep keadilan restoratif, yaitu: a. New Zealand Negara pertama di dunia yang menerapkan proses restoratif dalam pengadilan umum, mewajibkan pelaku remaja dan pelaku dewasa menghadiri family group conference FGC, sedangkan hakim diwajibkan mempertimbangkan kesepakatan yang dicapai dalam FGC, sehingga dimungkinkan menjatuhkan sanksi yang lebih ringan. Pada 99 Eriyantouw Wahid, Op.Cit., hal. 25 100 Ibid. 101 Yoachim Agus, Op.Cit., hal.59 Universitas Sumatera Utara akhirnya, proses restorative pun mencakup kejahatan-kejahatan berat. 102 b. Mexico Pasca amandemen pasal 20 UUD Meksiko di tahun 2001, hak-hak para korban dikui dan kebijakan pemidanaan ditinjau ulang. Penjara akan diisi oleh narapidana yang menjalani hukuman berat-berat saja, Karena itu diupayakan alternatif dari pemenjaraan dengan memperkenalkan mediasi korban. Sistem penuntutan legalita diubah menjadi sistem opportunitas, mengikuti Amerika Serikat dan Kanada. 103 c. Belgia Lembaga mediasi yang diperkenalkan di Belgia sejak 1993 merupakan embrio dari proses restoratif. Karena berhasil, mediasi yang diawasi kejaksaan dan pengadilan mediation penal, dimasukkan kedalam KUHAP Criminal Procedure Code dalam tahun 2005, di mana tindak pidana dari yang teringan sampai yang terberat dapat diserahkan pada mediasi. Permohonan mediasi perkara pidana dapat diajukan ke pengadilan pada saat sebelum, selama, dan sesudah pemeriksaan di persidangan, bahkan dapat diajukan setelah menjalani penjara atau alternatifnya. 104 d. Spanyol Mediasi yang tadinya terbatas pada ganti rugi sederhana, diperluas cakupannya, di mana korban pun memainkan peran penting. Di 102 Eriyantouw Wahid, Op.Cit., hal.26 103 Ibid., 104 Ibid, hal.27 Universitas Sumatera Utara samping itu, undang-undang kini mengatur pelaku yang belum dewasa bertemu dengan korbannya melalui mediasi, untuk menyampaikan rasa penyesalan dan untuk menyampaikan rasa penyesalan dan untuk mendapat kepastian besar ganti kerugian korban. 105 e. Selandia Baru Penduduk Maori di Selandia Baru, berpandangan bahwa konflik tidaklah dimiliki oleh orang perorangan, tetapi melibatkan keluarga besar pelaku dan korban. Keluarga yang dimaksud disini bukanlah dalam arti horizontal yaitu mereka yang berasal dari generasi yang sama, tetapi dalam arti vertikal yaitu mereka yang berasal dari generasi yang berbeda. Maka hak atas keadilan milik korban juga diturunkan secara turun temurun dari satu generasi kegenerasi berikutnya, begitu pula hak atas keadilan dituntut dari pelaku kejahatan satu generasi ke generasi selanjutnya. Penyelesaian konflik diadakan dalam bentuk musyawarah yang diadakan di rumah pertemuan wharaeuni. 106 f. Italia Sudah sekian lama diperdebatkan di Italia mengenai ketidakefektifan sanksi pidana, terutama tidak tercapainya tujuan pemenjaraan, baik untuk mencegah maupun untuk merehabilitasi. Salah satu solusinya adalah penerapan proses restorative ke dalam proses peradilan pidana 105 Ibid. 106 Yoachim Agus., Op.Cit., hal.60 Universitas Sumatera Utara melalui legislasi. Bentuknya berupa mediasi hukum pidana dan mediasi pidana anak. 107 g. Republik Ceko Demi keadilan restorative, di Republik Ceko, PMS Probation Mediation Service diberi wewenang melakukan mediasi antara pelaku dan korban, karena itu PMS dilibatkan dalam proses pidana, baik sebelum maupun selama persidangan di pengadilan. Petugas pengawas menyusun laporan pra-penjatuhan sanksi untuk dipelajari jaksa dan hakim yang meliputi segi-segi kehidupan pelaku di waktu terakhir sebagai dasar kerja sama di waktu yang akan datang. 108 h. Arizona, Amerika Serikat Bangsa Navajo pada tahun 1982 membuat peradilan sendiri demi menciptakan perdamaian dengan mengubah sistem peradilan warisan Barat yang diterapkan sejak tahun 1892. Sistem peradilan bangsa Navajo ini memandang bahwa peradilan bukanlah untuk menghukum orang, tetapi untuk mendidik orang agar dapat hidup lebih baik. Peradilan adalah proses penyembuhan yang memulihkan relasi antara manusia atau menciptakna lingkungan yang sehat. 109 i. Sri Lanka Keadilan Restoratif di Sri Lanka diterapkan melalui UU Dewan Mediasi 1988 terhadap perkara-perkara ringan, misalnya penghinaan ringan, ucapan-ucapan berupa penodaan ringan terhadap agama, 107 Eriyantouw Wahid., Op.Cit., hal.28 108 Ibid. 109 Yoachim Agus, Op.Cit., hal.60 Universitas Sumatera Utara penganiayaan ringan, penipuan ringan, dan beberapa tindak pidana dalam KUHPidana Penal code, harus didamaikan dahulu oleh Dewan Mediasi. 110 j. Thailand Penerapan keadilan Restoratif di Negara Gajah putih ini, berawal dari perintah undang-undang, yaitu perkara anak-anak dengan ancaman pidana penjara dibawah 5 tahun harus diserahkan kepada pertemuan keluarga atau FGCG Family Community Group Conferencing. Dalam praktik restorative semacam itu, dilibatkan korbannya, keluarganya, polisi penyidiknya, dan jaksa. Setelah mencapai kesepakatan, Direktur kepemudaan Departemen kehakiman mengusulkan kepada jaksa untuk tidak menuntutnya. Menurut data, dari 1500 perkara dewasa, 86 diantaranya mencapai kesepakatan. 111 Thailand mengadaptasi model FGC New Zealand, untuk orang dewasa yang disangkakan melakukan tindak pidana melakukan tindak pidana tertentu akan diserahkan kepada PS Departemen Kehakiman. Keadilan restorative dikenal di Thailand sebagai “keadilan demi kesejahteraan mayarakat” atau “justice for social harmony”. Konsep tersebut mendapat sambutan berbagai kalangan termasuk penguasa dimasing- masing komponen sistem peradilan. Dorongannya adalah kekecewaan terhadap sistem pemidanaan yang bersifat retributive, sedangkan nasib korban kurang diperhatikan. Dorongan lainnya karena semua penjara 110 Eriyantouw Wahid., Op.Cit., hal.29 111 Ibid. Universitas Sumatera Utara melebihi kapasitas akibat pemenjaraan terlalu mudah dan sering diterapkan. 112 B. Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif Justice bagi Pelaku Tindak Pidana Pencurian yang dilakukan oleh Orang Dewasa S istem peradilan pidana di Indonesia saat ini membutuhkan pembaharuan. Perubahan orientasi sistem peradilan pidana dari yang selama ini berfokus pada perbuatan yang dilarang dan pelaku tindak pidana crime and offender oriented, beralih pada orientasi perbuatan, tersangka, dan korban crime, offender, and victim oriented bukan merupakan suatu keniscayaan. Terkait dengan hal ini, praktik pemaafan dalam penyelesaian perkara-perkara pidana pada dasarnya telah terdapat di dalam berbagai khasanah budaya berbagai masyarakat tradisional. Penggunaan permaafan yang merupakan inti dari peradilan restoratif, kendatipun telah lebih banyak berlangsung dalam mekanisme diluar pengadilan Negara, namun sedikit banyak memberi pengaruh pada proses peradilan pidana tertentu. 113 Muladi mengungkapkan, dalam keadilan restoratif korban diperhitungkan martabatnya. Pelaku harus bertanggungjawab dan diintegrasikan kembali ke dalam komunitasnya. Pelaku dan korban berkedudukan seimbang dan saling membutuhkan karena itu harus dirukunkan. Ketua Mahkamah Agung RI dalam bulan Mei 2008, setahun lalu, menegaskan, dilihat dari keadilan restoratif, posisi perkara harus diubah, bukan lagi demi kepentingan ketertiban, melainkan demi kepentingan korban beserta pemulihan segi materil dan psikisnya. Intinya, 112 Ibid., hal.30 113 Natangsa Surbakti, Peradilan Restoratif dalam Bingkai Empiri, Teori, dan Kebijakan, Jakarta:Genta Publishing, 2015, hal.6 Universitas Sumatera Utara bagaimana menghindarkan pelaku dari pemenjaraan, tapi tetap bertanggung jawab. 114 Konsep keadilan restoratif seperti ini begitu diharapkan dapat diterapkan pada sistem peradilan pidana konvensional, namun, perjalanan sistem peradilan pidana konvensional yang berorientasi pada tujuan retributif bukan lah perkara mudah untuk mengubahnya kearah restoratif. Berkaca pada Negara-negara lain di Dunia yang mulai mengembangkan konsep keadilan seperti ini, maka bisa jadi sistem peradilan pidana Indonesia juga suatu saat akan mengubah perspektif pemidanaannya, mengingat adanya perkembangan kebutuhan masyarakat akan hukum beserta keadilannya yang semakin meningkat. Berbicara mengenai sistem peradilan pidana konvensional di Indonesia yang sudah cukup lama menganut perspektif retributif, maka perlu diadakan suatu pengkajian secara bertahap terhadap perkara tertentu yang dapat memulai penerapan keadilan restoratif pada sistem peradilan pidana tersebut. Pembahasan mengenai penanganan tindak pidana pencurian pada polresta Medan dan pemahaman tentang konsep diversi dan restoratif justice sebelumnya, dapat dijadikan bahan pengembangan konsep diversi dan restoratif justice di Indonesia. 1. Pandangan Kepolisian Resor Kota Medan terhadap Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif Justice Penerapan konsep Diversi dan Restoratif Justice ini sendiri telah dilaksanakan pada Polresta Medan sejak di undang-undangkannya peraturan mengenai sistem peradilan khusus yang mengakomodir perlindungan terhadap pelaku anak yaitu undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem 114 Eriyantouw wahid, Op.Cit., hal.2 Universitas Sumatera Utara Peradilan Pidana Anak SPPA. Penanganan perkara tertentu sesuai dengan syarat-syarat yang terdapat dalam undang-undang tersebut mewajibkan aparat penegak hukum termasuk kepolisian resor kota Medan untuk membawa AKH anak yang berkonflik dengan hukum keranah non penal-policy atau melalui mekanisme diversi. Penanganan terhadap perkara AKH yang merupakan kategori Tindak Pidana dengan ancaman dibawah 7 tahun dan bukan merupakan residivis, semuanya melalui proses Diversi. Setiap anak yang melakukan tindak pidana pencurian berusia dibawah 12 tahun wajib dikembalikan kepada orangtua atau wali, namun apabila berusia diatasnya maka pelaku anak tersebut akan tetap ditahan kepolisian. Orangtua yang bisa menjamin si anak, tidak perlu dilakukan penahanan namun tetap wajib mengikuti proses diversi. 115 Sisi positif dari pelaksanaan diversi dan restoratif justice selama ini adalah penanganan tindak pidana tidak langsung membawa anak keranah penghukuman secara pidana, yang dimaksud dalam hal ini pemenjaraan, sehingga banyak anak yang memiliki kesempatan menyelesaikan perkaranya tanpa harus melalui proses penahanan di Lembaga Pemasyarakatan Anak sehingga melalui proses yang menyita banyak waktu sampai pada penjatuhan hukumannya dari pengadilan, melainkan justru mendapat pelajaran bagaimana mempertanggungjawabkan perbuatannya secara langsung kepada korban. 116 Penanganan tindak pidana pencurian melalui proses diversi dan restoratif justice sampai saat ini tidak pernah dilakukan bagi pelaku orang 115 Hasil wawancara dengan IPDA Ridwan Kasubnit Idik 7 bidang Ranmor Reskrim Polresta Medan pada tanggal 5 Februari 2016 pukul 14.30 WIB 116 Ibid. Universitas Sumatera Utara dewasa pada Polresta Medan, dikarenakan asas legalitas yang dijunjung tinggi oleh sistem hukum di Indonesia, oleh karena itu, kepolisian dalam menjalankan tugas-tugasnya wajib memperhatikan peraturan yang dibuat oleh Negara Indonesia. Para pakar atau ahli hukum di Indonesia memang sudah banyak yang menyampaikan wacana ataupun pendapat begitu baiknya jika konsep pemidanaan seperti pada Peradilan Anak di terapkan, namun selama belum ada peraturan baku maka hal itu tidak dapat dilaksanakan. 117 Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif Justice seperti ini sangat mungkin dilaksanakan di masa depan terkhusus bagi pelaku tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh orang dewasa, melihat bahwa keadilan retributive sudah kurang relevan bagi sistem pemidanaan zaman sekarang. Konsep keadilan restorative ini pun tidak serta merta dapat diterapkan begitu saja, namun ada beberapa hal yang harus dipersiapkan dengan baik, diantaranya adalah: a. Kriteriasyarat tindak pidana yang dapat melalui proses diversi Menurut H. Manurung, apabila suatu waktu konsep diversi dan restoratif justice ini akan dikembangkan pada tindak pidana pencurian dan dibuat peraturan tertulisnya, sebaiknya dilaksanakan dengan adanya suatu kriteria bagi pelaku tindak pidana, diantaranya adalah: 118 117 Hasil wawancara dengan IPDA H. Manurung Kepala URBIN OPS. SAT Reskrim Polresta Medan pada tanggal 5 Februari 2016 pukul 13.30 WIB 118 Ibid. Universitas Sumatera Utara 1 Tindak pidana yang dilakukan yaitu pencurian yang tergolong ringan dan sedang 119 , dimana dalam hal pengungkapannya juga tidak memakan banyak waktu, dan diversi pun dapat dengan segera dilakukan. 2 Pelaku yang menyerahkan diri, apabila memang konsep ini diterapkan karena dinilai bahwa ada itikad baik pelaku yang harus dinilai sebagai bentuk penginsafan dan langkah awal untuk bertanggung jawab, sehingga pemaafan dengan mekanisme restorative justice dapat menjadi pilihan. 3 Alasan utama pencurian dilakukan karena faktor perekonomian yang dapat dibuktikan dengan adanya surat keterangan tidak mampu. Hal ini dikarenakan yang menjadi alasan pencurian adalah hal yang sangat menyentuh dan menjadi tanggung jawab moral bersama. Berbeda jika alasan yang didapati adalah kebutuhan akan baranghasil pencurian ingin digunakan bagi hal-hal yang kurang berguna seperti yang selama ini sering terjadi, hasil pencurian digunakan untuk membeli obat-obat terlarang, bermain judi, dan lain-lain. b. Mekanisme pelaksanaan diversi Mekanisme yang dapat diterapkan pun dapat mengikuti konsep diversi pada sistem peradilan anak, yang mana telah diatur dalam undang-undang sistem peradilan pidana anak, namun khusus untuk mekanisme bagi orang 119 Pencurian biasa dan pencurian ringan seperti diatur pada pasal 362 dan 364 KUHP memiliki sanksi penjara dibawah lima tahun. Universitas Sumatera Utara dewasa, orangtuawali yang dimaksud pada SPPA dapat diganti menjadi anggota keluarga dari pelaku dan korban apabila sudah memiliki keluarga inti. Proses Diversi dapat dilakukan melalui musyawarah untuk mencapai kesepakatan dengan melibatkan pelaku dan keluarganya, korban danatau keluarganya, masyarakat dari tempat tinggal kedua pihak, dan Kepolisian. 120 Para pihak yang hadir dalam mekanisme tersebut, yaitu: 1 Korban dan keluarganya 2 Pelaku dan keluarganya 3 Masyarakat dari komunitas masing-masing 4 Kepolisian Adapun hasil kesepakatan yang diharapkan dari penerapan konsep ini, yaitu: 121 1 PerdamaianPemaafan Bentuk kesepakatan ini adalah yang sangat sederhana namun juga jarang bisa terjadi di dalam masyarakat 2 Ganti Rugi Pada tindak pidana pencurian, ganti rugi dipandang sebagai solusi yang paling tepat dan cukup mampu memulihkan kerugian yang dialami korban 3 Kerja Sosial Masyarakat yang juga menjadi korban kejahatan secara tidak langsung dapat melihat dan menilai pula keseriusan dari pemulihan yang ingin 120 Ibid. 121 Ibid. Universitas Sumatera Utara dilakukan pelaku. Sebuah badan yang khusus mengawasi pekerjaan pelaku juga wajib dibentuk. Mekanisme seperti yang diungkapkan oleh H. Manurung tersebut hampir sama dengan programproses penerapan konsep keadilan restoratif yang disampaikan oleh Centre of Justice Reconciliation di Washington DC, Amerika Serikat, diantaranya berupa: a. Program Mediasi yang dihadiri oleh pelaku kejahatan dan korban yang ditengahi oleh seorang mediator b. Acara Lingkar Perdamaian yang diikuti oleh komunitas korban dan pelaku, serta aparat penegak hukum hakim, jaksa, polisi c. Pertemuan Keluarga yang hadir lebih banyak dari kelompok masyarakat yang dapat dibantu pula oleh kepolisian. Proses ini lebih menekankan pada pemaafan karena ganti rugi pun dianggap tidak begitu mengobati. Konsep Diversi dan Restoratif Justice seperti ini juga sangat mungkin memberi kemudahan tidak hanya perihal mempersingkat proses penanganan di pihak kepolisian atau aparat penegak hukum lainnya, melainkan juga berdampak baik bagi Lembaga Pemasyarakatan karena jumlah tahanan kemungkinan tidak akan bertambah dengan pesat seperti yang saat ini terjadi dimana LP menjadi ‘sarat’ tahanan. Konsep yang tidak perlu menempuh jalur pada peradilan pidana secara konvensional ini juga beberapa kali ingin dicoba oleh masyarakat yang menjadi korban tindak pidana pencurian pada Polresta Medan. Beberapa Universitas Sumatera Utara korban sempat meminta untuk tidak dilanjutkan perkaranya diproses pada kepolisian, sebagian mengungkapkan karena terlalu sibuk untuk dipanggil ke kantor polisi sebagai saksi, tidak suka waktunya dipakai untuk memenuhi kebutuhan proses peradilan pidana, dan bahkan karena mereka antara pelaku dan korban sudah berdamai diluar kepolisian. 122

2. Tantangan yang dihadapi dalam Pengembangan Konsep diversi dan Restorative Justice

Trend pemidanaan dewasa ini, terutama di Negara-negara maju yang demokratis, mengupayakan semakin berkurangnya nestapa pidana less harm punishment. Negara-negara maju, kecuali Amerika Serikat, sudah menghapuskan atau melakukan “pembekuan” moratorium pidana mati. Langkah berikutnya adalah menghapus atau mempersingkat pidana pemenjaraan. Berbagai alternatif pidana dan pelbagai tindakan measures diciptakan, seperti misalnya putusan terbukti bersalah akan tetapi tanpa sanksi declaration of non-punishment, penjatuhan pidana bersyarat dengan pelbagai variasinya, penangguhan penuntutan dengan atau tanpa bersyarat, penghentian penuntutan perkara-perkara yang kurang berarti trivial cases, denda bersyarat suspended fine, denda harian day fine dan variasinya, serta perintah kerja sosialCSO community service order. 123 Kepolisian juga sering menerima keluhan dari pelaku tindak pidana nya sendiri, bahwa sebenarnya mereka pelaku, korban, dan keluarga korban sudah berdamai karena si pelaku siap untuk mengganti kerugiannya, namun 122 Hasil wawancara dengan IPDA Ridwan Kasubnit Idik 7 bidang Ranmor Reskrim Polresta Medan pada tanggal 5 Februari 2016 pukul 14.30 WIB 123 Ibid., hal. 74 Universitas Sumatera Utara pelaku heran mengapa perkaranya masih harus tetap di proses oleh kepolisian. Kepolisian pun menyampaikan bahwa selama pelaku adalah orang dewasa, upaya perdamaian yang mereka lakukan sebelumnya hanya akan menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memutuskan hukumannya menjadi lebih ringan. 124 Menurut Ridwan, ada beberapa tantangan yang mungkin akan dihadapi untuk mengembangkan konsep diversi dan Restoratif justice ini bagi pelaku yang merupakan orang dewasa, diantaranya: 125 a. Hilangnya efek jera bagi para pelaku tindak pidana. Pengembangan konsep ini sangat mungkin terjadi, apabila memang DPR danatau Presiden membentuk suatu norma baru bagi penerapannya pada tindak pidana pencurian atau pun perkara lain yang dilakukan oleh orang dewasa, namun, ada kekhawatiran bahwa ketika konsep tersebut nanti diterapkan maka tujuan pemidanaan untuk memberikan efek jera akan sangat sulit didapatkan. b. Asumsi bahwa akan besar kemungkinan pengulangan tindak pidana yang terjadi atau bahkan pelaku pidana akan bertambah karena keringanan yang didapat melalui prosedur restorative seperti ini. c. Proses diversi dan restoratif justice yang dilakukan tidak serta-merta menjadi satu-satunya cara penanganan tindak pidana, dalam hal ini sebaiknya dijadikan alternatif yang apabila tidak dapat menghasilkan 124 Hasil wawancara dengan IPDA H. Manurung Kepala URBIN OPS. SAT Reskrim Polresta Medan pada tanggal 5 Februari 2016 pukul 13.30 WIB 125 Hasil wawancara dengan IPDA Ridwan Kasubnit Idik 7 bidang Ranmor Reskrim Polresta Medan pada tanggal 5 Februari 2016 pukul 14.30 WIB Universitas Sumatera Utara kesepakatan diversi, maka kepolisian akan tetap memroses secara konvensional sampai pada tahap ke persidangan. 126 d. Individu-individu dalam masyarakat modern ternyata semakin menunjukkan kecenderungan untuk saling mengisolasi, dan sering kali individu tidak membayangkan bahwa mereka terikat dalam hubungan- hubungan atau merasa menjadi bagian dari komunitas atau masyarakat tertentu. Dalam konteks demikian kita harus realistis bahwa dukungan yang terarah dari pemerintah atau lembaga-lembaga mapan akan sangat menentukan berhasil tidaknya praktik restorative justice bagi masyarakat modern, karena akan naïf apabila kita mengharapkan mereka sanggup menyelenggarakannya dengan sukarela dan mandiri. 127 e. Masyarakat masih condong mengarah pada tujuan pidana retributif. Teori pembalasan yang sudah biasa diterapkan dalam masyarakat rasanya tidak dapat disingkirkan dengan cepat dari konsep penerapan hukum pidana di Indonesia. Menurut masyarakat, pengembangan konsep diversi dan restorative justice untuk tindak pidana pencurian baik adanya namun hanya bagi tindak pidana pencurian kategori biasa dan juga ringan. Konsep ini untuk pencurian berat dan juga pencurian dengan kekerasan sulit diterapkan karena jika pertanggungjawaban yang diberikan oleh pelaku tidak hanya ganti rugi, hal ini dirasa tidak adil. Sebuah tindakan 126 Ibid. 127 Afthonul Alif, Pemaafan, Rekonsiliasi, dan Restorative Justice,Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2015, hal.338 Universitas Sumatera Utara yang disertai kekerasan dinilai masyarakat sebagai tindakan yang sangat berbahaya, apapun faktor yang menyebabkan dia harus mencuri, rasanya jika diikuti dengan kekerasan, perbuatan ini sangat in-tolerir. Terlebih lagi pencurian saat kondisi nya dalam keadaan tertentu yang tergolong pada pencurian berat. 128 Pendapat masyarakat tersebut mengindikasikan adanya keinginan restoratif yang tidak sepenuhnya bisa diterapkan bagi tindak pidana pencurian. Masa depan ditentukan oleh kegiatan masa kini. Usaha penerapan konsep diversi dan restorative justice sebaiknya dirintis berawal dari hal yang lebih kecil dahulu. Misalnya mengalihkan perkara-perkara ringan trivial case keluar dari proses pidana konvensional masuk ke jalur restoratiF, opsi lain difokuskan dulu pada satu atau beberapa tahap peradilan pidana. Proses dan praktik demikian diharapkan dapat secara bertahap bergandengan tangan dengan sistem peradilan pidana seluruhnya. 129 128 Hasil wawancara dengan Sudarman, korban pencurian di daerah Medan Tembung pada tanggal 29 Februari 2016 pukul 18.40 WIB 129 Eriyantouw Wahid, Op.Cit., hal.49 Universitas Sumatera Utara BAB IV PENUTUP

C. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan pada pembahasan dalam skripsi ini, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Penanganan Tindak Pidana Pencurian yang dilakukan orang dewasa pada Polresta Medan dilakukan melalui jalur konvensional. Tindak pidana pencurian yang memiliki kategori mulai dari pencurian biasa, ringan, berat, dan pencurian dengan kekerasan, tidak dapat diselesaikan dengan menggunakan konsep diversi dan restoratif justice karena landasan hukum penerapan nya di Indonesia belum ada, kecuali pada Sistem Peradilan Pidana Anak. Jalur konvensional atau jalur pada umumnya yang dimaksud disini adalah melalui Sistem Peradilan Pidana Umum General Criminal Justice System yang diatur sesuai Hukum Acara Pidana di Indonesia, yang mana tahap awal perkara akan ditangani oleh pihak kepolisian yang dalam hal ini kemudian akan menuntun perkara untuk diselesaikan dan diputus sanksinya oleh Pengadilan melalui proses penyelidikan dan penyidikan, sebelum akhirnya dilanjutkan ketahap penuntutan oleh Lembaga Kejaksaan. 2. Pengembangan konsep diversi dan restoratif justice pada tindak pidana pencurian bagi orang dewasa tidak diterapkan pada Polresta Medan. Penerapannya dapat dilakukan dengan alasan-alasan kebaikan dari konsep diversi dan restorative justice tersebut, termasuk pula ada keinginan dari korban dan pelaku pencurian dikarenakan perkara ini dapat diselesaikan Universitas Sumatera Utara dengan ganti rugi yang ditawarkan oleh pelaku kejahatan, namun hal itu tidak dilakukan pihak kepolisian karena tidak adanya dasar hukum yang memayungi pelaksananaannya. Sekalipun begitu, pihak kepolisian polresta medan tetap optimis apabila memang suatu saat ada rekonseptualisasi dan legislasi tentang penerapan konsep diversi dan restoratif justice bagi tindak pidana tertentu terkhusus tindak pidana pencurian sebagai tindak pidana yang penyebabnya paling sering adalah faktor kemiskinan.

D. Saran