Etnik Tionghoa di kota Medan dan Sumatera Utara

leluhurnya di Tiongkok. Hal ini yang juga kemudian menambah beban psikologis bagi mereka etnik turunan atau campuran Tionghoa.

3.4.2. Etnik Tionghoa di kota Medan dan Sumatera Utara

Di kota Medan dan Sumatera Utara etnik Tionghoa secara umum berasal dari kelompok etnik yang menggunakan dialek bahasa Hokkian. Umumnya Etnik Tionghoa di kota Medan dan Sumatera Utara berprofesi sebagai pedagang. Mereka dikenal ulet berusaha dan memiliki jaringan yang baik sesamanya, sehingga ada kalanya pribumi “iri hati” terhadap keberhasilan mereka di bidang ekonomi ini. Adapun pola tempat tinggal orang-orang Tionghoa di Sumatera Utara, khususnya sebagai pedagang adalah menempati rumah-rumah dan sekaligus menjadi toko atau tempat berniaga. Bagi masyarakat pribumi etnik Tionghoa ini dianggap memiliki sifat tertutup eksklusif dan kurang mau bersosialisasi. Namun sebenarnya masyarakat Tionghoa ini ingin pula dipandang sebagai bagian yang integral dari warga negara Indonesia pada umumnya, dan jangan dibatasi akses sosial mereka. Sebuah artikel dengan judul “Cina Medan: Tinjauan Sosio Historis” yang ditulis oleh Z. Pangaduan Lubis di harian Mimbar Umum, Medan, berisikan pernyataan bahwa dalam cerita lama, pada abad ketujuh disebutkan bahwa Raja Sanjaya pernah menaklukkan Negeri Poloan yang terletak di Berawan. Ia menyebutkan pula bahwa dalam catatan sejarah yang ditulis oleh Cu Pan Ci, terdapat nama negeri Poloan yang terletak di Berawan itu. Lebih jauh lagi Dada Meuraxa mengemukakan bahwa kemungkinan negeri Poloan itulah yang kemudian hari dikenal sebagai Kota Cina yang terletak di Paya Pasir dekat Universitas Sumatera Utara Hamparan Perak. Diperkirakan Kota Cina itu masih berdiri sampai abad ketujuh. Kemudian pada abad itu pula ditaklukan oleh Raja Sanjaya. Perkiraan ini didukung dengan adanya mata uang kuno yang ditemukan di bekas Kota Cina yang berasal dari sekitar tahun 800 Masehi. Pergantian dinasti yang terjadi di Cina menyebabkan adanya pula perubahan sikap para pemegang kekuasaan negeri itu terhadap daerah lain seperti pada masa kekuasaan Dinasti Ming 1368-1644 M yang berkuasa di Negeri Cina, yang tidak bermaksud memperluas teritorialnya dengan menaklukkan daerah lain seperti Kubilai Khan sebelumnya. Akan tetapi ia mengembangkan usaha perdagangan negerinya dengan daerah lain. Sehingga pada masa kekuasaannya arus perdagangan antara Negeri Cina dengan daerah lain sangat lancar. Sejak itu hampir semua pelabuhan yang terdapat di kepulauan Indonesia dan kawasan-kawasan Asia Tenggara tidak luput disinggahi oleh kapal-kapal dagang Cina. Lancarnya arus perdagangan ini adalah karena perlindungan keamanan dari raja-raja Cina terhadap pedagang-pedagangnya dari ancaman-ancaman bajak laut maupun di pelabuhan-pelabuhan yang mereka singgahi dengan mengikutsertakan beberapa regu tentara di kapal-kapal dagang tersebut. Di samping itu, akibat terjadinya pergantian dinasti yang memegang kekuasaan di Negeri Cina dan timbulnya kegoncangan-kegoncangan sosial ekonomi yang hebat, karena lahan pertanian yang tidak memadai bagi penduduk, maka telah banyak pula di antara orang-orang di Negeri Cina yang menjadi imigran ke negeri-negeri lain di Asia Tenggara, bahkan di Pulau Jawa sekali pun. Seorang dari mereka yang mengikuti perjalanan Laksmana Mahmud Cheng Universitas Sumatera Utara Ho ke kepulauan Indonesia pada tahun 1416 mengatakan bahwa ia melihat banyak orang Cina yang menetap di sini Z. Pangaduan Lubis 1990:5. Selanjutnya pada abad ke - 19, perkebunan-perkebunan tembakau di Sumatera Timur berkembang dengan pesatnya. Jumlah tenaga buruh setempat hampir tidak mencukupi, maka didatangkanlah dalam jumlah yang banyak tenaga buruh Cina dari Singapura dan Penang. Pada tahun 1870 Perkebunan tembakau Deli Maatcchappij 1809 mendatangkan 4.000 orang tenaga buruh Cina dari Singapura, dan antara tahun 1888-1931 terhitung lebih kurang 305.000 orang tenaga buruh Cina yang didatangkan dari Singapura dan Pulau Jawa. Etnik Tionghoa ini akhirnya melepaskan diri dari pekerjaan di perkebunan dan sebagian besar di antaranya menjadi pedagang di pedesaan-pedesaan sekitar perkebunan tersebut, atau mencari pekerjaan lain ke Sumatera Utara, dan banyak pula di antara mereka bekerja sebagai tukang maupun nelayan Tengku Luckman Sinar 1991:200. Sumatera Utara sendiri pada waktu itu telah banyak ditempati orang- orang Cina, dengan memiliki pemuka-pemuka golongan yang diakui pemerintah Hindia Belanda sendiri. Seperti pada tahun 1880, sewaktu Tjong A Fie menyusul kakaknya ke Medan, didapati kakaknya telah menjadi pemuka golongan Cina, dengan pangkat luitenant, yakni pangkat yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Tjong A Fie sendiri pun akhirnya juga menjadi pemuka masyarakat Cina di Medan dengan pangkat majoor, dan meninggal pada tahun 1921. Tjong A Fie adalah seorang Cina perantaun yang memiliki harta yang banyak di Medan, Jakarta, serta Singapura Tengku Luckman Sinar 1991:2003. Tjong A Universitas Sumatera Utara Fie juga senang terhadap kesenian serta seni Melayu Deli. Dia juga membangun mesjid di daerah Petisah [31

3.4.3. Etnik Tionghoa Golongan Peranakan