berkembang seiring berkembangnya jumlah populasi kelompok itu sendiri. karena banyaknya pengelompokan yang terjadi maka kelompok - kelompok
tersebut mengalami penggolongan guna membedakan satu kelompok dengan kelompok lainnya yang ada di dalam kelompok ras asiatic mongoloid. Adapun
penggolongan tersebut didasari atas jumlah populasi yang paling mayoritas dari kelompok - kelompok yang ada karena banyaknya kelompok yang terdapat pada
ras asiatic mongoloid. Terdapat lima kelompok paling mayoritas secara jumlah populasi, yakni Suku Han
汉族 : Hàn Zú, Suku Man Manchu 满族 : M ǎn
Zú, Suku Hui 回族
: Huí Zú, Suku Menggu Suku Mongol
蒙古族 : Měnggǔ
Zú, Suku Zang Suku Tibet
藏族 : Zàng Zú
[29
3.4.1. Etnik Tionghoa Di Indonesia
]
.
Meskipun ada yang menyebutkan bahwa keturunan Tionghoa sudah mengenal kepulauan Nusantara sekarang Indonesia sejak sebelum Masehi,
namun belum ada keterangan lebih lanjut tentang daerah Nusantara yang mana, berapa populasi Tionghoa itu, apa kegiatan mereka, dan bagaimana bentuk
hubungan mereka dengan daerah itu. Setelah zaman Masehi, beberapa catatan informasi dari Tiongkok menyebutkan tentang perjalanan beberapa tokoh agama
Budha dari daratan Tiongkok ke India, dan singgah di berbagai tempat di Nusantara. Para biksu ini menulis tentang daerah dan masyarakat yang mereka
kunjungi. Mereka antara lain adalah Fa Hsien yang singgah di sebuah daerah yang disebut Jawa, dalam perjalanannya antara Tiongkok dan India, pada tahun
413 M Masehi. Biksu Budha Hwi Ning singgah di sebuah daerah yang disebut
[29]
. http:id.wikipedia.orgwikiTionghoa_Indonesia
Universitas Sumatera Utara
Holing Jawa utara pada tahun 664 M Masehi , dan Pendeta I Tsing singgah di Sriwijaya Sekarang Sumatera Selatan pada tahun 671 M. Sejak saat itu
nampaknya kepulauan Nusantara mulai dikenal orang – orang Tiongkok, khususnya para penguasanya. Beberapa peristiwa yang terjadi kemudian
memberi tanda tentang adanya hubungan diplomatik antara beberapa kerajaan di Nusantara dengan penguasa daratan Tiongkok. Dikatakan bahwa mulai tahun
904, kerajaan Sriwijaya di pantai timur Sumatera mengirim utusan diplomatik dan dagang secara teratur ke Tiongkok. Pada sekitar tahun 1200-an, tercatat
dalam kitab Chan Ju Kua tentang adanya dua kerajaan kuat di Nusantara, yaitu Sriwijaya di Sumatera dan Kediri di Jawa.
Pada tahun 1289, kaisar Tiongkok Kubilai Khan mengirim seorang utusan, yaitu Meng Ki, ke Singosari di Jawa Timur, meminta agar Singosari
mengakui kedaulatan kerajaan Tiongkok atas daerah mereka. Utusan tersebut ternyata telah dipermalukan oleh Raja Singosari. Atas penghinaan ini, katanya,
Kubilai Khan mengirimkan 10,000 serdadu untuk menghukum Singosari pada tahun 1292. Sebagaimana diketahui, ekspedisi ini menemui kegagalan karena
dikalahkan oleh menantu Raja Singosari, Raden Wijaya. Sebagian dari tentara Kubilai Khan yang kocar-kacir itu katanya tertinggal di Jawa dan menetap
menjadi penduduk setempat. Semua kejadian tentang hubungan antara Tiongkok dengan Nusantara seperti yang diceritakan di atas tidak menyebutkan tentang
sudah adanya komunitas imigran Tiongkok di suatu tempat tertentu di Nusantara.
Universitas Sumatera Utara
Perantauan orang Tiongkok ke Nusantara, khususnya untuk keperluan dagang, nampaknya baru muncul pada zaman dinasti Ming, persisnya pada akhir
abad ke - 14, ketika diberitakan adanya beberapa pedagang Tiongkok yang menetap di Palembang dan Temasik Singapura . Kondisi ini terus berlanjut
sampai pada zaman kerajaan Melaka 1400 - 1511 . Di Jawa, pada tahun 1416, seorang penulis Tiongkok yang ikut ekspedisi Laksamana Cheng Ho, yaitu Ma
Huan, melaporkan tentang adanya komunitas-komunitas pedagang asal Tiongkok di kota-kota pantai utara Jawa.
Migrasi ke Nusantara dalam jumlah yang besar pada masa berikutnya terjadi karena dua faktor yang saling berkaitan. Pertama adalah pemberontakan-
pemberontakan di daratan Tiongkok pada zaman transisi kekuasaan politik dari dinasti Ming ke dinasti Manchu, yang mendorong keluar pihak yang kalah.
Kejadian ini bersamaan dengan masuknya Orang Eropa ke daratan Tiongkok pada awal abad ke - 16, yang membuka rute pelayaran ke Laut Selatan Nan
Yang , khususnya yang mengarah ke Nusantara, hal ini terlihat dengan makin banyak orang Tiongkok. Akan tetapi, pada fase ini migrasi yang dilakukan oleh
penduduk Tiongkok dipandang sebagai kelakuan orang rendah dan buruk oleh kerajaan Tiongkok. Hal ini disebabkan alasan migrasi itu sendiri, yakni kalau
bukan karena sengsara maka sudah pasti mereka yang bermigrasi adalah bandit dan pelarian.
Menjelang akhir abad ke - 19 sampai dasawarsa ketiga abad ke - 20, terjadi lonjakan besar migrasi orang Tiongkok ke Nusantara. Lonjakan ini terjadi
karena berbagai faktor, yang terpenting di antaranya adalah :
Universitas Sumatera Utara
1. Perubahan kebijakan pemerintah Tiongkok terhadap para imigran. Kini
mereka tidak lagi dipandang hina, tapi malah disokong dan dibanggakan karena banyak membawa uang masuk untuk keluarga mereka, karena itu
larangan untuk meninggalkan negeri Tiongkok dicabut. 2.
Makin maraknya pemberontakan dan kerusuhan di daratan Tiongkok.
Tabel 3.1 Tabel Jumlah Penduduk Kelompok Etnik Tionghoa Di Indonesia Tahun 1930
Sumber : Statistical Pocket Book Of Indonesia, 1941, Dalam Victor Purcell, 1980;386
Dengan memperkirakan bahwa jumlah penduduk kelompok etnik Tionghoa di Indonesia adalah sekitar 2.5 persen dari total penduduk
Indonesia, Skinner menyusun satu tabel tentang persebaran penduduk kelompok etnik Tionghoa untuk tahun 1963, sebagaimana yang terlihat dalam Tabel 2.
Sedangkan pada tahun 1970, menurut perkiraan Mackie terdapat sekitar 3 juta kelompok etnik Tionghoa di tengah 120 juta penduduk Indonesia Mackie
1976:1.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 3.2. Tabel Perkembangan jumlah penduduk kelompok etnis Tionghoa di Indonesia
Sumber : G, William skinner dalam Ruth T. McVey ed, 1963
Dengan jumlah penduduk Indonesia 200,000,000 juta pada tahun 1997 dan dengan perkiraan jumlah penduduk kelompok etnik Tionghoa tetap 2.5
persen, maka jumlah penduduk kelompok etnik Tionghoa di Indonesia untuk tahun 1997 diperkirakan sekitar 5 juta jiwa.
Pada tahun 2000 pemerintah Republik Indonesia kembali melakukan sensus penduduk dengan mencantumkan jati diri suku bangsa. Hasil sensus
tersebut telah diolah oleh Suryadinata dan kawan-kawan untuk mendapatkan jumlah kelompok etnik Tionghoa yang benar Suryadinata et al 2003: 73-101.
Ternyata, karena berbagai hambatan mereka masih susah untuk mendapatkan angka tersebut. Pertama, dari 30 propinsi di Indonesia, hanya 11 propinsi yang
mengeluarkan angka tentang penduduk kelompok etnik Tionghoa. Kedua, ada banyak kesulitan baik bagi warga kelompok etnik Tionghoa untuk
mengungkapkan, maupun bagi petugas untuk mengenali, jati diri etnik mereka. Namun demikian, dengan berbagai cara Suryadinata et al memperkirakan bahwa
penduduk kelompok etnik Tionghoa adalah sekitar 1.45 persen sampai 2.04
Universitas Sumatera Utara
persen dari seluruh penduduk Indonesia. Persentase ini berada di bawah keadaan tahun 1930. Secara sosiologis, penurunan persentase ini sangat mungkin
disebabkan karena mereka yang mestinya digolongkan kelompok etnik Tionghoa tidak lagi mau mengaku sebagai warga keturunan, tapi mengaku
sebagai orang Indonesia atau suku bangsa mayoritas di mana mereka tinggal. Jika dugaan tentang jumlah penduduk kelompok etnik Tionghoa ini benar maka
kenyataan ini dapat dipakai sebagai salah satu tanda makin intensifnya proses asimilasi meninggalkan identitas ke Tionghoaan untuk menjadi Pribumi. Namun
demikian, alasan ini belum dapat digunakan sebagai kesimpulan yang benar. Sebab apa yang menjadi latar belakang semakin intensifnya proses asimilasi
tersebut masih menjadi pertanyaan besar. Hal ini yang memunculkan beragam asumsi dan perspektif tersendiri mengenai latar belakang intensifnya asimilasi
didasari oleh perjalanan etnik Tionghoa itu sendiri di Indonesia. Adapun perjalanan etnik Tionghoa di Indonesia yang dijadikan sebagai alasan
munculnya beragam asumsi serta perspektif dapat dilihat mulai dari : 1.
Era kolonial Pada era ini pemerintah kolonial membuat kebijakan penggolongan etnik.
Dimana tiap tiap golongan etnik memiliki kasta, posisi atau kedudukan sendiri dalam kehidupan bermasyarakat pada era pemerintahan kolonial.
Etnik Tionghoa sendiri dalam hal ini secara struktur penggolongan berada pada tingkatan kedua dari empat penggolongan etnik yang dibuat oleh
pemerintah kolonial. Hal ini disebabkan pada masa kolonial etnik Tionghoa memiliki peran sebagai salah satu etnik penghubung bagi pemerintahan
kolonial. Hal ini yang kemudian memunculkan asumsi bahwa etnik tionghoa
Universitas Sumatera Utara
merupakan antek antek era kolonialisme, meskipun pada kenyataannya tidak ada juga etnik tionghoa yang memilih untuk lebih berpihak kepada kaum
pribumi dari pada menjalankan peran yang diberikan oleh pemerintahan kolonial pada masa itu. Asumsi ini kemudian berujung pada berbagai
tindakan diskriminatif terhadap etnik Tionghoa pada era berikutnya.
2.
Pasca kemerdekaan Pada pasca kemerdekaan asumsi bahwa etnik tionghoa merupakan bagian dari
kolonialisme yang masih melekat, walaupun tidak sedikit pula etnik tionghoa yang ikut memperjuangkan kemerdekaan. Asumsi mengenai etnik tionghoa
sebagai bagian dari kolonialisme dipertegas oleh munculnya berbagai fakta kejadiaan yang melibatkan etnik Tionghoa, salah satu kejadian penting yakni
munculnya pemberontakan pho an tui. Terlepas apapun alasan dibalik pho an tui itu sendiri baik atau buruknya. Pemerintahan kolonial telah berhasil
menanamkan sebuah prasangka terhadap etnik Tionghoa yang berujung pada munculnya sentimen anti cina.
3. Orde lama
Pada era orde lama asumsi stereotipe mengenai etnik Tionghoa yang ada pasca kemerdekaan ingin coba dihilangkan oleh pemerintahan pada kala itu,
dimana Ir. Soekarno sebagai kepala pemerintahan menjalain hubungan harmonis dengan pemerintah tiongkok. Puncak keharmonisan hubungan
tersebut terjadi ketika pada tahun 1946 Konsulat jenderal negeri tiongkok dengan bung karno datang ke Malang. Pada momentum tersebut presiden
Soekarno membuat pernyataan ketika ia berpidato yang menyatakan bahwa tiongkok merupakan salah satu dari lima negaara besar one of the big five
Universitas Sumatera Utara
yang berdiri di belakang Republik indonesia. Seketika pun sorak sorai masyarakat yang menyaksikan dan mendengarkan pidato bung karno pun
pecah terlebih kalangan etnik Tionghoa, karena hal ini merupakan angin segar bagi mereka dalam menghilangkan asumsi stereotipe terhadap etnik mereka.
Namun pada kenyataanya hal ini tidak serta merta dapat menghapus streotipe dan tindakan diskriminatif terhadap etnik ini. Untuk menghindari meluasnya
tindakan diskriminatif serta guna menjaga stabilitas keamaan maka dengan ini pemerintahan kala itu mengeluarkan kebijakan. Adapun kebijakan tersebut
yakni PP Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1959 yang isinya melarang etnik Tionghoa untuk memiliki segala bentuk usaha mulai dari tingkatan
kabupatenkota hingga tingkatan dibawahnya. Kebijakan ini ternyata tidak mampu meredam perluasan sentimen anti cina yang telah eluas dan mengakar
kuat, justru kebijakan ini malah menimbulkan permasalahan baru dimana meruncingnya hubungan yang sebelumnya harmonis dengan pemerintahan
Tiongkok. Oleh karena itu untuk mengindari hal ini pemerintah pun mengeluarkan kebijakan untuk memulangkan etnik Tionghoa yang ingin
kembali ke negara asalnya. 4.
Orde baru. Pada era orde baru segala aspek yang berkaitan dengan etnik Tionghoa
berubah drastis jika dibandingkan dengan era orde lama. Etnik Tionghoa yang sebelumnya dianggp sebagai kawan seperjuangan pada era orde lama
namun pada era ini stereotipe terhadap etnik ini kembali seperti pada era kolonial, dimana etnik Tionghoa dianggap sebagai etnik pendatang dan
mengalami banyak hal yang sifatnya diskriminatif. Adapun hal diskriminatif
Universitas Sumatera Utara
yang dialami etnik ini pada era orde baru tidak lain disebabkan oleh kebijakan yang dibuat oleh pemerintah yang berkuasa pada saat itu. Adapun kebijakan
kebijakan diskriminatif tersebut antara lain yaitu INPRES No. 14 Tahun 1967, Surat Edaran No.06Preskab667, INPRES No.37UIN61967,
KEPMENDAGRI No, 455.2-3601968, Surat Edaran Dirjen Pembinaan pers dan Grafika No.02SEDitjenPP6K1988 serta PRESKAB
No.127UKE121996. Tidak hanya kebijakan tersebut diatas saja ternyata masih banyak kebijakan yang sifatnya diskriminatif bagi etnik Tionghoa.
Bhinneka Tunggal Ika Sebagai simbol bangsa Indonesia yang mampu menyatukan berbagai etnik dan budaya dari Sabang sampai Merauke. Tetapi
ternyata hal ini tidak bisa untuk etnik Tionghoa yang merupakan etnik yang dianggap sebagai etnik pendatang. Menurut pemerintahan orde baru etnik
Tionghoa harus melebur menjadi satu dengan pribumi, dengan cara merubah semua adat, bahkan keyakinannya.
5. Reformasi dan Pasca Reformasi
Era reformasi, era ini diaanggap sebagai klimaks dari berbagai tindakan diskriminatif bagi etnik Tionghoa, karena pada era ini etnik Tionghoa
dianggap sebagai musuh bersama oleh beragam etnik yang ada di Indonesia. Dimana hal ini disebabkan bibit sentimen anti cina yang telah lama ada
didukung dengan kecemburuan sosial dalam bidang ekonomi terhadap etnik Tionghoa. Kecemburuan sosial ini ternyata juga merupakan dampak dari
perlakuan pemerintahan orde baru yang memposisikan etnik ini dalam bidang ekonomi secara lebih ekslusif jika dibandingkan dengan etnik lain. Hal ini
yang menyebabkan pada saat pecahnya reformasi banyak aksi aksi anarkis
Universitas Sumatera Utara
dan diskriminatif dialami oleh etnik ini, mulai dari perusakan terhadap aset, penjarahan harta, hingga tindak perkosaan terhadap para perempuan etnik ini.
Berkaca pada tragedi reformasi yang menimbulkan cedera psikis yang mendalam bagi etnik Tionghoa maka pemerintahan yang berkuasa pasca
reformasi kala itu coba mendinamisir keadaan agar kejadian yang sama tidak terulang lagi bagi etnik manapun di Indonesia. Oleh karena itu pemerintah
coba untuk menghilangkan kebijakan kebijakan diskriminatif terhadap etnik Tionghoa yang terjadi pada era orde baru di samping memposisikan etnik ini
setara dengan etnik lain di Indonesia dalam bidang apapun. Adapun kebijakan yang diambil oleh pemerintahan dimasa itu yakni Inpres no 5 Tahun 1999
yang menyatakan bahwa Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia tidak dibutuhkan lagi. Undang-undang nomor 12 tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia dan Undang-Undang No. 23 tahun 2006.
Meskipun pemerintah telah mencoba untuk mengembalikan kondisi psikis serta akar budaya etnik Tionghoa kepada mereka, namun karena berbagai
tragedi, kejadian serta kebijakan kebijakan yang dahulu ditujukan kepada mereka tampaknya apa yang dilakukan oleh pemerintahan era reformasi tidak
berjalan dengan apa yang diharapkan. Hal ini terbukti dengan kutipan dibawah ini dari Suryadinata et al 2003 angka penduduk etnik Tionghoa di 11 propinsi
yang mencatat tentang penduduk etnik Tionghoa.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 3.3. Sumber: Leo; Avi Nurvidya Arifin dan Aris Ananta. Indonesia’s Population ; Ethnicity and
religion changing political landscape singapore: Institute of southeast asian studies; 2003.
Berdasarkan tabel 3.3 muncul pertanyaan mengapa hanya 11 provinsi yang memasukkan data mengenai asal usul etnik pada sensus tahun 2000.
Apakah di provinsi lain tidak ada etnik Tionghoa atau etnik Tionghoa enggan untuk mengatakan asal usul etnikya atau bahkan hal ini merupakan sebuah
bentuk keberhasilan proses asimilasi yang pernah diterapkan pada orde baru. Sehingga etnik Tionghoa banyak yang sudah lupa akan akar budayanya sampai
mengidentifikasikan dirinya tidak lagi sebagai etnik Tionghoa melainkan etnik yang berasal dari tempat dimana ia tinggal.
Universitas Sumatera Utara
Di Indonesia sendiri etnik Tionghoa mayoritas berasal dari daerah tenggara Tiongkok, sehingga secara mayoritas terdapat beberapa kelompok
etnik Tionghoa yang menetap di daerah tersebut. Kelompok – kelompok etnik tersebut dapat teridentifikasi berdasarkan pengunaan dialek bahasa dan
kebudayaan leluhur, seperti yang di kemukakan oleh Joshua Fishman,dalam salah satu studinya pernah mengungkapkan bahwa penggunaan bahasa dan
kebudayaan leluhur cenderung dijadikan patokan banyak kebudayaan untuk mendefinisikan identitas etnik seseorang.Oleh karena itu dalam hal ini aspek
bahasa menjadi salah satu aspek yang paling mudah dijadikan patokan.
A
dapun dialek bahasa yang digunakan yaitu:
• Hakka
Dialek Hakka secara harafiah berarti bahasa keluarga tamu atau di Indonesia umumnya dipanggil
“
Khek” adalah bahasa yang dituturkan oleh
orang Hakka
yang merupakan suku Han
yang tersebar di kawasan pegunungan provinsi
Guangdong, Fujian
dan Guangxi
di Tiongkok. Masing-masing daerah ini juga memiliki khas dialek Hakka yang agak berbeda tergantung provinsi dan
juga bagian gunung sebelah mana mereka tinggal.
•
Hainan Dialek Hainan
, juga dikenali sebagai Qiongwen atau Qiongyu
,
merupakan salah satu dialek bahasa cina
“
Min Nan” yang dituturkan oleh kelompok etnik
yang secara teritorial berdomisili di pulau hainan dan di sekitar Semenanjung
Leizhou. Bahasa hainan kadangkala boleh dimaksudkan dengan bahasa kaum kerabat
Li yang tinggal di pantai selatan Hainan, tapi secara umumnya
Universitas Sumatera Utara
dimaksudkan dengan Bahasa Cina Hainan.Dialek ini agak berbeda dengan dialek-dialek Min-nan yang lain seperti
Teochew ,Hokkien
dan Taiwan.
•
Hokkien Dialek Hokkien atau bahasa Hokkian yang dikenal sebenarnya adalah
dialek Min Selatan Min-nan yang merupakan bagian dari bahasa Han. Dialek ini digunakan secara luas di provinsi Fujian, Taiwan, sebelah utara Guangdong
Kengtang dan di Asia Tenggara di mana konsentrasi Tionghoa perantauan adalah mayoritas berasal dari provinsi Fujian. Bahasa Hokkian juga dikenal
sebagai bahasa Holo di daratan Tiongkok dan Taiwan. Bahasa Hokkien ini sendiri terbagi atas banyak logat di antaranya logat Ciangciu Zhangzhou,
logat Cuanciu Quanzhou dan logat Emui Xiamen, dulu Amoy. Bahasa Tiochiu Chaozhou adalah juga salah satu logat dalam bahasa Hokkien, namun
karena penduduk Tiochiu tersebar di daerah Guangdong utara, maka bahasa Tiochiu kemudian mendapat pengaruh dari bahasa Kanton menjadi logat dalam
bahasa Hokkien yang dekat dengan bahasa Kanton lihat bahasa Kantonis. Bahasa Hokkien umumnya dikenal sebagai bahasa ibu mother tongue.
•
Kantonis Dialek Kanton atau Yuè bahasa Guangdong. Sering disebut bahasa
Konghu, adalah salah satu dari dialek bahasa Tionghoa yang dituturkan di barat daya Cina, Hong Kong, Makau, masyarakat keturunan Tionghoa di Asia
Tenggara dan juga masyarakat Tionghoa di belahan dunia lain. Bahasa Kanton merupakan bahasa perdagangan kebanyakan orang-orang Tionghoa yang tinggal
di luar negeri - dituturkan oleh hampir 70 juta orang di seluruh dunia, jumlah
Universitas Sumatera Utara
yang hanya bisa disaingi di luar Cina oleh Bahasa Hokkien yang mempunyai sekitar 40 juta penutur. Sejarah bahasa Kanton ini dapat ditarik balik ke
zaman Dinasti Tang. Menurut penelitian dari ahli bahasa Han di Tiongkok, dialek Kanton merupakan salah satu dialek bahasa Han tertua yang masih tersisa
sekarang ini. Dialek Kanton digunakan secara luas pada zaman Dinasti Tang.
•
Hokchia Dialek
Hokchia, juga dikenali sebagai bahasa Fuqing
,
merupakan salah satu dialek bahasa cina
yang
digunakan secara luas di sebuah kota tingkat kabupaten Fuzhou Prefektur di Provinsi Fujian, Republik Rakyat Tiongkok.
Fuqing terletak di bagian utara-tengah dari Fujian pantai laut, selatan
Fuzhou dan utara
Putian
•
Tiochiu Dialek Tiochiu, Tiociu, teochew atau diojiu pinyin, kadang juga dieja
sebagai Chiu Chow di Amerika Serikat dan Hong Kong adalah sebuah bahasa yang termasuk ke dalam rumpunbahasa Sino-Tibet. Bahasa ini berkerabat
dengan bahasa Hokkien Tiochiu dan HokkienMin-nan diklasifikasikan dalam rumpun Min dan penutur kedua bahasa dapat cukup mengerti kedua bahasa
meski tidak seluruhnya. Bahasa Tiochiu adalah dialek Hokkien yang dipengaruhi oleh Bahasa
Kantonis dikarenakan letak geografisnya yang berada di utara provinsi Guangdong dekat perbatasan provinsi Fujian. Orang-orang Tiochiu berasal dari
berbagai kota di Provinsi Guangdong, Republik Rakyat Tiongkok, antara
Universitas Sumatera Utara
lain: Jieyang, Chaozhou ejaan Tiochiu: Tio-chiu dan Shantou. Daerah asal orang Tiochiu biasa disebut sebagai Chaoshan, gabungan dari kata Chaozhou
dan Shantou. Penduduk asli provinsi Guangdong yang berbahasa Yue, menyebut penutur Tiochiu sebagai orang Hoklo
[30
Oleh karena itu berdasarkan hal ini maka dapat disimpulkan pula bahwa etnik Tionghoa di Indonesia berasal dari kelompok – kelompok etnik yang
menggunakan dialek bahasa tersebut yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Adapun persebarannya yaitu Sebagian besar dari orang-orang
Tionghoa di Indonesia menetap di pulau Jawa. Daerah-daerah lain di mana mereka juga menetap dalam jumlah besar selain di daerah perkotaan adalah:
Sumatra Utara, Bangka-Belitung, Sumatra Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat, Banjarmasin dan beberapa tempat di Sulawesi Selatan dan
Sulawesi Utara. Hakka tersebar di Aceh, Sumatra Utara, Batam, Sumatra Selatan, Bangka- Belitung, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat, Banjarmasin,
Sulawesi Selatan, Manado, Ambon dan Jayapura. Hainan tersebar di Riau Pekanbaru dan Batam, dan Manado. Suku Hokkian tersebar di Sumatra Utara,
Pekanbaru, Padang, Jambi, Sumatra Selatan, Bengkulu, Jawa, Bali terutama di Denpasar dan Singaraja, Banjarmasin, Kutai, Sumbawa, Manggarai, Kupang,
Makassar, Kendari, Sulawesi Tengah, Manado, dan Ambon. Kantonis tersebar di Jakarta, Makassar dan Manado. Hokchia tersebar di Jawa terutama Bandung,
Cirebon, Banjarmasin dan Surabaya. Tiochiu tersebar di Sumatra Utara, Riau, Riau Kepulauan, Sumatra Selatan, dan Kalimantan Baratkhususnya Pontianak
dan Ketapang.
]
.
[30]
.
http:id.wikipedia.orgwikifuqing,haka,tiochiu,hokkian,hokchia.kanton.co.id
Universitas Sumatera Utara
Menurut seorang Puspa Vasanty, setiap imigran Tionghoa ke Indonesia membawa kebudayaan suku bangsanya masing-masing bersama dengan
bahasanya. Para imigran Tionghoa yang tersebar di Indonesia ini mulai datang sekitar abad keenam belas sampai kira-kira pertengahan abad kesembilan belas,
asal dari suku bangsa Hokkian. Mereka berasal dari Provinsi Fukien bagian selatan. Daerah ini merupakan daerah yang sangat penting dalam pertumbuhan
dagang orang Cina ke seberang lautan. Orang Hokkian dan keturunannya telah banyak berasimilasi dengan orang Indonesia, yang sebagian besar terdapat di
Indonesia Timur, Jawa Tengah, Jawa Timur dan pantai barat Sumatera Vasanty 1990:353.
Imigran Tionghoa lainnya adalah suku bangsa Teo-Chiu yang berasal dari pantai selatan Negeri China di daerah pedalaman Swatow di bagian timur
Provinsi Kwantung. Orang Teo-Chiu dan Hakka Khek disukai sebagai pekerja di perkebunan dan pertambangan di Sumatera Timur, Bangka, dan Belitung.
Walaupun orang Hakka merupakan suku bangsa Cina yang paling banyak merantau ke seberang lautan, mereka bukan suku bangsa maritim. Pusat daerah
mereka adalah Provinsi Kwangtung yang terutama terdiri dari daerah gunung- gunung kapur yang tandus. Orang Hakka merantau karena terpaksa atas
kebutuhan mata pencaharian hidup. Selama berlangsungnya gelombang- gelombang imigrasi dari tahun 1850 sampai 1930, orang Hakka adalah orang
yang paling miskin di antara para perantau Tionghoa. Mereka bersama orang Teo-Chiu dipekerjakan di Indonesia untuk mengeksploitasi sumber-sumber
mineral, sehingga sampai sekarang orang Hakka mendominasi masyarakat Tionghoa di distrik tambang-tambang emas lama di Kalimantan Barat,
Universitas Sumatera Utara
Sumatera, Bangka, dan Biliton. Sejak akhir abad kesembilan belas, orang Hakka mulai migrasi ke Jawa Barat, karena tertarik dengan perkembangan kota Jakarta
dan karena dibukanya dareah Priangan bagi pedagang Tionghoa Vasant 1990:353-354.
Di sebelah barat dan selatan daerah asal orang Hakka di Provinsi Kwantung tinggallah orang Kanton Kwong Fu. Serupa dengan orang Hakka, orang Kanton
terkenal di Asia Tengara sebagai buruh pertambangan. Mereka bermigrasi pada abad kesembilan belas ke Indonesia. Sebagian besar tertarik oleh tambang-tambang
timah di Pulau Bangka. Mereka umumnya datang dengan modal yang lebih besar dibanding orang Hakka dan mereka datang dengan keterampilan teknik dan
pertukangan yang tinggi. Di Indonesia mereka dikenal sebagai ahli dalam pertukangan, pemilik toko-toko besi, dan industri kecil. Orang Kanton ini lebih
tersebar merata di seluruh kepulauan Indonesia dibanding orang Hokkian, Teo- Chiu, atau Hakka. Jadi orang Tionghoa perantau di Indonesia ini paling sedikitnya
ada empat suku bangsa seperti terurai di atas.
Seiring perjalanan waktu bangsa Indonesia telah mengalami berbagai macam peristiwa begitu pula dengan etnik Tionghoa yang telah lama ada dan
menetap di Indonesia yang juga turut serta mengiringi perjalanan peristiwa yang dilalui bangsa Indonesia. Meskipun mengalami berbagai peristiwa serta turut
dalam berbagai sejarah perjalanan bangsa namun hal itu tidaklah cukup untuk melepas prasangka stereotipe terhadap etnik Tionghoa. Mereka masih danggap
sebagai warga pendatang, meskipun tidak sedikit dari mereka adalah etnik turunan yang lahir dan besar di Indonesia atau bahkan etnik campuran Tionghoa
yang kedua duanya sama sekali tidak pernah menginjakkan kakinya ke tanah
Universitas Sumatera Utara
leluhurnya di Tiongkok. Hal ini yang juga kemudian menambah beban psikologis bagi mereka etnik turunan atau campuran Tionghoa.
3.4.2. Etnik Tionghoa di kota Medan dan Sumatera Utara