Faktor Munculnya Masalah Identitas Tionghoa Peranakan

BAB IV REFLEKSI DIRI DILEMATIS TIONGHOA PERANAKAN

4.1. Faktor Munculnya Masalah Identitas Tionghoa Peranakan

Proses panjang etnik Tionghoa dalam memperoleh statusnya sebagai warga negara memunculkan sebuah dilema yang memberikan warna tersendiri bagi kehidupan bangsa, khususnya aspek kependudukan dimana munculnya diversitas yang tercipta melalui proses tersebut. Terlepas dari kemunculan fenomena Tionghoa peranakan ternyata dibalik semua perjalanan panjang tersebut terdapat banyak permasalahan khususnya bagi mereka yang menjadi bagian dari fenomena tersebut. . Sebagai bagian dari fenomena tersebut penulis juga merasakan sulitnya mengidentifikasi diri sebagai bagian dari etnik Tionghoa dalam berbagai bentuk interaksi yang dilakukan. Meskipun jika ditelaah berdasarkan aspek dan sudut pandang budaya Tionghoa yang menganut sistem kekerabatan yang patrilineal, maka secara otomatis penulis masuk dalam kategori etnik Tionghoa karena memiliki ayah Tionghoa, meskipun ibu berasal dari etnik diluar Tionghoa. Berikut kutipan wawancara penulis dengan salah seorang teman etnik Tionghoa yang juga menyatakan bahwa etnik Tionghoa memiliki sistem kekerabatan yang patrilineal. Buat orang Tionghoa, laki – laki memiliki hak istimewa karena laki – laki nantinya yang akan meneruskan silsilah keluarga misalnya marga, relasi yang dimiliki keluarga, usaha keluarga serta semua yang berkaitan dengan keluarga besarnya. Tapi semua silsilah yang Universitas Sumatera Utara harus di teruskan oleh laki laki kemungkinan akan putus jika laki – laki Tionghoa menikah dengan orang diluar Tionghoa. Kesulitan proses identifikasi yang timbul dalam berbagai interaksi dialami penulis terjadi mulai dari masa anak – anak, dimana pada masa ini penulis sama sekali tidak pernah tahu bahkan mengenal budaya Tionghoa itu sendiri. Hal ini disebabkan dalam proses interaksi pertama sebagai seorang individu yang berinteraksi pertama kali guna mengidentifikasi diri sudah pasti dimulai dari keluarga dan role model acuan yang digunakan dalam proses tersebut adalah kedua orang tua baik ayah ataupun ibu, atau kerabat yang masih dalam konsep Extended Family keluarga luas. Dalam hal ini keluarga yang dimaksud yaitu khusus kepada konsep Nuclear Family keluarga inti. Oleh karena itu peran keluarga, khususnya kedua orang tua amat penting dalam proses interaksi guna memperoleh identitas seseorang. Namun pada tahap ini penulis sama sekali tidak pernah mengetahui bahkan mengenal seperti apa kebudayaan Tionghoa, serta bagaimana bersikap dan bertindak layaknya seorang Tionghoa. Adapun hal yang menjadi penyebabnya ialah karena adanya ketimpangan peran dalam keluarga yang menyebabkan penulis hanya menerima pengetahuan mengenai budaya dari sang ibu yang jelas bukanlah budaya Tionghoa. Meskipun ayah penulis adalah orang Tionghoa namun peran dan tanggung jawab ayah dalam memberikan pemahaman terkait dengan identitas yang dimilikinya kepada anak tidak berjalan sebagaimana mestinya, sehingga hal ini yang memunculkan ketimpangan peran yang menyebabkan anak tersebut hanya memperoleh pengetahuan akan identitas serta budaya yang nantinya akan Universitas Sumatera Utara menjadi identitasnya ditengah masyarakat diperoleh dari ibu saja. Walaupun yang dijadikan role model dalam keluarga tersebut kedua orang tua, akan tetapi ketimpangan peran ini menyisakan ruang kosong yang mengkibatkan timbul ketidaktahuan akan budaya Tionghoa yang harusnya perlu diketahui sebab dalam keluarga tersebut ayah berasal dari etnik Tionghoa. Berikut kutipan wawancara penulis dengan salah satu anggota keluarga yang memiliki status sama sebagai etnik peranakan dalam bentuk keluarga extended family Tionghoa. Ya susah memang mengakui diri sebagai orang Tionghoa tanpa mengetahui sama sekali budaya Tionghoa. Tapi gimana caranya bisa tahu dirumah sendiri pun bapakku yang orang Tionghoa aja gak pernah ngajarin seperti apa budaya Tionghoa, bagaimana bersikap sebagai orang Tionghoa. Malah bapak cenderung nyembunyikan diri sebagai orang Tionghoa. Berikut temuan silsilah keluarga dari etnik Tionghoa yang dalam anggota keluarganya terdapat penggolongan etnik Tionghoa. Universitas Sumatera Utara Bagan 4.1. Bagan Silsilah Keturunan Keluarga Liem Ki Lio Sumber : Hasil Wawancara dan Penelitian Penulis 1.Ong Shi Ren Pa MA 1.Liem Ki Lio Pa Kong 5.Tan Ma Liang A Ma 5.Liem Ki Man A Kong 16.Liem Zia Liang Ko Tiu 01.Liem Ma Kin A Ku 01.Liem Ki Chun A Ku 16.Liem Ki Liang Ko Tiu 4.Han Li Ko A Ma 4.Liem Ko Pien A Kong 15.Liem Li Kan Ko Tiu 0.Liem Ji Anh A Ma 3.Tan Shi Ni A Ma 3.Liem Ki Seng A Kong 14.Juriah A Ku 14.Liem Nu Ha Ko Tiu 09.Siti Rukayah Sio Be 09.Zurahmi Sio Be 10.Liem A Peng ko Tiu 10.Liem A Cin Ko Tiu 02.Liem Wi Duk A Ku 02.Liem A Na A Ku 13.Sri Prihartini A Bu 13Liem An Tung A Pa 23.Rahmat Santoso Sio Ti 23.Asrul Fahmi Gua Ka Ki 12.Sri Hariati A Ku 12.Liem An Dung Ko Tiu 22.Fathan Shorih Ko Ko 22.Raihan Asrofi Ko Ko 22.Izzat Sulhan Ko Ko 08.Rizkia Ulfa Ci Ci 11.Win Xei Tan A ku 11.Liem Da Ko Tiu 21.Liem Ki Yong Ko Ko 02.Liem wuk A ku 10.Liem Mas Ko Tiu 9.Ong Ren Tiu A Ku 9.Liem Sup Ko Tiu 20.Liem Cho Er Ko Ko 07.Liem Jia Kia Ci Ci 07.Liem Ren Tiu Ci Ci 8.Cia Tan Wo A M 8.Liem Suk A pek 19.Liem Wa Ri Ko Ko 06.Liem A Dek Ci Ci 19.Liem Per Yio Ko Ko 06.Liem Cia Ar Ci Ci 19.Liem Ki Jon Ko Ko 19.Liem An Da ko Ko 2.Li Pin A Ma 2.Liem Cu Beng Akong 7.Zhang Jie A Ku 7.Liem Shi Lio Ko Tiu 18.Liem A Lio Ko Ko 05.Liem Zhang He Ci Ci 03.Liem Cu Pin A Ku 03.Liem Cia A KU 6.Li Siao Yun A M 6.Liem Cun A Pek 04.Liem Chi Yun Ci Ci 17.Liem Siao Cun Ko Ko Universitas Sumatera Utara Keterangan Bagan 4.1. : • Tabel 4.1 Tabel Keterangan Warna Kolom Bagan 4.1. Keterangan Kolom No. Warna Kolom Keterangan 1 Merah Laki – laki Etnik TionghoaLaki – laki keturunan Tionghoa dengan golongan Totok yang ada didalam dan menjadi bagian Keluarga 2 Putih Perempuan Etnik Tionghoa Perempuan Keturunan Tionghoa dengan golongan Totok yang ada didalam menjadi bagian keluarga 3 Kuning Perempuan Etnik Tionghoa golongan totok dari luar keluarga yang masuk dan menjadi bagian keluarga 4 Hijau Perempuan Etnik Pribumi yang masuk dan menjadi bagian keluarga 5 Hijau muda Perempuan keturunan etnik Tionghoa dengan Pribumi Peranakanyang ada didalam dan menjadi bagian keluarga 6 Orange Laki – laki keturunan etnik tionghoa dengan pribumi peranakan yang ada didalam dan menjadi bagian Universitas Sumatera Utara keluarga Tabel 4.2. Tabel Keterangan Warna Garis Bagan 4.1. No. Warna Garis Keterangan 1 Hitam Garis Keturunan Tionghoa golongan Tionghoa totok dengan Tionghoa totok dari merah 1 dengan kuning 1 2 Merah Tua Garis Keturunan Tionghoa golongan Tionghoa totok dengan Tionghoa totok dari merah 2 dengan kuning 2 3 Merah Garis Keturunan Tionghoa golongan Tionghoa totok dengan Tionghoa totok dari merah 3 dengan kuning 3 4 Kelabu Garis Keturunan Tionghoa golongan Tionghoa totok dengan Tionghoa totok dari merah 4 dengan kuning 4 5 Hijau Garis Keturunan Tionghoa golongan Tionghoa totok dengan Tionghoa totok dari merah 5 dengan kuning 5 6 Cokelat Garis Keturunan Tionghoa golongan Tionghoa totok dengan Tionghoa totok dari merah 6 dengan kuning 6 7 Cokelat tua Garis keturunan Tionghoa golongan Tionghoa totok dengan Tionghoa totok dari merah 7 dengan kuning 7 8 Biru muda Garis keturunan Tionghoa golongan Tionghoa totok Universitas Sumatera Utara dengan Tionghoa totok dari merah 8 dengan kuning 8 9 Biru tua Garis keturunan Tionghoa golongan Tionghoa totok dengan Tionghoa totok dari merah 9 dengan kuning 9 10 Hijau Tua Garis keturunan Tionghoa golongan Tionghoa totok dengan Tionghoa totok dari merah 10 dengan kuning 10 11 Ungu Garis keturunan Tionghoa golongan Tionghoa totok dengan pribumi dari 11 merah dengan hijau 11 12 Kuning Garis keturunan Tionghoa golongan Tionghoa totok dengan pribumi dari 12 merah dengan hijau 12 13 Orange Garis keturunan Tionghoa golongan Tionghoa totok dengan pribumi dari merah 13 dengan hijau 13 Tabel 4.3. Tabel Keterangan Angka Bagan 4.1. No Nomor dan Warna Kolom Keterangan 1 1 kolom merah dan putih Laki – laki dan perempuan etnik Tionghoa totok yang berpasangan 2 2 sampai 5 kolom merah Anak laki – laki etnik Tionghoa Totok keturunan dari nomor 1 kolom merah dengan kolom kuning pasangan etnik Tionghoa totok Universitas Sumatera Utara 3 0 kolom putih Anak Perempuan etnik Tionghoa totok keturunan dari nomor 1 kolom merah dengan kolom kuning pasangan etnik Tionghoa totok 3 6 sampai 7 kolom merah Anak laki – laki etnik Tionghoa Totok keturunan dari nomor 2 kolom merah dengan kolom kuning pasangan etnik Tionghoa totok 4 03 kolom putih Anak Perempuan etnik Tionghoa totok keturunan dari nomor 2 kolom merah dengan kolom kuning pasangan etnik Tionghoa totok 5 8 sampai 14 kolom merah Anak laki – laki etnik Tionghoa Totok keturunan dari nomor 3 kolom merah dengan kolom kuning pasangan etnik Tionghoa totok 6 02 kolom putih Anak Perempuan etnik Tionghoa totok keturunan dari nomor 3 kolom merah dengan kolom kuning pasangan etnik Tionghoa totok 7 15 kolom merah Anak laki – laki etnik Tionghoa Totok keturunan dari nomor 4 kolom merah dengan kolom kuning pasangan etnik Tionghoa totok 8 16 kolom merah Anak laki – laki etnik Tionghoa Totok keturunan dari nomor 5 kolom merah dengan kolom kuning pasangan etnik Tionghoa totok Universitas Sumatera Utara 9 17 kolom merah Anak laki – laki etnik Tionghoa Totok keturunan dari nomor 6 kolom merah dengan kolom kuning pasangan etnik Tionghoa totok 10 04 kolom putih Anak Perempuan etnik Tionghoa totok keturunan dari nomor 6 kolom merah dengan kolom kuning pasangan etnik Tionghoa totok 11 18 kolom merah Anak laki – laki etnik Tionghoa Totok keturunan dari nomor 7 kolom merah dengan kolom kuning pasangan etnik Tionghoa totok 12 05 kolom putih Anak Perempuan etnik Tionghoa totok keturunan dari nomor 7 kolom merah dengan kolom kuning pasangan etnik Tionghoa totok 13 19 kolom merah Anak laki – laki etnik Tionghoa Totok keturunan dari nomor 8 kolom merah dengan kolom kuning pasangan etnik Tionghoa totok 14 06 kolom putih Anak Perempuan etnik Tionghoa totok keturunan dari nomor 8 kolom merah dengan kolom kuning pasangan etnik Tionghoa totok 15 20 kolom merah Anak laki – laki etnik Tionghoa Totok keturunan dari nomor 9 kolom merah dengan kolom kuning pasangan etnik Tionghoa totok Universitas Sumatera Utara 16 07 kolom putih Anak Perempuan etnik Tionghoa totok keturunan dari nomor 9 kolom merah dengan kolom kuning pasangan Tionghoa totok 17 21 kolom merah Anak laki – laki etnik Tionghoa Totok keturunan dari nomor 11 kolom merah dengan kolom kuning pasangan etnik Tionghoa totok 18 22 kolom orange Anak laki – laki etnik Tionghoa Peranakan keturunan dari nomor 12 kolom merah dengan kolom hijau pasangan etnik Tionghoa totok dengan etnik Pribumi 19 08 kolom Hijau muda Anak perempuan etnik Tionghoa Peranakan keturunan dari nomor 12 kolom merah dengan kolom hijau pasangan etnik Tionghoa totok dengan etnik Pribumi 20 23 kolom orange Anak laki – laki etnik Tionghoa Peranakan keturunan dari nomor 13 kolom merah dengan kolom hijau pasangan etnik Tionghoa totok dengan etnik Pribumi 21 09 kolom Hijau muda Anak perempuan etnik Tionghoa Peranakan keturunan dari nomor 14 kolom merah Universitas Sumatera Utara dengan kolom hijau pasangan etnik Tionghoa totok dengan etnik Pribumi Hal inilah yang kemudian menyebabkan munculnya dilema tersendiri pada diri penulis mengenai identitas yang harus disandangnya sebagai seorang individu dalam setiap interaksinya di tengah masyarakat. Dilema yang dirasakan penulis ternyata juga dirasakan oleh beberapa kerabat penulis yang masih dalam ikatan extended family keluarga luas. Hal ini dikarenakan kerabat tersebut memiliki latarbelakang permasalahan yang sama dalam proses identifikasinya. Sehingga hal ini yang kemudian dimanfaatkan penulis dengan menjadikan kerabat tersebut sebagai informan dalam penulisan penelitian ini guna memperkaya materi untuk dianalisa. Berdasarkan permasalahan yang dialami tersebut, penulis mendapati bahwasanya permasalahan identitas muncul sebagai bagian dari fenomena etnik Tionghoa peranakan disebabkan oleh beberapa faktor, adapun faktor tersebut antara lain : • Latar Belakang Sejarah Latar belakang sejarah dalam hal ini menjadi salah satu faktor penting, karena sejarah merupakan hal pokok yang menciptakan sebuah konsepsi mengenai ketionghoaan itu sendiri. Oleh karena itu pada kalangan etnik Tionghoa peranakan sendiri, sejarah yang menjadi latarbelakang ketionghoaannya akan menjadi pertanyaan besar dalam proses identifikasi Universitas Sumatera Utara dirinya. Khusus bagi Tionghoa Peranakan hal yang menjadi latar belakang sudah pasti alasan dibalik asal usul yang menjadi alasan orang tuanya yang menjadi unsur penyebab istilah Tionghoa peranakan diperolehnya. Dalam budaya Tionghoa dikota Medan adanya penyebutan istilah Huaren dan Huana dikalangan etnik Tionghoa menegaskan bahwasanya terdapat klasifikasi dikalangan etnik Tionghoa. Adapun makna dari istilah tersebut yakni Huaren istilah yang diperuntukkan bagi mereka, etnik Tionghoa yang totok sedangkan Huana untuk etnik Tionghoa yang peranakan. Berikut kutipan wawancara dari salah seorang teman etnik Tionghoa berkaitan dengan adanya istilah tersebut. Tionghoa juga beda-beda ada orang khek, Tio Chiu, kanton, hakka, hokkien, macam lah lagi, tapi dari semua yang beda – beda itu ada yang sama yakni hal antara yang totok sama yang peranakan, soalnya dari semua yang beda itu gak begitu banyak kali bedanya, tapi kalau antara yang totok sama peranakan itu nampak kali bedanya salah satunya kalau peranakan itu sudah pasti sulit untuk berbaur sama kita yang totok. Makanya ada istilah Huana sama Huaren untuk membedakannya. Istilah ini yang kemudian menjadi awal munculnya jarak antara huana dan huaren yang menjadi masalah didalam etnik Tionghoa itu sendiri istilah Penggunaan istilah ini juga menentukan starata sosial dikalangan etnik Universitas Sumatera Utara Tionghoa, sebab huaren memiliki strata sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan huana, meskipun secara tingkatan pemahaman mengenai kultur Tionghoa huaren berada dibawah huana. Perbedaan strata sosial antara huaren dan huana akan terlihat dalam setiap proses interaksinya. misalnya huaren hanya menginginkan keturunannya menikah dengan orang dari garis keturunan huaren juga, menikah dengan orang dari kalangan huana dianggap sebagai sebuah hal yang harus dihindari karena akan merendahkan martabat keluarga. Apalagi jika menikah dengan orang diluar Tionghoa. Anggapan ini diperkuat oleh kutipan wawancara dengan salah seorang etnik Tionghoa. Buat orang Tionghoa menikah dengan sesama Tionghoa sangat diharuskan terutama menikah dengan perempuan yang memiliki marga yang sama dengan ibunya atau keluarga ibunya. Alasannya karena selain untuk menjaga relasi yang telah terbangun antar keluarga juga karena agar menjaga kelangsungan harta keluarga yang telah ada sebelumnya. Makanya dalam keluarga Tionghoa ada aturan yang terbangun berkaitan dengan pernikahan. Sehingga jika aturan ini dilarang sebagai bentuk konsekuensi anak hasil dari pernikahan tersebut akan dikeluarkan dari silsilah keluarga Tionghoa. Hal ini yang kemudian mengakibatkan seorang Tionghoa peranakan akan cenderung menyembunyikan unsur Tionghoanya jika latarbelakang ia menjadi Universitas Sumatera Utara seorang peranakan bertentangan dengan aturan budaya keluarga Tionghoa yang terbentuk tersebut. Hal ini disebabkan secara tidak langsung ia akan memperoleh alienase pengasingan dari etnik Tionghoa jika latarbelakang peranakannya didasari oleh pelanggaran aturan keluarga berkaitan dengan pernikahan ini. Hal ini pula kemudian menjadi asal usul munculnya istilah huana dan huaren itu sendiri, seperti kutipan wawancara dengan salah seorang dari keluarga Tionghoa Huana itu istilah yang dipakai orang Tionghoa pada zaman dinasti dulu, dimana pada saat era peralihan kekuasaan dinasti Ming ke dinasti Manchu, pada saat itu banyak orang – orang yang berpihak pada dinasti Ming sebagai pihak yang kalah dalam konflik memilih untuk keluar dan lari dari dataran Tiongkok karena mereka yang sebelumnya berkuasa setelah peralihan kekuasaan dianggap sebagai pemberontak dan menjadi orang – orang paling dicari untuk dijadikan budak dan jika mereka menolak akan langsung dibunuh. Jadi orang – orang pelarian inilah yang kemudian pada saat itu disebut dengan istilah huana sebaliknya orang – orang dinasti manchu sebagai pihak yang menang mengistilahkan diri mereka sebagai huaren. Universitas Sumatera Utara Oleh karena itu alasan awal mula digunakannya istilah huana dan huaren sendiri di kota medan karena buat mereka yang yang menjadi huaren, huana dianggap sebagai pemberontak karena orang tua mereka yang Tionghoa telah melanggar peraturan keluarga Tionghoanya. Hal ini pula yang kemudian menjadi awal mula munculnya jarak antara huana dan huaren itu sendiri sehingga tidak jarang berujung pada tindakan diskriminasi yang dilakukan huaren terhadap huana. Dipergunakannya istilah huana dan huaren untuk membedakan antara Tionghoa totok dan peranakan khususnya di kota Medan serta beragam bentuk diskriminasi yang akan mungkin diterima oleh huana menjadi alasan kuat untuk mereka menyembunyikan identitas ketionghoaanya dari para huaren. • Kebijakan pemerintahan Kebijakan pemerintah juga menjadi unsur penting yang menimbulkan banyak permasalahan dikalangan etnik Tionghoa, sebab dengan banyaknya kebijakan kebijakan yang dibuat pemerintah terhadap etnik Tionghoa itu sendiri, yang tanpa disadari telah menyebabkan terjadinya krisis identitas khususnya bagi etnik Tionghoa golongan peranakan di kota Medan. Hal ini pula yang akhirnya menyebabkan terjadinya degradasi terhadap nilai dan unsur budaya etnik Tionghoa, sebab tidak sedikit anak peranakan yang tidak mengenal budaya etnik Tionghoa padahal anak peranakan tersebut memiliki tanggung jawab besar dalam proses regenerasi budaya. Adapun kebijakan pemerintah yang menjadi penyebab degradasi terhadap unsur ketionghoaan etnik Tionghoa antara lain: pada era orde lama Universitas Sumatera Utara terdapat PP Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1959 yang melarang etnik Tionghoa untuk memiliki segala bentuk usaha mulai dari tingkatan kabupatenkota hingga tingkatan dibawahnya, kemudian pada orde baru terdapat kebijakan yang mengharuskan bagi Etnik Tionghoa yang menjadi warga negara Indonesia untuk memiliki SBKRI Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia disamping memiliki KTP Kartu Tanda Penduduk , Lalu sebagai klimaks yang mengakibatkan krisis identitas bagi etnik Tionghoa khususnya Tionghoa peranakan yaitu INPRES Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967, yang melarang etnik Tionghoa untuk melakukan berbagai macam kegiatan kebudayaan secara terbuka dimuka umum. Hal ini yang kemudian mengakibatkan etnik Tionghoa pada saat itu melakukan kegiatan kebudayaannya secara sembunyi sembunyi. Kebijakan – kebijakan pemerintah semacam inilah yang kemudian mengakibatkan etnik Tionghoa khususnya Tionghoa Peranakan di kota Medan akan memilih menutupi identitas ketionghoaanya. Hal itu dilakukan untuk demi keamanan diri mereka sebab tidak sedikit dari mereka akan menerima berbagai macam bentuk tindakan diskriminatif karena kebijakan – kebijakan yang dibuat oleh pemerintah yang mengkotakkan etnik secara tersendiri diluar etnik – etnik lain yang ada di kota Medan. Terlebih lagi di kota Medan sendiri etnik Tionghoa dianggap sebagai “sapi perahan” orang yang diperas dalam hal ekonomi oleh berbagai oknum pemerintahan, sebab tidak dipungkiri di kota Medan etnik Tionghoa merupakan etnik yang memiliki kekutan dalam bidang ekonomi, oleh karena itu tidak jarang hal ini yang kemudian menjadi ajang pemanfaatan oleh berbagai oknum yang mencoba mengambil keuntungan tersendiri dari kebijakan Universitas Sumatera Utara – kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah ini. seperti yang dialami oleh salah satu informan saya, dimana dalam wawancara tersebut beliau menyatakan sebagai berikut : Dari dulu sampai sekarang tiap mau ngurus administrasi apa aja di kantor kantor pemerintahan pasti selalu dipersulit tapi gitu kita tanya kira – kira bisa dibantu gak ya? Langsung aja berubah baik tapi anehnya kita harus bayar diluar dari biaya yang harus kita bayar. Belum lagi kalau ada kegiatan – kegiatan kayak 17-an misalnya waduh ada aja lah itu proposal yang masuk yang dari instansi inilah itulah, lain lagi OKP-nya Organisasi Kepemudaan lain lagi LSM- nya Lembaga Swadaya Masyarakat , pokoknya ada ajalah entah dari mana – mana. Kemudian saya pun bertanya kembali kepada beliau apakah beliau berikan atau tidak, sebab saya berasumsi bahwa karena beliau sering memberikan sehingga oknum oknum tersebut jadi rutin meminta, bagaimana seandainya tidak diberikan apa yang terjadi. Kemudian beliau pun menjawab dengan pernyataan sebagai berikut: Kalau tidak kita kasi ya macamlah bentuk ancaman yang diberikan, kalau dia orang administrasi pemerintahan ya jelas ancamannya masalah pengurusan administrasi, yang parah itu kalau OKP Universitas Sumatera Utara ancamanya “mau aman gak usahanya ko?” itu kata mereka, ya kita mau gak mau ya kasilah, soalnya kan kita mau aman, soalnya dalam pikiran saya anggap aja itu sebagai sesaji yang harus dikeluarkan, kayak kita mau sembayang kan juga pakai sesaji. Istilah “sesaji” serta ancaman inilah yang kemudian mengakibatkan etnik Tionghoa khususnya Tionghoa Peranakan akan memilih untuk menutupi identitasnya demi memperoleh rasa aman dalam kehidupan sosial bermasyarakatnya dengn etnik diluar etnik Tionghoa itu sendiri. • Sikap etnosentrisme etnik Tionghoa maupun etnik diluar Tionghoa Sikap etnosentrisme yang dimaksud dalam hal ini ialah cara pandang yang dipergunakan baik itu oleh etnik Tionghoa maupun diluar Tionghoa terhadap etnik mereka, terutama ketika ada anggota keluarga mereka yang menikah dengan pasangan diluar etnik mereka. Hal ini kemudian yang memberi dampak secara langsung terhadap anak keturunan mereka sebab sikap etnosentrisme ini yang kemudian secara langsung akan memicu beragai macam tindakan stereotipe terhadap anak dari pernikahan tersebut, sehingga menyebabkan anak tersebut akan sulit untuk mengidentifikasikan dirinya menjadi bagian dari etnik mana dalam lingkungan diluar etnik yang melekat kepada anak tersebut secara biologis. Khusus bagi Tionghoa peranakan sendiri saya menemukan banyak dilema yang berujung pada krisis identitas dan krisis budaya secara individual bagi Tionghoa peranakan karena adanya sikap etnosentrisme ini, sebab sikap Universitas Sumatera Utara etnosentrisme ini sendiri yang kemudian menjadikan Tionghoa peranakan yang seharusnya menjadi bagian dari kedua etnik antara Tionghoa dan etnik lain diluar Tionghoa seolah olah bukan bagian dari kedua kelompok etnik tersebut, sehingga muncul suatu pandangan dari orang diluar kedua etnik tersebut bahwa Tionghoa peranakan merupakan sebuah identitas sendiri diluar kedua etnik tersebut. Hal ini terjadi karena keengganan dari Tionghoa peranakan itu sendiri dalam memberi penegasan akan identitasnya yang disebabkan dilema yang terjadi pada dirinya ketika ia memilih untuk menggunakan identitas mana yang akan ia pergunakan sebagai identitas etniknya. Keenganan ini yang kemudian menyebabkan muncul kesulitan dari etnik diluar Tionghoa peranakan dalam mengklasifikasikan Tionghoa peranakan masuk kedalam etnik mana sehingga muncul asumsi bahwa Tionghoa peranakan merupakan sebuah identias etnik tersendiri. Berikut kutipan wawancara saya dengan salah orang diluar etnik Tionghoa perankan terkait pandangannya terhadap Tionghoa peranakan : Menurutku Tionghoa Peranakan itu identitas sendiri diluar Cina ataupun etnik yang kawin sama si Cina tadi, sebab menurutku sulit mengatakan sebagai Cina matanya tak sipit terus kulitnya tak putih, meskipun dia pandai bahasa Cina. Tapi sulit juga mengatakan kalau Cina peranakan itu pribumi soalnya secara biologis salah satu orang tuanya non pribumi, makanya menurutku Tionghoa peranakan merupakan identitas sendiri sebagai contoh yang kutahu ada istilah cina benteng di Tangerang, cina wa’loi asia mega mas di Universitas Sumatera Utara Medan, Kampung cino di Bukit Tinggi. Dimana ditempat tempat yang kutahu itu Cina peranakannya mengakui kalau mereka bagian dari orang Cina meskipun secara fisik tak nampak Cinanya lagi, aneh aja rasanya soalnya sama sama tahunya kita kayak mana fisik orang cina itu. Dilema identitas serta pandangan masyarakat etnik diluar etnik Tionghoa maupun etnik luar Tionghoa yang menghasilkan Tionghoa peranakan mempertajam permasalahan identitas yang terdapat dikalangan Tionghoa peranakan. Hal ini turut menjadi penyebab seorang Tionghoa peranakan akan cenderung menyembunyikan identitas ketionghoaanya dan memilih identitas etnik luar Tionghoa yang secara bioglogis dimiliki oleh Tionghoa peranakan. Bagi ku pandangan etnik lain diluar etnik ayah dan ibu ku memaksaku memilih untuk menyembunyikan identitas ketionghoaanku yang ku peroleh dari ayah, sebab akan lebih mudah bagi mereka untuk menerimaku jika aku menyembunyikan identitas ketionghoaanku, namun buat mereka yang tahu identitas ketionghoaanku mereka akan menganggap sebuah identitasku adalah sebuah identitas baru. Berdasarkan tiga faktor permasalahan tersebut maka akan tampak sebuah garis besar yang merujuk pada sikap dan tindakan yang dilakukan etnik Tionghoa peranakan yang tanpa mereka sadari setiap sikap dan tindakan telah Universitas Sumatera Utara mencerminkan suatu permasalahan identitas dikalangan etnik tersebut. Hal ini disebabkan berdasarkan ketiga faktor permasalahan tersebut ketiganya memberikan tekanan psikologi tersendiri bagi Tionghoa peranakan. Tekanan psikologis ini yang kemudian mengakibatkan tidak sedikit dari etnik Tionghoa peranakan memilih untuk tidak menggunakan identitas Tionghoanya. Oleh karena itu pada tingkat lanjut akan mengakibatkan munculnya permasalahan dalam proses identifikasi diri bagi keturunan dikalangan mereka. Hal ini sejalan dengan apa yang dialami oleh penulis dan beberapa orang yang juga dijadikan sebagai objek penelitian. Adanya faktor yang menjadi permasalahan dikalangan etnik Tionghoa yang kemudian berlanjut pada permasalahan proses identifikasi diri bagi keturunan mereka. Permasalahan proses identifikasi diri ini sendiri terjadi dan berlangsung selama keturunan Tionghoa peranakan tersebut melakukan proses interaksinya. Pentingnya identitas dalam proses interaksi menyebabkan proses interaksi yang dilakukan oleh keturunan etnik Tionghoa mengalami fase dilematis, hal ini dikarenakan terdapat unsur ketionghoaan didalam diri mereka yang sulit untuk disembunyikan, baik secara sosiologis maupun biologis. Hal dilematis yang dialami oleh keturunan etnik Tionghoa peranakan terjadi karena adanya interaksi yang terjadi. Oleh karena itu interaksi juga merupakan suatu proses yang menentukan dalam memperoleh identitas. Hal ini dikarenakan setiap individu dalam setiap interaksinya akan selalu melewati tiga fase, ketiga fase tersebut yaitu : fase anak – anak, fase remaja serta fase kedewasaan, yang mana fase – fase tersebut masing – masing akan memberikan bentuk yang nantinya akan menghasilkan sebuah penegasan terkait identitas individu itu sendiri. Universitas Sumatera Utara Penegasan mengenai identitas itu sendiri pada tiap fasenya dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni, pada fase anak – anak pengaruh pola asuh yang diterapkan oleh keluarga merupakan suatu pengalaman awal yang diperoleh seorang anak agar nantinya pengalaman tersebut akan diaplikasikan baik secara langsung maupun tidak langsung oleh anak tersebut dalam menegaskan peran dan tanggung jawab yang ia peroleh dengan menjadi bagian dari keluarga tersebut dalam setiap interaksi yang dilakukan baik oleh anak tersebut maupun oleh keluarga tersebut. Dengan kata lain pada fase ini individu akan lebih cenderung melakukan proses imitasi meniru dan identifikasi mengenal sebagai bentuk interaksinya. Identifikasi dan imitasi yang dilakukan tentu akan memerlukan role model acuan yang berperan menuntun anak tersebut dalam menegaskan identitas itu sendiri. Dalam hal ini role model tersebut tentunya berasal dari keluarga si anak itu sendiri misalnya ayah, ibu, saudara, ataupun kerabat dari keluarga tersebut. Kemudian pada fase remaja pengaruh dari pola asuh keluarga yang telah diterima sebelumnya perlahan – lahan tanpa ia sadari telah melekat pada setiap pola sikap serta prilaku yang ia lakukan sehingga hal ini merupakan identitas awal yang dimilikinya sebagai seorang individu. Akan tetapi pada fase remaja kemudian si anak yang telah mulai beranjak menuju kedewasaan akan mulai menerima pengaruh lain selain dari pengaruh pola asuh. Dimana pengaruh yang nantinya akan ia terima memiliki pengaruh yang jauh lebih besar dampaknya dari pada pengaruh sebelumnya yang ia peroleh dari keluarga. Hal ini disebabkan pada fase ini individu yang tadinya seorang anak akan memperoleh peran dan tanggung jawab baru yang jauh lebih besar dari keluarganya, sebab Universitas Sumatera Utara pada fase ini segala hal yang dilakukannya akan memberikan sebuah penegasan baru terkait identitas dirinya maupun keluarganya. Oleh karena itu pada fase inilah seorang individu akan mencari dan mulai menentukan sebuah komitmen yang akan ia gunakan sebagai identitasnya dan identitas keluarganya dimasa depan sehingga dalam mencari sebuah komitmen tersebut individu ini akan mulai membuka dirinya baik secara sadar ataupun tidak terhadap dunia diluar keluarganya. Dengan kata lain ia akan membuka diri untuk menerima pengaruh dari lingkungan diluar keluarganya. Pengaruh ini akan jauh lebih besar dampaknya dari pada pola asuh keluarga, sebab individu tersebut akan jauh lebih sering berinteraksi dengan individu diluar keluarganya. Pada fase ini pula proses interaksi yang ia lakukan tidak hanya sekedar imitasi dan identifikasi melainkan ia akan mulai melakukan beberapa proses interaksi lain, yakni simpati dan empati Ketertarikan . Simpati dan Empati tersebut merupakan tahap awal dalam menentukan role model acuan baru diluar keluarganya, dimana role model ini sendiri tentunya masih berasal dari lingkungan sekitar tempatnya berinteraksi misalnya sahabat, guru, atupun tokoh tertentu yang diidolakan. Lanjutan dari fase remaja yaitu kedewasaan, dimana pada fase kedewasaan segala hal yang mempengaruhi sebelumnya telah menentukan identitasnya dan keluarganya. Oleh karena itu pada fase kedewasaan individu telah memiliki komitmen terkait identitasnya dan keluarganya. Hal ini yang menyebabkan individu tersebut tidak lagi memerlukan role model acuan dalam interaksinya, sebab pada fase ini individu tersebutlah yang akan menjadi role model itu sendiri. hal ini dikarenakan pada fase ini individu tersebut akan lebih menekankan proses inteaksinya pada sugesti dan motivasi pengaruh . Universitas Sumatera Utara Pada fase ini pengaruh dari pola asuh keluarga dan pengaruh lingkungan secara bersamaan mempengaruhi individu tersebut dalam setiap interaksinya. Kombinasi dari dua pengaruh inilah yang kemudian akan memunculkan sebuah komitmen akan identitasnya sehingga nantinya ia akan memiliki peran menjadi role model dalam interaksinya. Dengan demikian tentunya ketiga fase interaksi yang ada beserta faktor yang berpengaruh terhadap fase – fase tersebut secara tidak langsung telah menunjukkan bahwasanya interaksi, keluarga, serta lingkungan adalah hal – hal penting yang saling berkaitan dalam memperoleh identitas. Oleh karena itu setelah identitas diperoleh kemudian si pemilik identitas memiliki tangung jawab serta hak dalam mengunakan, menjaga, serta meneruskan identitas tersebut sebagai wujud dari aktualisasi dirinya yang merupakan klimaks dari kehidupan. Oleh karena itulah tekanan psikologi dan sosial tentunya akan sangat berpengaruh dalam memperoleh identitas itu sendiri. Akan tetapi diluar tiga faktor penyebab permasalahan identifikasi ternyata masih terdapat aspek lain yang lebih mendasar dalam memberikan tekanan bagi seorang individu dalam proses identifikasinya sehingga mengakibatkan tidak sedikit individu yang merasa rancu atas identitas yang dimilikinya bahkan ada yang merasa tidak memiliki identitas. Adapun aspek tersebut yakni, aspek kebutuhan. Aspek kebutuhan memberikan tekanan tersendiri bagi proses identifikasi, sebab berdasarkan pendapat B.Maslow mengenai klasifikasi kebutuhan terdapat 5 lima kebutuhan dasar manusia yang dikelompokkan kedalam 3 Tiga aspek, yakni aspek fisiologis, Universitas Sumatera Utara psikologis, serta sosiologis, dimana fisiologis merupakan aspek primer, psikologis merupakan aspek sekunder, serta sosiologis merupakan aspek Tertier. Oleh karena itu berkaitan dengan permasalahan identitas, maka aspek kebutuhan ini memberikan tekanan sebagai berikut: 1. Kebutuhan Aspek Fisiologis Kebutuhan aspek fisiologis akan memberikan tekanan, karena berdasarkan unsur budaya etnik Tionghoa. Secara umum Etnik Tionghoa dikenal luas sebagai etnik yang lihai dalam bidang ekonomi khususnya perdagangan . Hal ini yang kemudian menuntut mereka mengarahkan sistem pengetahuan yang dianut mereka lebih mengarah kearah pengetahuan ekonomi dibandingkan dengan sistem pengetahuan lain serta menunjukkan bahwasanya sistem mata pencarian hidup mereka dalam memenuhi kebutuhan fisiologisnya akan bahan pangan diperoleh dengan cara berdagang. Oleh karena itulah unsur kebudayaan lain pun akan cenderung mengarah dan berkaitan dengan bidang ekonomi. Sehingga hal ini yang kemudian menjadikan mereka sebagai etnik unggul dalam perdagangan serta menjadikan keunggulan tersebut sebagai identitas bagi etnik Tionghoa itu sendiri. Oleh karena itu, tekanan yang diberikan khususnya bagi keturunan Tionghoa peranakan dalam proses pemenuhan kebutuhan akan bahan pangan ini terjadi dalam bentuk pengasingan dalam bidang ekonomi. Atau dengan kata lain etnik Tionghoa peranakan tidak memiliki kesempatan untuk memanfaatkan status ketionghoaannya dalam bidang ini. Bahkan yang jauh lebih memprihatinkan etnik Tionghoa peranakan akan langsung dinegasikan secara Universitas Sumatera Utara ekonomi dari sistem kekerabatan yang ada meskipun harusnya dia masuk dan terlibat didalamnya. Masalah ini sesuai dengan hasil penelitian yang pernah dilakukan Wong terhadap berbagai badan usaha milik etnik Tionghoa di Hongkong. Dimana dalam penelitian tersebut Wong menemukan adanya praktek manajemen yang bersifat paternalistik, tenaga kerja keluarga serta kepemilikan keluarga. Berdasarkan Hal ini kemudian Wong mendapati bagaimana pranata keluarga memiliki peran besar yang menjadikannya sebagai kekuatan dahsyat tradisional dalam bidang ekonomi [34 Selain dari kebutuhan fisiologis akan bahan pangan etnik Tionghoa peranakanjuga memiliki kebutuhan fisiologis lain yakni kebutuhan seksual. Dalam hal ini sebagai salah satu etnik yang berbudaya, maka baik itu etnik Tionghoa maupun pribumi pasti memiliki nilai dan norma yang dijunjung tinggi terkhusus bagi Tionghoa peranakan. Oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan fisiologis ini, dalam budaya etnik Tionghoa terdapat nilai yang mendasari serta norma yang mengatur batas – batas etniknya. Sehingga ada proses yang harus ] . Oleh karena itu ketika dalam proses pemenuhan kebutuhan akan bahan pangan ini Tionghoa peranakan secara otomatis tidak akan dapat memanfaatkan identitas ketionghoannya. Hal ini yang kemudian menyebabkan Tionghoa peranakanakan menyembunyikan identitas Tionghoanya bahkan ada yang sampai meninggalkan identitas Tionghoanya sebab demi memenuhi kebutuhan fisiologisnya akan bahan pangan etnik Tionghoa harus melakukan cara lain diluar apa yang menjadi identitas Tionghoa itu sendiri. [34] . Suwarsono, dan Alvin Y.SO. Perubahan Sosial Dan Pembangunan Di Indonesia.Jakarta:LP3ES.1994 Universitas Sumatera Utara dilalui demi menjaga nilai dan menaati norma yang ada demi menjaga batas – batas etniknya. Adapun proses yang harus dilalui yakni proses pernikahan, sebab aspek kebutuhan fisiologis ini hanya dapat dipenuhi setelah adanya ikatan dalam bentuk pernikahan. Oleh karena itu, tekanan yang diberikan khususnya bagi keturunan Tionghoa peranakan dalam proses pemenuhan kebutuhan seksualnya diperoleh pada saat memilih calon pasangan yang akan dinikahi, dimana tekanan tersebut datang dari etnik Tionghoa itu sendiri dan etnik pribumi, dimana seorang Tionghoa totok akan dilarang untuk menikah dengan Tionghoa peranakansebab hal ini yang dianggap merendahkan status sosial dari keluarganya dikalangan Tionghoa totok lain. Begitu pula dengan pribumi ketika ada Tionghoa peranakaningin menikahi etnik pribumi maka pihak keluarga etnik pribumi yang akan dinikahi akan cenderung menolak terjadinya pernikahan, hal ini disebabkan masih melekat pada Tionghoa peranakan identitas ketionghoaanya. Hal ini yang kemudian memberikan tekanan kepada etnik Tionghoa peranakan menyembunyikan identitas ketionghoaannya bahkan sampai menanggalkan identitas ketionghoaannya . 2. Kebutuhan Aspek Psikologis Kebutuhan aspek psikologis memberikan tekanannya, sebab aspek psikologis merupakan aspek yang berkaitan dengan perasaan, khususnya kebutuhan akan rasa aman. Banyaknya tindakan diskriminatif terhadap etnik Tionghoa pada masa lalu yang didasari oleh berbagai alasan tak jelas. Mengakibatkan tidak sedikit dari mereka memilih untuk menyembunyikan Universitas Sumatera Utara identitas Tionghoanya. bentuk penyembunyian identitas ketionghoaannya tersebut dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan menikahi etnik lain diluar Tionghoa hanya demi mendapat status yang dapat memberikan rasa aman dan terhindar dari tindakan diskriminatif. Hal ini yang kemudian menjadi awal munculnya istilah Tionghoa peranakan. Khusus bagi Tionghoa peranakan tindakan diskriminatif yang diterima tidak hanya berasal dari luar etnik Tionghoa saja melainkan dari kalangan etnik Tionghoa itu sendiri. Berbagai tindakan diskriminatif yang diterima tentunya akan berpengaruh terhadap cara pemenuhan kebutuhan psikologis etnik Tionghoa peranakan itu sendiri. jika pada Tionghoa totok sebelumnya mereka memenuhi kebutuhan akan rasa aman dengan cara menikahi etnik diluar Tionghoa agar terhindar dari tindakan diskriminatif, namun pada Tionghoa peranakan hal ini sudah tidak sesuai, sebab pada Tionghoa peranakan tindakan diskriminatif yang terjadi bukan hanya datang dari kalangan diluar etnik Tionghoa saja namun justru jauh lebih banyak datang dari dalam etnik Tionghoa itu sendiri. Oleh karena itu cara mereka untuk menghindari hal diskriminatif yang sedemikian rupa, maka mereka secara tidak langsung dipaksa untuk meninggalkan identitas ketionghoaannya. Hal seperti inilah yang kemudian memberikan tekanan bagi etnik Tionghoa peranakan sebab meskipun mereka telah menanggalkan identitas ketionghoaannya sulit bagi mereka untuk menyadang identitas sebagai etnik pribumi sebab ciri fisik menjadi hal paling jelas terlihat membedakan mereka dengan etnik pribumi. Ditambah dilema yang datang dari dalam diri mereka sendiri karena telah menanggalkan identitas ketionghoaanya serta stigma negatif yang dimiliki etnik pribumi terhadap etnik Tionghoa itu sendiri. Universitas Sumatera Utara 3. Kebutuhan Aspek Sosiologis Kebutuhan aspek sosiologis memberikan tekanannya, sebab aspek sosiologis sendiri merupakan aspek yang berkaitan dengan segala unsur interaksi. Oleh karena itu segala bentuk interaksi yang dilakukan akan memberikan tekanan sebab dalam setiap interaksi yang dilakukan pasti terdapat tindakan diskriminatif terhadap etnik Tionghoa. Khusus bagi etnik Tionghoa peranakan beragam bentuk diskriminasi yang dialami tidak hanya datang dari luar etnik Tionghoa saja namun juga datang dari dalam etnik Tionghoa itu sendiri, dalam hal ini dilakukan oleh etnik Tionghoa totok. Hal ini yang kemudian bagi Tionghoa peranakan memberikan tekanan langsung ketika mereka melakukan berbagai bentuk interaksinya guna memenuhi kebutuhan sosiologisnya sehingga agar kebutuhan ini dapat terpenuhi Tionghoa peranakan akan cenderung melakukan tindakan prefentif guna melindungi dirinya dari berbagai bentuk tindakan diskriminatif. Bentuk tindakan prefentif yang mereka lakukan ialah dengan menyembunyikan identitas ketionghoaanya dalam melakukan setiap bentuk interaksinya. Penyembunyian identitas ini yang kemudian menyebabkan dilema identitas bagi Tionghoa peranakan sebab secara tidak langsung dalam setiap interaksinya mereka tidak akan menggunakan identitas etnik manapun sebagai identitas dirinya. Hal ini yang kemudian memunculkan anggapan bahwa Tionghoa peranakan merupakan sebuah identitas baru. Universitas Sumatera Utara Dalam kasus Tionghoa peranakan terdapat tiga bentuk masalah identitas yang mau tidak mau harus dirasakan. Tiga bentuk identitas ini merupakan proses dari bentukan lingkungan yang berhubungan selaras dengan prasangka terhadap etnik Tionghoa tersebut. Tiga bentuk masalah identitas tersebut tercermin dalam keterasingan seorang Tionghoa peranakan dari Tionghoa totok, keterasingan seorang Tionghoa peranakan dari etnik pribumi, dan yang ketiga berdirinya etnik Tionghoa peranakan dalam dilema identitasnya sendiri. 4.2.Keterasingan Seorang Tionghoa Peranakan Dari Tionghoa Totok. Ketarasingan ini sangat jelas terjadi ketika seorang Tionghoa melakukan pernikahan dengan etnik diluar Tionghoa. Hal ini berlaku baik bagi pria Tionghoa yang menikah dengan wanita pribumi maupun wanita Tionghoa dengan pria pribumi. Hasilnya anak yang lahir dari pernikahan tersebut dikeluarkan dalam garis keturunan Tionghoa totok. Anak-anak yang lahir dari pernikahan campuran tidak akan dimasukkan dalam garis ataupun silsilah keluarga Tionghoa. Atau dengan kata lain anak- anak tersebut keluar atau tidak dianggap Tionghoa karena mengalir darah pribumi ataupun darah diluar Tionghoa. Hal ini berseberangan dengan sebuah konsep sistem keluarga patrilineal yang dianut oleh etnik Tionghoa, dimana hubungan yang terbangun berdasarkan dari garis keturunan ayah. Meskipun etnik Tionghoa menganut sitem patrilieal, namun pada kenyataannya pada kasus Tionghoa peranakan tidak menjadikan mereka sebagai bagian dari etnik Tionghoa. Dalam sebuah wawancara singkat didapat pernyataan sebagai berikut Universitas Sumatera Utara Seorang yang disebut sebagai Tionghoa itu adalah ia yang lahir dari pernikahan sesama Tionghoa. Ibunya Tionghoa dan ayahnya juga Tionghoa. Kalau tidak mereka itu peranakan, ya ada sedikit berbeda dengan Tionghoa asli atau totok dan mereka tidak dimasukkan dalam perkumpulan Tionghoa asli atau totok. Kasus berbeda terkait identitas Tionghoa peranakan ini semakin menarik ketika seorang yang memiliki darah Tionghoa menikah dengan pribumi ataupun asing namun berhasil membawa masuk pasangannya dalam ruang identitas Tionghoa tersebut. Hal ini berarti seorang Tionghoa berhasil menarik pasangannya untuk ikut meyakini serta melakukan apa yang menjadi ruang identitas etnik Tionghoa, dalam artian sederhana pasangan tersebut menjadi bagian dari Tionghoa. Kasus ini memberikan varian dimana berbeda untuk anak yang terlahir, dimana anak tersebut diterima menjadi seorang Tionghoa. Anak tersebut mendapatkan akses langsung dalam ranah keluarga luas etnik Tionghoa totok dan secara langsung ikut merasakan emosi sebagai etnik Tionghoa totok. Dalam sebuah wawancara singkat didapat pernyataan sebagai berikut : Seseorang anak yang harusnya peranakan tidak digolongkan menjadi peranakan hanya karena orang tua mereka yang berasal dari luar etnik Tionghoa bersedia untuk masuk kedalam ruang identitas ketionghoaan serta mengadopsi budaya Tionghoa dalam setiap interaksinya didalam sebuah keluarga, Universitas Sumatera Utara baik keluarga inti maupun keluarga luasnya setelah ia menikah. Perlakuan berbeda akan diterima Tionghoa peranakan yang tidak dapat ikut dalam ruang identitas etnik Tionghoa. Anak-anak ini akan terputus aksesnya sebagai Tionghoa dan tidak lagi merasakan emosi sebagai Tionghoa. Keluar dari trah keluarga luas Tionghoanya dan dibiarkan berjalan sendiri. Aku terlahir dari seorang ayah Tionghoa totok dan ibu yang berasal dari etnik Jawa. Dari kecil aku hidup dalam lingkungan keluarga ibu yang Jawa. Secara tidak langsung emosi identitas jawa cukup terasa dalam kepribadianku selama ini. Setidaknya inilah yang aku rasakan hingga aku mengerti tentang identitasku yang sebenarnya. Ya aku ternyata adalah seorang Tionghoa berdasarkan garis keturunan ayahku yang seorang Tionghoa. Hal ini merasukiku hingga aku merasa perlu mengenal, merasakan menjadi seorang Tionghoa seutuhnya. Tak jarang aku bertanya pada ayahku tentang silsilah keluarga atau setidaknya mengenal anggota keluaga dari ayah. Ternyata untuk mengenal hal tersebut tidak semudah apa yang aku bayangkan. Aku terasing dalam keluarga ayahku sendiri, duduk dalam diam setiap acara kumpul keluarga. Bahkan untuk mengobati keterasingan itu tak Universitas Sumatera Utara jarang ayah menyuruhku untuk tetap tinggal di rumah saat ada kumpulan keluarga. Ya aku menjadi bagian yang hilang dan seperti sebuah aib, aku terus hidup dalam keterasinganku. Dikeluarkan dan dibiarkan berjalan sendiri atau dengan kata lain dialienasikan dari trah keluarga luas, yang seharusnya ikut menjadi bagian didalamnya bukanlah faktor utama yang menyebabkan dilema bagi Tionghoa peranakan. Namun lebih kepada dampak dari alienasi tersebut, dimana akan muncul sebuah ruang kosong karena kehilangan role model yang sekaligus mengajarkan bagaimana proses identifikasi yang harusnya dilakukan sebagai etnik Tionghoa. Aku tidak pernah merasakan sebuah kehangat hubungan keluarga dari pihak ayah yang sebenarnya sangat aku inginkan. Bahkan hingga aku beranjak dewasa dan mulai memikirkan sesuatu yang harus disiapkan untuk masa depanku kelak. Aku tak mendapatkan akses yang sama dengan para sepupuku yang lain. Mereka dengan mudah mendapatkan pengajaran mengenai budaya, bisnis keluarga, kekuatan saling melengkapi dari tiap bisinis yang berjalan hingga bantuan modal. Hal ini tidak aku dapatkan. Aku berusaha dalam tiap langkahku sendiri. Memanfaatkan jaringan pertemanan yang kubangun Universitas Sumatera Utara sendiri dan usaha yang tidak sebentar. Semua usahaku tidak sedikitpun mendapatkan ataupun menjadikan aku bagian dari seorang Tionghoa. 4.3.Keterasingan Seorang Tionghoa Peranakan Dari Etnik Pribumi Keterasingan berbeda terlihat dari seorang Tionghoa peranakan ditengah etnik pribumi. Ditengah keterasingan di keluarga Tionghoa totok, anak-anak ini tidak pula mendapatkan perlakuan spesial dari etnik pribumi. Bentuk-bentuk diskriminasi tidak jarang pula menghampiri mereka. Seperti sebutan aseng yang disematkan kepada diri seseorang. Sebutan ini biasanya diberikan oleh etnik pribumi terhadap etnik Tionghoa, baik itu Tionghoa totok ataupun Tionghoa peranakan. Selain itu terdapat tuduhan-tuduhan lain yang menjadi stigma terhadap etnik Tionghoa seperti “politik dagang cina”, “cina kali gak mau rugi”. Stigma negatif yang terbangun terhadap etnik Tionghoa totok juga terbangun dan berlaku pula terhadap Tionghoa peranakan. Hal ini menjadi antitesis dimana secara jelas Tionghoa peranakan tidak mendapatkan emosi bagaimana sesungguhnya menjadi bagian dari etnik Tionghoa, namun stigma negatif itu justru melekat juga pada mereka. Hasilnya Tionghoa peranakan juga sering dikatan sebagai “aseng” dan lain sebagainya. Sebuah wawancara singkat memberikan hasil yang akan semakin menegaskan hal ini: Serba salah, bingung, heran, serta ketakutan merupakan hal yang dirasakan setiap ada hajatan keluarga. Karena dalam setiap hajatan Tionghoa peranakan hanya mendapat peran sebagai korban Universitas Sumatera Utara luapan prasangka peninggalan sejarah. Luapan prasangka tersebut baik yang dilakukan secara sengaja ataupun yang hanya berupa candaan saja. Bentuk-bentuk stigma negatif inilah yang terkadang memunculkan tindakan preventif bagi Tionghoa peranakan. Tindakan preventif ini berguna untuk menangkal secara halus stigma yang melekat pada mereka. Tindakan preventif ini seperti penyembunyian identitas asli mereka sebagai Tionghoa peranakan. Walaupun terkadang penyembunyian ini terasa sulit dilakukan karena secara mimik wajah sudah merepresentasikan sebagai Tionghoa. Namun beberapa dari Tionghoa peranakan mampu menyembunyikan identitas mereka, seperti merepresentasikan diri sebagai bagian dari pribumi, beberapa kasus mereka merepresentasikan pada etnik ibu mereka. Sebagai seorang Tionghoa peranakan aku sering enggan untuk ikut serta dalam hajatan sebab harus memainkan peran sebagai korban atas prasangka yang usianya jauh lebih tua dariku. Ternyata trah tak mampu menandingi prasangka yang tak memiliki relevansi atas diri. Selain bentuk stigma yang melekat pada diri dan akses mereka menjadi pribumi juga mengalami kendala. Mereka tidak dapat masuk secara langsung menjadi pribumi karena terikat pada struktur patrilineal keluarganya. Seorang anak dari seorang ayah Tionghoa tentu akan menjadi Tionghoa pula. Setidaknya itulah pandangan umum warga pribumi terhadap Tionghoa. Pribumi tidak Universitas Sumatera Utara mendefinisikan perbedaan Tionghoa totok dan Tionghoa peranakan. Dalam alam bawah sadar para warga pribumi, Tionghoa adalah satu kesatuan yang mereka representasikan dari seorang yang putih bermata sipit dan memiliki garis keturunan Tionghoa. Pandangan umum inilah yang membuat para Tionghoa peranakan juga sulit masuk secara penuh menjadi bagian dari pribumi. Bentuk keterasingan yang kurasa di keluarga ayah juga terasa di keluarga ibu. Hanya saja bentuk tersebut terkesan seperti candaan dan penerimaan yang tidak sepenuhnya. Aku sering sekali mendapat panggilan Aseng di keluarga. Awalnya sapaan itu terasa menjengkelkan bagiku, namun aku sadar itu hanya sekedar candaan tanpa pernah bermaksud untuk menghinaku secara serius. Aku masih ingat ketika lebaran, ditengah hangat suasana kumpul keluarga dimana saling sapa, proses maaf memaafkan terjalin dengan indah. Aku dipanggil oleh paman dengan sebutan Aseng. Seperti ini kalimatnya “ seng, sinilah duduk –duduk sinila,”. Kalimat sederhana itu hanya kuberikan sebuah senyum tanpa kugubris karena aku tahu itu hanya sebuah candaan. Dalam suasana pertemanan aku sebisa mungkin untuk menyembunyikan identitasku sebagai Tionghoa. Hal ini diuntungkan dari kulitku yang sedikit gelap khas pribumi dan mata yang tidak terlalu sipit. Hal ini cukup Universitas Sumatera Utara berhasil untuk mengelabuhi orang-orang. Banyak dari teman sejawat yang menyangka aku adalah seorang Jawa. Dan pandangan ini kubiarkan tanpa berusaha aku klarifikasi. Sepertinya aku cukup baik dalam deskripsi ini yang bertahan cukup lama. Bukan karena aku merasa malu sebagai seorang Tionghoa namun terkadang aku tidak tahan dengan stigma yang terbangun akibat mereka tahu identitasku. Misalnya ketika tengah berkumpul dengan teman-teman, mengobrol santai sambil bermain tembang lagu di teras rumah. Kami biasa untuk mengumpulkan uang yang sering kami sebut dengan istilah sum-suman untuk membeli rokok yang kami pakai bersama. Aku sering kali menyumbang yang paling sedikit dengan tambahan selalu aku yang pergi untuk membeli rokok. Terkadang bagi mereka yang tahu identitasku akan bercanda menyebut tingkahku, “politik dagang cina, gak mau rugi”. Hal ini sedikit banyak cukup membuat hatiku sesak namun semua kubiarkan saja dengan melempar sebuah senyuman sambil garuk-garuk kepala. Bentuk stigma negatif yang melekat dan tindakan preventif yang dilakukan Tionghoa peranakan adalah bentuk dari identitas mereka yang belum diterima secara sepenuhnya. Mereka gagal mengakuisasi diri sebagai Tionghoa akibat Universitas Sumatera Utara mereka yang tidak berdarah Tionghoa asli. Mereka juga gagal merepresentasikan diri sebagai pribumi akibat perawakan wajah dan betuk fisik mereka yang Tionghoa. 4.4. Dilema Identitas Tionghoa Peranakan Isu mengenai identitas dan gagasan orisinalitas telah menjadi isu kuat dalam praktik-praktik wacana masa kini.Perpindahan manusia antar- regional dan antar-benua telah menjadi sesuatu yang lumrah. Orang dengan mudah masuk dan keluar ke dalam sebuah komunitas budaya yang jauh berbeda, bahkan acap kali bertentangan. Dukungan komunikasi satu pihak dan putaran ekonomi yang menglobal telah memberikan dorongan orang pada perkara migrasi yang membawa implikasi yang kuat kepada soal identitas dan orisinalitas. Namun tidak banyak orang dengan tekun dan sadar untuk membicarakan soal itu hingga tuntas.Kasus identitas Tionghoa totok dan Tionghoa peranakan adalah kasus yang timbul proses tarik menarik tentang siapa sebenarnya yang merepresentasikan seorang Tionghoa. Seorang Tionghoa totok merasa bahwa mereka yang merepresentasikan sebagai seorang Tionghoa, karena ayah dan ibunya yang merupakan Tionghoa. Sedangkan bagi Tionghoa peranakan merasa dilema karena secara identitas mereka masih bagian dari Tionghoa, namun realitas sosial membuat mereka dianggap other atau luar sehingga tidak dianggap dalam trah Tionghoa. Identitas Tionghoa peranakan juga tidak mendapat pengakuan diri dari pribumi sebagai bagian dari pribumi pula. Mereka masih dianggap sebagai Universitas Sumatera Utara bagian yang sama dengan Tionghoa lainnya sehingga secara emosi mereka tidak dapat menikmati diri sebagai bagian dari pribumi. Tionghoa peranakan ini tetap dianggap other sebagai Tionghoa yang berbeda dengan pribumi. Hal ini memberikan dilema identitas bagi Tionghoa peranakan kemana mereka harus berpijak. Menurut Barth [35 [35] . http:etnobudaya.net20110324batasan-sosial-etnik-bagaimana-mengartikan-kelompok- etnik-menurut-barth ] kelompok etnik dapat disebut sebagai suatu unit kebudayaan karena kelompok etnik mempunyai ciri utama yang penting yaitu adalah kemampuan untuk berbagi sifat budaya yang sama. Dan ia berasumsi bahwa tiap kelompok etnik mempunyai ciri budayanya sendiri. Sikap berbagi budaya yang sama dapat diartikan berbagi emosi kebudayaan yang sama. Sikap berbagi ini hanya terlihat pada Tionghoa totok dan tidak berlaku bagi Tionghoa peranakan. Namun merepresentasikan Tionghoa peranakan sebagai identitas sendiri di luar Tionghoa totok tidak dapat diwujudkan. Hal ini karena akar budaya yang pada dasarnya sama hanya dibedakan status dari ayah dan ibu yang berbeda. Hal inilah yang menjadi problema yang dilematis bagi Tionghoa peranakan. Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN