3. Sifat – sifat Wirausaha :
Sukardi dalam Riyanti, 2003 mengemukakan sembilan sifat yang ada pada wirausaha sebagai berikut:
1. Sifat instrumental yaitu tanggap terhadap peluang dan kesempatan
berusaha maupun yang berkaitan dengan perbaikan kerja. 2.
Sifat prestatif yaitu selalu berusaha memperbaiki prestasi, selalu menyukai tantangan dan berupaya hasil kerjanya selalu lebih baik dari sebelumnya.
3. Sifat keluwesan bergaul yaitu selalu aktif bergaul dengan siapa saja,
membina kenalan baru dan berusaha menyesuaikan diri dalam berbagai situasi.
4. Sifat kerja keras yaitu tidak mudah menyerah sebelum pekerjaannya
selesai. 5.
Sifat keyakinan diri yaitu penuh optimisme bahwa usahanya akan berhasil. 6.
Sifat pengambilan resiko yang diperhitungkan yaitu tidak khawatir akan menghadapi situasi yang serba tidak pasti dimana usahanya belum tentu
membuahkan keberhasilan. 7.
Sifat swa-kendali yaitu menentukan apa yang harus dilakukan dan bertanggung jawab pada dirinya sendiri.
8. Sifat inovatif yaitu selalu bekerja keras mencari cara
–cara baru untuk memperbaiki kinerjanya.
9. Sifat mandiri yaitu apa yang dilakukan merupakan tanggung jawab
pribadi.
Universitas Sumatera Utara
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat sembilan sifat- sifat wirausaha, yaitu sifat instrumental, prestatif, keluwesan bergaul, kerja
keras, keyakinan diri, pengambilan resiko, swa-kendali, inovatif, dan mandiri.
4. Pengelompokan Kewirausahaan
Zimmerer 1996 mengelompokkan profil kewirausahaan menjadi empat, yaitu :
1. Part Time Enterpreneur, yaitu wirausaha yang melakukan usahanya hanya
sebagian waktu saja sebagai hobi. Kegiatan bisnis biasanya hanya bersifat sementara.
2. Home Based New Ventures, yaitu usaha yang dirintis berdasarkan asal
tempat tinggal. 3.
Family Owned Business, yaitu usaha yang dilakukan beberapa anggota keluarga secara turun-temurun.
4. Corpreneurs, yaitu usaha yang dilakukan oleh dua orang wirausaha yang
bekerja sama sebagai pemilik bersama.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan terdapat empat kelompok kewirausahaan, yaitu part-time entrepreneur berwirausaha hanya
sebagai hobi, home based new ventures berdasarkan tempat tinggal, family owned business milik keluarga, dan corpreneurs bekerja sama.
Universitas Sumatera Utara
D. Etnis Tionghoa 1. Sejarah Etnis Tionghoa di Indonesia
Orang Tionghoa yang ada di Indonesia, sebenarnya tidak merupakan satu kelompok yang asal dari satu daerah di negara China, tetapi terdiri dari
beberapa suku bangsa yang berasal dari dua provinsi yaitu Fukien dan Kwantung, setiap imigran membawa kebudayaan suku bangsanya sendiri-
sendiribersama dengan berbedaan bahasanya. Ada empat bahasa China di Indonesia, yaitu Hokkien, TeoChiu, Hakka, dan Kanton yang kesemuanya
sangat besar perbedaannya, sehingga pembicara dari bahasa yang satu tidak dapat mengerti pembicara dari yang lain Koentjaraningrat, 1982.
Imigrasi bangsa Tionghoa secara besar-besaran ke Indonesia mulai pada abad ke 16 Masehi sampai pertengahan abad ke-19 Masehi, mereka
berasal dari suku bangsa Hokkien berasal dari provinsi Fukien bagian selatan. Daerah Fukien merupakan daerah yang sangat penting dalam pertumbuhan
perdagangan orang Tionghoa ke seberang lautan. Kepandaian berdagang ini walau telah terendap selama berabad-abad namun masih tampak jelas pada
orang Tionghoa dari suku bangsa ini di Indonesia. Orang Tionghoa dari suku Teo-Chiu berasal dari pantai selatan negeri Cina di daerah pedalaman Swatow
di sebelah timur propinsi Kwantung. Orang-orang Tionghoa dari suku Hakka berasal dari pedalaman propinsi Kwantung yang umumnya tandus dan
berkapur. Di sebelah barat dan selatan daerah asal orang Hakka di provinsi Kwantung merupakan daerah asal orang Kanton Kwong Fu. Walaupun orang
Tionghoa perantau, itu terdiri dari paling sedikit berasal dari empat suku
Universitas Sumatera Utara
bangsa, namun dalam pandangan orang Indonesia pada umumnya mereka hanya terbagi ke dalam dua golongan, yaitu: peranakan dan totok
Koentjaraningrat, 1982. Penggolongan orang Tionghoa menjadi peranakan dan totok
berdasarkan pada sebab kelahiran dan derajat penyesuaian serta akulturasi dari para perantau Tionghoa terhadap kebudayaan Indonesiayang ada di sekitar
mereka dan perkawinan campuran antara para perantau Tionghoa dengan orang Indonesia Koentjaraningrat, 1982.
Kelompok minoritas Tionghoa tumbuh dalam mayoritas pribumi yang memberi merk dan cap bahwa semua orang Tionghoa adalah negatif, tertutup,
mementingkan diri sendiri, egois, pelit, jahat dan memandang rendah pribumi Tan, 1981. Ketidaksukaan pribumi terhadap Tionghoa semakin parah ketika
golongan Tionghoa mampu mengembangkan ekonomi mandirinya, sehingga mereka berhasil menguasai kehidupan perekonomian mikro dan makro
dimana pun mereka berada. Kejayaan ekonomi golongan Tionghoa dengan tingkat kesejahteraan
yang relatif tinggi dibandingkan dengan kelompok pribumi semakin memposisikan golongan Tionghoa sebagai kelompok yang paling tidak
disukai, walau pun ada kelompok etnis Tionghoa yang memiliki kedekatan dengan rakyat kecil penduduk pribumi. Kelompok minoritas Tionghoa
diibaratkan sebagai binatang ekonomi economic animal yang hanya
Universitas Sumatera Utara
mementingkan kehidupan dan kepentingan dagang dari pada bersosialisasi dan berhubungan dengan penduduk pribumi Kwartanada, 1996.
Setelah Indonesia merdeka orang-orang Tionghoa yang bergerak di bidang ekonomi masih tetap eksis menguasai bidang ekonomi di Indonesia,
mereka berada di tengah gelora bangsa yang baru merdeka yang sedang menata dan menyusun identitas nasionalnya. Golongan minoritas Tionghoa
kemudian berada di posisi yang sudah tidak mendapatkan hak istimewa dan perlindungan harus mampu bertahan untuk tetap hidup di tanah air baru
dengan bangsa yang baru merdeka. Terpaan badai krisis ekonomi sebagai negara yang baru merdeka, kebijakan-kebijakan yang membatasi ruang gerak
minoritas Tionghoa membuat orang-orang Tionghoa harus mencermati setiap peluang bisnis yang ada Kompas, 2012.
2. Bahasa dan Budaya Etnis Tionghoa