Peran Pembimbing Agama dalam penanaman kecerdasan spiritual di Panti Sosial Binat Netra "Tan Miyat" Bekasi
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom.I.)
Oleh
Sri Yulianah NIM: 109052000009
JURUSAN BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1434 H./2013 M.
(2)
PERAN PEMBIMBING AGAMA DALAM PENANAMAN
KECERDASAN SPIRITUAL DI PANTI SOSIAL BINA NETRA
“TAN MIYAT”
BEKASI
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh
SRI YULIANAH NIM : 109052000009
Pembimbing
Dra. NASICHAH, MA NIP. 19671126 199603 2 001
JURUSAN BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2013 M/ 1434 H
(3)
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, Oktober 2013
SRI YULIANAH
(4)
i
ABSTRAK
Sri YulianahPeran Pembimbing Agama dalam Penanaman Kecerdasan Spiritual Di Panti
Sosial Bina Netra “Tan Miyat” Bekasi
Peran pembimbing agama dalam penanaman kecerdasan spiritual bagi disabilitas netra. Menjadi penting karena peran pembimbing agama untuk bisa mengajarkan dan mengarahkan, tentunya dengan cara pengajaran yang berbeda, karena cara belajar disabilitas netra perlu metode khusus, oleh sebab itu peneliti ingin mengetahui peran pembimbing agama dalam menanamkan kecerdasan spiritual untuk bisa membantu disabilitas netra memenuhi kebutuhan dalam hidupnya, membantu disabilitas netra yang merasa inferior, mengisi kekosongan spiritual, membangkitkan semangat mereka untuk mempermudah mereka dalam memaknai hidup yang lebih baik.
Untuk mengkaji penelitian ini, teori-teori yang digunakan dalam penelitian adalah teori peran, teori pembimbing agama oleh Dewa Ketut Sukardi dan H. M Arifin. Kecerdasan spiritual itu sendiri diartikan sebagai kemampuan untuk mengenal dan memecahkan masalah-masalah yang terkait dengan makna dan nilai, menempatkan berbagai kegiatan dan kehidupan dalam konteks yang lebih luas, kaya dan memberikan makna, mengukur atau menilai bahwa salah satu kegiatan atau langkah kehidupan tertentu lebih bermakna dari yang lainnya.
Penelitian ini dilakukan di Panti Sosial Bina Netra “Tan Miyat” Bekasi.
Peneliti menjawab Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana peran pembimbing Agama dalam menanamkan kecerdasan spiritual di Panti Sosial Bina Netra “Tan Miyat” Bekasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (field research) menggunakan observasi dan wawancara. Yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah 4 orang pembimbing yang terdiri dari 2 orang pembimbing agama, 1 orang pembimbing mental spiritual dan 1 orang pembimbing anak serta yang menjadi subjeknya adalah disabilitas netra yang berjumlah 6 orang.
Hasil dari penelitian ini adalah bahwa peran pembimbing Agama di Panti
Sosial Bina Netra “Tan Miyat” Bekasi. Peran dari pembimbing agama dalam
penanaman kecerdasan spiritual adalah dengan cara diberikannya bimbingan Agama setiap hari baik secara pendidikan formal maupun nonformal, bukan hanya bimbingan agama saja yang diberikan, namun adapula bimbingan keterampilan, bimbingan fisik, bimbingan sosial, bimbingan mental yang mana dapat membantu disabilitas netra untuk tidak tergantung kepada orang lain dan mampu melakukan semua hal yang bisa dilakukan orang normal lainnya, dan berharap agar disabilitas netra senantiasa Mengingat tuhannya agar bisa menjauhkan dari perbuatan-perbuatan yang dapat merugikannya. Disabilitas netra juga merasa Ibadah sangat berpengaruh dikehidupannya apalagi dalam mengontrol emosi atau memberikan rasa tenang dan memecahkan setiap masalah yang dihadapi, disinilah pentingnya peran pembimbing Agama kepada kami, Metode yang diberikan yaitu metode tabligh/ceramah, bimbingan individual, bimbingan kelompok, metode syukur, bimbingan keterampilan.
(5)
ii Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan keridhoan-Nya
akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul “Peran
Pembimbing Agama Dalam Penanaman Kecerdasan Spiritual Di Panti Sosial
Bina Netra “Tan Miyat” Bekasi”
Penulis ucapkan banyak terima kasih kepada Orang tua Bapak Mad Yusuf yang telah banyak memberi pelajaran kehidupan pada saya dan Ibu tercinta Ibu Masitoh yang senantiasa mendo’akan penulis hingga berkat segala support yang diberikan bapak dan ibu dapat menyelesaikan skripsi ini. Dan kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini, baik moril maupun materil, khususnya kepada :
1. Bapak Dr. H. Arief Subhan MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan
Ilmu Komunikasi.
2. Bapak Suparto, M. Ed, P. hD. Selaku Pembantu Dekan Bidang Akademik
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi.
3. Ibu Dra. Rini Laily Prihatini M.Si selaku Ketua Jurusan Bimbingan dan
Penyuluhan Islam.
4. Bapak Drs. Sugiharto MA selaku Sekretaris Jurusan Bimbingan dan
(6)
iii
5. Ibu Dra. Nasichah, MA selaku sebagai Dosen Pembimbing Skripsi. Yang
telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran hingga terselesaikannya skripsi ini.
6. Seluruh Dosen dan Civitas Akademik Fakultas Ilmu dakwah & Ilmu
Komunikasi yang telah memberikan banyak ilmunya kepada penulis.
7. Pimpinan dan karyawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah & Ilmu Komunikasi yang
telah membantu penulis dalam mendapatkan sumber penulisan skripsi ini.
8. Ibu Kepala Panti Dra. Dewi Rani, M. Si, Bapak Kepala TU Lusinto, Ibu
Prasetiawati, Ibu Tasuah, Bapak Son Haji, Bapak Arimurti, Bapak Itsna
Sahma dan segenap pengurus Panti Sosial Bina Netra “Tan Miyat” Bekasi
yang telah memberi informasi serta izin dalam melakukan penelitian.
9. Keluarga besar Prodi Bimbingan dan Penyuluhan Islam khususnya
rekan-rekan seperjuangan BPI 2009 ( Abir Mu’az, Dede Iskandar, Dini Hayati
Nufus, M. Hary Pranata, Kantata Anita M, Mira Humaira A,Sadam Husen, Sri Hesty Hardiyati, Yofie Novera, Zainal Abiddin, Andrian Saputra) terimakasih atas semuanya.
10.Kepada teman-teman Arya Mulyasari, Teteh Warkop Barokah, Ade
Nunung, Eis Akmeliani, dan Anak Kosan Annida dan nenggolan.
11.Saudara, kerabat, teman, sahabat yang namanya tak dapat disebutkan satu
(7)
iv
berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan menambah khazanah pengetahuan walaupun belum sepenuhnya optimal.
Ciputat, 30 Oktober 2013
Sri Yulianah
(8)
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9
D. Metodologi Penelitian ... 10
E. Tinjauan Pustaka ... 14
F. Sistematika Penulisan ... 17
BAB II LANDASAN TEORI A. Peran ... 19
1. Pengertiam Peran ... 19
B. Pembimbing Agama ... 21
1. Pengertian Pembimbing Agama... 22
2. Tujuan dan Fungsi Pembimbing ... 27
3. Metode Bimbingan ... 31
C. Kecerdasan Spiritual ... 35
(9)
vi
1. Pengertian Tunanetra ... 42
2. Faktor Penyebab Ketunanetraan ... 45
3. Karakter Fisik, Psikis ... 47
4. Klasifikasi Tunanetra ... 49
BAB III GAMBARAN UMUM PANTI SOSIAL BINA NETRA “TAN MIYAT” BEKASI A. Sejarah Berdirinya PSBN “Tan Miyat” ... 54
B. Landasan Hukum ... 55
C. Fungsi Panti PSBN ... 55
D. Visi, Misi, dan Tujuan ... 56
E. Sarana dan Prasarana fisik PSBN "Tan Miyat" Bekasi ... 57
F. Sumber Daya Manusia ... .. 59
G. Struktur Organisasi dan Jumlah Penerima Manfaat... .... 60
H. Proses Pelayanan Rehabilitasi Sosial ... 63
I. Syarat Penerimaan kelayan ... 72
(10)
vii
BAB IV TEMUAN LAPANGAN DAN ANALISIS PENELITIAN
A. Identitas Informan ... 76
B. Analisis Peran Pembimbing Agama dalam Penanaman
Kecerdasan Spiritual Pada Disabilitas Netra ... 82
C. Metode Peran Pembimbing Agama dalam Penanaman
Kecerdasan Spiritual Pada Disabilitas Netra ... 92
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 97 B. Saran ... 98 DAFTAR PUSTAKA ... 100 LAMPIRAN
(11)
viii
Lampiran 3. Daftar Wawancara dengan Disabilitas Netra Lampiran 4. Surat Penelitian
Lampiran 5. Surat Keterangan Lampiran 6. Data Mobilitas Lampiran 7. Foto-foto
(12)
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada zaman globalisasi ini manusia dituntut adanya perubahan yang besar dalam segala aspek kehidupan baik positif maupun negatif. Perubahan negatif yang terjadi akibat globalisasi perlu diantisipasi agar setiap manusia
tidak mengalami dehumanisasi. Dituliskan Jalaludin Rahmat dalam buku
Islam dan Pluralisme, Fromm menjelaskan dehumanisasi merupakan suatu proses dimana mulai ditinggalkannya nilai-nilai kemanusiaan (etika, moral dan agama) dan digantikannya dengan mendewa-dewakan aspek material
semata1. Oleh sebab itu seorang anak perlu diberi pengajaran dan arahan
sejak dini agar tidak mengalami dehumanisasi, karena keterlambatan dalam memberikan arahan bisa menyebabkan seorang anak mengalami krisis spiritual.
Dituliskan Jalaludin Rahmat dalam buku Islam dan Pluralisme,
Clinebell menegaskan bahwa anak memiliki kebutuhan dasar spiritual yang harus dipenuhi agar bisa membawa anak dalam keadaan yang tentram, aman,
damai dalam menjalani hidup2. Jika kebutuhan tersebut tidak dipenuhi, maka
bisa menyebabkan kecemasan neurotis dan kekosongan spiritual dalam diri anak. Kekosongan spiritual (spiritual-emptiness) akan menyebabkan penyakit
1
Jalaluddin Rahmat, Islam dan pluralisme: akhlak Quran menyikapi perbedaan,
(Jakarta: Serambi, 2006), Cet ke-2, h. 146 2
Jalaluddin Rahmat, Islam dan pluralisme: akhlak Quran menyikapi perbedaan,
(13)
ketidak bermaknaan spiritual (spiritual-meaningless) dalam diri anak. Dalam kondisi yang demikian, anak akan mudah terpengaruh dan terombang-ambing oleh pengaruh lingkungan sekitarnya karena si anak tidak punya benteng yang cukup, kehilangan pegangan hidup, kehilangan keimanan dan mudah
untuk putus asa (hopeless) 3. Maka dari penjelasan di atas setiap orang
mempunyai tanggung jawab yang sama untuk memberikan pengajaran dan arahan untuk bisa mencegah terjadinya krisis keimanan atau kekososngan spiritual, dan cara membantu pengarahan tersebut bisa dilakukan dengan bimbingan yang baik dari orang tua maupun dari lingkungannya. Bimbingan yang diberikan kepada anak dalam menanamkan pemahaman spiritualnya dapat membantu tumbuh kembang si anak secara optimal. Karena itu bimbingan sangat di perlukan untuk bisa memberikan pengajaran dan arahan, agar anak tersebut tidak mengalami perkembangan yang negatif.
Pengertian bimbingan itu sendiri adalah menunjukkan, memberikan jalan, atau menuntun orang lain ke arah tujuan bermanfaat bagi hidupnya di masa kini, dan masa mendatang. Pendapat yang sejalan dengan pendapat tersebut adalah D. Ketut Sukardi yang menjelaskan bahwa bimbingan merupakan proses bantuan yang diberikan kepada seseorang agar mampu memperkembangkan potensi, (bakat, minat dan kemampuan) yang dimiliki, mengenai dirinya sendiri, mengatasi persoalan-persoalan sehingga mereka
3
Jalaluddin Rahmat, Islam dan pluralisme: akhlak Quran menyikapi perbedaan,
(14)
3
menentukan sendiri jalan hidupnya serta bertanggung jawab tanpa tergantung
kepada orang lain4.
Bimbingan yang diberikan kepada seorang anak yang normal mungkin tidak terlalu sulit. Namun, bagaimana memberikan bimbingan agama kepada anak yang memiliki disabilitas (kecacatan), disinilah bimbingan sangat dibutuhkan baik dari orang tua maupun lingkungannya, karena disabillitas bukan penghalang untuk seseorang mendapatkan pengajaran yang layak, baik normal maupun tidak normal mereka sama-sama menginginkan pengajaran agar bisa mengetahui apa yang menjadi landasan hidupnya dan apa yang menjadi tujuan hidupnya.
Kecerdasan spiritual juga sangat penting dalam membentengi seorang anak menghadapi perubahan sosial yang semakin deras. Dengan adanya kecerdasan spiritual ini menyebabkan anak menjadi tangguh dalam menghadapi tantangan dan hambatan sehingga tidak mudah mengalami stress/ kecemasan serta kekosongan spiritual.
Kecerdasan merupakan perihal cerdas, kesempurnaan dan
perkembangan akal budi pekerti seperti kepandaian dan ketajaman pikiran, sedangkan untuk pengertian spiritual adalah kejiwaan, rohani, bathin, mental dan moral. Dan pada tahap selanjutnya Kecerdasan spiritual (yang dikenal dengan istilah SQ) Danah Zohar dan Ian Marshal menjelaskan bahwa Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas
4
Dewa Ketut Sukardi, Pengantar Teori Konseling (Suatu Uraian Ringkasan), (Denpasar: Ghalia Indonesia, 1984), h. 17
(15)
dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan hidup seseorang lebih
bermakna dengan yang lain5.
Sedangkan Ary Ginandjar Agustian mengatakan bahwa Kecerdasan spiritual merupakan kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap prilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia seutuhnya (Kamil) dan memiliki pola
pemikiran tauhidi (integralistik) serta berpotensi hanya kepada Allah6.
Bagi orang normal yang memiliki kesempurnaan fisik dan mental mungkin akan lebih mudah untuk menanamkan kecerdasan spiritual. Namun, bagi orang yang tidak normal atau disabilitas, dengan keadaan yang mereka alami kadang membuat mereka kehilangan semangat, bahkan ketika nikmat penglihatan mereka pertama kali diambil, bagi mereka tidak ada lagi harapan baginya. Untuk itu, pemberian Penanaman kecerdasan spiritual bagi mereka amatlah penting, terlebih lagi pendampingan bagi mereka agar tetap berjalan dalam jalur Islam, karena mereka juga rentan dengan krisis iman bahkan konversi agama7 mengingat adanya kaum missionaris8 yang juga menggiurkan mereka dengan berbagai bantuan yang mereka tawarkan.
Seseorang yang memiliki disabilitas fisik seperti tunanetra, yang tentunya menemui kendala tertentu ketika mereka ingin mencukupi
5
Danar Zohar dan Ian Marshall, SQ; Memanfaatkan kecerdasan spiritual dalam berpikir Integralistik dan Holistik untuk memaknai kehidupan, (Bandung: Mizan, 2000), h. 3-4.
6
Agustian, Ary Ginanjar, ESQ POWER Sebuah Inner Journey Melalui Al-Ihsan, (Jakarta: ARGA, 2003), h. 217
7
Konversi agama menurut etimologi yaitu kata kata konversi berasal dari kata lain
“convernio” yang berarti tobat, pindah, dan berubah (agama). Selanjutnya, fakta tersebut dipakai
dalam bahasa Inggris “conversion” yang mengandung pengertian : berubah dari suatu keadaan
atau dari suatu agama ke agama lain (change from one state, or from one religion to another). 8
1. orang yang melakukan penyebaran warta Injil kepada orang lain yang belum mengenal Kristus, 2. imam Kristen (Katolik) yg melakukan kegiatan misi.
(16)
5
kebutuhannya dalam hal beragama. Kalangan tunanetra misalnya, mereka kesulitan untuk mendapat akses yang sesuai dengan keterbatasan yang
mereka alami. Al-Qur’an dan Hadits yang menjadi pedoman pokok bagi
kaum muslim, tidak bisa dicermati dengan mudah karena keterbatasan penglihatan mereka. Hal ini berpengaruh pada kualitas keimanan mereka yang notabene adalah seorang muslim.
Berdasarkan data yang ada di Dinas Sosial, populasi tunanetra di Indonesia adalah sebesar 1,5% dari total penduduk Indonesia, maka diperkirakan sejumlah 3.000.000 (tiga juta) orang, delapan puluh persen dari mereka adalah adalah muslim, atau sekitar 2,4 juta orang adalah kaum
muslim9. Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah Indonesia dalam
menangani kaum tunanetra di Indonesia.
Disabilitas pada diri seseorang merupakan hambatan dan gangguan di dalam aktivitas bagi penyandangnya. Hal tersebut dapat menghambat perluasan pengalamannya, gangguan emosionalnya, dan perkembangan intelegasinya. Selain itu, cacat mental maupun fisik juga merupakan salah satu kendala dalam mengerjakan Ibadah. Jika seseorang memiliki cacat tubuh mungkin aktifitas yang mereka lakukan tidak jauh berbeda dengan orang normal lainnya, karena mereka masih bisa melihat dan mendengar dengan baik, cara memberikan bimbinganpun tidak terlalu sulit. Namun, bagaimana dengan tuna netra yang terlahir tanpa penglihatan memungkinkan tidak bisa merespon maupun melaksanakan salah satu kegiatan yang ada di alam raya
9“Definisi Tunanetra”, Artikel diakses pada 20 Maret 2013 d
ari http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs282/en/.
(17)
ini, bagaimana cara kita membimbing anak-anak yang memiliki disabilitas netra.
Alasan mengapa penelitian ini penting bagi penulis, karena memiliki kecerdasan spiritual merupakan hal yang penting bagi setiap orang khususnya bagi disabilitas netra, orang yang paham dan mengerti akan agamanya akan bisa membantu mereka mengendalikan diri dan memiliki kualitas hidup yang baik. Selain itu, disabilitas netra kerap mengisolirkan diri karena perasaan inferior. Perasaan lemah, tidak berdaya bagi lingkungannya, dan perbedaan fisik yang membuat disabilitas netra merasa hidupnya tidak berarti lagi. Disabilitas netra sangat tergantung sekali dengan orang lain, untuk memenuhi kebutuhannya sendiripun mereka kurang mampu, oleh sebab itu disabilitas netra banyak yang pesimis untuk mencapai kebahagiaan di hidupnya. Karena mereka memiliki kekosongan spiritual yang menyebabkan mereka menjadi lebih sensitif dan sering kali berputus asa.
Panti Sosial adalah lembaga pelayanan kesejahteraan sosial yang memiliki tugas dan fungsi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan memberdayakan penyandang masalah kesejahteraan sosial kearah kehidupan normatif secara fisik, mental dan sosial. Panti Sosial Bina Netra adalah salah satu lembaga yang berperan aktif dalam memperhatikan kehidupan beragama dan sekaligus aspek kehidupan sosial bagi penyandang tunanetra di wilayah Bekasi dan sekitarnya. PSBN “Tan Miyat”, begitu Panti di Sebut dengan arti “Tanpa Sinar”. Sebagai lembaga sosial yang bergerak untuk mengembangkan potensi para penyandang tunanetra. PSBN tidak
(18)
7
hanya menyentuh aspek kehidupan sosial saja, seperti mengupayakan akses informasi untuk para disabilitas netra, tetapi juga membantu para disabilitas netra untuk mempelajari ilmu agama Islam. Juga membantu disabilitas netra
untuk melancarkan dalam membaca Al-Qur’an, dan sempat pula ada salah
satu penyandang tunanetra yang memenangkan kejuaraan MTQ di Bekasi10.
PSBN “Tan Miyat” juga salah satu lembaga yang turut
memperjuangkan kepentingan kegiatan yang mereka lakukan sehingga disabilitas netra bisa meneruskan hidup serta bisa memenuhi kebutuhan kaum disabilitas netra. Yaitu melalui berbagai macam kegiatan tanpa adanya penyesalan dengan kondisi yang terbatas. Pemberian penanaman spiritual secara bertahap dan sistematis merupakan metode yang diterapkan oleh Panti ini. Metode ini terbilang sesuai dengan keadaan tunanetra, hal ini terbukti dengan perilaku beragama para penyandang tunanetra yang mengalami pendewasaan dalam berpikir tentang kebutuhan beragama di tengah krisis kepercayaan diri yang pernah mereka alami serta tercermin dalam kehidupan sehari-hari mereka yang mampu hidup mandiri dengan segala keterbatasan yang mereka miliki bahkan mereka mampu untuk belajar khazanah keilmuan agama Islam untuk memperoleh pendalaman ajaran agama Islam.
Pertanyaan yang timbul dari seorang penulis bagaimana seorang pembimbing agama memberikan arahan pada proses sosial penyandang
tunanetra, penanaman nilai-nilai agama, pemahaman tentang
10“
Arti Tan Miyat” Artikel diakses pada 20 Maret 2013 dari
(19)
spiritual/religius, dan mengajarkan sistem pengendalian/pengontrolan diri dan semua tercakup pada penanaman spiritual.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana peran pembimbing Agama di Panti Sosial Bina Netra “Tan Miyat” Bekasi dalam sebuah bentuk karya ilmiah skripsi yang diberi judul:
“ Peran Pembimbing Agama Dalam Penanaman Kecerdasan Spiritual Di Panti Sosial Bina Netra “Tan Miyat” Bekasi”
B. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini dapat memperjelas masalah dalam penelitian, maka perlu adanya pembatasan untuk lebih mengarah pada titik poin yang diharapkan. Untuk itu, penulis hanya membatasi masalah pada peran pembimbing agama dalam memberikan penanaman kecerdasan spiritual, melalui penanaman nilai-nilai agama, pengendalian diri pada
disabilitas netra di Panti Sosial Bina Netra “Tan Miyat” Bekasi.
2. Rumusan Masalah
Dari batasan masalah di atas, maka penulis merumuskan sebagai berikut :
a. Bagaimana peran pembimbing agama dalam penanaman kecerdasan
(20)
9
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Bertolak dari latar belakang masalah dan rumusan masalah yang telah diungkapkan diatas, penelitian ini bertujuan untuk:
a. Mengetahui peran pembimbing agama dalam penanaman kecerdasan
spiritual di Panti Sosial Bina Netra “Tan Miyat”.
2. Manfaat Penelitan a. Akademis
Penelitian ini membantu pembaca untuk lebih mengetahui pemaparan teori mengenai peran pembimbing agama dan penanaman kecerdasan spiritual kepada penyandang tunanetra. Dapat menjadi masukan Untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang Bimbingan dan Penyuluhan Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
b. Praktis
Penulis berharap hasil penelitian ini bisa memberikan manfaat yang besar kepada kami khususnya, dapat menjadi masukan bagi Panti Sosial Bina Netra “Tan Miyat” atau lembaga lainnya dan masyarakat luas pada umumnya. Dapat diketahui dengan sistematis mengenai pelaksanaan bimbingan dalam menumbuh kembangkan nilai-nilai keagamaan melalui penanaman kecerdasan spiritual terhadap Penyandang Tunanetra yang di berikan Panti tersebut.
(21)
D. Metodologi Penelitan
1. Pendekatan dan Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Adapun pengertian dari penelitian kualitatif adalah menurut Bagdan dan Taylor (1975) seperti yang dikutip Lexy J. Moleong dalam bukunya ialah bahwa penelitian kualitatif adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.11 Memberikan gambaran
terhadap subjek dan objek penelitian lapangan. Bentuk penulisan tugas ini adalah penelitian lapangan, dimana penulis melakukan penelitian langsung ke lapangan guna mendapatkan data yang dibutuhkan selama penulisan, disini penulis menguraikan serta mendeskripsikan bagaimana peran pembimbing dalam penanaman kecerdasan spiritual penyandang tunanetra. Pendekatan kualitatif ini menitik beratkan pada data-data penelitian yang akan dihasilkan melalui pengamatan, wawancara, dan studi dokumentasi.
2. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data a. Teknik Pengumpulan Data
1) Observasi
Yaitu mengadakan kunjungan dan pengamatan secara langsung terhadap objek (penyandang tunanetra) yang akan diteliti serta pencatatan yang sistematis. Melalui observasi,
11
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1998), Cet ke-9, h. 3
(22)
11
peneliti belajar tentang perilaku, dan makna dari perilaku
tersebut12. Guna memperoleh gambaran yang jelas tentang
pelaksanaan bimbingan dalam menanamkan kecerdasan spiritual melalui bimbingan spiritual/agama dari kegiatan setiap harinya di Panti tersebut.
2) Wawancara
Merupakan suatu alat pengumpulan data informasi langsung tentang beberapa jenis data. Wawancara, merupakan bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan seseorang yang ingin mendapatkan informasi dengan seorang lainnya dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujuan
tertentu13. Dalam penelitian ini penulis langsung mewawancarai
peran pembimbing agama dalam rangka penanaman kecerdasan
spiritual disabilitas netra di Panti Sosial Bina Netra “Tan Miyat”
Bekasi
3) Dokumentasi
Yaitu suatu cara yang digunakan untuk mengambil data dari berbagai dokumen, baik merupakan pembukuan ataupun yang lainnya. Dari dokumentasi tersebut, nantinya penulis gunakan untuk mengumpulkan data dengan mempelajari bahan tertulis sehingga dapat membantu penulis dalam mencari
12
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D, (Bandung: ALFABETA, 2007), Cet ke-3, h. 226
13
(23)
informasi yang terkait dengan permasalan penelitian. Dan memperluas pemahaman dan pengetian pada teori yang akan digunakan selama penelitian.
b. Teknik Analisis Data
Analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara
sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data kedalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah
dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain14.
Untuk menganalisis data, penulis menjelaskan bagaimana menjalankan peran sebagai pembimbing agama, dan menganalisa penyandang tunanetra yang mendapatkan bimbingan spiritual, penyandang tunanetra diklasifikasi menjadi: buta sejak lahir, buta karena penyakit, dan buta karena kecelakaan.
Penulis melaporkan data dengan memberi gambaran mengenai proses bimbingan agama dalam program penanaman kecerdasan spiritual. Sebagai sumber data, penulis melakukan observasi langsung dan tidak langsung, seperti wawancara dengan pembimbing dan penyandang tunanetra di panti tersebut. Data yang diperoleh dari observasi dan wawancara akan dideskriptifkan secara
14
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D, (Bandung: ALFABETA, 2007), Cet ke-3, h. 244
(24)
13
kualitatif dengan didukung data-data yang didapat dari berbagai dokumen, literatur serta data-data yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini. Maka, penulis mendapatkan jawaban penelitian dengan menganalisa data berdasarkan informasi-informasi yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi dan studi dokumentasi dengan mengacu pada kerangka teori.
3. Subjek dan Objek Penelitian a. Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah menjelaskan makna perilaku
dengan menafsirkan apa yang orang lakukan15. Atau tempat dimana
bisa mendapatkan sumber data/keterangan. Sumber data adalah mereka yang dapat memberikan informasi tentang objek penelitian. Dalam penelitian ini menjadi subjek utama adalah pembimbing diantaranya 2 orang pembimbing Agama yaitu ustadz Son Haji dan Ustadzah Tasuah, 1 Orang Pembimbing metal spiritual yaitu Ibu Prasetiawati, 1 orang peksos (pekerja sosial) anak yaitu Ibu Putri, serta para disabilitas netra yaitu Lukman, Arina, Tuti, Andry, Ismi, Faizal.
b. Objek Penelitian
Objek penelitian dalam penelitian kualitatif terdiri atas tiga
komponen yaitu, place atau tempat dimana interaksi dalam situasi
sosial berlangsung, actor (pelaku) atau orang-orang yang sedang
15
(25)
memainkan peran tertentu, activity atau kegiatan yang dilakukan
oleh aktor dalam situasi sosial yang sedang berlangsung16. Dalam
penelitian ini objek penelitian penulis adalah peran pembimbing agama dalam menanamkan kecerdasan spiritual yang dilaksanakan di Panti Sosial Bina Netra “Tan Miyat” Bekasi.
4. Dasar Penetapan Lokasi Penelitian
Adapun tempat yang dijadikan objek penelitian adalah Panti Sosial Bina Netra (PSBN) Tan Miyat Bekasi yang beralamat Jl. H. Moeljadi Djojomartono No. 19 Bekasi Timur, Nomor Telp Kantor:
021-8800478, Email: psbntanmiyat@depsos.go.id, Website:
http://tanmiyat.depsos.go.id. Sedangkan waktu pelaksanaan penelitian mulai tanggal 27 Mei 2013 sampai dengan 26 Juli 2013.
5. Pedoman Penulisan
Penulisan dalam penelitian ini menggunakan teknik yang mengacu pada buku pedoman penulisan karya ilmiah (skripsi, tesis, dan disertasi) karya Hamid Nasuhi dkk yang diterbitkan oleh CeQDA (Center For Quality Development and Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian ini, diambil referensi dari beberapa pustaka dan
menggunaskan pendekatan teori tertentu untuk memperkuat dan
16
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D, (Bandung: ALFABETA, 2007), Cet ke-3, h. 229
(26)
15
mempertajam analisa. Penelitian dengan judul “ Peran Pembimbing Agama
Dalam Penanaman Kecerdasan Spiritual Di Panti Sosial Bina Netra
“Tan Miyat” Bekasi” ini terinspirasi dari beberapa skripsi yang telah ada sebelumnya.
Pertama, skripsi karya Ina Nurul Lestari, mahasiswi Bimbingan Penyuluhan Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
angkatan 2003 dengan judul “Pelaksanaan Bimbingan Agama Dalam
Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Anak Sekolah Alam Depok ”, yang membahas bagaimana pelaksanaan bimbingan agama di sekolah. Ina
Mengangkat masalah bagaimana pelaksanaan bimbingan agama di
sekolah bisa mengupayakan pengembangan kecerdasan spiritual anak, sedangkan penulis lebih menitik beratkan penanaman kecerdasan spiritual melalui peran pembimbing agama.
Kedua, skripsi karya Yuyun Rahmawati, mahasiswa Bimbingan Penyuluhan Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah jakarta
angkatan 2003 dengan judul “Peran Bimbingan Agama Terhadap Mental
Disorder Penyandang Tunanetra Di Panti Sosial Bina Netra “Tan Miyat” Bekasi”, yang membahas bagaimana peran bimbingan agama terhadap mental disorder penyandang tunanetra. Yuyun mengangkat masalah bagaimana peran bimbingan agama memperbaiki atau membantu untuk mental disorder penyandang tunanetra, sedangkan penulis lebih menitik beratkan bagaimana peran pembimbing agama dalam mengupayakan penanaman kecerdasan spiritual penyandang tunanetra.
(27)
Ketiga, skripsi karya Arie Mutya Wulan Sari, mahasiswi Bimbingan Penyuluhan Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah jakarta
angkatan 2000 dengan judul “Pelaksanaan Bimbingan Islam Dalam
Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Kaum Dhuafa Di Yayasan
IRTIQO Kebajikan Ciputat Tanggerang”, yang membahas bagaimana pelaksanaan bimbingan islam terhadap kaum dhuafa. Arie mengangkat masalah bagaimana pelaksanaan bimbingan islam bisa mengembangkan kecerdasan spiritual kaum dhuafa, sedangkan penulis lebih menitik beratkan bagaimana peran pembimbing agama dalam mengupayakan penanaman kecerdasan spiritual penyandang tunanetra.
Keempat, Skripsi Karya Komari, mahasiswa Bimbingan Penyuluhan Islam Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang Angakatan 2006
dengan judul “Peran Bimbingan Agama Islam Dalam Meningkatkan
Motivasi Beragama Bagi Penyandang Tunanetra Di Yayasan Sahabat Mata Mijen Semarang”, yang membahas bagaimana peran bimbingan agama untuk memotivasi dalam beragama. Komari mengangkat masalah Bagaimana peran pelaksanaan bimbingan agama Islam terhadap penyandang tunanetra dalam meningkatkan motivasi beragama, sedangkan penulis lebih menitik beratkan pada peran pembimbing agama dalam penanaman kecerdasan spiritual penyandang tunanetra.
Melalui tinjauan pustaka ke perpustakaan utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan juga menelusuri situs di internet,
(28)
17
Spiritual Di Panti Sosial Bina Netra “Tan Miyat” Bekasi” belum pernah diteliti sebelumnya. Meskipun penulis terinspirasi dari keempat skripsi sebelumnya yang telah disebutkan di atas, namun seluruh skripsi ini memiliki objek dan subjek penelitian yang berbeda, meski tak bisa disangkal skripsi di atas memberikan banyak masukan untuk penulisan dalam melakukan penelitian.
Selain skripsi-skripsi di atas, buku Syamsu Yusuf LN, dan A. Juntika
Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling, M. Lutfi, Dasar-dasar
Bimbingan dan Penyuluhan (Konseling) Islam, Zohar dan Ian Marshall, Danah, SQ; Memanfaatkan kecerdasan spiritual dalam berpikir Integralistik dan Holistik untuk memaknai kehidupan, dan buku-buku lain yang memberi sumbangan besar dalam ide penulisan skripsi ini. Pemaparan mengenai berbagai hal tentang memberikan pemahaman akan tugas pembimbing dan pelayanan apa saja yang diberikan pembimbing dalam proses penanaman kecerdasan spiritual penyandang tunanetra.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mengetahui secara global tentang penulisan ini, maka sistematika penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:
BAB I : Berisi pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodelogi penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.
(29)
BAB II : Berisi kajian teori yang terdiri dari: pengertian peran, pengertian pembimbing, pengertian kecerdasan spiritual, pengertian Penyandang Tunanetra, ciri-ciri, prinsip-prinsip dan pandangan dasar.
BAB III : Gambaran umum tentang Panti Sosial Bina Netra “Tan Miyat”
Bekasi, meliputi sejarah singkat berdirinya, visi dan misi, serta tujuan, kondisi fisik, sarana dan prasarana, sasaran garapan penerima dan pelayanan Panti tersebut.
BAB IV : Temuan lapangan dan Analisis data, meliputi data-data
informan, peran pembimbing agama dalam penanaman kecerdasan spiritual pada penyandang tunanetra, serta analisis peran pembimbing agama dalam penanaman kecerdasan spiritual pada penyandang tunanetra.
(30)
19
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Peran Pembimbing Agama 1. Pengertian Peran
Teori peran muncul ketika para ilmuwan sosial menganggap serius wawasan bahwa kehidupan sosial dapat dibandingkan dengan teater, di mana aktor memainkan peran diprediksi. Dituliskan Sarlito Wirawan Sarwono dalam buku Teori-Teori Psikologi Sosial, Ralph Linton (antropolog) mengemukakan bahwa teori peran ini merupakan sarana untuk menganalisis sistem sosial, dan peran yang dipahami
sebagai aspek dinamis dari posisi sosial societally diakui (atau status).1
Dituliskan Sarlito Wirawan Sarwono dalam buku Teori-Teori Psikologi Sosial membagi istilah dalam teori peran dalam 4 golongan, yaitu istilah-istilah yang menyangkut:
a. Orang-orang yang mengambil bagian dalam interaksi sosial.
b. Perilaku yang muncul dalam interaksi tersebut.
c. Kedudukan orang-orang dan perilaku.
d. Kaitan antara orang dan perilaku.2
George Herbert Mead (seorang filsuf sosial) dilihat peran sebagai strategi penanganan yang berkembang bahwa individu saat mereka berinteraksi dengan orang lain, dan berbicara tentang perlunya
1
Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-Teori Psikologi Sosial, (Jakarta: Rajawali, 1984), Cet Ke-1, h.234.
2
Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-Teori Psikologi Sosial, (Jakarta: Rajawali, 1984), Cet Ke-1, h.234.
(31)
interaksi sosial. Dan bila melihat peran sebagai, kebiasaan kadang-kadang berbahaya, taktik yang diadopsi oleh orang-orang dalam hubungan primer, dan berpendapat bahwa perilaku meniru (role playing)
adalah strategi yang berguna untuk belajar peran baru.3
Dituliskan Sarlito Wirawan Sarwono dalam buku Teori-Teori Psikologi Sosial bahwa Kozier Barbara menerangkan peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam, suatu system. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil. Peran adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan dari seesorang pada
situasi sosial tertentu.4
Sedangkan, Abu Ahmadi mendefinisikan peran sebagai suatu kompleks pengharapan manusia terhadap caranya individu harus bersikap dan berbuat dalam situasi tertentu berdasarkan status dan fungsi
sosialnya.5
Peran (role) merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan (status) artinya, seseorang telah menjalankan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka orang tersebut telah melaksanakan sesuatu peran. Keduanya tak dapat dipisahkan karena satu dengan yang lain saling tergantung, artinya tidak ada peran tanpa status
3“Teori Peran”. Artikel Ini diakses Pada 21 Desember 2012 Dari
Http://Www.Scribd.Com/Doc/84673783/TEORI-PERANAN-2
4
Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-Teori Psikologi Sosial, (Jakarta: Rajawali, 1984), Cet Ke-1, h. 234
5
(32)
21
dan tidak ada status tanpa peran. Peran sangat penting karena dapat mengatur perilaku seseorang, di samping itu peran menyebabkan seseorang dapat meramalkan perbuatan orang lain pada batas-batas tertentu, sehingga seseorang dapat menyesuaikan perilakunya sendiri dengan perilaku orang-orang sekelompoknya. Suatu peran paling sedikit
mencakup 3 hal, yaitu6:
a. Peran meliputi norma-norma yang dihubungan dengan posisi
atau tempat seseorang dalam masyarakat.
b. Peran adalah suatu konsep ikhwal apa yang dapat dilakukan oleh
individu dalam masyarakat.
c. Peran dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting
bagi struktur sosial masyarakat.
Jadi peran yang di maksud disini adalah tingkah laku seseorang yang diharapkan dalam interaksi sosial, atau seseorang yang menjadi panutan dalam ucapan maupun tindakannya di lingkungan masyarakat.
B. Pembimbing Agama
Sebelum kita memasuki kegiatan Pembimbing Agama, terlebih dahulu kita perlu memahami, apa arti dari Pembimbing dan Agama itu sebenarnya, dan serta pengertian umum dari Pembimbing Agama.
6
J. Dwi Narwoko, Dan Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar Dan Terapan,
(33)
Menurut kamus bahasa indonesia pembimbing adalah orang
yang membimbing atau menuntun.7 Pengertian harfiyyah bimbingan
adalah menunjukkan, memberikan jalan, atau menuntun orang lain ke
arah tujuan bermanfaat bagi hidupnya di masa kini, dan masa mendatang. Istilah bimbingan merupakan terjemah dari kata bahasa
inggris GUIDANCE yang berasal dari kata kerja to guide yang berarti
mengarahkan, memandu, mengelola, menyetir.8
Dalam buku Samsul Munir Amin Bimbingan Dan Konseling
Islam Menurut pendapat Crow dan Crow: “Guidance is assistance made available by personality qualified and adequately trained man or woman to an individual of any age to help him manage his own life activities, develop his point of view, make his own decisions and carry his own burdens.9 Bimbingan adalah bantuan yang diberikan oleh seseorang baik pria maupun wanita yang memiliki kepribadian yang baik dan pendidikan yang memadai kepada seseorang individu dari setiap usia untuk menolongnya mengemudikan kegiatan-kegiatan hidupnya sendiri,
membuat pilihannya sendiri, memikul beban sendiri.”
Pendapat yang sejalan dengan pendapat di atas adalah D. Ketut Sukardi, yaitu: Bimbingan ialah proses bantuan yang diberikan kepada seseorang agar mampu memperkembangkan potensi, (bakat, minat dan kemampuan) yang dimiliki, mengenai dirinya sendiri, mengatasi persoalan-persoalan sehingga mereka menentukan sendiri jalan hidupnya
serta bertanggung jawab tanpa tergantung kepada orang lain.10
7
Anton M. Moeliono, Dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Depdikbud: Balai Pustaka), h. 117
8
H. M. Arifin. M.Ed. Pedoman Pelaksanaan Bimbingan Dan Penyuluhan Agama. (Jakarta: Golden Terayon,1982), Cet Ke-1, h. 1
9
Samsul Munir Amin, Bimbingan Dan Konseling Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), Cet Ke-1, h. 4-5
10
Dewa Ketut Sukardi, Pengantar Teori Konseling (Suatu Uraian Ringkasan), (Denpasar: Ghalia Indonesia, 1984), h. 17
(34)
23
Dalam buku Samsul Munir Amin Bimbingan Dan Konseling
Islam Menurut Failor, salah seorang ahli bimbingan dan konseling di lingkungan sekolah mengartikan bimbingan:
“Guidance services assist the individual in the process of self understanding and self acceptance, appraisal of his present and possible future socio-economic environment and in integrating these two variables by choices and adjusments that further both personal satisfaction and socio-economic effectiveness. Bimbingan adalah bantuan kepada seseorang dalam proses pemahaman dan penerimaan terhadap kenyataan yang ada pada dirinya sendiri serta penilaian terhadap lingkungan sosio-ekonominya masa sekarang dan kemungkinan masa mendatang dan bagaimana mengintegrasikan kedua hal tersebut melalui pemilihan-pemilihan serta penyesuaian-penyesuaian diri yang membawa kepada kepuasan hidup pribadi dan kedayagunaan hidup ekonomi sosial11.”
Sedangkan H. Abu Ahmadi dan Akhmad Rohani memberikan batasan bimbingan, sebagai berikut:
“Bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus
dan sistematis kepada individu dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, agar tercapai kemampuan untuk mengarahkan dirinya sesuai dengan potensi atau kemampuannya dalam penyesuaian diri
dengan lingkungan baik keluarga sekolah maupun masyarakat.12”
2. Agama
Menurut Harun Nasution pengertian agama berdasarkan asal
kata, yaitu al-din, religi (relegere, religare) dan agama. Al-din (semit)
berarti undang-undang atau hukum. Kemudian, dalam bahasa arab, kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, kebiasaan, dll.
Adapun dari kata religi (latin) atau relegere berarti mengumpulkan dan
membaca. Kemudian, religare berarti mengikat. Adapun kata agama
11
Samsul Munir Amin, Bimbingan Dan Konseling Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), Cet Ke-1, h. 5
12Herianto, “Peranan Bimbingan Dan Penyuluhan Agama Islam Disekolah Umum.”
Artikel Diakses Pada Tanggal 18 Desember 2012 Dari http://heriantodjava.wordpress.com/2011/07/20/peranan-bimbingan-dan-penyuluhan-agama-islam-disekolah-umum/.
(35)
atau diwariskan turun-temurun.13 Secara definitif, menurut Harun Nasution, agama adalah:
1) Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan
gaib yang harus dipatuhi.
2) Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai
manusia.
3) Mengikat diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung
pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.
4) Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara
hidup tertentu.
5) Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari kekuatan gaib.
6) Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini
bersumber pada suatu kekuatan gaib.
7) Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan
lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
8) Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui
seorang Rasul. 14
Selanjutnya, Harun Nasution merumuskan empat unsur yang terdapat dalam agama, yaitu:
a. Kekuatan gaib, yang diyakini berada di atas kekuatan manusia.
13
Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 15 14
(36)
25
b. Keyakinan terhadap kekuatan gaib sebagai penentu nasib baik
dan nasib buruk manusia.
c. Respons yang bersifat emosional dari manusia.
d. Paham akan adanya yang kudus dan suci.15
Apapun bentuk kepercayaan yang dianggap sebagai agama, tampaknya memang memiliki ciri umum yang hampir sama, baik dalam agama-agama primitif (nonteistik) maupun agama monotestik (teistik). Namun menurut Harun Nasution, fakta menunjukan bahwa agama berpusat pada tuhan atau dewa-dewa sebagai ukuran yang menentukan
dan tak boleh diabaikan.16 Dalam istilahnya, ia menyebutkan sebagai
keyakinan (tentang dunia lain).
Pengertian agama juga dibagi menjadi 2 aspek:
a. Aspek subjektif (pribadi manusia). Agama mengandung
pengertian tentang tingkah laku manusia, yang dijiwai oleh nilai-nilai keagamaan, berupa getaran batin, yang dapat mengatur, dan mengarahkan tingkah laku tersebut, kepada pola hubungan dengan masyarakat, serta alam sekitarnya. Dari aspek inilah manusia dengan tingkah lakunya itu, merupakan perwujudan (manisfestasi) dari pola hidup yang telah membudayakan dalam batinnya, dimana nilai-nilai keagamaan telah membentuknya menjadi rujukan (referensi) dari sikap, dan orientasi hidup sehari-hari.
15
Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 14-15
16
H. M. Arifin. M.Ed. pedoman pelaksanaan bimbingan dan penyuluhan agama.
(37)
mengandung nilai-nilai ajaran tuhan yang bersifat menuntun manusia ke arah tujuan yang sesuai dengan kehendak ajaran tersebut. Agama dalam pengertian ini belum masuk ke dalam batin manusia, atau belum membudaya dalam tingakah laku manusia, karena masih punya doktrin (ajaran) yang objektif berada diluar diri manusia. Oleh karena itu, secara formal, agama dilihat dari aspek objektif dapat diartikan sebagai peraturan yang bersifat illahi (dari tuhan) yang menuntun orang-orang berakal budi kearah ikhtiar untuk mencapai kesejahteraan
hidup di dunia, dan memperoleh kebahagian hidup di akhirat.17
Dengan demikian, maka Bimbingan Agama dapat diartikan sebagai usaha pemberian bantuan kepada seseorang yang mengalami kesulitan atau permasalahan, baik lahir dan batin, yang meyangkut kehidupan saat ini maupun yang akan datang. Jadi peran pembimbing agama yaitu tingkah laku atau perbuatan seseorang yang berusaha memberikan bantuan dalam memecahkan segala permasalahan atau kesulitan, yang menyakut kehidupan beragama.
Jadi, Peran Pembimbing Agama yaitu Bimbingan yang dimaksud akan memiliki peran sebagai pengatur bagi kaum penyandang tunanetra dalam kehidupan sehari-hari baik dalam kehidupan beragama maupun sosial. Peran disini diartikan sebagai hal yang bisa mengatur
17
H. M. Arifin. M.Ed. pedoman pelaksanaan bimbingan dan penyuluhan agama.
(38)
27
perilaku seseorang. Peranan menyebabkan seseorang pada batas-batas tertentu dapat memprediksi perbuatan orang lain, orang bersangkutan akan dapat menyesuaikan perilaku dirinya sendiri dengan perilaku orang-orang sekelompoknya. Hubungan-hubungan sosial yang ada dalam masyarakat merupakan hubungan antara peranan-peranan individu dalam
masyarakat. Peranan diatur oleh norma-norma yang berlaku.18
2. Tujuan dan Fungsi Pembimbing a. Tujuan Pembimbing
Secara umum dan luas, program bimbingan dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut:
1) Membantu individu dalam mencapai kebahagiaan hidup pribadi.
2) Membantu individu dalam mencapai kehidupan yang efektif dan
produktif dalam masyarakat.
3) Membantu individu dalam mencapai hidup bersama dengan
individu-individu yang lain.
4) Membantu individu dalam mencapai harmoni antara cita-cita
dan kemampuan yang dimilikinya.19
Tujuan dari Bimbingan Agama adalah Memberi bantuan kepada anak bimbing agar mampu memecahkan kesulitan yang dialami dengan kemampuan sendiri atas dorongan dari keimanan dan ketaqwaannya kepada Tuhan. Karena bimbingan keagamaan ini relevan dengan
18
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : PT Raja Grafinda Persada, 2006), h. 213
19
Samsul Munir Amin, Bimbingan Dan Konseling Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), Cet Ke-1, h. 39
(39)
keagamaan itu bertujuan Membimbing remaja agar menjadi muslim sejati, beriman, teguh, beramal sholeh, dan berakhlaq mulia, serta
berguna bagi masyarakat, agama dan negara.20
Tujuan pokok dari Pembimbing Agama adalah Memberi bantuan kepada anak bimbing agar mampu memecahkan kesulitan yang dialami dengan kemampuan sendiri atas dorongan dari keimanan dan ketaqwaannya kepada Tuhan. Demikian pula tujuan bimbingan dan konseling juga merupakan tujuan dari dakwah islam.
Untuk mengungkapkan potensi imam dan takwa sehingga menjadi daya dorong kemampuan pribadi anak bimbing, diperlukan berbagai metoda berdasarkan sistem pendekatan seperti yang telah diuraikan secara singkat diatas. Dalam harfiyyah, metoda adalah jalan
yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan, karena kata Metoda
berasal dari meta yang berarti melalui dan hodos berarti jalan21. Namun
pengertian hakiki dari metoda tersebut adalah segala sarana yanng dapat digunakan untuk mencapai tujuan yang diinginkan, baik sarana tersebut bersifat fisik seperti alat peraga, alat administrasi, dan pergedungan dimana proses kegiatan bimbingan berlangsung, bahkan pelaksana metoda seperti pembimbing sendiri adalah termasuk metoda juga dan sarana non fisik seperti kurikulum, contoh tauladan, sikap, dan pandangan pelaksana metoda, lingkungan yang menunjang suksesnya
20
Samsul Munir Amin, Bimbingan Dan Konseling Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), Cet Ke-1, h. 39
21
H. M. Arifin. M.Ed. Pedoman Pelaksanaan Bimbingan Dan Penyuluhan Agama. (Jakarta: Golden Terayon,1982), Cet Ke-1, h. 43
(40)
29
bimbingan dan cara-cara pendekatan dan pemahaman terhadap sasaran metoda seperti wawancara, angket, test psikologi, sosiometri, dan lain
sebagainya.22
2. Fungsi Bimbingan
Menurut Dewa Ketut Sukardi menyebutkan bahwa fungsi bimbingan adalah:
1) Menyalurkan, ialah fungsi bimbingan dalam membantu klien
mendapat lingkungan yang sesuai dengan keadaan dirinya.
2) Mengadaptasikan, ialah fungsi bimbingan dalam membantu
klien di lingkungan tertentu untuk mengadaptasikan dengan keadaan atau orang-orang yang ada di lingkungan tersebut.
3) Menyesuaikan, ialah fungsi bimbingan dalam rangka membantu
klien untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan.
4) Pencegahan, ialah fungsi bimbingan dalam membantu klien
menghindari kemungkinan terjadinya hambatan.
5) Perbaikan, ialah fungsi bimbingan dalam membantu klien untuk
memperbaiki kondisi klien yang dipandang kurang
baik/memadai.
6) Pengembangan, ialah fungsi bimbingan dalam membantu klien
untuk melampaui proses dan fase perkembangan secara teratur.23
22
H. M. Arifin. M.Ed. Pedoman Pelaksanaan Bimbingan Dan Penyuluhan Agama. (Jakarta: Golden Terayon,1982), Cet Ke-1, h. 43
23
Samsul Munir Amin, Bimbingan Dan Konseling Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), Cet Ke-1, h. 48-49
(41)
sebagai berikut:
a. Menjadi penunjang dari pelaksanaan program pendidikan agama
dilembaga-lemabaga pendidikan baik maupun lembaga lain.
b. Menjadi pendorong bagi siswa dalam melaksanakan proses
belajar-mengajar.
c. Menjadi pemantap (stabilisator), dan penggerak (dianmisator)
bagi anak bimbing dalam melakukan kegiatan mensukseskan jalannya pendidikan, dan pengajaran di lembaga pendidikan maupun lembaga lain. Sehingga tujuan institusional, kurikuler, instruksional dapat lebih mudah di capai. Atas dasar motivasi ajaran agama, maka segala tugas dapat dilaksanakan dengan baik, yang semata-mata sebagaimna menjalankan ibadah kepada Tuhan semesta alam.
d. Menjadi pengarah (direktif) bagi pelaksanaan program
pendidikan agama di lembaga pendidikan maupun lembaga lain yang bersangkutan. Sehingga dalam pelaksanaan program
tersebut, kemungkinan terjadinya penyimpangan dapat
dihindari. 24
Dari aspek tersebut, maka bimbingan agama sebenarnya adalah usaha untuk menciptakan suasana kegiatan kependidikan agama yang bersifat mengarahkan bagi terwujudnya kelancaran proses
24
H. M. Arifin. M.Ed. Pedoman Pelaksanaan Bimbingan Dan Penyuluhan Agama. (Jakarta: Golden Terayon,1982), Cet Ke-1, h. 4
(42)
31
mengajar, yang dilandasi oleh semangat, atau perasaan pengabdian kepada tuhan, masyarakat, negara, dan bangsa.
3. Metode Bimbingan Agama
Secara umum ada dua metode dalam pelayanan Bimbingan Agama, yaitu: pertama, metode dalam pelayanan bimbingan kelompok
dan kedua, metode bimbingan individual. 25
a. Metode Bimbingan Kelompok (Group Guidance)
Penyelenggaraan bimbingan kelompok antara lain dimaksudkan untuk membantu mengatasi masalah bersama atau membantu seorang individu yang menghadapi masalah dengan menepatkannya dalam suatu kehidupan kelompok. Beberapa jenis metode bimbingan kelompok yang bisa diterapkan dalam pelayanan bimbingan kelompok adalah: 1) program home room,
2) diskusi kelompok, 3) kegiatan kelompok. 26
1) Program Home Room
Tujuan program ini adalah agar konselor dapat mengenal kliennya secara lebih dekat sehingga dapat membantunya secara efisien. Dalam praktiknya, konselor mengadakan tanya jawab dengan klien, menampung pendapat, merencanakan suatu kegiatan, dan lain sebagainya.
25
Tohirin, Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah (Berbasis Integrasi), (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2007), h. 289
26
Tohirin, Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah (Berbasis Integrasi), (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2007), h. 290
(43)
Diskusi kelompok merupakan suatu cara di mana klien memperoleh kesempatan untuk memecahkan masalah secara bersama-sama. Setiap klien memperoleh kesempatan untuk mengemukakan pikirannya masing-masing dalam memecahkan suatu masalah. Dalam melakukan diskusi para klien diberi peran-peran tertentu seperti pimpinan diskusi (moderator) dan notulis. Tugas pimpinan diskusi adalah memimpin jalannya diskusi sehingga diskusi tidak menyimpang, sedangkan tugas notulis adalah mencatat hasil-hasil diskusi. Klien yang lain menjadi perserta atau anggota. Dengan demikian akan timbul rasa tanggung jawab dan harga diri.
3) Kegiatan Kelompok
Kegiatan kelompok dapat menjadi suatu teknik
yang baik dalam bimbingan, karena kelompok
memberikan kesempatan kepada individu (para klien) untuk berpartisipasi secara baik. Banyak kegiatan tertentu yang lebih berhasil apabila dilakukan secara berkelompok. Melalui kegiatan kelompok dapat mengembangkan bakat dan menyalurkan dorongan-dorongan tertentu. Selain itu,
setiap siswa memperoleh kesempatan untuk
menyumbangkan pikirannya. Dengan demikian akan muncul rasa tanggung jawab. Seorang klien diberi
(44)
33
kesempatan untuk memimpin teman-temannya dalam membuat pekerjaan bersama, sehingga kepercayaan dirinya tumbuh dan karenanya ia memperoleh harga diri.
b. Metode Bimbingan Individual (Konseling Individual)
Apabila menunjukan kepada teori-teori konseling, setidaknya ada tiga cara konseling yang biasa dilakukan yaitu: 1) directive counseling, 2) non directive counselling, dan 3) eclective counselling.27
1) Konseling Direktif (directive counselling)
Konseling yang menggunakan metode ini, dalam prosesnya yang aktif atau paling berperan adalah konselor. Dalam praktiknya konselor berusaha mengarahkan klien sesuai dengan masalahnya. Selain itu, konselor juga memberikan saran, anjuran dan nasihat kepada klien.
Praktik konseling dalam dunia islam di mana para nabi khususnya Nabi Muhammad Saw. Umumnya menerapkan cara-cara di atas yaitu memberikan saran-saran, anjuran dan nasihat kepada klien.
2) Konseling Nondirektif (non directive counselling)
Konseling nondirektif atau konseling yang berpusat pada kllien muncul akibat kritik terhadap konseling direktif (konseling berpusat pada konselor). Konseling nondirektif dikembangkan berdasarkan teori
27
Tohirin, Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah (Berbasis Integrasi), (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2007), h. 296-301
(45)
Dalam praktik konseling nondirektif, konselor hanya menampung pembicaraan, yang berperan adalah konselor. Klien atau konseli bebas berbicara sedangkan konselor menampung dan mengarahkan. Metode ini tentu sulit diterapkan untuk klien yang bersifat tertutup (introvert), karena klien dengan kepribadian tertutup biasanya pendiam dan sulit diajak berbicara.
3) Konseling eklektif (eclective counselling)
Apabila terhadap siswa tertentu tidak bisa diterapkan metode direktif, maka mungkin bisa diterapkan metode nondirektif begitu juga sebaliknya. Atau apabila mungkin adalah dengan cara menggabungkan kedua metode tersebut. Penggabungan kedua metode konseling disebut metode eklektif (eclective counselling).
Penerapan metode dalam konseling adalah dalam keadaan tertentu konselor menasihati dan mengarahkan konseli sesuai dengan masalahnya, dan dalam keadaan yang lain konselor memberikan kebebasan kepada konseli untuk berbicara sedangkan konselor mengarahkan saja.
C. Kecerdasan Spiritual
Dalam buku Taufiq Pasiak REVOLUSI IQ/EQ/SQ: Menyikapi
Rahasia Kecerdasan Berdasarkan Al-Qur’an Dan Neurosains Mutakhir Daniel Goleman mengemukakan bahwa EQ merupakan prasyarat dasar bagi
(46)
35
penggunaan atau berfungsinya IQ secara efektif. EQ dibangun oleh saraf-saraf emosi di otak manusia, dan saraf-saraf emosi bila tidak berkembang dengan baik. Akibatnya, seseorang kehilangan daya empati dan daya sosialisasi diri. Menurut Goleman EQ (emotional quotient) merupakan indikator kunci bagi kesuksesan zaman modern, dicirikan oleh manusia-manusia yang kehilangan
emosi.28 Hal ini nampak pada saat bagian otak yang memfasilitasi
fungsi-fungsi perasaan terganggu, maka seseorang tidak dapat berpikir secara efektif.
Baru-baru ini, yaitu di akhir abad ke-20 ditemukan Q yang ketiga, yaitu SQ,
meskipun data ilmiahnya belum begitu mantap. Dengan ditemukan SQ (spiritual Quotion) semakin lengkaplah gambaran kecerdasan manusia secara
penuh.29
Jauh sebelum Zohar, Pesinger, Deloux, dan Damasio, Psikolog Erich Fromm telah menyebut kulit otak sebagai dasar kesadaran diri manusia.
Menurut Fromm, Orientasi hidup manusia, yang antara lain termaktub
dalam ajaran agama, sesungguhnya bersumber dari otak tersebut.30 Pernyataan tersebut menguatkan pendapat Zohar bahwa kecerdasan Spiritual mempunyai tempat di otak manusia, dan menandakan bahwa manusia
mempunyai 3 kecerdasan yaitu, IQ, EQ, SQ yang saling berhubungan.31
28
Taufiq Pasiak, REVOLUSI IQ/EQ/SQ: Menyikapi Rahasia Kecerdasan Berdasarkan Al-Qur’an Dan Neurosains Mutakhir, (Bandung: Mizan, 2002), h. 23-24
29
Syamsyu Yusuf, LN, Dan A. Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan Dan Konseling, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), Cet Ke-2, h. 241-242
30
Taufiq Pasiak, REVOLUSI IQ/EQ/SQ: Menyikapi Rahasia Kecerdasan Berdasarkan Al-Qur’an Dan Neurosains Mutakhir, (Bandung: Mizan, 2002), h. 30
31
Taufiq Pasiak, REVOLUSI IQ/EQ/SQ: Menyikapi Rahasia Kecerdasan Berdasarkan Al-Qur’an Dan Neurosains Mutakhir, (Bandung: Mizan, 2002), h. 30-31
(47)
Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas. Kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding dengan
yang lain.32 SQ adalah suara hati ilahiyah yang memotivasi seseorang
untuk berbuat atau tidak berbuat. Kalau EQ berpusat di hati, SQ berpusat pada hati nurani (fuad). Kebenaran suara fuad tidak perlu diragukan. Sejak awal fuad telah tunduk pada perjanjian ketuhanan seperti ayat berikut:
“dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", (QS. Al-A’raaf 7:172.)
Ketiga kecerdasan itu (IQ, EQ, dan SQ) dipandang sebagai tiga proses psikologis dalam diri seseorang. EQ merupakan proses primer yang didasarkan kepada jaringan syaraf asosiatif dalam otak, IQ merupakan proses skunder yang didasarkan kepada jaringan syaraf serial dalam otak, dan SQ merupakan proses tertier yang didasarkan kepada
32“
Definisi Dan Pengertian Kecerdasan Spiritual “, Artikel Diakses Pada 19 Februari 2013 Dari Http://Www.Perkuliahan.Com/Apa-Pengertian-Kecerdasan-Spiritual/.
(48)
37
sistem syaraf ketiga dalam otak, yaitu syaraf synchronous, yang
menyatukan data dalam otak secara menyeluruh.33
Dalam buku Triantoro Safaria, Spiritual Intelligence (metode
pengembangan kecerdasan spiritual anak) Menurut Marsha Sinetar kecerdasan spiritual adalah kecerdasan ini diilhami oleh dorongan dan efektivitas, keberadaan atau hidup ilahiah yang mempersatukan kita sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Sebagai sumber utama kegairahan yang memiliki eksistensi tanpa asal, kekal, abadi lengkap pada diri dan daya kreatifnya. Kecerdasan ini melibatkan kemampuan unruk menghidupkan kebenaran yang paling dalam. Yang berarti mewujudkan
hal terbaik, utuh dan paling manusiawi dalam batin.34
Dalam buku Triantoro Safaria, Spiritual Intelligence (metode
pengembangan kecerdasan spiritual anak) Michael Levin menjelaskan bahwa kecerdasan spiritual adalah sebuah perspekrif “spirituality is a perspective” artinya mengarahkan cara berpikir kita menuju kepada hakekat terdalam kehidupan manusia, yaitu penghambaan diri pada sang Maha Suci dan Maha Meliputi. Menurut Levin kecerdasan spiritual tertinggi hanya bisa dilihat jika individu mencerminkan penghayatannya akan kebijakan dan kebijaksanaan yanag mendalam, sesuai dengan jalan
suci menuju pada sang pencipta.35
33
Syamsyu Yusuf, LN, Dan A. Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan Dan Konseling, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), Cet Ke-2, h. 242
34
Triantoro Safaria, Spiritual Intelligence (metode pengembangan kecerdasan spiritual anak), (Jakarta: Graha Ilmu, 2007), Cet ke-1, h. 15.
35
Triantoro Safaria, Spiritual Intelligence (metode pengembangan kecerdasan spiritual anak), (Jakarta: Graha Ilmu, 2007), Cet ke-1, h. 16
(49)
tentang dinamika jiwa manusia, spiritualitas dicapai melalui ta’wil dan tafsir. Ta’wil mengacu pada pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memperhatikan implikasi-implikasi yang tersembunyi di bawah atau dibalik makna harfiahnya. Sedangkan tafsir adalah ulasan yang didasarkan atas apa yang diturunkan, diwariskan kepada kita lewat tradisi
budaya (keislaman). Perspektif Al-Qur’an memandang jiwa manusia
mempunyai dua kecendrungan yang saling bertentangan. Yaitu kecenderungan pada sifat-sifat ketuhanan (kecenderungan positif) dan kecenderungan sifat-sifat kesyaitanan (kecenderungan negatif). bisa juga dikatakan bahwa jiwa manusia seperti dua sisi mata uang. Yang satu cenderung kepada kebajikan dan sisi lainnya cenderung pada kejahatan.
36
Seperti yang dijelaskan dalam firman Allah SWT
“Demi jiwa dan penyempurnaannya, sesungguhnya Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (cenderung pada) keburukan dan kebaikannya ” (Q.S. Asy Syams : 7-8).
Untuk mencapai tingkat kepribadian yang sehat, manusia dituntut untuk selalu mengikuti kecenderungan jiwanya pada kebajikan (Positif). Manusia dituntut juga untuk mampu mengaktualkan sifat-sifat Tuhan yang terdapat dalam dirinya. Untuk itu manusia harus mampu mengendalikan dan menghancurkan kecenderungan kejahatan (Negatif),
36
Triantoro Safaria, Spiritual Intelligence (metode pengembangan kecerdasan spiritual anak), (Jakarta: Graha Ilmu, 2007), Cet ke-1, h. 19-20.
(50)
39
dalam jiwanya.37 Untuk itulah manusia dituntut untuk selalu mensucikan
jiwanya, agar manusia memperoleh keberuntungan. Seperti firman Allah SWT
“sesunggunya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan rugilah orang-orang yang mengotori jiwa itu” (Q.S. 91 : 9-10).
SQ ini dapat diartikan sebagai kemampuan untuk
a. mengenal dan memecahkan masalah-masalah yang terkait
dengan makna dan nilai.
b. menempatkan berbagai kegiatan dan kehidupan dalam konteks
yang lebih luas, kaya dan memberikan makna.
c. mengukur atau menilai bahwa salah satu kegiatan atau langkah
kehidupan tertentu lebih bermakna dari yang lainnya.
2. Ciri-ciri Kecerdasan Spiritual
Dalam buku Syamsyu Yusuf, LN, Dan A. Juntika Nurihsan Landasan Bimbingan Dan Konseling Menurut Danar Zohar, Marshall orang yang memiliki SQ tinggi ditandai dengan beberapa ciri atau indikator sebagai berikut:
a. Bersifat Fleksibel, yaitu mampu beradaptasi secara aktif dan
spontan.
b. Memiliki kesadaran (self-awareness) yang tinggi.
c. Memiliki kemampuan untuk menghadapi penderitaan dan
mengambil hikmah darinya.
d. Memiliki kemampuan untuk menghadapi dan mengatasi rasa
sakit.
e. Memiliki kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai.
37
Triantoro Safaria, Spiritual Intelligence (metode pengembangan kecerdasan spiritual anak), (Jakarta: Graha Ilmu, 2007), Cet ke-1, h. 20.
(51)
kerusakan.
g. Cenderung melihat hubungan antar berbagai yang berbeda
menjadi suatu yang holistik.
h. Cenderung untuk bertanya mengapa atau apa dan mencari
jawaban-jawaban yang fundamental.
i. Bertanggungjawab untuk menebarkan visi dan nilai-nilai kepada
orang lain dan menunjukan cara menggunakannya. Dengan kata
lain, dia adalah orang pemberi inspirasi kepada orang lain.38
Dalam buku Triantoro Safaria, Spiritual Intelligence (metode
pengembangan kecerdasan spiritual anak) Marsha Sinetar menjelaskan ada beberapa ciri dari anak-anak yang memiliki potensi kecerdasan spiritual yang tinggi. Karakteristik ini biasanya sudah mulai tampak ketika anak mulai beranjak menuju remaja dan akan menjadi mapan ketika dia di mencapai masa dewasa. Adapun karakteristiknya tersebut yaitu:
a. Kesadaran diri yang mendalam, intuisi yang tajam, kekuatan
keakuan (ego-strenght), dan memiliki otoritas bawaan.
Contohnya seorang anak memiliki kemampuan untuk
memahami dirinya sendiri serta memahami emosi-emosi yang muncul, sehingga mampu berempati dengan apa yang terjadi pada orang lain.
b. Anak memiliki pandangan luas terhadap dunia dan alam.
c. Moral tinggi, pendapat yang kokoh, kecenderungan untuk
merasa gembira, mengalami pengalaman-pengalaman puncak, atau bakat-bakat estesis.
38
Syamsyu Yusuf, LN, Dan A. Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan Dan Konseling, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), Cet Ke-2, h. 244-245
(52)
41
d. Pemahaman tentang tujuan hidupnya.
e. Kelaparan tak terpuaskan akan hal-hal selektif yang diminati.
f. Gagasan-gagasan yang segar dan memiliki rasa humor dewasa.
g. Pandang pragmatis dan efesien tentang realistas.39
3. Fungsi Kecerdasan Spiritual
SQ (Spiritual Quotion) sebagai proses tertier psikologis berfungsi untuk:
a. Mengintegrasikan dan mentransformasikan bahan-bahan yang
berasal dari proses primer (EQ) dan Proses sekunder (IQ).
b. Memfasilitasi suatu dialog antara pikiran dengan perasaan, atau
antara jiwa dengan raga.
c. Menempatkan self sebagai pusat keaktifan (kegiatan),
penyatuan, dan pemberian makna.40
Dewasa ini telah berkembang isu tentang pentingnya meaning (makna). Banyak penulis mengatakan bahwa krisis sentral saat ini adalah pencarian makna. Dalam berbagai kesempatan ditemukan bahwa orang-orang dewasa ini banyak membicarakan kembali masalah tuhan, makna, visi, nilai, yang menunjukan adanya kerinduan terhadap aspek spiritual.
39
Triantoro Safaria, Spiritual Intelligence (metode pengembangan kecerdasan spiritual anak), (Jakarta: Graha Ilmu, 2007), Cet ke-1, h. 26-28
40
Syamsyu Yusuf, LN, Dan A. Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan Dan Konseling, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), Cet Ke-2, h. 242-243
(53)
1. Pengertian Tunanetra
Dari segi etimologi tunanetra ialah tuna sama dengan rusak,
netra sama dengan netra, atau disebut juga cacat mata.41 Jadi secara
umum tunanetra berarti rusak penglihatan. Tunanetra berarti buta, tetapi buta belum tentu sama sekali gelap atau sama sekali tidak dapat melihat. Ada anak buta yang sama sekali tidak ada penglihatan,anak semacam ini biasanya disebut buta total. Disamping buta total,masih ada juga anak yang mempunyai sisa penglihatan tetapi tidak dapat dipergunakan untuk membaca dan menulis huruf biasa. Istilah buta ini mencakup pengertian yang sama dengan istilah tunanetra atau istilah asingnya blind.
Untuk memberikan pengertian di atas yang tepat tentang kebutaan, perlu dirumuskan pengertian sebagai berikut: Menurut Slamet Riadi adalah “Seseorang dikatakan buta jika ia tidak dapat mempergunakan penglihatannya untuk pendidikan “(Slamet Riadi , 1984, hal. 23). Menurut Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia) tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisah penglihatan, tetapi tidak mampu menggunakan penglihatanya untuk membaca tulisan biasa berukuran 12 point dalam keadaan cahaya normal meski pun dibantu
dengan kacamata (kurang awas).42
41
Anton M. Moeliono, Dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Depdikbud: Balai Pustaka), h. 971
42“Pengertian Tunanetra”, Artikel ini diakses pada 18 maret 2013 dari
(54)
43
Tunanetra menurut Soedjadi S. (tth:23): Berdasarkan pandangan paedagogis, mereka ini kurang atau sama sekali tidak dapat menggunakan penglihatannya dalam melaksanakan tugas yang diberikan
dalam pendidikan.43
Berdasarkan definisi World Health Organization (WHO),
seseorang dikatakan Low Vision apabila:
a. Memiliki kelainan fungsi penglihatan meskipun telah dilakukan
pengobatan, misalnya operasi dan atau koreksi refraksi standart (kacamata atau lensa).
b. Mempunyai ketajaman penglihatan kurang dari 6/18 sampai
dapat menerima persepsi cahaya.
c. Luas penglihatan kurang dari 10 derajat dari titik fiksasi
d. Secara potensial masih dapat menggunakan penglihatannya
untuk perencanaan dan atau pelaksanaan suatu tugas.44
Tunanetra berasal dari kata tuna dan netra, yang masing-masing berarti rusak/tidak memiliki dan mata/penglihatan, jadi tunanetra berarti rusak penglihatan. Sedangkan pengertian tunanetra dilihat dari kacamata pendidikan : menurut Barraga N (1983:25) adalah “Individu yang mengalami gangguan fungsi penglihatan untuk mengikuti belajar dan mencapai prestasi secara maksimal”.45
43
Sukini Pradopo, Pendidikan Anak-anak Tunanetra, (Bandung: CV Masa Baru, 1997), Cet ke-1, h. 12
44“Pengertian Tunanetra”, Artik
el ini diakses pada 18 maret 2013 dari http://cerpenik.blogspot.com/2010/12/pengertian-tunanetra.html.
45“Defini Tinanetra” Artikel diakses pada 18 maret 2013 dari
http://d-tarsidi.blogspot.com/2011/10/definisi-tunanetra.html
(55)
mengenai tunanetra sebagai berikut:
“For educational purposes, the blind person is one whose sight is so severaly impaired that he or she must be taught to read by Braille or by aural methods (audiotapes and records). The partially sighted person can read print even though magnifying devices or large-print books may be needed.”46
Pengertian tersebut dapat diartikan bahwa untuk kepentingan pendidikan, anak tunanetra yang mengalami kelainan yang sangat berat harus diajar membaca dengan menggunakan huruf Braille atau dengan metode pendengaran seperti menggunakan audiotape atau alat perekam lain, sedangkan anak yang mengalami gangguan penglihatan sebagian baru dapat membaca tulisan apabila dibantu dengan menggunakan alat pembesar atau buku yang hurufnya diperbesar.
Menurut White Confrence pengertian tunanetra adalah sebagai berikut.
a. Seseorang dikatakan buta baik total maupun sebagian (low
vision); dari ke dua matanya sehingga tidak memungkinkan lagi baginya untuk membaca sekalipun dibantu dengan kacamata.
b. Seseorang dikatakan buta untuk pendidikan bila mempunyai
ketajaman penglihatan 20/200 atau kurang pada bagian mata yang terbaik setelah mendapat perbaikan yang diperlukan atau mempunyai ketajaman penglihatan lebih dari 20/200 tetapi mempunyai keterbatasan dalam lantang pandangnya sehingga luas daerah penglihatannya membentuk sudut tidak lebih dari 20
derajat.47
46“Pengertian Tunanetra”, Artikel ini diakses pada 18 maret 2013 dari
http://cerpenik.blogspot.com/2010/12/pengertian-tunanetra.html.
47“Defini Tinanetra” Artikel diakses pada 18 maret 2013 dari
http://d-tarsidi.blogspot.com/2011/10/definisi-tunanetra.html
(56)
45
2. Faktor Penyebab Ketunanetraan
Dalam bahasa Indonesia di pelajari akan segala sesuatu pasti ada akibat, maka dalam hal ini dijelaskan faktor-faktor penyebab ketunetraan/kebutaan sebaga berikut:
Menurut keterangan dari IAPB (internasional agency for the prefention of blindness). Ada beberapa faktor penyebab ketunanetraan yaitu:
a. Faktor Keturunan (Bawaan)
Kecacatan yang disebabkan adanya gangguan pertumbuhan janin selama dalam kandungan, seperti gangguan yang diderita oleh sang ibu dikarenakan unsur-unsur penyakit yang bersifat menahun (misal penyakit TBC, Jantung, dll), sehingga merusak sel-sel darah tertentu selama pertumbuhan janin dalam kandungan.
b. Faktor Ketuaan
Orang tua identik dengan mata kurang awas (low vision), hal ini disebabkan faktor usia, saat usia berlanjut maka daya penglihatanpun akan menurun, dan saat usia lanjut rentan dengan berbagai penyakit yang menyebabkan menurunnya daya
penglihatan. Misalnya; glaucoma, fetinopatia diabetic,
hiperetinsi48, sklerose pembuluh darah, katarak terutama dikenal
sebagai penyakit akibat ketuaan.49
48
Sidarta Ilyas, Kedaruratan Dalam Ilmu Penyakit Mata. (Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2000), cet ke-2, Jilid 2, h. 1
49
Sidarta Ilyas, Kedaruratan Dalam Ilmu Penyakit Mata. (Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2000), cet ke-2, Jilid 2, h. 163
(57)
Kecacatan yang disebabkan oleh kejadian atau peristiwa yang tidak diduga contohnya, kecelakaan transportasi (motor, mobil, dll), kecelakaan kerja, atau ketidak sengajaan lain yang menyebabkan menurunnya daya penglihatan atau kebutaan total.
d. Faktor Penyakit
Infeksi dan virus adalah penyebab timbulnya penyakit. Jenis-jenis penyakit yang pada umumnya menjadi penyebab faktor ketunanetraan adalah:
1) Katarak adalah cacat mata yang disebabkan pengapuran
pada lensa mata sehingga penglihatan menjadi kabur dan daya akomodasi berkurang. Umumnya katarak terjadi pada
orang yang telah lanjut usia.50
2) Buta warna merupakan gangguan penglihatan mata yang
bersifat menurun. Penderita buta warna tidak mampu membedakan warna-warna tertentu, misalnya warna merah, hijau, atau biru. Buta warna tidak dapat diperbaiki atau
disembuhkan.51
3) Trakoma adalah penyakit pada permukaan kelopak mata
bagian yang terlihat seperti bintik-bintik merah dan terasa
50
Adi D. Tilong, Kalkulator Kesehatan, (Jogjakarta: D-Medika (anggota IKAPI, 2012)), cet ke-1, h. 116
51
Adi D. Tilong, Kalkulator Kesehatan, (Jogjakarta: D-Medika (anggota IKAPI, 2012)), cet ke-1, h. 118
(58)
47
sangat gatal, jika tidak segera ditangani akan
mengakibatkan kecacatan permanen.52
4) Glaukoma adalah suatu penyakit yang memberikan
gambaran klinik berupa peninggian tekanan bola mata, penggaungan pupil syaraf optik dengan efek lapangan
pandangan mata, dan membesarnya bintik buta fisiologik.53
3. Karakter Fisik dan Psikis
Selain perbedaan dari segi fisik, anak tunanetra mengalami beberapa kondisi yang berbeda dengan anak yang normal pada umumnya. Karena indera penglihatannya terganggu menyebabkan anak tunanetra mengalami kondis-kondisi yang berbeda dengan anak yang normal. Dari segi fisik, mereka mengalami gangguan dengan gejala-gejala yang terlihat, di antaranya ialah mata juling, sering berkedip, menyipitkan mata, (kelopak) mata merah, mata infeksi, gerakan mata tak beraturan dan cepat, mata selalu berair, pembengkakan pada kulit tempat
tumbuh bulu mata.54 Sehingga aktifitas mereka pun mengalami hambatan
yang dapat mempengaruhi aktifitasnya. Dari segi psikis tunanetra pun mengalami beberapa kondisi. Menurut Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, secara psikis anak tunanetra dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Mental/intelektual
52
Sidarta Ilyas, Penuntun Ilmu Penyakit Mata. (Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2000), h. 70
53
Sidarta Ilyas, Kedaruratan Dalam Ilmu Penyakit Mata. (Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2000), cet ke-2, Jilid 2, h. 97
54Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, “Informasi Pelayanan Pendidikan Bagi
(59)
berbeda jauh dengan anak normal/awas. Kecenderungan IQ anak tunanetra ada pada batas atas sampai batas bawah, jadi ada anak yang sangat pintar, cukup pintar dan ada yang kurang pintar. Intelegensi mereka lengkap yakni memiliki kemampuan dedikasi, analogi, asosiasi dan sebagainya. Mereka juga punya emosi negatif dan positif, seperti sedih, gembira, punya rasa benci, kecewa, gelisah, bahagia dan sebagainya.
b. Sosial
Hubungan sosial yang pertama terjadi dengan anak adalah hubungan dengan ibu, ayah, dan anggota keluarga lain yang ada di lingkungan keluarga. Kadang kala ada orang tua dan anggota keluarga yang tidak siap menerima kehadiran anak tunanetra, sehingga muncul ketegangan, gelisah di antara keluarga. Akibat dari keterbatasan rangsangan visual untuk menerima perlakuan orang lain terhadap dirinya. Tunanetra mengalami hambatan dalam perkembangan kepribadian dengan timbulnya beberapa masalah antara lain:
c. Curiga terhadap orang lain
Akibat dari keterbatasan rangsangan visual, anak tunanetra kurang mampu berorientasi dengan llingkungan, sehingga kemampuan mobilitaspun akan terganggu. Sikap berhati-hati yang berlebihan dapat berkembang menjadi sifat curiga terhadap orang lain.Untuk mengurangi rasa kecewa akibat
(60)
49
keterbatasan kemampuan bergerak dan berbuat, maka latihan-latihan orientasi dan mobilitas, upaya mempertajam fungsi indera lainnya akan membantu anak tunanetra dalam menumbuhkan sikap disiplin dan rasa percaya diri.
d. Perasaan mudah tersinggung
Perasaan mudah tersinggung dapat disebabkan oleh terbatasnya rangsangan visual yang diterima. Pengalaman sehari-hari yang selalu menumbuhkan kecewa menjadikan seorang tunanetra yang emosional.
e. Ketergantungan yang berlebihan
Kergantungan ialah suatu sikap tidak mau mengatasi kesulitan diri sendiri, cenderung mengharapkan pertolongan orang lain. Anak tunanetra harus diberi kesempatan untuk menolong diri sendiri, berbuat dan bertanggung jawab. Kegiatan sederhana seperti makan, minum, mandi, berpakaian, dibiasakan dilakukan
sendiri sejak kecil.55
4. Klasifikasi Tunanetra
Klasifikasi yang dialami oleh anak tunanetra, antara lain :
a. Menurut Lowenfeld, (1955:p.219), klasifikasi anak tunanetra yang
didasarkan pada waktu terjadinya ketunanetraan, yaitu :
1) Tunanetra sebelum dan sejak lahir; yakni mereka yang sama
sekali tidak memiliki pengalaman penglihatan.
55Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, “Informasi Pelayanan Pendidikan Bagi
(1)
Lampiran Foto-Foto
Pengajian Pada Hari Rabu Dari Darul Mustofa
(2)
Kegiatan Olahraga Pada Hari Jum’at
(3)
Kegiatan Bimbingan Fisik Melatih Anak Disabilitas Netra Baris-berbaris
Kegiatan Bimbingan Keterampilan Pengajaran Huruf Braile
(4)
Bimbingan Keterampilan ADL
(5)
Kegiatan Bimbingan Agama Pada Bulan Ramadhan
(6)