Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada zaman globalisasi ini manusia dituntut adanya perubahan yang besar dalam segala aspek kehidupan baik positif maupun negatif. Perubahan negatif yang terjadi akibat globalisasi perlu diantisipasi agar setiap manusia tidak mengalami dehumanisasi. Dituliskan Jalaludin Rahmat dalam buku Islam dan Pluralisme, Fromm menjelaskan dehumanisasi merupakan suatu proses dimana mulai ditinggalkannya nilai-nilai kemanusiaan etika, moral dan agama dan digantikannya dengan mendewa-dewakan aspek material semata 1 . Oleh sebab itu seorang anak perlu diberi pengajaran dan arahan sejak dini agar tidak mengalami dehumanisasi, karena keterlambatan dalam memberikan arahan bisa menyebabkan seorang anak mengalami krisis spiritual. Dituliskan Jalaludin Rahmat dalam buku Islam dan Pluralisme, Clinebell menegaskan bahwa anak memiliki kebutuhan dasar spiritual yang harus dipenuhi agar bisa membawa anak dalam keadaan yang tentram, aman, damai dalam menjalani hidup 2 . Jika kebutuhan tersebut tidak dipenuhi, maka bisa menyebabkan kecemasan neurotis dan kekosongan spiritual dalam diri anak. Kekosongan spiritual spiritual-emptiness akan menyebabkan penyakit 1 Jalaluddin Rahmat, Islam dan pluralisme: akhlak Quran menyikapi perbedaan, Jakarta: Serambi, 2006, Cet ke-2, h. 146 2 Jalaluddin Rahmat, Islam dan pluralisme: akhlak Quran menyikapi perbedaan, Jakarta: Serambi, 2006, Cet ke-2, h. 146 ketidak bermaknaan spiritual spiritual-meaningless dalam diri anak. Dalam kondisi yang demikian, anak akan mudah terpengaruh dan terombang-ambing oleh pengaruh lingkungan sekitarnya karena si anak tidak punya benteng yang cukup, kehilangan pegangan hidup, kehilangan keimanan dan mudah untuk putus asa hopeless 3 . Maka dari penjelasan di atas setiap orang mempunyai tanggung jawab yang sama untuk memberikan pengajaran dan arahan untuk bisa mencegah terjadinya krisis keimanan atau kekososngan spiritual, dan cara membantu pengarahan tersebut bisa dilakukan dengan bimbingan yang baik dari orang tua maupun dari lingkungannya. Bimbingan yang diberikan kepada anak dalam menanamkan pemahaman spiritualnya dapat membantu tumbuh kembang si anak secara optimal. Karena itu bimbingan sangat di perlukan untuk bisa memberikan pengajaran dan arahan, agar anak tersebut tidak mengalami perkembangan yang negatif. Pengertian bimbingan itu sendiri adalah menunjukkan, memberikan jalan, atau menuntun orang lain ke arah tujuan bermanfaat bagi hidupnya di masa kini, dan masa mendatang. Pendapat yang sejalan dengan pendapat tersebut adalah D. Ketut Sukardi yang menjelaskan bahwa bimbingan merupakan proses bantuan yang diberikan kepada seseorang agar mampu memperkembangkan potensi, bakat, minat dan kemampuan yang dimiliki, mengenai dirinya sendiri, mengatasi persoalan-persoalan sehingga mereka 3 Jalaluddin Rahmat, Islam dan pluralisme: akhlak Quran menyikapi perbedaan, Jakarta: Serambi, 2006, Cet ke-2, h. 146 menentukan sendiri jalan hidupnya serta bertanggung jawab tanpa tergantung kepada orang lain 4 . Bimbingan yang diberikan kepada seorang anak yang normal mungkin tidak terlalu sulit. Namun, bagaimana memberikan bimbingan agama kepada anak yang memiliki disabilitas kecacatan, disinilah bimbingan sangat dibutuhkan baik dari orang tua maupun lingkungannya, karena disabillitas bukan penghalang untuk seseorang mendapatkan pengajaran yang layak, baik normal maupun tidak normal mereka sama-sama menginginkan pengajaran agar bisa mengetahui apa yang menjadi landasan hidupnya dan apa yang menjadi tujuan hidupnya. Kecerdasan spiritual juga sangat penting dalam membentengi seorang anak menghadapi perubahan sosial yang semakin deras. Dengan adanya kecerdasan spiritual ini menyebabkan anak menjadi tangguh dalam menghadapi tantangan dan hambatan sehingga tidak mudah mengalami stress kecemasan serta kekosongan spiritual. Kecerdasan merupakan perihal cerdas, kesempurnaan dan perkembangan akal budi pekerti seperti kepandaian dan ketajaman pikiran, sedangkan untuk pengertian spiritual adalah kejiwaan, rohani, bathin, mental dan moral. Dan pada tahap selanjutnya Kecerdasan spiritual yang dikenal dengan istilah SQ Danah Zohar dan Ian Marshal menjelaskan bahwa Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas 4 Dewa Ketut Sukardi, Pengantar Teori Konseling Suatu Uraian Ringkasan, Denpasar: Ghalia Indonesia, 1984, h. 17 dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan hidup seseorang lebih bermakna dengan yang lain 5 . Sedangkan Ary Ginandjar Agustian mengatakan bahwa Kecerdasan spiritual merupakan kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap prilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia seutuhnya Kamil dan memiliki pola pemikiran tauhidi integralistik serta berpotensi hanya kepada Allah 6 . Bagi orang normal yang memiliki kesempurnaan fisik dan mental mungkin akan lebih mudah untuk menanamkan kecerdasan spiritual. Namun, bagi orang yang tidak normal atau disabilitas, dengan keadaan yang mereka alami kadang membuat mereka kehilangan semangat, bahkan ketika nikmat penglihatan mereka pertama kali diambil, bagi mereka tidak ada lagi harapan baginya. Untuk itu, pemberian Penanaman kecerdasan spiritual bagi mereka amatlah penting, terlebih lagi pendampingan bagi mereka agar tetap berjalan dalam jalur Islam, karena mereka juga rentan dengan krisis iman bahkan konversi agama 7 mengingat adanya kaum missionaris 8 yang juga menggiurkan mereka dengan berbagai bantuan yang mereka tawarkan. Seseorang yang memiliki disabilitas fisik seperti tunanetra, yang tentunya menemui kendala tertentu ketika mereka ingin mencukupi 5 Danar Zohar dan Ian Marshall, SQ; Memanfaatkan kecerdasan spiritual dalam berpikir Integralistik dan Holistik untuk memaknai kehidupan, Bandung: Mizan, 2000, h. 3-4. 6 Agustian, Ary Ginanjar, ESQ POWER Sebuah Inner Journey Melalui Al-Ihsan, Jakarta: ARGA, 2003, h. 217 7 Konversi agama menurut etimologi yaitu kata kata konversi berasal dari kata lain “convernio” yang berarti tobat, pindah, dan berubah agama. Selanjutnya, fakta tersebut dipakai dalam bahasa Inggris “conversion” yang mengandung pengertian : berubah dari suatu keadaan atau dari suatu agama ke agama lain change from one state, or from one religion to another. 8 1. orang yang melakukan penyebaran warta Injil kepada orang lain yang belum mengenal Kristus, 2. imam Kristen Katolik yg melakukan kegiatan misi. kebutuhannya dalam hal beragama. Kalangan tunanetra misalnya, mereka kesulitan untuk mendapat akses yang sesuai dengan keterbatasan yang mereka alami. Al- Qur’an dan Hadits yang menjadi pedoman pokok bagi kaum muslim, tidak bisa dicermati dengan mudah karena keterbatasan penglihatan mereka. Hal ini berpengaruh pada kualitas keimanan mereka yang notabene adalah seorang muslim. Berdasarkan data yang ada di Dinas Sosial, populasi tunanetra di Indonesia adalah sebesar 1,5 dari total penduduk Indonesia, maka diperkirakan sejumlah 3.000.000 tiga juta orang, delapan puluh persen dari mereka adalah adalah muslim, atau sekitar 2,4 juta orang adalah kaum muslim 9 . Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah Indonesia dalam menangani kaum tunanetra di Indonesia. Disabilitas pada diri seseorang merupakan hambatan dan gangguan di dalam aktivitas bagi penyandangnya. Hal tersebut dapat menghambat perluasan pengalamannya, gangguan emosionalnya, dan perkembangan intelegasinya. Selain itu, cacat mental maupun fisik juga merupakan salah satu kendala dalam mengerjakan Ibadah. Jika seseorang memiliki cacat tubuh mungkin aktifitas yang mereka lakukan tidak jauh berbeda dengan orang normal lainnya, karena mereka masih bisa melihat dan mendengar dengan baik, cara memberikan bimbinganpun tidak terlalu sulit. Namun, bagaimana dengan tuna netra yang terlahir tanpa penglihatan memungkinkan tidak bisa merespon maupun melaksanakan salah satu kegiatan yang ada di alam raya 9 “Definisi Tunanetra”, Artikel diakses pada 20 Maret 2013 dari http:www.who.intmediacentrefactsheetsfs282en. ini, bagaimana cara kita membimbing anak-anak yang memiliki disabilitas netra. Alasan mengapa penelitian ini penting bagi penulis, karena memiliki kecerdasan spiritual merupakan hal yang penting bagi setiap orang khususnya bagi disabilitas netra, orang yang paham dan mengerti akan agamanya akan bisa membantu mereka mengendalikan diri dan memiliki kualitas hidup yang baik. Selain itu, disabilitas netra kerap mengisolirkan diri karena perasaan inferior. Perasaan lemah, tidak berdaya bagi lingkungannya, dan perbedaan fisik yang membuat disabilitas netra merasa hidupnya tidak berarti lagi. Disabilitas netra sangat tergantung sekali dengan orang lain, untuk memenuhi kebutuhannya sendiripun mereka kurang mampu, oleh sebab itu disabilitas netra banyak yang pesimis untuk mencapai kebahagiaan di hidupnya. Karena mereka memiliki kekosongan spiritual yang menyebabkan mereka menjadi lebih sensitif dan sering kali berputus asa. Panti Sosial adalah lembaga pelayanan kesejahteraan sosial yang memiliki tugas dan fungsi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan memberdayakan penyandang masalah kesejahteraan sosial kearah kehidupan normatif secara fisik, mental dan sosial. Panti Sosial Bina Netra adalah salah satu lembaga yang berperan aktif dalam memperhatikan kehidupan beragama dan sekaligus aspek kehidupan sosial bagi penyandang tunanetra di wilayah Bekasi dan sekitarnya. PSBN “Tan Miyat”, begitu Panti di Sebut dengan arti “Tanpa Sinar”. Sebagai lembaga sosial yang bergerak untuk mengembangkan potensi para penyandang tunanetra. PSBN tidak hanya menyentuh aspek kehidupan sosial saja, seperti mengupayakan akses informasi untuk para disabilitas netra, tetapi juga membantu para disabilitas netra untuk mempelajari ilmu agama Islam. Juga membantu disabilitas netra untuk melancarkan dalam membaca Al- Qur’an, dan sempat pula ada salah satu penyandang tunanetra yang memenangkan kejuaraan MTQ di Bekasi 10 . PSBN “Tan Miyat” juga salah satu lembaga yang turut memperjuangkan kepentingan kegiatan yang mereka lakukan sehingga disabilitas netra bisa meneruskan hidup serta bisa memenuhi kebutuhan kaum disabilitas netra. Yaitu melalui berbagai macam kegiatan tanpa adanya penyesalan dengan kondisi yang terbatas. Pemberian penanaman spiritual secara bertahap dan sistematis merupakan metode yang diterapkan oleh Panti ini. Metode ini terbilang sesuai dengan keadaan tunanetra, hal ini terbukti dengan perilaku beragama para penyandang tunanetra yang mengalami pendewasaan dalam berpikir tentang kebutuhan beragama di tengah krisis kepercayaan diri yang pernah mereka alami serta tercermin dalam kehidupan sehari-hari mereka yang mampu hidup mandiri dengan segala keterbatasan yang mereka miliki bahkan mereka mampu untuk belajar khazanah keilmuan agama Islam untuk memperoleh pendalaman ajaran agama Islam. Pertanyaan yang timbul dari seorang penulis bagaimana seorang pembimbing agama memberikan arahan pada proses sosial penyandang tunanetra, penanaman nilai-nilai agama, pemahaman tentang 10 “Arti Tan Miyat” Artikel diakses pada 20 Maret 2013 dari http:tanmiyat.depsos.go.id spiritualreligius, dan mengajarkan sistem pengendalianpengontrolan diri dan semua tercakup pada penanaman spiritual. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana peran pembimbing Agama di Panti Sosial Bina Netra “Tan Miyat” Bekasi dalam sebuah bentuk karya ilmiah skripsi yang diberi judul: “ Peran Pembimbing Agama Dalam Penanaman Kecerdasan Spiritual Di Panti Sosial Bina Netra “Tan Miyat” Bekasi”

B. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah