Analisis Hubungan Semua Variabel dalam Implementasi

V.2 Analisis Hubungan Semua Variabel dalam Implementasi

Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah pada Dinas Kebersihan Kota Medan Setelah memaparkan hasil analisis dari masing-masing variabel, penulis mencoba untuk menganalisis hubungan antar variabel yang telah diteliti, sesuai dengan model implementasi George Edwards III seperti pada gambar di bawah ini Seperti yang dinyatakan oleh Edwards dan juga terlihat pada gambar bahwa tidak ada variabel tunggal atau yang berdiri sendiri dan tidak dipengaruhi oleh variabel lainnya dalam implementasi kebijakan. Dengan kata lain bahwa semua varibel menentukan keberhasilan dan kegagalan dari implementasi dan ketimpangan dari satu diantaranya akan memberikan dampak pada keseluruhan proses. Komunikasi Struktur Organisasi Sumberdaya Disposisi Implementasi Universitas Sumatera Utara Keberhasilan impelementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan setiap sumber daya yang tersedia. Dalam implementasi AKIP ini dibutuhkan sumber daya yang berkualitas dan memadai, baik itu sumberdaya manusia, fasilitas dan dana. Pegawai merupakan sumber daya yang terpenting untuk menggerakkan pemanfaatan sumber dan faktor lainnya, diantaranya mengarahkan komunikasi dalam koordinasi dengan tiap bagian, menentukan sikap untuk menerima atau menolak suatu kebijakan sehingga menentukan keberhasilan pelaksanaan kebijakan tersebut. Jika dilihat dari kondisi pegawai yang dimiliki oleh Dinas Kebersihan Kota Medan masih memiliki struktur yang besar namun kompetensi yang masih kurang sehingga cukup mempengaruhi kinerja dan koordinasi dalam penyusunan LAKIP. Hal ini harus mendapat perhatian dari Dinas Kebersihan untuk menciptakan suasana kerja yang kondusif. Selain dari itu, pegawai pula yang menentukan sikap mereka, baik menerima atau menolak, atas kebijakan yang akan diterapkan akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilannya. Sejauh ini, pegawai Dinas Kebersihan pun belum sepenuhnya menerima AKIP untuk diterapkan dan belum sepenuhnya menyadari tugas dan tanggung jawabnya dalam memberikan pertanggungjawaban atas kewenangan yang diserahkan kepadanya. Disatu sisi, keberadaan SOP seharusnya menjadi alur untuk mengefektifkan dan mengefisienkan kinerja dalam memanfaatkan setiap sumberdaya, baik pegawai, dana dan fasilitas sehingga tidak ada yang tumpang tindih dan mencegah kesalahpahaman. SOP ini pun hendaknya selalu dievaluasi dari tahun ke tahun dan disesuaikan dengan perubahan yang terjadi. Namun, disisi Universitas Sumatera Utara lain SOP dapat menjadi patokan yang mengurangi nilai fleksiilitas kinerja pegawai dan menjadi budaya yang dilestarikan sehingga membentuk “zona nyaman” dan menghambat perubahan. Kondisinya sampai saat ini Dinas Kebersihan Kota Medan tidak memiliki SOP AKIP. Ketidakadaan SOP ini memberikan ruang bagi pegawai untuk selalu menyesuaikan kinerja dengan tuntutan yang ada, tidak terikat pada satu cara yang baku. Namun bisa dikatakan bahwa pegawai Dinas Kebersihan masih terpaku pada draft isian dari Inspektorat dan kurang mau memberikan inovasi baru dalam pelaksanaannya. Dalam penelitian ini, variabel disposisi atau sikap pelaksana pun sangat mempengaruhi keberhasilan dari pelaksanaan kebijakan AKIP ini. Ketika pegawai menerima dengan baik AKIP yang akan diimplementasikan maka responnya pun pasti akan baik. Hal ini terlihat dari bagaimana AKIP benar-benar menjadi monitoring bagi setiap individu mengerjakan tugas dan tanggungjawabnya dengan sepenuhnya menyadari bahwa hal itu penting untuk mewujudkan Dinas Kebersihan yang akuntabel. Sampai saat ini kecenderungan menolak masih terdapat pada pegawai Dinas Kebersihan sehingga mempengaruhi tanggung jawab para pegawai dalam kinerja mereka. Dengan demikian dapat dilihat bahwa keempat faktor ini saling mempengaruhi dalam pelaksanaan kebijakan AKIP. Komunikasi yang baik akan didukung oleh adanya SOP dan penyebaran tanggung jawab yang jelas dan tegas, selain itu kompetensi pegawai Dinas Kebersihan Kota Medan pun dituntut untuk semakin baik agar tidak terjadi kesalahan dalam pemahaman dan pengimplementasian AKIP. Begitu juga dengan sikap dari pegawai yang Universitas Sumatera Utara menerima atau menolak akan mempengaruhi semangat dari pegawai untuk dengan benar dan bertanggung jawab mengimplementasikan kebijakan ini. Secara keseluruhan implementasi AKIP ini dipengaruhi oleh keterkaitan faktor-faktor di atas, seperti juga yang menjadi kendala dalam pelaksanaannya. Sejak tahun 2002 Dinas Kebersihan Kota Medan menerapkan AKIP dengan penyusunan LAKIP sebagai laporan kongkretnya setiap tahun masih tetap dikerjakan hingga saat ini, sudah dirasakan ada perubahan ke arah yang lebih baik, misalnya dalam penyusunan program dan pertanggungjawabannya. Namun masih dirasakan sangat kurang keinginan dan kesadaran secara organisasi untuk semakin memperbaiki diri. Secara khusus misalnya untuk meningkatkan kualitas SDM yang ada secara keterampilan dan pelatihan kerja serta perencaaan penyusunan komponen AKIP yang dibutuhkan seperti SOP contohnya. Hal ini pun tanpa disadari disebabkan juga oleh kurangnya kontrol dari Kementrian PAN RB bagi seluruh instansi pemerintah yang tidak menyerahkan LAKIPnya. Sejak dikeluarkannya Inpres Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah sampai saat ini sekitar 13 tahun perjalanannya belum ada UU yang mengatur sanksi ketegasan bagi yang tidak mengerjakan AKIP. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa semangat awal adanya AKIP ini tidak disertai dengan upaya yang maksimal dalam mengerjakannya, bahkan cenderung dianggap sebagai suatu kegiatan formal yang harus dikerjakan oleh seluruh instansi pemerintah di Indonesia. Universitas Sumatera Utara

BAB VI PENUTUP