BAB IV HAK DAN KEWAJIBAN NEGARA BAGIAN DAN PROVINSI
ANGGOTA PENANDATANGAN DEKLARASI RIO BRANCO DAN KAITANNYA DENGAN IMPLEMENTASI SUSTAINABLE DEVELOPMENT
PRINCIPLE
A. Sustainable Development Principle dalam Deklarasi Rio Branco
Deklarasi Rio 1992 tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan atau yang disebut “the Earth Charter” memuat prinsip pembangunan berkelanjutan yang
didasari 27 prinsip pembangunan Deklarasi Stockholm 20 tahun sebelumnya. Prinsip pembangunan berkelanjutan tersebut bertujuan mewujudkan kemitraan
global yang baru dan adil, melalui tahapan kerjasama yang erat di antara negara- negara, berdasarkan keterpaduan konsep pembangunan dan perlindungan lingkungan
serta kesadaran akan saling ketergantungan antara alam dan umat manusia. Tujuan yang sama kemudian banyak dijadikan sebagai sasaran utama dari
banyak kegiatan atau usaha internasional oleh negara-negara yang semakin meningkatkan kesadaran pentingnya memperhatikan kelestarian lingkungan di
samping kemajuan pembangunan. Pentingnya kemajuan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat namun
disertai juga oleh kesadaran akan pelestarian lingkungan, mendasari gagasan kemitraan global yang diprakarsai oleh
Governor’s Climate and Forest Task Force GCF atau Satuan Tugas Hutan dan Iklim Gubernur dalam deklarasinya di tahun
2014 yakni Deklarasi Rio Branco.
Universitas Sumatera Utara
Kemitraan yang dimaksud bertujuan untuk mengurangi deforestasi hutan tropis, melindungi sistem iklim global, meningkatkan mata pencaharian pedesaan, dan
mengurangi kemiskinan dalam yurisdiksi-yurisdiksi anggota mereka.
181
Komitmen GCF ini berawal dari kesadaran para negara hutan tropis akan pentingnya melindungi sistem iklim dunia mengingat perubahan iklim global sudah
menunjukkan efek buruknya. Peningkatan emisi global yang dipicu oleh negara maju yang menggunakan sumber daya bumi secara boros namun akibatnya justru paling
banyak diderita oleh negara berkembang, terutama negara terbelakang.
182
Pada sejarahnya, tuntutan komitmen pengurangan emisi negara maju pasca perdebatan
target dan beban pengurangan emisi dalam Berlin Mandat pada tahun 1995, sebelum COP 3 Kyoto Brazil mengajukan proposal berjudul “Proposed Elements of a Protocol
to the United Nations Framework Convention on Climate Change. Hal yang ditekankan dalam proposal tersebut adalah pentingnya hak negara berkembang untuk
membangun sehingga dalam konteks pengurangan emisi, negara berkembang tidak bisa diberikan kewajiban yang sama dengan negara maju.
183
Perubahan iklim akan memiliki efek pada lingkungan dunia secara global. Secara umum, jika perubahan iklim semakin cepat, maka resiko kerusakan akan
semakin besar. Jika tren buruk terus berlangsung, maka permukaan laut diprediksikan akan naik antara 19-95 cm pada tahun 2100; hal ini bisa mengakibatkan banjir dan
kerusakan lainnya. Wilayah iklim termasuk wilayah ekosistem dan pertanian dapat bergeser. Sementara hutan, padang pasir, dan berbagai ekosistem yang tidak terkelola
dapat menjadi lebih basah, lebih kering, lebih panas atau lebih dingin; dan akhirnya banyak hal yang akan mengalami kemunduran dan spesies tertentu akan punah.
181
Lihat Bab II sub- bab “Konsep Sustainable Development Principle” dalam Deklarasi Rio
Branco menurut Perspektif Internasional” hal.58-66 pada penelitian ini.
182
Mumu Muhajir., Seri Hukum dan Keadilan Iklim “REDD di Indonesia, Kemana akan
Melangkah? ” Penerbit HuMa Jakarta, 2010. hal.25
183
Ibid.,
Universitas Sumatera Utara
Meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer membutuhkan usaha luar biasa untuk menstabilkannya. Karena pada kenyataannya, laju peningkatan
karbondioksida dan GRK meningkat jauh lebih cepat dibanding penurunan emisinya. Jika tidak ada kesadaran tinggi dan upaya kerjasama dari berbagai pihak, maka
mustahil kita mampu mengatasi dan mencegah dampak dari perubahan iklim. Manusia akan menghadapi tekanan dan resiko baru, ketahanan pangan global akan
terancam dan beberapa wilayah akan mengalami kelaparan. Sumber daya air akan terpengaruh karena presipitasi dan evaporasi mengubah pola dunia. Infrastruktur fisik
akan rusak, serta aktivitas ekonomi, pemukiman dan kesehatan manusia akan mengalami dampak baik secara langsung dan tidak langsung. Orang miskin, dalam hal
ini merupakan pihak yang paling menderita dari efek negatif perubahan iklim.
184
Beranjak dari hal inilah para anggota GCF yang notabene merupakan negara yang memiliki hutan tropis berinisiatif membentuk sebuah kerjasama baru yang
bertujuan melindungi sistem iklim global dengan mengurangi laju deforestasi dan penurunan emisi. Kesadaran akan betapa pentingnya menjaga kestabilan iklim dunia
mendorong para anggota GCF menegaskan kembali komitmen mereka dalam Deklarasi Rio Branco. Negara bagian dan provinsi penandatangan deklarasi ini
bertekad mengurangi deforestasi sebanyak 80 pada tahun 2020. Program ini juga mengupayakan pembangunan berkelanjutan dan peningkatan ekonomi bagi
masyarakat yurisdiksi yang hidupnya bergantung pada hutan.
184
Ibid.,
Universitas Sumatera Utara
A.1. Konsep dan Pelaksanaan Sustainable Development Principle di Wilayah negara Bagian dan Provinsi Penandatangan Deklarasi Rio
Branco
Deklarasi Rio Branco sebagai bentuk formil dari komitmen para anggota GCF berorientasi pada upaya pengurangan deforestasi sebagai bentuk pengintegrasian
perlindungan hutan dan iklim. Upaya tersebut diwujudkan dengan membangun kemitraan atau kerja sama dengan sektor swasta dengan program-program khusus di
daerah yurisdiksi anggota; juga aktif secara cepat dan efektif menyalurkan pendanaan berbasis kinerja untuk mendukung pembangunan ekonomi berbasis hutan.
Pembangunan ekonomi yang dimaksud adalah pembangunan ekonomi yang ramah hutan baik bagi produsen, rimbawan, petani, peternak, masyarakat adat, komunitas-
komunitas lokal dan para pemangku kepentingan hutan lainnya. Konsep yang tertuang dalam deklarasi ini menitikberatkan pada kontribusi
aktif para anggota GCF, pemerintah nasional negara anggota, dan sektor swasta lainnya.
185
Deklarasi ini menggunakan konsep multilevel governance yang mensyaratkan interaksi antara pemerintah nasional dan sub-nasional dan local guna
menciptakan good governance dalam tata kelola hutan dan pembangunan yang berkelanjutan. Kontribusi ini dimaksudkan berupa dukungan finansial dan dukungan
teknis baik itu peluang pasar domestik dan internasional maupun akses peluang non pasar bagi penurunan emisi gas rumah kaca.
Upaya dalam mempromosikan pengintegrasian perlindungan hutan dan iklim yang telah diprakarsai oleh para anggota GCF sejak tahun 2008 ini mencakup perihal
REDD+ dan pembangunan rendah emisi di daerah yurisdiksi para anggotanya.
185
Alinea ke-3 Deklarasi Rio Branco
Universitas Sumatera Utara
Misalnya, di ke enam negara bagian Brasil yang tingkat deforestasinya telah berkurang lebih dari 70 dalam periode 2006-2012, dan menghasilkan penghindaran
emisi CO2 lebih dari 3 miliar ton banyaknya.
186
Kontribusi substansial yang dimaksud dianggap cukup berpengaruh terhadap upaya-upaya perlindungan hutan dan iklim secara global. Namun GCF mengklaim
bahwa untuk memastikan keberlanjutan ekonomi dan politik dari upaya ini membutuhkan dukungan yang lebih besar dari berbagai pihak. Program ini dibuat
dengan sederhana dan transparan untuk memberikan manfaat bagi komunitas- komunitas, masyarakat adat, petani skala kecil, dan produsen di daerah pedesaan.
187
Strategi Dana GCF menguraikan sebuah Rencana Implementasi untuk Rencana Strategis ini, termasuk: merekrut lebih banyak staf, kapitalisasi dana, pengembangan
kelembagaan Dana GCF, pengembangan siklus program, dan akreditasi institusi- institusi kapasitas teknis dan administrasi, menghindari korupsi dan penyalahgunaan
dana, selain kegiatan-kegiatan lainnya. Strategi Dana GCF memiliki tiga pilar: 1 Memperbaiki Taka Kelola Hutan; 2 Memperbaiki Penghidupan Berkelanjutan; 3
Pengembangan Kapasitas untuk Melakukan Transisi ke Pembangunan Daerah Pedesaan yang Rendah Emisi.
Inti utama konsep pembangunan berkelanjutan yang dimuat dalam deklarasi ini adalah tentang bagaimana para anggota GCF mampu melakukan upaya
perlindungan hutan dan iklim dengan mengintegrasikan keterlibatan berbagai pihak baik berupa dukungan dana dan dukungan teknis; untuk mengurangi laju deforestasi
hutan tropis, melindungi sistem hukum global dan meningkatkan mata pencaharian pedesaan di wilayah yurisdiksi.
186
Ibid.,
187
Ibid.,
Universitas Sumatera Utara
Komitmen para anggota GCF dalam Deklarasi Rio Branco untuk mengurangi emisi secara signifikan membutuhkan dukungan pendanaan berbasis kinerja yang
layak, memadai dan berjangka panjang. Dukungan ini diharapkan dapat diperoleh dari pemerintah negara donor dan swasta, organisasi masyarakat sipil, terutama Consumer
Goods Forum
188
dan inisiatif sektor swasta lainnya yang ditujukan untuk mewujudkan “zero net forestation”.
189
Pembayaran untuk kinerja ini ditujukan untuk mempromosikan REDD+ yang dipastikan akan dimanfaatkan dan diperuntukkan bagi masyarakat yang hidupnya
bergantung pada hutan, para petani kecil dan masyarakat adat. Hal ini diwujudkan dengan memberdayakan masyarakat sekitar hutan, mendorong komersialisasi produk-
produk hasil pertanian dan kehutanan dengan mengembangkan dan memperluas peluang-peluang pasar yang baru bagi produk-produk lestari hasil buatan masyarakat
hutan; baik di tingkat lokal, nasional dan internasional; dengan pengembangan program baru, pemberian insentif dan pendekatan yang inovatif.
Tujuan yang ingin dicapai oleh deklarasi ini adalah tercapainya target perlindungan iklim global dengan pengurangan deforestasi hutan di negara bagian dan
provinsi anggota GCF; dan juga pembangunan ekonomi bagi masyarakat di yurisdiksinya. Namun konsep ini tidak selamanya dianggap mudah untuk diterapkan.
Mengingat bahwa yurisdiksi para anggota GCF secara geografis berada di wilayah yang berjauhan satu sama lain. Misalnya, jarak antara Brasil dengan Indonesia, atau
dengan Nigeria atau Spanyol dan anggota GCF lainnya. Permasalahan geografis ini menjadi satu tantangan pelaksanaan konsep
pembangunan berkelanjutan yang ingin dicapai para anggota GCF, terutama yang berkaitan dengan yuridiksi para anggota GCF yang pada dasarnya hanya merupakan
188
merupakan sebuah konsorsium lebih dari 400 perusahaan dengan pendapatan sebesar 3,1 triliun dolar untuk mewujudkan rantai pasokan zero net deforestation tahun 2020
189
Ibid.,
Universitas Sumatera Utara
negara bagian atau provinsi, bukan mewakili suatu negara secara utuh. Terlebih mengenai bagaimana pendanaan yang diperoleh agar dibagi secara adil dan merata
kepada seluruh yurisdiksi anggota GCF yang notabene berbeda luas wilayah dan corak budaya masyarakatnya. Terutama bagaimana membuat suatu praktek sistemik
tentang “sustainable forest management” untuk menjaga da menggunakan tanah berhutan yang bertujuan untuk memenuhi fungsi sosial, ekonomi dan ekologi hutan
yang relevan melalui cara yang berkelanjutan. Tantangan ini semakin kompleks apabila dikaitkan dengan bagaimana cara
pemisahan atau penggabungan kebijakan program dan aturan wilayah yurisdiksi tersebut sebagai anggota GCF di satu sisi dan sebagai wilayah nasional suatu negara
di sisi lain.
A.2. Implikasi Hukum Deklarasi Rio Branco dalam Upaya Pembangunan Berkelanjutan menurut Perspektif Hukum Internasional
Deklarasi Rio Branco dalam konsepnya menginginkan terciptanya perlindungan sistem iklim global serta tercapainya perwujudan kesejahteraan ekonomi
bagi masyarakat di sekitar yurisdiksinya. Program penggalangan dana semaksimal mungkin dari berbagai pihak baik itu
sektor swasta, pemerintah negara-negara donor, atau pihak-pihak lain akan digunakan sebaik mungkin untuk menjalankan upaya pengurangan deforestasi hutan, penurunan
emisi dan konsentrasi gas rumah kaca; meningkatkan taraf hidup masyarakat hutan daerah yurisdiksi dengan memberikan insentif serta langkah program inovatif dalam
peningkatan hasil pertanian dan hutan, juga komersialisasi berbagai produk-produk lestari.
Universitas Sumatera Utara
Implementasi dari deklarasi ini tentunya dilaksanakan di setiap daerah yurisdiksi para negara-negara bagian dan provinsi anggota GCF yang menandatangani
deklarasi. Misalnya saja, di Kalimantan Tengah yang merupakan salah satu anggota GCF. Provinsi Kalimantan Tengah telah membuat beberapa perencanaan kebijakan
pembangunan. Diantaranya ada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah RPJPD Provinsi Kalimantan Tengah 2016-2025, Rencana Jangka Menengah Daerah
2014-2020, Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah Badan Pengelola dan Pelestarian Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Tengah. Selain itu, Provinsi
Kalimantan Tengah juga membuat kebijakan “Green Government Policy” Kebijakan Pemerintah Hijau yang menginginkan Kalimantan Tengah sebagai provinsi yang
dapat melaksanakan pembangunan berlandaskan pada pelestarian lingkungan hidup; yang dilaksanakan secara formal melalui beberapa peraturan perundang-undangan dan
kelembagaan pemerintah berupa: 1
Perda Nomor 41 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi dalam Usaha Perkebunan di Provinsi Kalimantan
Tengah; yang menyatakan bahwa setiap usaha perkebunan mempunyai tanggung jawab lingkungan dan konservasi kekayaan alam dan
keanekaragaman hayati.
190
Para pengusaha perkebunan di atas 25 hektar wajib membuat perencanaan pengelolaan, melaksanakan kegiatan
pengelolaan dan melaporkan pelaksanaan pengelolaan terhadap kawasan bernilai konservasi tinggi.
2 Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 37 Tahun 2015 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Kesatuan Pengelolaan Hutan Pada Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah yange mengatur
190
Pasal 2 Perda Kalimantan Tengah No.41 Tahun 2014
Universitas Sumatera Utara
tentang pembentukan Unit Pelaksana Teknis Kesatuan Pengelolaan Hutan di berbagai daerah di Provinsi Kalimantan Tengah yang pada intinya
bertugas melaksanakan pengelolaan hutan mulai dari tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan
penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan dan reklamasi, perlindungan hutan dan konservasi. Juga meliputi penjabaran kebijakan kehutanan
nasional dan kebijakan lainnya tentang kehutanan untuk diimplementasikan di wilayahnya, serta pelaksanaan pemantauan dan penilaian kegiatan
pengelolaan hutan, pembukaan peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan, melakukan pelayanan terhadap
masyarakat di bidang kesatuan pengelolaan hutan.
191
Peraturan Daerah yang dibuat oleh Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah merupakan respons terhadap komitmen yang telah disepakati di dalam
Deklarasi Rio Branco dan GCF. Demikian juga halnya dengan provinsi lain di Indonesia yang menjadi anggota GCF yang turut menandatangani deklarasi tersebut.
yakni Aceh, Kalimantan Timur, Papua, Kalimantan Barat, Papua Barat dan Kalimantan Utara.
Upaya yang sama juga terlaksana di Brazil, di mana negara berhasil mengubah tata kelola lahan nasional dan kebijakan terunial yang dapat mendukung komitmen
dalam deklarasi ini. Misalnya sesuai Kode Hutan Brazil, ada kebijakan Pencatatan Lingkungan Desa di Brazil yang mempersyaratkan setidaknya 80 lahan pribadi
berada dalam tutupan hutan, dan hal ini menjadi prasyarat pengalihan lahan melalui program nasional yang dinamai Terra Legal. Brazil bekerja sama dengan pemerintah
191
Pasal 7 Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 37 tahun 2015
Universitas Sumatera Utara
sebagai mitra kunci untuk meningkatkan kepatuhan lingkungan dan memperjelas pengaturan terunial.
192
Tujuan dari Deklarasi Rio Branco dan Under 2 MOU
193
adalah untuk meningkatkan komitmen tingkat tinggi untuk menghadapi deforestasi dan perubahan
iklim, dimana aksi spesifik di lapangan akan ditentukan oleh masing-masing negara bagian dan provinsi berdasarkan konteks nasional dan daerahnya. Under 2 MOU dan
Deklarasi Rio Branco saling melengkapi dan sebenarnya para pemerintah yang telah berkomitmen kepada Deklarasi Rio Branco telah melakukan lebih dari yang
dipersyaratkan di dalam Under 2 MOU. Namun jika dilihat dari segi dampak kinerja GCF secara umum, program ini bukan hanya akan menguntungkan daerah yurisdiksi
para anggota GCF saja,melainkan akan berdampak juga secara universal terhadap dunia.
Pengurangan laju deforestasi di wilayah hutan tropis para anggota GCF serta merta berdampak positif terhadap penurunan emisi dan gas rumah kaca secara global
mengingat ruang udara di dunia tidak bisa disekat. Karena saat lapisan ozon semakin terancam emisi yang dihasilkan berbagai aktivitas produksi negara-negara di dunia,
program pembangunan berkelanjutan oleh negara bagian dan provinsi berhutan tropis ini justru akan meminimalisirnya dan menstabilkan sistem iklim global melalui
pengurangan deforestasi dan degradasi hutan. Sinergitas seperti ini ternyata sudah lama menjadi perbincangan sejak 1898,
dimana seorang ilmuwan Swedia, Svante Ahrrenius, mengingatkan bahwa emisi karbon dioksida CO
2
dapat menjadi penyebab pemanasan global. Kemudian tahun
192
Seperti yang dimuat dalam blog.cifor.org “Mengarusutamakan Reduksi Emisi dalam
Bentang Alam” akses tanggal 31 September 2016 Pukul 02.30
193
MOU ini adalah sebuah pernyataan penting para aktor sub- nasional dari “Perjalanan
menuju Paris”, dan Sasarannya adalah untuk mendapatkan 100 pemerintah sub-nasional untuk menandatanganinya, dibuat pada Mei 2015 negara bagian California dan Baden-Württemberg
Jerman.
Universitas Sumatera Utara
1950, sebuah koran ternama di Amerika, Saturday Evening Post, menampilkan artikel dengan judul “Is the World Getting Warmer?”sebagai titik awal ke publik tentang
sesuatu telah terjadi pada suhu dunia dan iklim global. Perdebatan ilmiah tentang iklim baru mulai muncul pada tahun 1960-an, namun yang dibahas bukan pemanasan
global melainkan pendinginan global cool down. Hingga pada akhirnya situasi berubah ketika lubang pada lapisan ozon ditemukan di Amerika pada tahun 1985.
Penemuan tersebut mengindikasikan kerentanan atmosfir akibat dampak dari berbagai kegiatan manusia.
194
Temuan ilmiah atas perubahan iklim mendorong konferensi antar pemerintah yang fokus pada perubahan iklim. Konferensi pertama diselenggarakan di Toronto
pada tahun 1998 yang bertajuk “Changing Atmosphere” . Sejumlah 340 orang peserta dari 46 negara merekomendasikan konvensi kerangka kerja global yang komprehensif
untuk melindungi atmosfir.
195
Selanjutnya Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi 4353 yang menghadirkan 2 aspek penting yakni mengakui bahwa perubahan iklim
merupakan masalah bersama umat manusia terutama karena iklim merupakan suatu kondisi esensial yang mempertahankan kehidupan di muka bumi; serta menentukan
mengenai bagaimana tindakan yang perlu dan waktu yang tepat seharusnya diambil dalam kerangka kerja global untuk menghadapi perubahan iklim.
Demikianlah perlindungan iklim dikaji mulai dari terlaksananya Konvensi Perubahan Iklim atau The United Nations Framework Convention on Climate Change
UNFCC 1994; dengan rancangan sistem dimana pemerintah nasional melaporkan informasi mengenai emisi GRK secara nasional dan strategi-strategi menghadapi
perubahan iklim. Selain itu, negara-negara maju setuju untuk mempromosikan transfer pendanaan dan teknologi untuk menolong negara berkembang merespons
194
Mumu Muhajir., hal.23-24
195
Ibid.,
Universitas Sumatera Utara
perubahan iklim; juga berkomitmen untuk mengambil langkah-langkah yang bertujuan menstabilkan emisi mereka.
196
Beberapa prinsip penting dijumpai dalam konvensi ini terutama prinsip “common but differentiated responsibilities and respective capabilities principle
prinsip setiap negara bertanggungjawab yang sama terhadap lingkungan hidup namun secara khusus dibedakan sesuai kemampuan masing-masing negara, the
spesicific needs and special circumstances of developing country principle merupakan prinsip bahwa negara maju wajib membantu negara berkembang,
terutama yang rentan terhadap dampak perubahan iklim dalam menyediakan pendanaan adaptasi terhadap dampak-dampak tersebut, the principle of the
precautionary measures prinsip mengenai langkah-langkah yang diambil untuk mengatasi perubahan iklim tidak boleh menimbulkan kerugian bagi manusia maupun
lingkungan, dan the principles of sustainable development prinsip yang menekankan bahwa pemanfaatan sumber daya, arah investasi, orientasi pengembangan teknologi
serta perubahan kelembagaan yang konsisten dengan memperhatiakn kebutuhan masa kini dan masa depan.
197
Demikianlah prinsip-prinsip tersebut kemudian diadopsi ke Protokol Kyoto yang berhasil dirumuskan pada tahun 1997. Hingga saat ini, Protokol Kyoto
merupakan satu-satunya langkah konkrit konvensi yang mengikat secara hukum. Pada protokol ini jugalah komitmen pengurangan emisi dicetuskan dalam suatu
konsep baru yakni “emmision trading‟. Perdagangan karbon dianggap sebagai salah satu jalan keluar dalam pengurangan emisi sebagai langkah utama perlindungan
sistem iklim global.
198
196
Ibid., hal.29
197
Ibid., hal.31-35
198
Ibid., hlm.51
Universitas Sumatera Utara
Secara normatif, konsep dan sistem upaya perlindungan iklim seperti itu menjadi banyak digunakan oleh berbagai negara dalam hubungan internasional terkait
kerjasama ekonomi berwawasan lingkungan. Konsep tersebut dinilai sebagai suatu cara yang cukup mampu mengatasi masalah perubahan iklim, hingga dijadikan sebuah
norma baru dalam hukum internasional. Sedangkan secara yuridis, konsep ini sudah menjelma ke dalam banyak perjanjian internasional dan menjadi salah satu sumber
hukum internasional. Contohnya UNFCCC 1992 dan Protokol Kyoto 1997, Vienna Convention for the Protection of the Ozone Layer 1985
199
, dan Montreal Protocol on Substance that Deplete the Ozone Layer 1987
200
, dan lain sebagainya. Demikian juga halnya dengan konsep yang termuat dalam Deklarasi Rio
Branco. Meski deklarasi ini pada dasarnya hanya merupakan perjanjian internasional yang berbentuk soft law, namun sudah banyak fenomena bahwa suatu dokumen soft
law baik yang berbentuk declaration, agenda, guidelines, principles, charter, strategy, action plan, dan lain sebagainya; justru akhirnya dijadikan dasar bagi
terbentuknya suatu produk hukum hard law yang berdaya hukum mengikat quasy- legally binding.
Contoh dokumen soft law yang akhirnya bertransformasi menjadi suatu dokumen hard law adalah Bali Action Plan yang dihasilkan dari Conference of The
Parties COP ke-13 oleh United Nations Framework Convention on Climate Change UNFCCC di Bali, Indonesia, yang kemudian menjadi dasar perundingan di COP
berikutnya. Demikian juga halnya dengan Copenhagen Accord yang merupakan salah satu hasil dari COP ke-15 UNFCCC di Denmark, tahun 2009. Copenhagen Accord
199
Diratifikasi oleh Indonesia 26 Juni 1992, bertujuan untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari dampak kegatan manusia yang merusak lapisan ozon.
200
Protokol ini bertujuan melindungi lapisan ozon dengan mengambil langkah kehatia- hatian untuk mengontrol total emisi global yang merusak lapisan ozon dan menghilangkannya. Prinsip
pokoknya adalah pendanaan tambahan dan akses teknologi yang cukup kepada negara berkembang serta peningkatan kerja sama internasional dalam penelitian, pengembangan dan pengalihan
teknologi alternatif untuk mengurangi emisi yang merusak lapisan ozon.
Universitas Sumatera Utara
menjadi dasar perundingan selanjutnya di Durban, Afrika Selatan yang akhirnya menghsilkan Durban Platform dengan Adhoc Working Group on The Duban Platform
ADP yang ditugaskan dalam mencapai perjanjian internasional baru Post Kyoto untuk Komitmen ke II. Kemudian hasil-hasil soft law tersebut menjadi dasar
terbentuknya perjanjian internasional baru Post Kyoto di bawah Rezim UNFCCC 1992.
201
Dokumen-dokumen soft law pada umumnya memang merupakan produk hukum internasional yang tidak mengikat namun memiliki kekuatan politik dan
berpengaruh kuat dalam hubungan internasional. Subjek hukum internasional seperti negara, hanya ingin mengikat secara hukum terhadap soft law, jika ada kesukarelaan
voluntary dari negara atau subjek hukum internasional tersebut. Contoh soft law tersebut adalah Deklarasi Stockholm 1972, Agenda 21, dan Deklarasi Rio 1992.
202
Beberapa ahli menyatakan bahwa model soft law ini merupakan “The Trojan
Horse of Environtmentalist ” yang artinya hanya dengan model soft law inilah
kalangan entitas bukan negara dapat berperan lebih jauh dalam mengembangkan hukum lingkungan internasional khususnya dalam proses pembentukan perjanjian
internasional di bidang lingkungan hidup.
203
Pada prakteknya, suatu dokumen soft law diambil sebagian untuk dimasukkan ke dalam perjanjian internasional yang lebih mengikat hard law. Contohnya adalah
Prinsip 21 yang tercantum dalam Deklarasi Stockholm 1972 yang dianggap sebagai hukum kebiasaan atau prinsip hukum umum yang juga merupakan soft law, kemudian
dibahas dalam berbagai perundingan internasional dan banyak diintegrasikan dalam
201
Pramudianto., hlm. 49-50
202
Ibid., hal.51
203
Ibid., hal.52
Universitas Sumatera Utara
berbagai perjanjian internasional seperti UNCBD 1992, UNFCCC 1992, UNCCD 1994.
204
Demikian juga halnya dengan Deklarasi Rio Branco. Secara normatif, deklarasi ini memberikan imbas baru kepada dunia internasional dengan menunjukkan
bahwa masalah perubahan iklim takkan bisa teratasi tanpa komitmen dan kinerja tinggi dalam upaya mengurangi emisi, deforestasi dan degradasi hutan. Mengingat
masih kurangnya penerapan dan kesadaran negara-negara di dunia akan pentingnya menjaga kelestarian hutan dan aktivitas ramah lingkungan sebagai wujud salah satu
langkah menghindari potensi kerusakan lingkungan. Deklarasi ini mengingatkan kepada dunia internasional bahwa negara-negara
yang memiliki hutan tropis menjadi salah satu alat penting yang dapat dimanfaatkan sebagai cara mengatasi masalah penyebab perubahan iklim dan melindungi sistem
iklim global. Oleh karena itu, semua pihak baik itu negara maju, organisasi atau komunitas masayrakat internasional dan lain sebagainya diharapkan dapat mendukung
upaya pengurangan deforestasi dan degradasi hutan tropis yang dimiliki para anggota GCF baik berupa dukungan dana dan dukungan teknis lainnya. Dengan demikian, jika
deforestasi hutan dan emisi dapat dikurangi, maka akan menguntungkan anggota GCF di satu sisi dan menguntungkan bagi dunia internasional di sisi lain.
Secara yuridis, deklarasi ini berimbas pada pengaturan kebijakan di yurisdiksi para anggota GCF yang menandatangani deklarasi ini. Pasal 12 Konvensi Wina 1969
menyatakan:
205
“The consent of a State to be bound by a treaty is expressed by the signature of its representative when: a The treaty provides that signature shall have that
effect; b It is otherwise established that the negotiating States were agreed
204
Ibid., hal.55
205
Vienna Convention on the law of treaties 1969
Universitas Sumatera Utara
that signature should have that effect; or c The intention of the State to give that effect to the signature appears from the full powers of its representative
or was expressed during the negotiation ”.
Artinya adalah persetujuan untuk mengikatkan diri kepada sebuah perjanjian internasional melalui penandatanganan oleh perwakilan negara berlaku apabila di
dalam perjanjian diatur bahwa perjanjian itu akan berlaku sah dan mengikat apabila ditandatangani oleh perwakilan negara. Juga apabila tidak ada diatur demikian di
dalam perjanjian, maka perjanjian tersebut akan berlaku sah dan mengikat apabila para pihak menyepakatinya demikian. Perjanjian tersebut akan berlaku dan mengikat
apabila memang ditandatangani oleh perwakilan negara yang memiliki surat kuasa penuh selama negoisasi perjanjian berlangsung.
Namun dalam hal Deklarasi Rio Branco, tidak ada diatur di dalam deklarasi bahwa para pihak yang menandatangani deklarasi berarti mengikatkan diri untuk
tunduk pada isi deklarasi, melainkan berdasarkan kesepakatannya saja.
Penandatanganan deklarasi juga dilakukan oleh kepala daerah negara bagian atau provinsi anggota GCF saja, bukan oleh seorang perwakilan negara yang memiliki
surat kuasa penuh untuk mewakili negara membuat perjanjian. Hal ini berarti deklarasi ini tidak mengikat para negara sehingga tidak menimbulkan hak-hak
maupun kewajiban terhadap negara induk. Di dalam Konvensi Wina di Pasal 12 ayat 2 dinyatakan bahwa: “The signature and referendum of a treaty by a representative,
if confirmed by his State, constitutes a full signature of the treaty ”. Artinya bahwa
suatu penandatanganan dan referendum perjanjian oleh wakil negara akan semakin kuat jika dikonfirmasi oleh negara yang bersangkutan.
Undang-undang Nomor 24 tahun 2000 mensyaratkan bahwa Pemerintah Republik Indonesia dapat mengikatkan diri kepada suatu perjanjian internasional
Universitas Sumatera Utara
dengan beberapa cara yakni dengan penandatanganan, pengesahan, pertukaran dokumen perjanjian atau nota diplomatik dan cara-cara lain sebagaimana disepakati
para pihak dalam perjanjian internasional.
206
Sedang menurut Konvensi Wina 1969 Pasal 11 cara-cara tersebut diatur lebih luas lagi, yakni
“The consent of a State to be bound by a treaty may be expressed by signature, exchange of instruments
constituting a treaty, ratification, acceptance, approval or accession, or by any other means if so agreed
”. Artinya suatu negara dapat mengikatkan diri ke suatu perjanjian internasional dengan penandatanganan, pertukaran dokumen perjanjian, ratifikasi,
penerimaan, persetujuan atau aksesi, atau dengan cara lain yang diatur dan disepakati dalam perjanjian.
Apabila dikaitkan dengan Deklarasi Rio Branco, maka deklarasi ini tidak serta merta mengikat negara induk dari anggota penandatangannya, hanya mengikat negara
bagian dan provinsi penandatangannya. Karena deklarasi ini ditandatangani oleh negara bagian dan provinsinya saja. Contohnya, deklarasi ini tidak mengikat negara
Indonesia secara konkrit meskipun ada 6 provinsi di Indonesia yang menandatanganinya. Namun pemerintah nasional Indonesia bisa mengikatkan diri
dengan membuat suatu peraturan perundang-undangan nasional terkait komitmen yang sama yang dilakukan oleh 6 provinsi tersebut jika dinilai konsep terbeut
berkaitan dan bermanfaat bagi kepentingan nasional. Sesuai konteks demikian, maka deklarasi ini merupakan suatu perjanjian
internasional, hanya bersifat soft law. Di Indonesia sendiri, merujuk kepada Undang- undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, dinyatakan bahwa
pernyataan atau deklarasi declaration adalah pernyataan sepihak suatu negara tentang pemahaman atau penafsiran mengenai suatu ketentuan dalam perjanjian
206
Pasal 3 UU No.24 tahun 2000
Universitas Sumatera Utara
internasional, yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan perjanjian internasional yang bersifat multilateral, guna memperjelas
makna ketentuan tersebut dan tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi hak dan kewajiban negara dalam perjanjian internasional.
207
Berdasarkan analisis tersebut, Deklarasi Rio Branco sebagai salah satu perjanjian internasional yang ditandatangani oleh 6 provinsi di Indonesia, tidak
bersifat mengikat kepada negara Indonesia. Deklarasi tersebut tidak melahirkan hak dan kewajiban bagi negara Indonesia, hanya bagi ke 6 provinsi penandatangan
deklarasi. Artinya Pemerintah Daerah yang mengikatkan dirinya ke deklarasi, itu pun hanya bersifat sukarela. Tidak ada sanksi apapun baik sanksi denda dan administratif
terhadap negara bagian dan provinsi penandatangan deklarasi. Ditambah lagi tidak adanya klausul penetapan di dalam deklarasi yang mewajibkan para anggota
penandatangannya untuk mengundangkannya secara formal di daerahnya masing- masing. Jika dibandingkan dengan pengesahan perjanjian internasional di Indonesia
dalam Pasal 9 ayat 2 UU No.24 tahun 2000 yang menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia hanya akan mengesahkan suatu perjanjian internasional apabila perjanjian
internasional tersebut mempersyaratkan demikian. Dengan demikian, regulasi atau kebijakannya hanya berlaku kepada daerah yurisdiksinya saja, bukan secara nasional.
Meskipun tidak tertutup kemungkinan hasil regulasi dari tindakannya sebagai wakil dari kepala daerah bisa naik bertransformasi menjadi regulasi nasional. Di Indonesia
misalnya, hal itu mungkin terjadi. UU Nomor 24 tahun 2000 memang mengatur bahwa peluang pengesahan suatu perjanjian internasional dapat dilakukan dengan
undang-undang apabila berkenaan dengan: 1 masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara; 2 perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara
207
Bab I UU No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional Pasal 1 huruf f
Universitas Sumatera Utara
Republik Indonesia; 3 kedaulatan atau hak berdaulat; 4 hak asasi manusia dan lingkungan hidup; 4 pembentukan kaidah hukum baru; 5 pinjaman danatau hibah
luar negeri.
208
Jadi, secara substantif deklarasi ini sebenarnya bisa dijadikan menjadi sebuah produk undang-undang karena berkaitan dengan point ke empat Pasal 10
tersebut yakni lingkungan hidup. Itupun apabila pemerintah daerah penandatangan sebagai lembaga pemrakarsa baik itu lembaga negara maupun lembaga pemerintah,
baik departemen dan non departemen, menyiapkan salinan perjanjian internasional, terjemahan, rancangan undang-undang, atau rancangan keputusan presiden tentang
pengesahan perjanjian
internasional yang
dimaksud; kemudian
mengkoordinasikannya bersama pihak-pihak terkait untuk selanjutnya diajukan kepada Presiden melalui Menteri.
209
Sebagai sumber hukum, bukan tertutup kemungkinan bahwa suatu saat konsep dari deklarasi ini mampu menjadi suatu alternatif sumber hukum lingkungan
internasional, mengingat betapa pentingnya penerapan prinsip pembangunan berkelanjutan di berbagai lini di setiap negara di dunia, untuk menjamin kelestarian
lingkungan dan kesejahteraan manusia di masa kini dan masa yang akan datang. Karena pada kenyataannya, model pendekatan soft law baik dokumen maupun bentuk
hukumnya, apalagi soft law yang memiliki norma jus cogens dan menimbulkan kewajiban erga omnes akan semakin penting peranannya di masa yang akan
datang
210
, termasuk Deklarasi Rio Branco ini.
208
Pasal 10 UU No.24 Tahun 2000
209
Pasal 12 UU No.24 Tahun 2000
210
Ibid., hlm. 57
Universitas Sumatera Utara
B. Status Hukum Subjek Penandatangan Deklarasi Secara Umum menurut