Deklarasi Rio Branco sebagai hasil Kolaborasi Sub-nasional Governor’s Climate

bahwa “diam berarti setuju” silence gives consent atau barang siapa yang tidak protes berarti setuju, maka sepanjang subjek hukum internasional tidak melakukan protes terhadap suatu dokumen soft law maka dianggap tunduk secara diam-diam tacit consent. Karna itulah soft law berpotensi untuk dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif dari sumber hukum internasional. 139 Demikian juga halnya deklarasi yang juga merupakan suatu bentuk soft law. Deklarasi pun mempunyai suatu potensi untuk dapat dijadikan sebagai salah satu sumber hukum internasional.

B. Deklarasi Rio Branco sebagai hasil Kolaborasi Sub-nasional Governor’s Climate

and Forest Task Force Penyelenggaraan Konferensi Tingktat Tinggi PBB tentang Iklim di New York pada September 2014 yang merupakan pertemuan para pemimpin atau perwakilan dari semua negara anggota PBB, menjadi tempat diberitahukannya Deklarasi Rio Branco untuk pertama kalinya. KTT ini merupakan pertemuan level atas tentang hutan high-level session on forests yang dihadiri oleh para kepala negara, para CEO, dan para pemimpin adat. Pertemuan ini menyediakan peluang elaborasi antar pihak terkait hutan yang disepakati dan diumumkan pada KTT Iklim tersebut, seperti Deklarasi New York tentang hutan dan diskusi tentang bagaimana kemitraan ini bisa dimajukan. Selama diskusi di sesi Action Announcements on Forests Pengumuman Aksi Terhadap Hutan, Teras Narang, Gubernur Provinsi Kalimatan Tengah, Indonesia, salah satu anggota GCF, memberikan pernyataan yang ditujukan kepada Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon, mewakili 36 Gubernur anggota GCF. Gubernur Narang 139 Ibid,. Universitas Sumatera Utara mengumumkan komitmen negara bagian dan propinsi anggota GCF dalam upayanya mengatasi dampak perubahan iklim melalui Deklarasi Rio Branco Rio Branco Declaration. 140 B.1 Tinjauan Umum tentang Governor’s Climate and Forest Task Force Governor”s Climate and Forest Task Force GCF atau Satuan Tugas Hutan dan Iklim Gubernur lahir sebagai respon beberapa pemerintah-pemerintah di beberapa negara terhadap krusialnya persoalan lingkungan di dunia, terutama terkait perlindungan hutan dan pencegahan perubahan iklim global. GCF lahir dari langkah berani dan inovatif gubernur dari negara bagian dan provinsi terkait penanganan dan kebijakan iklim. GCF didirikan sebagai organisasi sub-nasional yang bersifat lintas yurisdiksi untuk melindungi hutan tropis, mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, dan mempromosikan jalur realistis untuk pembangunan pedesaan yang mempertahankan hutan. Sekarang ini, GCF telah muncul sebagai titik fokus utama bagi upaya global untuk membawa REDD+ menjadi berkelanjutan kebijakan iklim sub-nasional, nasional, dan internasional. Menyadari pentingnya penanganan terhadap masalah tersebut, para pemimpin di beberapa negara tersebut berkumpul dan berkomitmen untuk bekerja sama melindungi lingkungan hutan mereka serta menyelamatkan lingkungan dunia, sekaligus menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan dalam program yang ingin dicapainya; yakni bermanfaat secara ekonomi, sosial dan ekologi. Rincian umum GCF adalah sebagai berikut: 141 140 Seperti yang dimuat dalam www.gcftaskforce.org , akses tanggal 26 Februari 2016 Pukul 13.00 WIB 141 Seperti yang dimuat dalam www.gcftaskforce.orgaboutus akses tanggal 26 Februari 2016 Pukul 13.15 WIB Universitas Sumatera Utara “The Governors’ Climate and Forests Task Force GCF is an unique subnational collaboration between 26 states and provinces from Brazil, Indonesia, Mexico, Ivory Costa, Nigeria, Peru, Spain, and the United States. The GCF seeks to advance jurisdictional programs designed to promote low emissions rural development and reduced emissions from deforestation and land use REDD+ and link these activities with emerging greenhouse gas GHG compliance regimes and other pay-for-performance opportunities. More than 25 of the world’s tropical forests are in GCF states and provinces, i ncluding more than 75 of Brazil’s and more than half of Indonesia’s. The GCF includes states and provinces that are leading the way in building comprehensive, jurisdiction-wide approaches to low emissions development and REDD+ as well as the only jurisdiction in the world California that is considering provisions that would recognize offsets from REDD+ as part of its GHG compliance system. The GCF focuses on all aspects of the effort to reduce emissions from deforestation and establish lasting frameworks for low emissions development. It facilitates the exchange of experiences and lessons learned across leading states and provinces; synchronizes efforts across these jurisdictions to develop policies and programs that provide realistic pathways to forest-maintaining rural development; supports processes for multi-stakeholder participation and engagement; and seeks financing for jurisdictional programs from a range of sources, including pay-for-performance public finance, emerging carbon markets, and ongoing efforts to de-carbonize agro-food supply chains. The overarching rationale of the GCF is that any successful effort to address the complex relationship between forests, land use, and climate Universitas Sumatera Utara change requires multiple efforts at multiple levels of governance, and that state and provincial governments, together with their civil society partners, are among the most important actors in building viable programs for low emissions rural development. The GCF was therefore conceived as an effort to leverage the fact that certain states and provinces around the world are in a position to be early movers in the effort to build robust jurisdictional programs for REDD+ and low emissions development, thereby bolstering overall momentum for the issue and enhancing national and international efforts to demonstrate how this can work in practice”. GCF pada awalnya adalah sebuah kolaborasi sub-nasional antara 28 negara bagian dan provinsi dari Brasil , Pantai Gading, Indonesia, Meksiko , Nigeria , Peru , Spanyol , dan Amerika Serikat. Namun terjadi perubahan keanggotaan GCF di mana pada tahun 2011, Wisconsin tidak lagi anggota GCF. Total jumlah anggota GCF sekarang ada sebanyak 34 negara bagian dan provinsi yakni: Acre, Amapá, Amazonas, Mato Grosso, Pará dan Tocantins dari Republik Brasil; Provinsi Aceh, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Papua, Kalimantan Barat dan Papua Barat, Kalimantan Utara dari Republik Indonesia; Amazonas, Loreto, Madre de Dios, San Martin, dan Uyacali dari Republik Peru; Campeche, Chiapas, Jalisco, Quintana Roo, dan Tabasco dari Meksiko; Cross River State dari Republik Federal Nigeria, California dan Illnois dari Amerika Serikat; serta Catalonia dari Kerajaan Spanyol. 142 142 Bertambah menjadi 29 di tahun 2015 melalui Keputusan 2015 butir 1 yang menyatakan bahwa Rondônia telah terpilih dengan suara bulat sebagai anggota GCF ke-27 dan merupakan negara bagian Brasil ke-7; dan Keputusan 2015.2 yang menyatakan Bélier telah terpilih dengan suara bulat sebagai anggota GCF ke-28, dan Anggota Afrika ke-2, dan Keputusan 2015.6: Cavally terpilih dengan suara bulat untuk menjadi anggota GCF ke-29, dan anggota GCF ke-tiga dari Kawasan Afrika, tahun 2016 menjadi 34 anggota. Universitas Sumatera Utara Anggapan terkait perundingan internasional tentang perubahan iklim yang berjalan lambat yang terkesan sangat dipolitisasi dan terpolarisasi dan menghambat kemajuan REDD+, GCF hadir menantang gagasan bahwa pengurangan deforestasi tropis hanya bisa dikelola dari tingkat nasional pemerintahan yang berfokus pada negoisasi saja. Kinerja negara bagian dan provinsi GCF telah beroperasi berbasis rencana dan pengaturan hukum yang selaras antara yurisdiksi daerah dan iklim nasional dan hutan agenda dalam pemerintahan anggota GCF. GCF disebut sebagai kolaborasi sub-nasional karena anggotanya berasal dari sub pemerintahan negara asalnya, yakni pemerintah dari negara bagian dan provinsi dari negara peserta saja, bukan secara umum mewakili negara tersebut. GCF ini berawal dari diadakannya KTT Perubahan Iklim Gubernur di Los Angeles, California tahun 2008. Pada tanggal 18 November 2008, negara bagian California, Illinois, dan Wisconsin; negara Brazil Amapá, Amazonas, Mato Grosso, dan Pará, serta provinsi- provinsi Indonesia dari Aceh dan Papua menandatangani Nota Kesepahaman MoU di KTT Perubahan Iklim tingkat Gubernur tersebut. MoU tersebut memberikan landasan untuk kerjasama masa depan yang terkait dengan isu kebijakan iklim, pembiayaan, pertukaran teknologi, dan penelitian. Para pihak kemudian sepakat untuk fokus pada ketentuan-ketentuan MoU di sektor kehutanan, dengan tujuan untuk mempromosikan kerja sama teknis dan pembangunan kapasitas sektor hutan. Tujuan utama lainnya adalah pengembangan rekomendasi bagi pengambil kebijakan dan pihak berwenang di Amerika Serikat dan di tempat lainnya yang mempertimbangkan tentang bagaimana mengurangi efek gas rumah kaca GRK serta emisi dari deforestasi dan degradasi hutan REDD+ dan dan penyediaan cadangan karbon hutan internasional lainnya ke dalam sistem kebijakan mereka. Universitas Sumatera Utara GCF berusaha untuk memajukan program yurisdiksi yang dirancang untuk mempromosikan pembangunan pedesaan rendah emisi dan pengurangan emisi dari deforestasi dan penggunaan lahan REDD + dan gas rumah kaca GRK. Lebih dari 25 hutan tropis dunia berada di negara bagian dan provinsi GCF, termasuk lebih dari 75 dari Brasil dan lebih dari setengahnya ada di Indonesia. GCF berupaya memimpin jalan pembangunan berkelanjutan yang kompherensif, untuk pengembangan emisi rendah dan REDD + serta satu-satunya yurisdiksi di dunia yaitu California yang sedang mempertimbangkan ketentuan yang akan mengakui offset dari REDD + sebagai bagian dari penurunan gas rumah kaca. GCF berfokus pada semua aspek dari upaya untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan membangun kerangka kerja tetap untuk pembangunan rendah emisi. GCF juga memfasilitasi pertukaran penelitian dan informasi di seluruh negara bagian dan provinsi ; mensinkronisasikan upaya lintas yurisdiksi ini untuk mengembangkan kebijakan dan program yang dapat mewujudkan pembangunan pedesaan yang mempertahankan hutan; mendukung partisipasi dan keterlibatan mitra dari berbagai sektor; dan berusaha melakukan pembiayaan untuk program yurisdiksi dari berbagai sumber donasi termasuk pendanaan berbasis kinerja dari pasar karbon yang muncul , dan upaya-upaya untuk memperbaiki rantai pasokan agro dan pangan. Dasar pemikiran dibentuknya GCF adalah bahwa keberhasilan dari setiap upaya yang ditujukan untuk mengatasi hubungan yang kompleks antara hutan, penggunaan lahan, dan perubahan iklim membutuhkan beberapa upaya di berbagai tingkat pemerintahan. Untuk itulah, pemerintah negara bagian dan provinsi, bersama- sama dengan mitra masyarakat sipil mereka, merupakan aktor yang paling penting dalam membangun program yang layak untuk emisi rendah pembangunan pedesaan. Oleh karena itu, GCF merupakan langkah nyata negara-negara tertentu dan provinsi Universitas Sumatera Utara di seluruh dunia sebagai penggerak awal dalam upaya membangun program yurisdiksi kuat untuk REDD+ dan pembangunan rendah emisi, sehingga memperkuat dan meningkatkan upaya nasional dan internasional untuk mewujudkan hal ini lebih nyata. MoU yang ditandatangani oleh negara bagian dan provinsi negara-negara tersebut secara tegas menyerukan Plan of Action Rencana Aksi Bersama untuk membuat upaya implementasi. Rencana Aksi Bersama terrsebut memuat kerangka kerja dan rekomendasi untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan MoU di sektor kehutanan selama tahun 2009-2010 . Rancangan Rencana Aksi Bersama dibuat untuk kemudian dijadikan aturan hukumnya secara formal oleh negara bagian dan provinsi anggota. Hal tersebut ditetapkan tanggal 18-19 Juni 2009 di Belem, di mana negara bagian dan provinsi MoU membuat sejumlah keputusan penting tentang upaya pelaksanaan MOU, yang termuat dalam Rencana Aksi Bersama. Kegiatan sektor kehutanan yang diusulkan dalam MOU dan Rencana Aksi Bersama mewakili upaya pertama pada setiap tingkat pemerintahan dan signifikansi global sebagai sinyal untuk badan-badan pemerintah lainnya dan kepada masyarakat luas tentang kebijakan iklim. Hal ini juga mendorong proses kerjasama transnasional antara negara-negara dan provinsi MoU untuk mengembangkan dan menerapkan kerangka kerja yang bisa diterapkan lengkap dengan mekanisme untuk menghasilkan aset yang memenuhi tingkat kepatuhan dari REDD+ dan kegiatan karbon hutan lainnya di yurisdiksi hutan tropis. Tiga tujuan utama yang termuat dalam Rencana Aksi Bersama tahun 2009- 2010. yakni membangun Satuan Tugas Hutan dan Iklim Gubernur GCF sebagai badan utama yang bertanggung jawab untuk mengembangkan rekomendasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan MoU di sektor kehutanan. Sebagaimana yang telah Universitas Sumatera Utara disetujui pada pertemuan di Belém, GCF terdiri dari wakil-wakil dari masing-masing negara bagian dan provinsi peserta MoU sekarang dikenal sebagai anggota pendiri GCF, dengan pergantian ketua setiap tahun, dan bertanggung jawab untuk membuat keputusan eksekutif tentang pelaksanaan ketentuan MOU di sektor kehutanan. Tujuan kedua adalah untuk menetapkan proses dan keikutsertaan organisasi non pemerintah NGO dan partisipasi pemangku kepentingan lainnya dalam MoU upaya implementasi. Proses ini termasuk pertemuan bersama antara GCF dan Lembaga Swadaya Masyarakat LSM dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya dan partisipasi LSM dalam kelompok kerja yang dibentuk dan berfokus pada bidang substantif utama dari ketentuan-ketentuan MoU di sektor kehutanan yang telah ditetapkan. Tujuan ketiga adalah untuk mengembangkan rekomendasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan MoU di sektor kehutanan, yang berfokus pada tiga bidang berikut: 143 standarisasi proyek dan kriteria untuk kegiatan REDD+, termasuk Laporan Penilaian Protokol; kerangka kerja akuntansi karbon hutan dan mekanisme koordinasi serta integrasi kegiatan berbasis proyek sub-nasional; penilaian kebutuhan, termasuk kebutuhan teknis, hukum, kelembagaan, dan keuangan di negara-negara dan provinsi MoU untuk bergerak menuju kegiatan berbasis REDD +. GCF yang kesekretariatannya berbasis di University of Colorado Law School di Boulder, Colorado ini rutin mengadakan pertemuan tahunan serta pelaksanaan berbagai kegiatan seperti lokakarya anggota regional dan pelatihan, penghimpunan dana, menghadiri konferensi dan lokakarya yang relevan, mengunjungi anggota, dan untuk kegiatan tambahan yang memajukan inisiatif REDD+ upaya untuk mengembangkan kolaborasi yang lebih dalam dengan administrasi pemerintah dan pemangku kepentingan lokal dan untuk memfasilitasi komunikasi antara anggota dan 143 Ibid,. Universitas Sumatera Utara pemerintah nasional dalam upaya mereka untuk membangun pendekatan umum untuk REDD+. Tugas utama yang ingin dicapai GCF adalah: 144 1. Mengintegrasikan yurisdiksi anggota GCF berbasis REDD+ menjadi yurisdiksi rendah emisi dengan tujuan pembangunan pedesaan yang lebih luas; 2. Mensinergikan REDD+ dengan pentingnya upaya konservasi hutan 3. Mendukung, melestarikan dan meningkatkan mata pencaharian masyarakat yang bergantung pada hutan; dan 4. Meningkatkan kemampuan dan upaya daerah untuk menginformasikan- dan menyelaraskan proses REDD+ dengan negara-negara terkait Tugas ini didasarkan pada latar belakang permasalahan hutan dan iklim dunia seperti yang telah dijelaskan di atas sebelumnya. GCF bertujuan menggalakkan penerapan REDD+ lebih nyata lagi dalam skala yang lebih luas dan fokus di setiap yurisdiksi anggota, terutama kepada masyarakat pedesaan dan masyarakat hutan. Selain itu, GCF bertekad memberdayakan konservasi hutan serta mendukung, memfasilitasi, serta turut melestarikan budaya kearifan lokal masyarakat hutan serta meningkatkan mata pencaharian masyarakat yang kehidupannya berbasisdan bergantung pada hutan. B.2. Kajian Umum tentang Deklarasi Rio Branco Pertemuan tahunan GCF ke-8 di Brasil pada tahun 2014 menjadi salah satu momentum penting penguatan komitmen anggota GCF tentang pengurangan 144 dikutip dari situs resmi GCF, www.gcftaskforce.org Universitas Sumatera Utara deforestasi dan pencegahan degradasi hutan serta perubahan iklim global dunia yang selama ini masih kurang optimal. Perubahan iklim sudah menjadi perbincangan besar di dunia dan harus segera ditindaklanjuti dengan langkah yang nyata. Banyak sekali kejadian ataupun kegiatan yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir yang mengakibatkan deforestasi dan degradasi hutan seperti kebakaran hutan, illegal loging, perambahan liar, eksploitasi hutan yang berlebihan dan lain sebagainya. Dampak dari kegiatan ini tentunya berpengaruh pada sistem iklim dunia. Hal ini nyata dirasakan di mana suhu dunia sudah meningkat 2 di atas suhu biasa. Terjadi berbagai anomali cuaca yang tidak normal di berbagai belahan dunia. Ini merupakan ancaman besar terhadap lingkungan dan kehidupan manusia. Hal ini jugalah yang mendasari lahirnya Deklarasi Rio Branco yang pada intinya berupa penegasan kembali komitmen para gubernur anggota GCF untuk mengurangi deforestasi dan degradasi tropis, melindungi sistem iklim global, meningkatkan kehidupan masyarakat di pedesaan serta mengurangi angka kemiskinan di wilayah yurisdiksi mereka masing-masing. Deklarasi Rio Branco sekurang-kurangnya menyangkut dua komitmen utama, yakni masing-masing negara bagian dan provinsi berkomitmen untuk mengurangi deforestasi dan degradasi secara signifikan, apabila tersedia dukungan pendanaan berbasis kinerja yang layak, memadai, dan berjangka panjang, baik lewat sumber- sumber pasar maupun sumber-sumber non-pasar. Komitmen lainnya adalah adalah untuk memastikan bahwa sejumlah besar manfaat pembayaran untuk kinerja tambahan yang mengalir ke dalam yurisdiksi negara bagian dan provinsi yang akan diperuntukkan bagi komunitas yang hidupnya bergantung pada hutan, para petani kecil dan masyarakat adat indigenous people. Universitas Sumatera Utara Negara-negara bagian dan provinsi-provinsi anggota GCF dalam deklarasi ini mengakui dan mendukung pentingnya upaya program-program pembangunan yang kuat di yurisdiksi anggotanya yang memungkinkan terbukanya jalan yang lebih luas menuju pembangunan berkelanjutan. Inilah yang menjadi nafas utama Deklarasi Rio Branco dan GCF, bahwa lingkungan hutan dunia tropis yang memiliki peran penting dalam pembangunan berkelanjutan dengan melindungi kualitas udara dan air, tanah, habitat tanaman dan satwa, mitigasi banjir dan proteksi sistem iklim, suplai sumber obat-obatan, pangan, energi dan hasil hutan lainnya yang bermanfaat secara khusus bagi mata pencaharian dan budaya masyarakat hutan dan masyarakat pedesaan, dan bermanfaat secara umum bagi dunia global. 145 Satuan Tugas Hutan dan Iklim Pemerintah GCF yang menandatangani Deklarasi Rio Branco pada bulan Agustus 2014, berkomitmen mengurangi deforestasi hingga 80 pada tahun 2020, jika dana pembayaran untuk performa dapat dianggarkan dari dana pemerintah dan sektor swasta. Deklarasi Rio Branco merepresentasikan salah satu solusi perubahan iklim jangka panjang terbaik karena pemerintah negara-negara hutan tropis tidak meminta negara-negara industri untuk membayar semua tagihannya. 146 Tagihan yang dimaksud dalam hal ini adalah kewajiban umum negara industri atau negara maju untuk membayar sejumlah biaya sebagai ganti rugi atas sumbangan emisi yang dihasilkan oleh kegiatan industrinya yang dapat mengancam penurunan kualitas lingkungan terhadap negara-negara berkembang yang memiliki kelola hutan yang baik sebagai penetral. Melalui deklarasi ini kelompok GCF mempunyai tujuan memajukan program- program di tingkat nasional di negara-negara tropis guna merancang dan mempromosikan pembangunan desa rendah emisi serta pengurangan emisi dari 145 Lihat Deklarasi Rio Branco 146 seperti yang dikutip dari http:www.gcftaskforce_orgresource_ libraryarticlesarticle _2014_93_ un_climate_summit Universitas Sumatera Utara deforestasi dan degradasi hutan REDD+ serta menghubungkan aktivitas-aktivitas ini dengan kawasan patuh Gas Rumah Kaca GRK yang bermunculan serta mekanisme pembayaran untuk performa kerja kelompok, baik dari pemerintah nasional anggota GCF, pemerintah-pemerintah negara donor, sektor swasta dan masyarakat kecil.

C. Status Kolaborasi Sub-nasional Governor’s Climate and Forest Task Force dan