Status Hukum Subjek Penandatangan Deklarasi Secara Umum menurut

B. Status Hukum Subjek Penandatangan Deklarasi Secara Umum menurut

Hukum Internasional Konvensi Wina 1969 Pasal 7 mengatur bahwa seseorang yang dianggap mewakili negara dalam sautu perjanjian internasional memerlukan surat kuasa yang dikeluarkan oleh negara yang bersangkutan, yakni: “Full powers means a document emanating from the competent authority of a State designating a person or persons to represent the State for negotiating, adopting or authenticating the text of a treaty, for expressing the consent of the State to be bound by a treaty, or for accomplishing any other act with respect to a treaty ” 211 . Surat kuasa tersebut muncul dari praktek kebiasaan negara-negara untuk memberikan kuasa kepada seseorang sebagai wakil dari negara yang mengeluarkan surat kuasa tersebut. Surat kuasa full powers di dalam konvensi ini dimaksud sebagai sebuah dokumen yang berasal dari suatu negara untuk menunjuk seseorang atau beberapa orang untuk mewakili negara untuk bernegosiasi, mengadopsi atau mengotentikasi teks perjanjian, atau menyatakan persetujuan dari negara untuk terikat ke dalam perjanjian, atau menyelesaikan tindakan lain berkenaan dengan perjanjian. Berbeda dengan Undang-undang No.24 Tahun 2000, jika di dalam Konvensi Wina hanya dikenal “surat kuasa” atau “full powers”, maka di UU ini dikenal istilah baru, yakni “surat kepercayaan” atau “credentials”. Surat kepercayaan adalah surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri yang memberikan kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia untuk menghadiri, merundingkan, danatau menerima hasil akhir suatu pertemuan internasional. 212 211 Pasal 2 huruf c Konvensi Wina 1969 212 Pasal 1 huruf d UU No.24 Tahun 2000 Universitas Sumatera Utara Menurut Konvensi Wina 1969, ada beberapa orang yang dianggap sebagai wakil dari negara dan tidak memerlukan surat kuasa full powers untuk melakukan suatu perjanjian internasional, yakni: 213 a Heads of State, Heads of Government and Ministers for Foreign Affairs, forthe purpose of performing all acts relating to the conclusion of a treaty; b Heads of diplomatic missions, for the purpose of adopting the text of a treaty between the accrediting State and the State to which they are accredited; c Representatives accredited by States to an international conference or to an international organization or one of its organs, for the purpose of adopting the text of a treaty in that conference, organization or organ. Dari ketentuan tersebut, perwakilan negara yang tidak memerlukan surat kuasa adalah Kepala Negara, Kepala Pemerintahan dan Luar Negeri dengan tujuan untuk melakukan segala tindakan yang berkaitan dengan perjnajian; Kepala Misi Diplomatik untuk mengadopsi teks perjanjian antar negara; dan perwakilan negara yang diutus untuk menghadiri konferensi internasional atau organisasi internasional, yang dimaksud untuk mengadopsi perjanjian yang dibuat dalam konferensi dan organisasi tersebut. Hal yang sama juga diatur oleh UU Nomor 24 Tahun 2000, bahwa setiap orang yang mewakili Pemerintah Indonesia, dengan tujuan menerima atau menandatangani naskah suatu perjanjian atau mengikatkan diri pada perjanjian internasional, memerlukan surat kuasa; kecuali Presiden dan Menteri. Surat Kepercayaan dibutuhkan oleh satu atau beberapa orang yang menghadiri, merundingkan, danatau menerima hasil akhir suatu pertemuan internasional. Namun, 213 Pasal 7 ayat 2 Konvensi Wina 1969 Universitas Sumatera Utara untuk suatu perjanjian internasional yang menyangkut kerja sama teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku dan materinya berada dalam lingkup kewenangan suatu lembaga negara atau lembaga pemerintah, baik departemen maupun non departemen, perwakilannya tidak memerlukan surat kuasa. Sebanyak 29 214 anggota penandatangan Deklarasi Rio Branco terdiri dari negara-negara bagian dan provinsi dari Brasil, Indonesia, Peru, Meksiko, Nigeria, Amerika Serikat dan Spanyol. Mereka tergabung dalam suatu kolaborasi Satuan Tugas Hutan dan Iklim Gubernur GCF, yang artinya mereka berasal dan mewakili pemerintah daerah dari suatu negara, bukan mewakili negara tersebut. Ada perbedaan konsep negara dari berbagai anggota GCF tersebut. Para anggota GCF yang berasal dari suatu negara dengan bentuk negara yang berbeda-beda mempengaruhi cara pelaksanaan hubungan internasionalnya masing-masing. Jika negara tersebut berupa negara kesatuan seperti Negara Kesatuan Republik Indonesia, Spanyol maka biasanya undang-undang dasar negara kesatuan memberikan kekuasaan penuh pada pemerintahan pusat untuk melakukan kegiatan hubungan luar negerinya. Meskipun biasanya provinsi-provinsinya diberi hak otonomi, pada prinsipnya pemerintah daerah tidak boleh berhubungan langsung dengan negara luar. 215 Sedangkan negara federal yang merupakan gabungan sejumlah negara yang dinamakan negara-negara bagian yang diatur oleh undang-undang dasar yang membagi wewenang antara pemerintah federal dan negara-negara bagiannya misalnya Amerika Serikat, Kanada. Masing-masing negara bagian memiliki konstitusi dan pemerintahan masing-masing. Namun, dalam rezim federal, pemerintahan negara bagian diberi wewenang untuk melaksanakan hubungan luar 214 Anggota GCF yang pada awalnya hanya 26 saja bertambah menjadi 29 di tahun 2015 melalui Keputusan 2015 yang menyatakan bahwa Rondônia negara bagian Brasil ke-7; Bélier Anggota Afrika ke-2; Cavally anggota GCF ke-tiga dari Kawasan Afrika, pada tahun 2016 bertambah menjadi 34 anggota namun belum menandatangani deklarasi seluruhnya 215 Boer Mauna, hlm.26 Universitas Sumatera Utara negeri, pertahanan nasional, pengaturan perdagangan dengan negara-negara lain, antara berbagai negara bagian, pencetakan uang dan lain-lain. 216 Terkait pernyataan perang, membuat perdamaian, membuat perjanjian politik dan militer itu semua wewenang pemerintah federal. Tidak satupun negara bagian diperbolehkan ikut dalam kegiatan tersebut bahkan tidak dianggap sebagai subjek hukum internasional. Oleh sebab itu, bila negara bagian suatu negara federal melakukan perbuatan yang melanggar hukum internasional, maka biasanya pemerintah federal yang bertanggungjawab secara internasional. 217 Melihat perkembangan perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup, pemerintah daerah dinilai juga memiliki peran penting. Adanya “sister city” sudah lama menunjukkan peran nyata dalam proses terbentuknya perjanjian internasional antar daerah. 218 Di Indonesia sendiri menurut Undang-undang Nomor 24 tahun 2000, perjanjian sister city bukan merupakan bentuk perjanjian internasional karena tidak memenuhi persyaratan para pihak karena tidak bertindak atas nama negara melainkan bertindak atas nama pemerintah daerah. Namun peran kepala daerah sudah lama eksis, terbukti dengan adanya keterlibatan wakil pemerintah daerah dalam KTT Bumi 1992 di Rio de Janerio, bahkan berhasil membentuk Network of Regional Government for Sustainabe Development NRGSD yang pernah membuat pertemuan di Danau Toba, Sumatera Utara. Namun dewasa ini, sebagai konsekuensi dari perubahan era pemerintahan, terjadi signifikansi terkait peran daerah dalam mengembangkan hubungan internasional khususnya terkait dengan perjanjian internasional. Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004, Negara Kesatuan Republik Indonesia terbagi atas daerah-daerah 216 Boer Mauna., hlm.27 217 Ibid., 218 Op.cit., hlm.43 Universitas Sumatera Utara provinsi yang terdiri dari daerah-daerah kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah yang mengatur dan mengurusi sendiri urusan pemerintahannya menurut asaS otonomi dan pembantuan. 219 Kemudian hal ini dijabarkan lebih lanjut oleh Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri tepatnya di Pasal 1 yang menyatakan bahwa hubungan luar negeri merupakan segala kegiatan yang menyangkut aspek regional dan internasional yang dilakukan oleh pemerintah di tingkat pusat dan daerah atau lembaga-lembaganya, baik lembaga negara, badan usaha, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat atau warga negara. 220 Pasal 5 UU Nomor 37 tahun 1999 menyatakan bahwa suatu Pemerintah Daerah tidak boleh melakukan hubungan dan kerjasama luar negeri di luar kepentingan nasional yaitu politik luar negeri. Namun terkait perjanjian internasional, pemerintah daerah memiliki dasar hukum yang kuat untuk melaksanakannya seperti tercantum pada Pasal 42 ayat 1 huruf f yang menyatakan bahwa suatu perjanjian internasional yang dibuat suatu pemerintah daerah dengan pihak luar negeri yang terkait kepentingan daerah tersebut boleh dilakukan dengan pendapat dan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD. Sedangkan untuk pemerintahan otonomi khusus Papua dan Aceh, ada pengaturan tersendiri. Di dalam Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua dinyatakan bahwa “Perjanjian internasional yang dibuat oleh pemerintah yang hanya terkait dengan kepentingan provinsi Papua dilaksanakan setelah mendapat pertimbangan Gubernur dan sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Juga di dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh mengenai rencana persetujuan internasional yang berkaitan 219 Pasal 2 ayat 1 dan 2 UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 220 Pasal 1 ayat 1 UU No.37 tahun 1999 Universitas Sumatera Utara langsung dengan Pemerintah Aceh yang dibuat pemerintah dilakukan dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. Semakin kuatnya peran pemerintah daerah, semakin banyak pula perjanjian- perjanjian internasional yang telah ditandatangani oleh pemerintah daerah dengan pihak luar negeri. Pada prakteknya sudah banyak bentuk perjanjian internasional seperti Memorandum of Understanding MoU yang membentuk kota kembar sister city, pertukaran nota, perjanjian kerjasama teknik, perjanjian kerjasama membentuk kawasan tertentu seperti kawasan yang harus dilindungi, serta bentuk-bentuk perjanjian kerjasama lainnya. 221 Namun demikian umumnya perjanjian internasional seperti itu bukan merupakan bentuk perjanjian internasional sesungguhnya disebabkan tidak memenuhinya persyaratan para pihak karena bukan bertindak atas nama negara melainkan bertindak atas nama daerah. 222 Beberapa perjanjian internasional yang dibuat dan diratifikasi oleh pemerintah daerah baik Provinsi maupun KabupatenKota berbeda implementasi dan tindak lanjut pelaksanaannya tergantung pada keterbatasan kewenangannya, tingkat komitmen serta kepentingan masing-masing daerah. Demikian halnya dengan ke enam provinsi asal Indonesia yang turut serta menandatangani Deklarasi Rio Branco. Berdasarkan Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 09AKPXII200601 tentang Panduan Umum Tata Cara Hubungan dan Kerja Sama Luar Negeri Oleh Pemerintah Daerah yang memberikan peluang kepada pemerintah daerah dalam rangka mengadakan kerjasama luar negeri yang dalam pertimbangannya dinyatakan bahwa pelaksanaan otonomi daerah telah membuka peluang keikutsertaan daerah sebagai salah satu komponen dalam penyelenggaraan hubungan dan kerja sama luar negeri. Dalam Bab X bagian 90 nya dinyatakan bahwa proses pembuatan perjanjian internasional oleh daerah pada hakekatnya harus 221 Andreas Pramudianto, hlm. 281 222 Ibid., sesuai ketentuan Pasal 2 bagian 1 butir a Konvensi Wina 1969 yang menyatakan bahwa perjanjian internasional hanya berlaku untuk negara saja. Universitas Sumatera Utara mengikuti pola mekanisme umum hubungan dan kerjasama luar negeri oleh daerah, sebagaimana diatur juga sesuai UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebelum tahapan penandatanganan perjanjian internasional, daerah harus mengikuti mekanisme internal daerah yaitu adanya pendapat dan pertimbangan DPRD kepada Pemerintah Daerah terhadap rencana perjanjian internasional di daerah serta adanya persetujuan DPRD terhadap rencana kerjasama internasional yang dilakukan oleh kepala daerah. Setiap perjanjian internasional yang dilakukan pemerintah daerah harus berpegang pada arahan sebagai berikut: 223 1 Politis; yakni tidak bertentangan dengan Politik Luar Negeri dan kebijakan Luar Negeri Pemerintah Pusat pada umumnya 2 Keamanan; yakni kerjasama luar negeri tidak disalahgunakan sebagai akses atau kedok bagi kgiatan spionase asing yang dapat menganggu atau pun mengancam stabilitas dan keamanan dalam negeri. 3 Yuridis; adanya jaminan kepastian hukum maksimal yang dapat menutup celah-celah yang merugikan pencapaian tujuan kerjasama. 4 Teknis; tidak bertentangan dengan kebijakan yang ditetapkan oleh departemen teknis yang terkait. Memang, dalam suatu pembuatan perjanjian internasional yang ditandatangani oleh seseorang mewakili Pemerintah Republik Indonesia dengan tujuan menerima atau menandatangani naskah suatu perjanjian internasional atau mengikatkan diri kepada perjanjian internasional memerlukan suatu Surat Kuasa, kecuali Menteri dan Presiden. 224 Dengan demikian, setiap orang yang mewakili Pemerintah republik Indonesia untuk menandatangani suatu perjanjian internasional harus memiliki surat 223 Pramudianto, hlm.284 224 Pasal 7 ayat 1 UU No.24 Tahun 2000 Universitas Sumatera Utara kuasa dari Pemerintah Indonesia. Namun, terdapat pengecualian apabila perjanjian internasional menyangkut kerjasama teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku dan materinya berada dalam lingkup kewenangan suatu lembaga negara atau lembaga pemerintah, baik departemen maupun non departemen dilakukan tanpa memerlukan surat kuasa. 225 Terkait hal ini, karena fokus GCF merupakan kerja sama teknis yang sebenarnya sudah merupakan kelanjutan dari suatu komitmen internasional yang sudah disepakati oleh Indonesia melalui UNFCCC Konvensi Perubahan Iklim: Protokol Kyoto yang berlaku mengikat sejak 16 Februari 2005, maka 7 provinsi di Indonesia seyogyanya tidak memerlukan surat kuasa atau surat kepercayaan untuk menandatangani Deklarasi Rio Branco karena isi komitmennya sudah merupakan kerja sama teknis sebagai pelaksanaan komitmen internasional yang sudah disepakati oleh Indonesia dan sudah berlaku di Indonesia. Terlebih saat dilaksanakannya COP 226 di Bali Desember 2007 yang mulai memasukkan materi “avoid deforestation” yang mekanismenya dibahas pada COP ke 15 di Copenhagen. Indonesia termasuk negara yang menyatakan komitmen pengendalian iklim secara sukarela tersebut. Bahkan Indonesia merupakan negara pertama yang memperkenalkan kerangka hukum REDD+ nasional di tahun 2009, dan sejak itu Indonesia mulai mengembangkan kerangka peraturan dan hukum REDD+ di tingkat politik tinggi yang dikoordinasi melalui Satgas REDD+ Nasional. 227 225 Pasal 7 ayat 5 Undang-undang No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional 226 Conference of the parties, merupakan forum pengambilan keputusan tertinggi dari para pihak UNFCCC 227 Mumu Muhajir., hlm. 4-5 Universitas Sumatera Utara Beberapa peraturan yang dikeluarkan oleh Indonesia melalui Kementerian Kehutanan tepat sebelum dilaksanakannya Konferensi Perubahan Iklim COP-15 di Copenhagen pada Desember 2009, yakni: 228 1 Permenhut No. P.68Menhut-II2008 tentang Penyelenggaraan Demonstartion Activities Pengurangan Emisi KArbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan; 2 Permenhut No. P.30Menhut-II2009 Tentang tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforesati dan Degradasi Hutan REDD yang menyatakan bahwa REDD+ merupakan semua upaya pengelolaan hutan dalam rangka pencegahan dan atau pengurangan penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok karbon yang dilakukan melalui berbagai kegiatan untuk mendukung pembangungan nasional yang berkelanjutan; dan 3 Permenhut No. P.36Menhut-II2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan danatau Penyimpanan KArbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung. Selain itu, terkait REDD+ dan pembangunan berkelanjutan, Indonesia juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah PP Nomor 25 Tahun 2011 meliputi Keputusan Presiden untuk membentuk Satgas REDD+. Kemudian untuk merubah fungsi peruntukan kawasan, Pemerintah mengeluarkan PP Nomor 60 Tahun 2012 mengganti PP No.10 Tahun 2010. Kementerian Kehutanan juga mengeluarkan Permenhut No. P.20Menhut-II2012 Tentang Penyelenggaraan Karbon Hutan yang 228 Seperti yang dimuat dalam www.theredddesk.orgcountriesindonesialegalframework “Kerangka Hukum REDD+ Indonesia”, akses tanggal 25 Oktober 2016 Pukul 08.40 WIB Universitas Sumatera Utara menggantikan tata cara memperoleh izin untuk mendapatkan demonstrative activities REDD+ dari peraturan-peraturan sebelumnya. 229 Para anggota GCF, apabila dikaitkan ke dalam hal ini memang menjadi suatu kajian berbeda. Para kepala daerah berkolaborasi dalam GCF mewakili pemerintah daerah dari beberapa negara, membentuk sebuah organisasi. Para anggota GCF mewakili area geografi yang sangat beragam yang meliputi lebih dari 13 hutan tropis dunia yang tersisa. Akibatnya, pemangku kepentingan negara bagian dan provinsi anggota GCF mencakup entitas dan perseorangan dengan kepentingan, sumber daya , kebutuhan dan keadaan yang bertumpang tindih sekaligus sangat unik. 230 Ada 2 entitas di sana, yakni entitas nasional dan entitas internasional. Dalam hal terkait REDD, Indonesia mengaturnya dalam Peraturan Menteri Kehutanan No.P30Menhut.II2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan REDD. Dalam peraturan ini, entitas nasional dimaksud sebagai pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan pada kawasan hutan, pengelola hutan negara dan pemilik atau pengelola hutan hak. Sementara entitas internasionalnya adalah mitra penyandang dana untuk pelaksanaan REDD. Entitas bukan negara seiring perkembangan zaman, mulai dikenal sebagai subjek hukum internasional. Tumbuhnya berbagai entitas baru yang mempengaruhi perkembangan hukum internasional semakin nyata dirasakan. Partisipasi GCF termasuk salah satu partisipasi masyarakat internasional yang tidak hanya terbatas pada negara saja, tetapi juga entitas bukan negara lainnya. GCF memiliki tema sub- nasional, terfokus kepada strategi-strategi tingkat daerah, misalnya pembagian manfaat, yang memberikan tantangan baik bagi pemerintah nasional dan pemerintah negara bagian. Dengan kekuatan pada inovasi di tingkat daerah dan upaya akar 229 Ibid., 230 Seperti yang dimuat di www.gcftaskforce.org., Aceh Meeting Summary June 2010 Indonesian akses tgl 22-10-2016 Pukul 00.15 WIB Universitas Sumatera Utara rumput milik GCF, maka kelompok ini harus berusaha untuk sebuah acara sub- nasional di dalam acara-acara resmi yang ada di COP. 231 Beberapa entitas yang bukan merupakan subjek hukum internasional yang terlibat dalam perjanjian internasional baik secara langsung maupun tidak diantaranya melalui Kelompok Utama Majoring Groups yang tercantum dalam Agenda 21. Salah satu diantaranya adalah non government organisation NGO. Walaupun NGO bukan merupakan subjek hukum internasional namun memiliki potensi yang dapat bertindak sebagai subjek hukum internasional, dan perubahan akan terus terjadi seiring kondisi perkembangan hukum lingkungan internasional. Dalam UNEP 2007, terdapat beberapa jenis NGO atau Lembaga Swadaya Masyarakat Civil Society Organization seperti: 232 Big International NGOs, Bussines Organized NGOs, Community Based Organizations, Civil Society Organizations, Environtmental NGOs, Government Organized NGOs, Indigenous People Organizations, Grassroot Organizations, Global Social Change Organizations, Nonprofit Organizations, Voluntary Organizations. Peran kelompok ini diberikan sejak Konferensi PBB mengenai Lingkungan Hidup Manusia di Stockholm, Swedia tahun 1972. Dalam pertemuan internasional, NGO ini dibedakan atas dua kategori, yakni NGO yang diberi status pengamat dan NGO yang bukan pengamat. Beberapa entitas bukan negara diberi status sebagai pengamat atau observer, namun perannya kadang-kadang sangat penting dalam mempengaruhi ketentuan-ketentuan yang akan diberlakukan dalam suatu perjanjian internasional. 233 231 berita acara Pertemuan Bisnis para anggota Satuan Tugas Para Gubernur Di Bidang Iklim dan Kehutanan GCF yang diselenggarakan pada hari Senin, 15 Juni 2015 di Robert Palace 232 Pramudianto., hlm.38 233 Contohnya adalah NGO Greenpeace International yang mengusulkan untuk memberikan masukan dalam ketentuan mengenai finansial dalam proses negosiasi POP’s Convention Universitas Sumatera Utara Namun jika dilihat dari segi legal personility-nya, kepala daerah sebagai wakil dari pemerintah daerah anggota yang menandatangani deklarasi ini dianggap tidak kuat dalam skala hukum internasional. Mereka hanya sebagai entitas sub-nasional yang bertindak sebatas kapasitasnya sebagai kepala daerah. Jika ingin melakukan hubungan internasional lebih jauh tentunya harus melalui GCF. di dalam Forum Lanskap Global CIFOR CIFOR’s Global Landscapes Forum. Melanjutkan kolaborasi dengan jejaring sub-nasional lainnya misalnya NRG4SD dan Climate Group , GCF dapat berpartisipasi di dalam sebuah “Paviliun” aksi sub-nasional. Rintangan utamanya adalah dibutuhkan akreditasi untuk sebuah acara resmi dan GCF bukanlah organisasi pengamat sehingga tidak bisa melakukan akreditasi kepada para anggotanya 234 . Namun di Indonesia sendiri, pemerintah daerah tetap diakui dalam proses pembentukan dan pengesahan perjanjian internasional yang ditandatangani kepala daerah. 235 Mekanisme dan prosesnya dimintakan izin prakarsa oleh Pemerintah Daerah kepada Presiden melalui Menteri Luar Negeri, hingga proses pembahasannya dengan DPR dan penerbitan instrumen pengesahannya.

C. Hak dan Kewajiban Negara Bagian dan Provinsi Anggota GCF