Status Kolaborasi Sub-nasional Governor’s Climate and Forest Task Force dan

deforestasi dan degradasi hutan REDD+ serta menghubungkan aktivitas-aktivitas ini dengan kawasan patuh Gas Rumah Kaca GRK yang bermunculan serta mekanisme pembayaran untuk performa kerja kelompok, baik dari pemerintah nasional anggota GCF, pemerintah-pemerintah negara donor, sektor swasta dan masyarakat kecil.

C. Status Kolaborasi Sub-nasional Governor’s Climate and Forest Task Force dan

Deklarasi Rio Branco menurut Hukum Internasional GCF sebagai sebuah kolaborasi yang terdiri dari pemerintah sub-nasional negara-negara pesertanya dalam proses kegiatannya bergerak secara trans-nasional, yang artinya bersifat lintas batas negara. Deklarasi Rio Branco sebagai hasil dari penegasan komitmen para anggota GCF tersebut tentunya juga menyangkut objek yang bersifat lintas batas negara, yang berdampak khusus dan umum bagi yurisdiksi para anggotanya. C.1. Kedudukan Governor’s Climate and Forest Task Force sebagai Suatu Entitas menurut Perspektif Hukum Internasional Hukum internasional yang digunakan sebagai aturan dalam mengatur hubungan pergaulan masyarakat internasional memuat ketentuan tertentu terkait subjek internasional. Perkembangan hukum internasional dari masa ke masa menyebabkan perubahan anggapan yang awalnya menganggap negara adalah satu- satunya subjek hukum internasional, membuka peluang bagi entitas lain bukan negara untuk dapat dikategorikan sebagai subjek hukum internasional. Universitas Sumatera Utara Secara teoritis subjek hukum internasional adalah pemegang segala hak dan kewajiban menurut hukum internasional. 147 Sedang menurut salah satu pakar, subjek hukum internasional adalah: “a body or entity which is capable of possessing and exercising rights and duties under international law ”, yang berarti subjek hukum internasional harus memiliki kecakapan-kecakapan hukum internasional utama international law capacities untuk mewujudkan kepribadian hukum internasionalnya international legal personality. 148 Kecakapan hukum yang dimaksud dalam hukum internasional adalah sebagai berikut: 149 1. mempunyai kemampuan untuk menuntut hak-haknya di depan pengadilan internasional dan juga nasional; 2. menjadi subjek dari beberapa atau semua kewajiban yang diberikan oleh hukum internasional; 3. mampu untuk membuat dan mengadakan perjanjian internasional yang sah dan mengikat dalam hukum internasional; 4. menikmati imunitas atau hak kekebalan dari yurisdiksi pengadilan domestik. Berdasarkan kriteria tersebut di atas, pada praktiknya hanya negara dan organisasi internasional tertentu seperti PBB saja yang memiliki semua kecakapan hukum yang dimaksud. Itulah sebabnya Boer Mauna membagi subjek hukum internasional dalam subjek hukum internasional aktif yang meliputi negara dan 147 Mochtar Kusumaatmadja, hlm.97 148 Sefriani, hlm.102., seperti yang dikutip dari pernyataan Marton Dixon dalam bukunya “Textbook on International Law, Blackstone Press Limited, 2000. 149 Loc.cit Universitas Sumatera Utara organisasi internasional serta subjek hukum internasional pasif yang meliputi subjek hukum internasional bukan negara dan bukan organisasi internasional. 150 Hukum internasional mengenal ada beberapa pengelompokan subjek hukum internasional yakni negara, organisasi internasional, individu, Takhta Suci Vatikan, Palang Merah International International Committee Red Cross-ICRC, individu, belligerent kelompok pemberontak, serta organisasi pembebasan nasionalbangsa yang memperjuangkan haknya. 151 Awalnya dalam hukum internasional tradisional, hanya mengenal negara saja sebagai subjek hukum internasional. Organisasi internasional akhirnya dikenal dan diakui sebagai subjek hukum internasional yang berhak menyandang hak dan kewajiban dalam hukum internasional sejak keluarnya advisory opinion Mahkamah Internasional 152 dalam kasus Reparation Case 1949 153 kepada PBB yang memutuskan bahwa organisasi internasional memiliki legal capacity serta legal personality. Hukum lingkungan internasional, mengenal ada 2 entitas yang selama ini diakui sebagai subjek hukum internasional yang dapat membentuk perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup, yakni negara dan organisasi internasional. Organisasi internasional merupakan organisasi yang dibentuk dengan perjanjian internasional oleh dua negara atau lebih berisi fungsi, tujuan, kewenangan, asas, dan struktur organisasi. 154 Organisasi internasional baru akan diakui sebagai subjek hukum internasional apabila memenuhi syarat dan karakteristik berikut: 155 150 Loc.cit 151 I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Mandar Maju,1990. Hlm 58-93; Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, hlm.95-103, sama seperti pendapat J.G Starke terkait klasifikasi subjek hukum internasional. 152 Andreas Pramudianto, hlm.36, juga Sefriani, hlm.142 153 Kasus “Reparation Case 1949” bermula dari tertembaknya Pangeran Bernadotte dari Swiss oleh tentara Israel saat bertugas sebagai mediator PBB di Timur Tengah. PBB menuntut ganti rugi atas kejadian tersebut karena menilai Israel telah gagal mencegah pembunuhan terhadap warga non kombatan. 154 Sefriani, Loc.cit 155 Ibid., hlm.143 Universitas Sumatera Utara 1. Dibentuk dengan suatu perjanjian internasional oleh lebih dua negara, dengan nama apapun dan tunduk pada rezim hukum internasional, yang memuat nama, tujuan, fungsi, asas, kewenangan, sistem keanggotaan, sistem pemungutan suara, hak dan kewajiban anggota, juga organ-organ atau struktur organisasinya. 156 2. Memiliki sekretariat tetap sebagai tempat kedudukan organisasi tersebut. Umumnya apabila suatu organisasi mampu memenuhi syarat tersebut, maka akan lebih mudah bagi organisasi tersebut untuk mendapatkan international personality yang otomatis juga akan memiliki kecakapan-kecakapan hukum internasional international legal capacity. International legal capacity yang dimaksud adalah dapat membuat perjanjian internasional dengan sesama organisasi internasional, negara atau subjek hukum internasional lainnya; memiliki asset atau property atas namanya sendiri; dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum untuk dan atas nama anggotanya; serta dapat menuntut dan dituntut di pengadilan internasional. 157 Namun dalam perkembangannya, terjadi peningkatan dominasi dan peran subjek-subjek hukum internasional bukan negara, termasuk subjek-subjek hukum privat, seperti perusahaan-perusahaan transnasional dan kelompok-kelompok atau organisasi non-pemerintah Non-Govermental Organization-NGO, dan tetap mengakui negara sebagai subjek hukum internasional yang utama subject of international law with full personality. 158 156 Contohnya : PBB memiliki Charter Piagam, Liga Bangsa-bangsa memiliki Covenant, ASEAN memiliki Deklarasi Bangkok serta Treaty of Amity and Cooperation 157 Ibid., hlm.144 158 Ida bagus Wyasa Putra, hlm.10., lihat footnote ke-14 seperti yang disadur dari “Private Corporation as Subjects of International Law oleh Friedman, Wolfgang, The Changing Structure of International Law, Stevens Sons, London, 1964, hlm.221-231. Universitas Sumatera Utara Peningkatan subjek-subjek hukum privat bukan negara non-state actor diakui mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan hukum lingkungan internasional. Dalam kondisi tertentu, subjek-subjek demikian memang terkadang memiliki kekuasaan besar yang mampu mendikte dan bahkan mengendalikan perilaku negara-negara. Namun, perlu ditegaskan sekali lagi bahwa peran yang dimaksud tidak serta merta mampu menjadikan subjek-subjek demikian dapat diterima sebagai subjek hukum internasional karena kriteria baku seperti kemampuan untuk mendukung hak dan kewajibannya secara internasional, mampu bertindak dan diterima sebagai pihak dalam pergaulan internasional, serta mampu berperkara di Mahkamah Internasional tetaplah menjadi tolak ukur utama pengkualifikasian suatu entitas sebagai subjek hukum internasional. 159 Hukum lingkungan internasional mengakui subjek-subjek bukan negara non- state actor sebagai subjek hukum internasional, dengan kesadaran bahwa dalam format hukum lingkungan internasional, peran subjek bukan negara termasuk subjek bukan subjek hukum internasional yang diakui berpengaruh besar dalam menentukan perkembangan hukum lingkungan internasional. Peran yang dimaksud dapat terjadi apabila ada 2 hal, yaitu pemberian kesempatan dan pengakuan oleh negara-negara terhadap peran subjek bukan negara, serta gerakan humanisme universal yang memberikan dorongan dan dukungan moral terhadap keberadaan mereka dalam lingkungan internasional. 160 Agenda 21 yang memuat klasifikasi Kelompok Utama Majoring Group mengenai entitas yang bukan subjek hukum internasional namun mampu terlibat dalam perjanjian internasional, menetapkan 9 kelompok entitas yakni: Non- Govermental Organization NGOLembaga Swadaya Masyarakat LSMCivil 159 Ibid., 160 Loc.cit Universitas Sumatera Utara Society Organization CSO; Komunitas Bisnis dan Industri; Komunitas Adat; Komunitas Ilmuwan dan Teknorat; Pemerintah Daerah; Petani; Komunitas Agama; Wanita; Anak dan Pemuda. 161 Pengelompokan ini telah berperan penting menempatkan posisi majoring groups dalam proses penyusunan hingga pembentukan perjanjian internasional menjadi lebih strategis. Kelompok-kelompok ini kemudian mempunyai kekuatan dan kesempatan untuk diperhitungkan oleh subjek hukum internasional yang utama yakni negara sebagai pemegang dan penentu politik dan diplomasi internasional selama ini. Terlebih dalam terjadinya perubahan penting perkembangan hubungan internasional khususnya bidang lingkungan hidup terkait pergeseran penting mengenai pengakuan akreditasi beberapa NGO di beberapa badan internasional PBB, terutama dengan adanya kelompok utama majoring group yang didasarkan pada Agenda 21. 162 Governor’s Climate and Forest Task Force GCF sebagai sebuah kolaborasi sub-nasional, yang terdiri dari gubernur dari 29 negara bagian dan provinsi dari 7 negara, yang pada dasarnya merupakan pemerintah daerah dalam suatu negara. beraktivitas di yurisdiksi lintas batas negara namun bersifat sub-nasional. Apabila ditinjau berdasarkan pengelompokan majoring groups Agenda 21, maka GCF dikategorikan sebagai sebuah entitas organisasi internasional yang bersifat kerjasama berbasis kinerja berfokus pada pemerintahan daerah. Berdasarkan syarat sebuah organisasi untuk dapat disebut sebagai suatu organisasi internasional. GCF sudah memenuhi syarat untuk dapat memperoleh legal capacity dan legal personality. Hal ini terlihat dari bentuk atau formasi GCF yang merupakan himpunan dari beberapa negara yang terdiri dari gubernur-gubernur negara bagian dan provinsi yang merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai 161 Pramudianto, hlm.37 162 Ibid., hlm.38 Universitas Sumatera Utara pemerintah atau government. Meski memang tak mewakili sebuah negara secara keseluruhan, namun GCF tetaplah merupakan bagian dari pemerintah dari negara anggota. GCF memiliki sebuah perjanjian multilateral antar para pihak yang memuat nama, tujuan, fungsi, asas, kewenangan, sistem keanggotaan, sistem pemungutan suara, hak dan kewajiban anggota, juga organ-organ atau struktur organisasinya. Perjanjian yang dimaksud tersebut adalah sebuah MoU memorandum of understanding atau Nota Kesepahaman yang ditetapkan dan ditandatangani pada tanggal 18 November 2008 oleh negara bagian California, Illinois, negara Brazil Amapá, Amazonas, Mato Grosso, dan Pará, dan provinsi-provinsi Indonesia dari Aceh dan Papua yang berkenaan dengan penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi Gubernur tentang Perubahan Iklim di Los Angeles, California. GCF bertanggungjawab untuk mengambil keputusan eksekutif untuk mengambil rekomendasi-rekomendasi untuk mengimplementasikan ketentuan sektor kehutanan dari MoU. 163 Kedudukan MoU juga dianggap sebagai sebuah bentuk perjanjian internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup. 164 Di Indonesia sendiri, MoU semakin dikenal setelah ditandatanganinya MoU Helsinki antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka. Pengertian MoU sebagai perjanjian internasional menjadi semakin meluas, di mana sebelumnya MoU dianggap sebagai soft law sehingga tidak mengikat secara hukum. Namun dewasa ini, MoU kini dapat 163 Seperti yang dimuat di dalam website http:gcftaskforce.orgbackgrounddocuments stakeholderbahasa GCF-bahasa-1.pdf akses 02 September 2015 Pukul 11.43 164 Pramudianto., hlm.66- 69 “Beberapa jenis perjanjian internasional yang umum digunakan di bidang lingkungan hidup yaitu Traktat Treaty, Piagam Charter, Konvensi Convention, Protokol Protocol, Pengaturan Arrangements, Persetujuan Agreement, Tindakan Act, Penyesuaian Adjustment, Memorandum of Understanding MoU, Persetujuan Accord Universitas Sumatera Utara dianggap setara dengan setiap persetujuan pada umumnya karena mengandung hak dan kewajiban para pihak penandatangan MoU. 165 MoU tersebut memuat tujuan utama GCF yaitu memberikan landasan kerjasama terkait isu kebijakan iklim; kerjasama teknis dan pembangunan kapasitas sektor hutan; memajukan program-program yurisdiksi berbasis pembangunan berkelanjutan termasuk promosi REDD+ dan pengurangan GRK; serta upaya pembiayaanpendanaan berbasis kinerja performa yang nantinya dialokasikan kepada masyarakat hutan. 166 Selain itu, MoU tersebut memuat konsep sustainable development principle sebagai asas umum dalam setiap upaya dan kegiatan GCF, yakni memanfaatkan fungsi lingkungan hutan, melindungi lingkungan dan sistem iklim global masa kini dan yang akan datang, serta memberdayakan masyarakat hutan dan pemangku kepentingan lainnya untuk dapat berpartisipasi dan mendapat manfaat dari kinerja program GCF secara berkelanjutan. Terkait kewenangan, sistem keanggotaan, sistem pemungutan suara, hak dan kewajiban anggota, juga organ-organ atau struktur organisasinya semuanya juga diatur dalam MoU GCF tersebut. Selain itu, GCF juga mempunyai sekretariat tetap yaitu di Colorado. Meski bersifat sub-nasional, namun aktivitas kinerja tetaplah bersifat lintas batas antar negara anggotanya. Hal ini sesuai dengan karakteristik sebuah organisasi internasional sebagaimana dijelaskan sebelumnya. 167 Memang apabila ditelusuri, GCF mempunyai kemampuan yang terbatas pada perjanjian pembuatannya karena pada 165 Pramudianto, hlm.69, seperti yang dikutip dari UNEP United Nations on Environmental Programme tahun 2007. Contohnya adalah MoU on the Conservation and Management Marine Tutles and Their Habitats of the Indian Ocean and South East Asia yang ditandatangani di Manila Filipina 23 Juni 2001 166 Lihat hlm.81-83 pada penelitian ini mengenai tinjauan umum GCF 167 Lihat hlm.91 Universitas Sumatera Utara dasarnya organisasi tidaklah sebebas negara karena setiap putusannya harus atas dasar persetujuan negara-negara anggotanya lebih dahulu, karena organisasi internasional dan subjek-subjek lain non negara adalah subjek derivatif yang keberadaannya terjadi atas kehendak negara. 168 Namun GCF tetaplah mempunyai legal statusnya baik di depan hukum nasional negara-negara anggotanya maupun di depan hukum internasional. Dalam skala nasional, GCF melalui para anggotanya berperan dalam membuat kebijakan dan program terkait rencana dan komitmen GCF yang telah disetujui bersama. GCF yang terdiri dari kepala pemerintahan daerah diakui untuk membuat suatu keterlibatan dalam perjanjian internasional sesuai dengan kategori Majoring Groups yang termuat dalam Agenda 21 seperti yang telah dibahas sebelumnya. Peran pemerintah daerah yang terbukti nyata diaklamasi ketika adanya keterlibatan wakil pemerintah daerah dalam KTT Bumi 1992 di Rio de Janerio , bahkan ada sebuah organisasi yang terbentuk yang melibatkan pemerintah daerah, yakni Network of Regional Government for Sustainable Development NRGSD. 169 GCF telah memiliki legal personalitynya sendiri, terbukti dari berbagai hubungan sub-nasional yang dilakukannya antar negara dan dengan subjek hukum internasional lainnya dalam hubungan pergaulan internasional. Contohnya adalah menjalin kolaborasi dengan jejaring sub-nasional lainnya misalnya NRG4SD dan Climate Group , berpartisipasi di dalam Forum Lanskap Global CIFOR CIFOR’s Global Landscapes Forum serta berpartisipasi pada Conference of the Parties COP UNFCCC 21 di Paris, Prancis 30 November – 11 Desember 2015. 170 , serta hubungan kolaborasi dengan Organisasi Aviasi Sipil InternasionalInternational Civil Aviation 168 Sefriani 169 Pramudianto, hlm.43 170 Seperti yang termuat di http:www.gcftaskforce.orgresource_libraryarticlesarticle201493 _un_climatesummit Universitas Sumatera Utara Organization ICAO, sebuah grup global yang berkomitmen untuk mencapai “pertumbuhan netral-karbon dari tahun 2020”. Berbicara mengenai subjek hukum internasional di bidang lingkungan memang tidak mudah. Hal ini disebabkan perkembangan hukum lingkungan internasional yang sangat cepat dan juga timbulnya banyak persoalan-persoalan baru yang bersifat dinamis dan semakin kompleks. Tumbuhnya berbagai entitas baru yang berpengaruh dalam perkembangan hukum internasional semakin nyata dirasakan. Pertumbuhan NGO banyak memberi dampak yang luas bagi meningkatnya peran serta masyarakat internasional. 171 Demikian juga halnya dengan GCF, kolaborasi sub-nasional ini juga dapat bertransformasi menjadi subjek hukum internasional jika nantinya GCF mempunyai pengaruh dalam pengambilan kebijakan hukum internasional serta memperoleh pengakuan cukup besar dari masyarakat internasional sebagai suatu entitas. Hal ini bukan merupakan sesuatu yang mustahil mengingat luas dan aktifnya kegiatan GCF yang berbasis sub-nasional di 7 negara anggotanya, serta dampak atau pengaruh cara dan kebijakan GCF bagi masyarakat internasional terutama terkait kebijakan hutan, REDD+, serta pemberdayaan masyarakat hutan dalam suatu konsep terintegrasi tentang pembangunan berkelanjutan. Bahkan GCF berkomitmen untuk menyerukan kepada 100 anggota sub-nasional lainnya agar turut serta mengambil langkah yang sama seperti GCF dalam upaya pelestarian dan pemanfaatan hutan, sekaligus perlindungan sistem iklim global. Contoh nyatanya adalah potensi pengaruh intervensi GCF terhadap COP 21 yang mampu mempengaruhi kebijakan global lingkungan hidup, misalnya intervensi terhadap COP tentang keberhasilan yang dicapai berkat kerja kolektif dan komitmen GCF di tingkat daerah, misalnya, 171 Pramudianto, hlm.36 Universitas Sumatera Utara moratorium hutan Aceh dan pembentukan 7 kawasan pengelolaan hutan atau KPH yang memperkerjakan lebih dari 2000 orang untuk menjaga hutan. Praktek dalam hubungan internasional, beberapa organisasi internasional, individu atau Non Govermental Organisation NGO dan kelompok-kelompok utama lainnya mulai berkontribusi banyak terhadap pembentukan perjanjian internasional. Meskipun NGO seperti GCF bukan merupakan subjek hukum internasional, namun memiliki potensi yang dapat bertindak sebagai subjek hukum internasional. Dengan demikian, perubahan dan pergeseran terkait hal ini akan terus terjadi seiring dengan kondisi perkembangan lingkungan internasional. C.2. Kedudukan Deklarasi Rio Branco menurut Hukum Internasional Perjanjian internasional sebagai salah satu sumber hukum internasional menurut Pasal 2 ayat 1 butir a Konvensi Wina 1969 172 tentang Perjanjian Internasional memiliki defenisi sebagai berikut : “treaty means an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation ”. Hal ini berarti perjanjian internasional merupakan kesepakatan antar negara dalam bentuk tertulis yang diatur berdasarkan hukum internasional baik berbentuk instrumen tunggal maupun lebih yang memiliki tujuan-tujuan tertentu. Sedang menurut UU nasional Indonesia, perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum 172 Diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No.24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, menggantikan Surat Presiden No.2826HK1960 yang saat itu masih sangat lemah kedudukannya dan tidak jelas status hirarkinya Universitas Sumatera Utara publik. 173 Ini berarti apabila ada perjanjian antar negara yang dibuat yang bersifat privat atau menimbulkan hak dan kewajiban privat tidaklah dapat dikategorikan sebagai perjanjian internasional. Lingkup perjanjian internasional yang semula hanya meliputi perjanjian yang dibuat antar negara saja, berkembang menjadi lebih luas melalui Konvensi Wina tahun 1986 tentang Perjanjian Internasional di antara Negara dengan Organisasi Internasional lainnya The Vienna Convention on the Law of Treatis Between States and International Organization or Between International Organizations. Pasal 1 Konvensi ini mengatakan bahwa lingkup perjanjian internasional meliputi perjanjian internasional antara satu atau lebih negara dan satu atau lebih organisasi internasional, serta perjanjian internasional antar organisasi internasional. Sekarang ini, paradigma pembentukan suatu perjanjian tertulis sudah bergeser di mana pera serta dan keterlibatan masyarakat internasional mempunyai ruang dan kesempatan yang lebih luas untuk membuat suatu perjanjian internasional. Seluruh komponen masyarakat internasional baik negara, organisasi internasional. NGO bahkan individu telah turut berperan serta menjadi bagian dari pembuatan perjanjian internasional terutama di bidang lingkungan internasional. Landasan kuat ini tercantum dalam Prinsip 10 Deklarasi Rio 1992 yang memberikan akses bagi entitas bukan negara untuk berperan serta dalam pembentukan perjanjian internasional, yakni akses informasi, proses administratif, tindakan hukum, memperjuangkan ganti rugi, memperbaiki, memperoleh keadilan, terlibat dalam berbagai kegiatan, berpendapat, dan lain sebagainya. Ketentuan prinsip ini memberikan hak bagi siapa saja untuk turut berperan serta dalam kegiatan apapun yang relevan di bidang hukum internasional. 173 Bab I Pasal 1 UU No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional Universitas Sumatera Utara Perkembangan ini juga mempengaruhi perkembangan dokumen-dokumen internasional di bidang lingkungan hidup, yang saat ini secara umum terbagi dua, yaitu dokumen yang bersifat tidak mengikat secara hukum non legally binding atau yang sering dikategorikan sebagai soft law yang terkadang dianggap seolah-olah mengikat secara hukum, dan dokumen internasional yang bersifat mengikat secara hukum quasi-legally binding yang sering juga disebut hard law. 174 Deklarasi yang merupakan salah satu jenis dari soft-law juga merupakan pendekatan yang tidak mengikat secara hukum non-legally binding. Subjek hukum internasional hanya ingin mengikat secara hukum legally binding jika ada kesukarelaan voluntary dari subjek hukum internasional penandatangan deklarasi tersebut. Bentuk lain dari soft law yang berkembang dalam bidang hukum lingkungan internasional khususnya hukum perjanjian internasional selain deklarasi adalah: 175 1. Prinsip-prinsip Principle, contohnya Prinsip Common but differentiated responsibility, Prinsip Right of Development, Prinsip intergenerational Equity; 2. Resolusi Resolution, contohnya Resolusi Majelis Umum PBB 299 mengenai pembentukan kelembagaan dan dana untuk kerjasama lingkungan internasional, Resolusi GC UNEP mengenai pengurangan penggunaan CFC tahun 1980; 3. Pedoman Guidelines, contohnya London Guidelines on the Exchange of Information on Chemicals in International Trade, 1987, Montreal Guidelines for the Protection of the Marine Environtmen against Pollution from Land-Based Sources, 1985; 174 Lihat hlm.74-74 tentang deklarasi, hard-law dan soft-law 175 Pramudianto, Lihat Tabel 3., hlm.52-54 Universitas Sumatera Utara 4. Kode Code, contohnya The Five Nuclear Safety Standards Code, IAE 1978, International Code of Conduct on the Distribution and Use Pestiside, WHO 1985; 5. Rekomendasi Recomendations, contohnya OECD Council Recommendation on Strenghten International Cooperation on Environmental Protection in Transfrontier region, 1978; 6. Aturan Rules, contohnya ILA Montreal Rules of International Law Applicable to Transfortier Pollution 1982; 7. Petunjuk Directive, contohnya Directive No. L 1941975 concerning waste; 8. Keputusan Deccesion, contohnya UNEP GC Decession No. UNEP GCDEC1425 1987 on Goals and Principles of Environmental Impact Assesment; 9. Bentuk lainnya, seperti Action Programme, Strategy, Action Plan, Charter, Policy, dan Agenda. Deklarasi Rio Branco sebagai hasil kolaborasi sub-nasional dari GCF termasuk perjanjian internasional yagng bersifat soft-law atau tidak dapat mengikat secara hukum non-legally binding. Para anggota GCF penandatangan deklarasi ini yang terdiri dari gubernur dari 34 negara bagian dan provinsi hanya akan mengikatkan diri kepada deklarasi jika mereka bersedia atas dasar kesukarelaan voluntary. Jika anggota GCF telah menandatangani deklarasi tersebut, maka semua komitmen hak dan kewajiban di dalamnya akan terikat pada penandatangannya berdasarkan kesukarelaan anggota penandatangan deklarasi. Secara umum, Deklarasi Rio Branco tidaklah dapat dijadikan atau digunakan sebagai salah satu sumber hukum internasional. Karena selain Deklarasi Rio Branco Universitas Sumatera Utara dibuat oleh Pemerintah Daerah anggota GCF bukan negaranya secara umum, juga karena mengingat sifatnya yang berbentuk soft-law dan tidak memiliki daya ikat hukum secara pasti. Namun para pakar hukum internasional menyatakan bahwa justru soft-law seperti deklarasi, prinsip dan lain sebagainyalah yang menjadi jalan bagi entitas bukan negara untuk dapat berperan lebih jauh dalam mengembangkan hukum internasional khususnya dalam pembentukan perjanjian internasional di bidang lingkungan. 176 Hukum perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup mencatat keberhasilan dokumen soft-law menjadi dokumen hard-law yang lebih mempunyai daya ikat hukum yang kuat, khususnya dalam perjanjian internasional terkait dengan limbah Bahan Berbahaya Beracun hazardous waste, yaitu Cairo Guidelines yang telah dijadikan dasar terbentuknya Basel Convention on The Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal tahun 1989 yang sekarang telah berlaku penuh entered into force. 177 Selain itu, ada juga praktek dokumen soft-law diambil sebagian untuk dimaksudkan ke dalam suatu perjanjian internasional yang lebih mengikat. Contohnya adalah Prinsip 21 178 yang termaktub dalam Deklarasi Stockholm 1972, yang dianggap sebagai prinsip hukum umum ataupun hukum kebiasaan yang berupa soft law, yang kemudian menjadi pembahasan di banyak perundingan internasional dan diintegrasikan dalam berbagai perjanjian internasional seperti United Nations Convention on Biological Diversity atau UNCBD Konvensi Tentang Keanekaragaman Hayati 1992; United Nations Framework on Climate Change atau 176 Pendapat Hans Kelsen, juga Austin Spinoza yang menyebut soft law sebagai The Trojan Hourse of Environmentalist, seperti yang dikutip dari Pramudianto, hlm.51-52 177 Pramudianto, hlm.55 178 Prinsip yang menyatakan bahwa negara berdasarkan Piagam PBB dan prinsip hukum internasional berdaulat untuk mengeksploitasi kekayaan alamnya dan bertanggungjawab untuk menjamin bahwa aktivitas dalam yurisdiksi atau pengawasannya tidak menyebabkan kerusakan lingkungan terhadap negara lain atau terhadap area di luar yurisdiksi nasional suatu negara. Universitas Sumatera Utara UNFCCC Konvensi Kerangka Kerja Tentang Perubahan Iklim 1992; United Nations Convention to Combat Desertification atau UNCCD 1994. 179 Selain contoh tersebut, terdapat banyak contoh lain berupa dokumen-dokumen internasional baik yang dihasilkan dari seminar, workshop, pertemuan internasional maupun kegiatan internasional lainnya yang dilakukan melalui jalur diplomatic maupun non diplomatic, menjadi bentuk soft law dan kemudian berkembang menjadi bentuk dokumen hard law. Dokumen soft-law dilihat dari praktek penggunaannya, baik sebagai dokumen maupun bentuk hukum di masa mendatang dipandang akan semakin penting peranannya, terlebih apabila soft law tersebut memiliki norma jus cogens atau peremptory norm dan menimbulkan obligation erga omnes, akan memiliki sumbangan penting bagi perkembangan hukum lingkungan internasional. Demikian juga halnya dengan Deklarasi Rio Branco. Apabila dalam Deklarasi Rio Branco terdapat prinsip yang kemudian dapat diterima sebagai jus cogen dan mengandung kewajiban erga omnes, maka Deklarasi Rio Branco bisa dijadikan sebagai sumber hukum internasional, khususnya hukum lingkungan internasional. Hal tersebut juga dipengaruhi secara kuat oleh tanggapan subjek hukum internasional lainnya dalam menyikapi deklarasi ini sebagai soft law. Terutama dengan adanya doktrin hukum internasional yang menyatakan bahwa “silence gives consent” atau diam berarti setuju, atau barang siapa yang tidak protes berarti setuju, maka akan dianggap sebagai tacit consent atau tunduk secara diam-diam. 180 179 Loc.cit 180 Pramudianto,hlm.57, mengutip kutipan Van Hoof tahun 2013 Universitas Sumatera Utara BAB IV HAK DAN KEWAJIBAN NEGARA BAGIAN DAN PROVINSI ANGGOTA PENANDATANGAN DEKLARASI RIO BRANCO DAN KAITANNYA DENGAN IMPLEMENTASI SUSTAINABLE DEVELOPMENT PRINCIPLE

A. Sustainable Development Principle dalam Deklarasi Rio Branco