Pencarian Jalur Terpendek dengan Menggunakan Algoritma Dijkstra dan Faktor Percepatan

3.2 Pencarian Jalur Terpendek dengan Menggunakan Algoritma Dijkstra dan Faktor Percepatan

Untuk mengembangkan suatu jaringan jalan yang efisien, algoritma Dijkstra serta penambahan faktor percepatan ke dalamnya dapat digunakan. Sementara algoritma Dijkstra yang orisinil dalam tujuannya untuk menemukan jalur terpendek dalam suatu jaringan menggunakan jarak aktual, penambahan faktor percepatan ikut mempertimbangkan pula faktor kepadatan lalu lintas yang mungkin muncul akibat dari nilai derajad suatu titik. Kedua konsep tersebut dibahas di bagian berikut.

3.2.1 Algoritma Dijkstra

Algoritma Dijkstra bertujuan menemukan jalur terpendek dari satu titik ke titik lain dalam suatu jaringan (Skiena, 1990). Dalam tujuannya mencari jalur terpendek tersebut, Dijkstra (1959) menggunakan satu set titik-titik dan jalur-jalur. Dalam karyanya yang orisinil, terdapat dua masalah yang ditanggapi yaitu tentang pencarian jalur total terpendek dalam jaringan serta pencarian jalur terpendek dari satu titik ke titik lain. Dalam tesis ini dicari jalur terpendek dari satu titik yaitu satu desa ke satu titik akar yaitu satu desa yang memiliki akses utama menuju pasar. Model jaringan dengan total jalur terpendek diasumsikan akan diidentifikasi jika jalur terpendek dari tiap-tiap desa ke titik akar ditemukan.

Dalam upaya mencari jalur terpendek dari satu titik ke titik lainnya, Dijkstra (1959) mengelompokkan titik-titik dan jalur-jalur ke dalam kelompok-kelompok tertentu. Titik-titik dikategorikan dalam set A, B dan C sedangkan jalur-jalur digolongkan ke dalam set I, II dan III. Set A terdiri dari titik-titik yang ditetapkan sebagai ikut berperan dalam menghubungkan titik awal ke titik tujuan dengan jalur terpendek. Titik yang secara langsung terhubung dengan titik-titik di set A dikategorikan dalam set B sedangkan set C terdiri dari titik-titik lainnya yang tidak termasuk dalam set A dan set B. Sedangkan untuk set I adalah jalur-jalur yang menghubungkan titik-titik dalam set A dengan titik-titik dalam set B dihubungkan oleh jalur-jalur yang dikategorikan sebagai set II. Set III adalah garis-garis lainnya yang tidak termasuk dalam set I dan set II.

Dalam gambar 2.8 kelompok-kelompok garis dan titik ditunjukkan. Langkah pertama (a) adalah menetapkan titik sumber dalam hal ini titik A. Titik-titik terdekat yaitu yaitu titik B, C dan D dimasukkan ke dalam set B. Langkah selanjutnya adalah menemukan titik yang paling dekat dengan titik A. Titik B dan

D dipilih karena keduanya berjarak 2 dari titk A. Dari pemilihan ini maka titik F,

E dan G berubah menjadi set B. Dalam menuju titik H, titik E adalah titik terdekat sehingga titik D berubah menjadi kategori set A yang akhirnya berhubungan langsung dengan titik akhir H. Jalur terpendek dari titik A ke H adalah ADEH.

Gambar 3.1: Algoritma Dijkstra untuk Mencari Jalur Terpendek Sumber: Disarikan dari Dijkstra, 1959

3.2.2 Faktor Percepatan

Algoritma Dijkstra digunakan dalam analisa jaringan untuk menemukan jalur terpendek dari titik-titik tertentu ke titik-titik lainnya. Namun, algoritma tersebut hanya memperhitungkan panjang jalan dan mengesampingkan konteks lokasi. Satu titik dapat memiliki kondisi yang berbeda dengan titik lainnya dan kondisi ini biasanya ada dalam kondisi nyata yang pada gilirannya perbedaan kondisi tiap- tiap titik ini akan berpengaruh pula pada arus lalu lintas yang timbul dari tiap-tiap titik tersebut. Sebagai contoh, dalam gambar 2.9 (a), suatu kota yang terhubung dengan dua jalur dihubungkan dengan kota lainnya yang serupa sedangkan dalam gambar 2.9 (b) suatu kota dengan dua jalur dihubungkan dengan kota yang terhubung dengan empat jalur. Kepadatan ruas jalur AB dalam gambar (a) Algoritma Dijkstra digunakan dalam analisa jaringan untuk menemukan jalur terpendek dari titik-titik tertentu ke titik-titik lainnya. Namun, algoritma tersebut hanya memperhitungkan panjang jalan dan mengesampingkan konteks lokasi. Satu titik dapat memiliki kondisi yang berbeda dengan titik lainnya dan kondisi ini biasanya ada dalam kondisi nyata yang pada gilirannya perbedaan kondisi tiap- tiap titik ini akan berpengaruh pula pada arus lalu lintas yang timbul dari tiap-tiap titik tersebut. Sebagai contoh, dalam gambar 2.9 (a), suatu kota yang terhubung dengan dua jalur dihubungkan dengan kota lainnya yang serupa sedangkan dalam gambar 2.9 (b) suatu kota dengan dua jalur dihubungkan dengan kota yang terhubung dengan empat jalur. Kepadatan ruas jalur AB dalam gambar (a)

Gambar 3.2: Perbedaan Kepadatan Ruas Jalur antara Dua Titik dengan Kondisi yang Berbeda Sumber: Disarikan dari Bhaarli dan Baruah, 2013

Untuk menanggapi berbagai perbedaan kondisi dari tiap titik, Bharali dan Baruah (2013) mengembangkan berbagai metode untuk menghitung suatu faktor percepatan δ untuk ditambahkan pada algoritma Dijkstra. Metode-metode tersebut adalah edge density, edge betweenness centrality and induced Markov chain. Metode-metode tersebut ditinjau lebih lanjut dalam bagian-bagian selanjutnya. Dengan penambahan faktor percepatan, pencarian terhadap jalur terpendek tidak lagi didasarkan pada panjang aktual tapi lebih pada panjang efektif. Rumusan untuk menghitung panjang efektif ditunjukkan dalam persamaan di bawah dengan

d uv adalah panjang aktual..

3.2.2.1 Kepadatan Ruas Jalur

Gambar 2.1 memberikan gambaran tentang kepadatan ruas jalur. Jumlah jalur yang terhubung dengan titik A dan titik B menunjukkan derajad dari titik-titik tersebut. Kepadatan ruas jalur AB yang menghubungkan titik A dan titik B dapat dihitung menggunakan rumus berikut:

χ AB adalah kepadatan ruas jalur AB dan o(A) serta o(B) adalah derajad dari titik A dan titik B. Sedangkan min{ o(A) / o(B) , o(B) / o(A) } berarti bahwa jika hasil dari 1- o(A) / o(B) χ AB adalah kepadatan ruas jalur AB dan o(A) serta o(B) adalah derajad dari titik A dan titik B. Sedangkan min{ o(A) / o(B) , o(B) / o(A) } berarti bahwa jika hasil dari 1- o(A) / o(B)

(a) Grafis G dengan Panjang Ruas Jalur (b) Nilai Efektif Tiap Jalur Aktual

Gambar 3.3: Faktor Percepatan dengan Metode Kepadatan Ruas Jalur Sumber: Bharali dan Baruah, 2013

Dengan mengubah panjang aktual dalam gambar 3.3 (a) dengan panjang efektif sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 3.3 (b), jalur terpendek dari A ke D adalah jalur ABED.

3.2.2.2 Keterpusatan Jalur

Keterpusatan jalur mempertimbangkan kepadatan jalur dengan mengamati kemungkinan suatu jalur dilewati atau dengan kata lain mengamati nilai penting relatif suatu ruas jalur dalam suatu jaringan. Nilai keterpusatan jalur e (μ e) ditentukan dengan membagi jumlah total laluan yang melintasi suatu ruas jalur dengan jumlah total jalur terpendek dalam suatu jaringan. Faktor percepatan δ ditentukan dengan persamaan 1-μ e. Metode ini diilustrasikan dalam gambar 3.4. Dari gambar (a) diketahui terdapat 10 jalur terpendek antara tiap titik dengan titik lainnya yaitu AB, ABC, ABCED, ABCE, BC, BCED, BCE, CED, CE dan DE. Dari jalur-jalur terpendek tersebut 4 di antaranya melewati ab yaitu AB, ABC, ABCED dan ABCE. Maka nilai dari keterpusatan jalur dari ruas jalur AB (μ AB) adalah 4/10. Dari nilai ini maka nilai dari ruas jalur lainnya dapat diidentifikasi sebagaimana ditunjukkan dalam gambar (c). Dengan mengubah panjang aktual di Keterpusatan jalur mempertimbangkan kepadatan jalur dengan mengamati kemungkinan suatu jalur dilewati atau dengan kata lain mengamati nilai penting relatif suatu ruas jalur dalam suatu jaringan. Nilai keterpusatan jalur e (μ e) ditentukan dengan membagi jumlah total laluan yang melintasi suatu ruas jalur dengan jumlah total jalur terpendek dalam suatu jaringan. Faktor percepatan δ ditentukan dengan persamaan 1-μ e. Metode ini diilustrasikan dalam gambar 3.4. Dari gambar (a) diketahui terdapat 10 jalur terpendek antara tiap titik dengan titik lainnya yaitu AB, ABC, ABCED, ABCE, BC, BCED, BCE, CED, CE dan DE. Dari jalur-jalur terpendek tersebut 4 di antaranya melewati ab yaitu AB, ABC, ABCED dan ABCE. Maka nilai dari keterpusatan jalur dari ruas jalur AB (μ AB) adalah 4/10. Dari nilai ini maka nilai dari ruas jalur lainnya dapat diidentifikasi sebagaimana ditunjukkan dalam gambar (c). Dengan mengubah panjang aktual di

D berdasarkan panjang efektif adalah ABED.

(a) Jalur-jalur Terpendek dari Satu Titik

ke Titik Lainnya

(b) Grafik G dengan Panjang (c) Nilai Efektif Tiap Jalur Aktual

Gambar 3.4: Faktor Percepatan dengan Metode Keterpusatan Ruas Jalur Sumber: Bharali dan Baruah, 2013

3.2.2.3 Induced Markov Chain

Berbeda dengan dua metode sebelumnya, the induced Markov chain menggunakan suatu grafis berarah yang artinya kepadatan lalu lintas dari A ke B dapat saja berbeda dengan dari B ke A. Faktor percepatan δ diasumsikan memiliki nilai yang sama dengan fungi probabilitas p=1-deg out (v) di mana deg out (v) adalah derajad atau jumlah jalur yang keluar dari titik v. Gambar 2.12 menggambarkan grafik G dengan panjang aktualnya sementara gambar 2.13 mengilustrasikan induced Markov chain dari grafis tersebut. Tabel 2.5 menunjukkan nilai dari jalur tersebut.

Dari semua metode untuk menemukan faktor percepatan yang dikembangkan oleh Bharali dan Baruah (2013), metode kepadatan jalur adalah dasar dari kedua metode lainnya. Maka untuk melakukan riset awal dalam tesis ini digunakan metode tersebut.

(a) Grafik G dengan Panjang Aktual

(b) Nilai Efektif Tiap Jalur

(c) Aplikasi Nilai Efektif Tiap Jalur dalam Grafis

Gambar 3.5: Faktor Percepatan dengan Metode Induced Markov Chain Sumber: Bharali dan Baruah, 2013