Pendekatan yang Digunakan dalam Perencanaan Jaringan Jalan di Indonesia
4.2 Pendekatan yang Digunakan dalam Perencanaan Jaringan Jalan di Indonesia
Perencanaan jaringan jalan di Indonesia tidak lepas dari perencanaan pengembangan wilayah. Dalam panduan penyusunan rencana tata ruang wilayah tingkat kabupaten, disyaratkan bahwa tiap-tiap jenis pusat pertumbuhan dilayani oleh jalan dengan status dan kelas tertentu. Status dan kelas jalan ini lebih lanjut diatur dalam peraturan-peraturan terkait yang berhubungan dengan perencanaan fisik jalan antara lain Undang-undang No.
38 Tahun 2004 tentang Jalan, Masterplan Percapatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011) serta Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 16/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten h ingga Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 8 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Perhubungan di Provinsi Jawa Tengah. Secara lebih lengkap pendekatan perencanaan jaringan jalan di kabupaten-kabupaten di Indonesia dijelaskan dalam bagian-bagian selanjutnya.
4.2.1 Pembentukan Klaster-klaster Pertumbuhan Strategi Pengembangan Wilayah di Indonesia
Karakter yang paling menonjol dalam strategi pengembangan spasial di Indonesia adalah penetapan klaster-klaster pertumbuhan. Pada level nasional, pusat-pusat pertumbuhan berupa Koridor Ekomoi. Terdapat enam koridor ekonomi yang di dalamnya terdiri dari sekelompok pulau-pulau. Tiap klaster disusun untuk mengembangkan beberapa produk-produk dan servis tertentu yang mendukung pengembangan ekonomi nasional. Produk-produk dan servis yang ditetapkan berdasar pada sumber daya manusia dan manusia yang paling menonjol di tiap koridor. Gambar 4.1 menunjukkan koridor-koridor ekonomi di Indonesia.
Pada level yang lebih bawah terdapat klaster-klaster yang disebut Area Strategis. Beberapa klaster terdiri dari area-area selevel kabupaten dalam satu provinsi dan lainnya terdiri dari area-area lintas provinsi. Sebagaimana dalam koridor ekonomi, anggota-anggota dalam area strategis dikelompokkan berdasarkan sumber daya alam dan manusia yang saling mendukung dan melengkapi satu sama lain.
Anggota-anggota dalam kalster-klaster ini diharapkan saling mendukung satu sama lain untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam tiap klaster. Gambar 4.2 menunjukkan model dari klaster-klaster tersebut.
Dalam level kabupaten, kalster-klaster pertumbuhan terdiri dari desa-desa dan dibentuk selain untuk mendorong pertumbuhan desa-desa dalam klaster juga untuk mendukung pertumbuhan desa-desa sekitar klaster. Hal tersebut dilakukan dengan menetapkan pusat pertumbuhan dalam klaster dan pusat tersebut diharapkan berperan menjadi semacam contoh pertumbuhan atau sebagai coordinator bagi pertumbuhand desa-desa lain di sekelilingnya. Pengaturan ini ditetapkan sedemikian rupa karena sebagian desa di area kabupaten masih perlu dibantu perkembangannya. Pengaturan klaster-klaster pertumbuhan dalam level kabupaten ditunjukkan dalam gambar 4.2.
Gambar 4.1: Koridor-koridor Ekonomi di Indonesia Sumber: Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011
Kabupaten Kawasan Strategis
Koridor Ekonomi Level Nasional
Level Desa (PPL) Level Kecamatan (PPK) Level Kabupaten
Gambar 4.2: Klaster-klaster Pertumbuhan di Indonesia Sumber: Pengolahan Data dari Kementrian Pekerjaan Umum, 2009; Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011
4.2.2 Manajemen Pengembangan Jalan di Indonesia
4.2.2.1 Sistem Hukum
Pertumbuhan infrastruktur jalan di Indonesia berada dalam sistem hirarkis. Level teratas dari sistem hukum tentang jalan adalah Undang-undang No. 38/2004 tentang jalan. Pada level di bawahnya terdapat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 34/2006 tentang jalan serta Peraturan Menteri Pekerjaan Umum yang terdiri dari dua panduan yairu No. 16/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten dan No. 30/PRT/M/2012 tentang Pedoman Penetapan Fungsi Jalan dan Status Jalan. Dua panduan ini menyediakan peraturan tentang bagaimana seharusnya jaringan jalan disusun pada tingkat kabupaten. Level yang lebih bawah lagi adalah peraturan daerah yang berhubungan dengan kelas dan status jalan (Gubernur Jawa Tengah, 2013) disusul oleh level yang lebih bawah yaitu peraturan daerah dan keputusan bupati. Peraturan-peraturan pada level yang lebih bawah harus sesuai dengan peraturan pada level yang lebih atas. Gambar 4.3 mengilustrasikan hirarki sistem hukum tentang manajemen jalan di Indonesia.
4.2.2.2 Kategori Jalan
Di Indonesia, jalan diklasifikasikan dalam dua kategori utama berdasarkan jenis pengadaan dan pemeliharaannya yaitu jalan umum dan jalan khusus (Pemerintah
Republik Indonesia, 2006). Jalan khusus adalah jalan yang dibangun dan dipelihara oleh pihak tertentu untuk kepentingan mereka sendiri sedangkan jalan umum adalah jalan yang dibangun, dipelihara dan digunakan oleh masyarakat umum dengan campur tangan pemerintah. Kategori jalan umum dibagi lagi menjadi beberapa bagian berdasarkan sistem jaringan jalan, fungsi jalan, status jalan dan kelas jalan.
Sistem jaringan jalan dibagi menjadi jaringan primer dan sekunder. Sistem jaringan jalan primer secara simultan terhubung dengan pusat-pusat pertumbuhan nasional, regional, lokal dan komunal sedangkan jaringan jalan sekunder menghubungkan area dalam tingkat kabupaten hingga level rumah tangga.
Fungsi jalan dibagi menjadi empat jenis yaitu arteri, kolektor, lokal dan lingkungan. Keempat fungsi ini muncul dalam tiap sistem jaringan jalan sehingga terdapat empat yaitu arteri-primer, kolektor-primer, lokal-primer, lingkungan- primer, arteri-sekunder, kolektor-sekunder, lokal sekunder dan lingkungan- sekunder. Terdapat kecepatan dan lebar jalan minimum untuk tiap-tiap fungsi jalan. Tabel 4.1 menunjukkan batas minimal kecepatan dan lebar jalan untuk kedelapan fungsi jalan.
Status jalan dibagi menjadi lima yaitu jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota dan jalan desa (Pemerintah Republik Indonesia, 2006). Tiap-tiap status jalan berhubungan dengan satu atau lebih fungsi jalan. Hubungan tersebut ditunjukkan dalam tabel 4.2.
Kelas jalan dibagi menjadi empat yaitu jalan kelas I, kelas II, kelas III dan kelas
IV (Menteri Pekerjaan Umum, 2012). Kelas-kelas jalan ini didasarkan pada kapasitas beban serta dimensi kendaraan. Tabel 4.3 menunjukkan daftar kelas- kelas jalan serta kriteria kendaraan bermotor yang diijinkan untuk melewatinya.
Undang-undang Republik Indonesia
Presiden dan DPR
Peraturan Presiden Republik
Presiden
Indonesia
Peraturan Menteri Menteri Pekerjaan Umum No.
Peraturan Menteri
Keputusan Menteri Pekerjaan Umum
Pekerjaan Umum No. 16/PRT/M/2009 tentang
No. 58/KPTS/M/2012 tentang Penetapan
30/PRT/M/2012 tentang Pedoman Penyusunan
Kelas Jalan Berdasarkan Daya Dukung
Pedoman Penetapan Fungsi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
untuk Menerima Muatan Sumbu Terberat
dan Dimensi Kendaraan Bermotor di
Pulau Jawa dan Sumatra
dan Status Jalan
Peraturan Daerah tingkat Provinsi tentang
Level
Penetapan Fungsi dan Status Jalan
Provinsi
Level Peraturan Setempat
Peraturan Setempat
Peraturan Setempat
Peraturan Setempat Kabupaten
Manajemen Jalan di Tingkat Kabupaten
Gambar 4.3: Hirarki Peraturan Perundangan yang Berhubungan dengan Manajeman Jalan di Indonesia Sumber: Pengolahan Data dari Pemerintah Republik Indonesia, 2006; Kementrian Pekerjaan Umum, 2004, 2011 dan 2012;
Fungsi Jalan
Batas Kecepatan
Lebar Minimum Jalan
Minimum (km/j)
(m)
Arteri – primer
60 11 Kolektor – primer
40 9 Lokal – primer
20 7,5 Lingkungan – primer
15 6,5 Arteri – sekunder
30 11 Kolektor – sekunder
20 9 Lokal – sekunder
10 7,5 Lingkungan – sekunder
Tabel 4.1: Batas Kecepatan dan Lebar Jalan Minimum Sumber: Pemerintah Republik Indonesia, 2006
Status Jalan Fungsi Jalan Terkait
Jalan Nasional
Arteri – primer, kolektor – primer
Jalan Provinsi
Kolektor – primer
Jalan Kabupaten Kolektor – primer, lokal – primer, jalan-jalan sekunder Jalan Kota
Jalan-jalan sekunder
Jalan Desa Lokal – primer, lingkungan – primer
Tabel 4.2: Status dan Fungsi Jalan Sumber: Pemerintah Republik Indonesia, 2006
Kendaraan Bermotor Kapasitas
Tinggi Klas Jalan
Panjang
Lebar
Angkut Maksimum
Maksimum
Maksimum Maksimum
10 Klas II
Klas I 18.000
8 Klas III
8 Klas Khusus
Tabel 4.3: Kelas Jalan Sumber: Pemerintah Republik Indonesia, 2006
4.2.2.3 Hubungan antara Pengembangan Wilayah dan Perencanaan Jaringan Jalan
Di tingkat nasional di Indonesia, beberapa peraturan perundangan telah mengaitkan perencanaan jaringan jalan dengan pengembangan wilayah. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (Kementrian Pekerjaan Umum, 2009) dan Undang-undang 38 tahun 2004 tentang Jalan. Pasal 9 ayat (4) UU 38/2004 menyatakan:
“ Jalan kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang tidak termasuk
pada ayat (2) dan ayat (3), yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, antaribukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal, antarpusat kegiatan lokal, serta jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah kabupaten, dan jalan strategis kabupaten.”
Dalam Bab II bagian 2.1.2 tentang sistem prasarana utama dinyatakan:
“(iii) Jaringan jalan kabupaten yang terdiri atas: jalan kolektor primer yang tidak termasuk dalam jalan nasional dan provinsi; jalan lokal primer yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat desa, antaribukota kecamatan, ibukota kecamatan dengan desa, dan antardesa; jalan sekunder; dan jalan strategis kabupaten.”
Pasal 1 pada nomor 11, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 03/PRT/M/2012 menyatakan:
“ Jalan Lokal Primer yang selanjutnya disingkat JLP adalah jalan yang menghubungkan secara berdaya guna pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lingkungan, pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lingkungan, antarpusat kegiatan lokal, atau pusat kegiatan lokal dengan pusat kegiatan lingkungan, serta antarpusat kegiatan lingkungan.”
Sesuai dengan panduan tersebut maka jaringan jalan kabupaten bertujuan melayani klaster-klaster pertumbuhan yang ada dengan spesifikasi sesuai yang dinyatakan di pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
34 Tahun 2006 tentang Jalan:
“ Jalan lokal primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 (dua puluh) kilometer per jamdengan lebar badan jalan paling sedikit 7,5 (tujuh koma lima) meter.”
Dengan demikian, perlu disediakan suatu jaringan jalan perdesaan dengan kualitas tertentu dan memiliki efisiensi serta efektifitas sebagai suatu jaringan jalan yang melayani pertumbuhan suatu wilayah tertentu.
Di bidang penelitian terhadap perencanaan jaringan jalan, beberapa peneliti mengembangkan teori-teori dan metode-metode untuk melihat hubungan pengembangan jaringan jalan dengan pertumbuhan wilayah. Oosterhaven dan Knaap (2003) berpendapat bahwa daerah-daerah yang isomorfis, atau memiliki kemiripan dalam karakter guna lahannya, tidak akan menunjukkan pola pertumbuhan wilayah yang besar dibanding jika dihubungkan satu dengan lainnya dengan jika yang dihubungkan adalah daerah-daerah yang non-isomorfis, atau daerah yang berbeda karakteristik guna lahannya, terutama jika salah satu daerah tersebut memiliki pusat kegiatan yang lebih besar dibanding dengan daerah lainnya. Gambar 4.4 mengilustrasikan pendapat tersebut.
Gambar 4.4: Efek Spasial dari Pengadaan Infrasturktur Jalan Sumber: Oosterhaven dan Knaap, 2003
Lebih lanjut, Makarachi dan Tillotson (1991), sejalan dengan pendapat Rodrigue et al., (2013), menyatakan bahwa suatu jaringan jalan perdesaan akan lebih efektif sekaligus efisien dalam pembangunannya jika jaringan tersebut diberi orientasi menuju pasar. Dengan demikian, sejalan dengan penelitian Oosterhaven dan Knaap (2003), maka Makarachi dan Tillotson mendapati bahwa penghubungan suatu desa dengan pusat kegiatan ekonomi akan lebih bermanfaat daripada jika desa-desa yang berkarakteristik serupa dan tidak memiliki pusat kegiatan ekonomi saling dihubungkan. Efisiensi jaringan jalan menurut Makarachi dan Tillotson (1991) ini ditunjukkan dalam model jaringan jalan pada gambar 4.5 (a).
Pertumbuhan ekonomi di Indonesia dicirikan dengan pembentukan klaster-klaster pertumbuhan (Kementrian Pekerjaan Umum, 2009; Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011). Dengan memperhatikan panduan-panduan nasional yang berhubungan dengan perencanaan jaringan jalan di Indonesia yang telah disebutkan sebelumnya, maka jaringan jalan bertujuan untuk melayani pertumbuhan klaster-klaster tersebut. Dari panduan-panduan nasional tersebut maka suatu model jaringan jalan yang berorientasikan pada keterhubungan dalam klaster dapat diturunkan seperti yang ditunjukkan pada gambar 4.5 (b).
(a) Model Jaringan Jalan Perdesaan
Model Jaringan Jalan Perdesaan berdasar Makarachi dan Tillotson
(b)
berdasar Panduan-panduan Nasional (1991)
Sumber: Disarikan dari Kementrian Pekerjaan Umum, 2009 dan Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011.
Gambar 4.5: Dua Model Alternatif bagi Perencanaan Jaringan Jalan Perdesaan