PERBANDINGAN EFISIENSI DAN EFEKTIFITAS J

ABSTRAK PERBANDINGAN EFISIENSI DAN EFEKTIFITAS JARINGAN JALAN PERDESAAN YANG BERORIENTASI PADA KETERHUBUNGAN DENGAN PASAR DAN YANG BERORIENTASI PADA KETERHUBUNGAN DALAM KLASTER

oleh

Banar Suharjanto NIM: 25412069 (Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota)

Jaringan jalan perdesaan memiliki karakteristik yang berbeda dengan jaringan jalan perkotaan. Pada jaringan jalan perkotaan, penekanan lebih diutamakan pada pengaturan arus lalu lintas sedangkan di wilayah perdesaan penyediaan jaringan jalan lebih ditekankan pada peningkatan aksesibilitas desa menuju pusat-pusat pelayanan. Lebih lanjut, untuk menjamin kontinuitas aksesibilitas tersebut maka peningkatan kualitas jalan-jalan perdesaan juga mendapatkan penekanan tertentu terutama berhubungan dengan model perkerasan jalan yang tahan di segala cuaca serta kemampuan ruas jalan untuk memfasilitasi penyaluran barang dan manusia. Karena aksesibilitas dan kualitas jaringan jalan merupakan permasalahan yang terjadi di sebagian besar wilayah perdesaan, maka penyediaan jaringan jalan di wilayah tersebut akan memerlukan biaya yang cukup besar. Untuk itu perlu diidentifikasi metode yang sesuai agar penyediaan infrastruktur tersebut dapat efisien tanpa meninggalkan efektifitas jaringan dalam melayani wilayah. Salah satu metode peningkatan efisiensi jaringan adalah pencarian jalur terpendek dalam jaringan. Dalam tesis ini, dengan menerapkan metode tersebut, dua model jaringan jalan, yaitu yang berorientasi pada pasar serta yang berorientasi pada keterhubungan dalam klaster, dibandingkan untuk mencari model manakah yang lebih memberikan dasar perencanaan bagi jaringan jalan yang efisien sekaligus tetap efektif. Perbandingan dilakukan Jaringan jalan perdesaan memiliki karakteristik yang berbeda dengan jaringan jalan perkotaan. Pada jaringan jalan perkotaan, penekanan lebih diutamakan pada pengaturan arus lalu lintas sedangkan di wilayah perdesaan penyediaan jaringan jalan lebih ditekankan pada peningkatan aksesibilitas desa menuju pusat-pusat pelayanan. Lebih lanjut, untuk menjamin kontinuitas aksesibilitas tersebut maka peningkatan kualitas jalan-jalan perdesaan juga mendapatkan penekanan tertentu terutama berhubungan dengan model perkerasan jalan yang tahan di segala cuaca serta kemampuan ruas jalan untuk memfasilitasi penyaluran barang dan manusia. Karena aksesibilitas dan kualitas jaringan jalan merupakan permasalahan yang terjadi di sebagian besar wilayah perdesaan, maka penyediaan jaringan jalan di wilayah tersebut akan memerlukan biaya yang cukup besar. Untuk itu perlu diidentifikasi metode yang sesuai agar penyediaan infrastruktur tersebut dapat efisien tanpa meninggalkan efektifitas jaringan dalam melayani wilayah. Salah satu metode peningkatan efisiensi jaringan adalah pencarian jalur terpendek dalam jaringan. Dalam tesis ini, dengan menerapkan metode tersebut, dua model jaringan jalan, yaitu yang berorientasi pada pasar serta yang berorientasi pada keterhubungan dalam klaster, dibandingkan untuk mencari model manakah yang lebih memberikan dasar perencanaan bagi jaringan jalan yang efisien sekaligus tetap efektif. Perbandingan dilakukan

Kata kunci : efektifitas, efisiensi, jaringan jalan desa, klaster, pasar.

ABSTRACT THE COMPARISON OF EFFICIENCY AND EFFECTIVITY OF THE RURAL ROAD NETWORK WITH MARKET-CONNECTIVITY AND WITHIN-CLUSTER-CONNECTIVITY ORIENTATIONS

by

Banar Suharjanto NIM: 25412069 (Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota)

Rural road network has different characteristics from urban road network. In the urban road network, the emphasize is more on the traffic management while in the rural area the provision of road network is more emphasized on the developing villages’ accessibilities to the servic e centers. Moreover, to ensure the continuity of the accessibility, the quality of the rural road is also emphasized especially in term of the road pavement which can endure any weather and the capability of the road to facilitate human and goods transportation. Since the accessibility and quality of the road network is the problem in the majority of rural areas, to provide qualified road network in those areas would require a huge amount of expense. To reduce the cost, the appropriate method to provide the efficient as well as effective rural road network needs to be identified. One of the methods to increase the efficiency of the network is to find the shortest path within the network. In this thesis, by applying such method, two models of rural road network, namely the one which has market orientation and the one with cluster orientation, are compared to identify which model is better in providing the basic for effective and efficient rural road network. The comparison is conducted by applying the two models to form road networks which serve the development clusters in the districts in Indonesia. The application of the two models is done by using some variables namely connectivity to the market, connectivity within cluster, minimizing the construction costs and minimization of travel cost. Using statistical tests, the significance of the difference among the networks could be Rural road network has different characteristics from urban road network. In the urban road network, the emphasize is more on the traffic management while in the rural area the provision of road network is more emphasized on the developing villages’ accessibilities to the servic e centers. Moreover, to ensure the continuity of the accessibility, the quality of the rural road is also emphasized especially in term of the road pavement which can endure any weather and the capability of the road to facilitate human and goods transportation. Since the accessibility and quality of the road network is the problem in the majority of rural areas, to provide qualified road network in those areas would require a huge amount of expense. To reduce the cost, the appropriate method to provide the efficient as well as effective rural road network needs to be identified. One of the methods to increase the efficiency of the network is to find the shortest path within the network. In this thesis, by applying such method, two models of rural road network, namely the one which has market orientation and the one with cluster orientation, are compared to identify which model is better in providing the basic for effective and efficient rural road network. The comparison is conducted by applying the two models to form road networks which serve the development clusters in the districts in Indonesia. The application of the two models is done by using some variables namely connectivity to the market, connectivity within cluster, minimizing the construction costs and minimization of travel cost. Using statistical tests, the significance of the difference among the networks could be

Keywords : cluster, effective, efficient, market, rural road network.

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karakteristik jaringan jalan perdesaan (rural road network) berbeda dengan karakteristik jaringan jalan perkotaan (urban road network). Jika jaringan jalan perkotaan berurusan dengan antara lain penyaluran arus lalu lintas (traffic assignmanet ) (Janson, 1991), pengaturan persimpangan jalan (Zhaoyang dan Xunchu, 2001) dan pembatasan arus lalu lintas dengan road pricing (Tretvik, 2003) maka jaringan jalan perdesaan lebih menekankan pada terpenuhinya akses menuju pusat-pusat pelayanan (aspek sosial) dan minimalisasi biaya transportasi (aspek ekonomi) (Makarachi dan Tillotson, 1991; Meng dan Yang, 2002; Shresta et al., 2014), peningkatan kualitas jalan untuk menghindari kecelakaan akibat tidak mampu menahan beban dari kendaraan yang melintasinya (overloading) (Jaarsma, 1997), peningkatan aksesibilitas bagi desa-desa sehingga dapat membantu mengurangi kemiskinan (Donnges et al., 2007) dan efisiensi rute (Scaparra dan Church, 2005). Lebih lanjut, Scaparra dan Church (2005) menyatakan bahwa penyediaan aksesibilitas tersebut bukan sekedar menyediakan jalur jalan yang menghubungkan satu desa dengan desa-desa lainnya melainkan harus mampu menyediakan jalur jalan yang memiliki jenis perkerasan yang dapat dilalui dalam segala cuaca. Hal ini berarti bahwa penyediaan jaringan jalan perdesaan selain bertujuan menyediakan akses bagi tiap desa, akses tersebut harus memiliki kualitas tertentu yang bertujuan menyediakan kelancaran serta kontinuitas sistem transportasi sehingga dapat mendukung peningkatan kegiatan ekonomi yang akhirnya berakibat pada berkembangnya wilayah perdesaan.

Penekanan secara tradisional pada penyediaan aksesibilitas bagi tiap desa ini menghasilkan suatu jaringan yang kurang efisien. Banyak terjadi pengulangan atau redundansi jalur yang menghubungkan satu desa dengan desa lainnya (Makarachi dan Tillotson, 1991; Ipingbemi, 2008) sehingga perlu metode untuk melakukan efisiensi jaringan. Salah satu metode yang populer digunakan adalah algoritma Dijkstra untuk mencari jalur terpendek (Dijkstra, 1959). Dengan Penekanan secara tradisional pada penyediaan aksesibilitas bagi tiap desa ini menghasilkan suatu jaringan yang kurang efisien. Banyak terjadi pengulangan atau redundansi jalur yang menghubungkan satu desa dengan desa lainnya (Makarachi dan Tillotson, 1991; Ipingbemi, 2008) sehingga perlu metode untuk melakukan efisiensi jaringan. Salah satu metode yang populer digunakan adalah algoritma Dijkstra untuk mencari jalur terpendek (Dijkstra, 1959). Dengan

Namun algoritma Dijkstra masih berfokus pada penyediaan jalur terpendek dari sudut pandang biaya konstruksi, yang artinya adalah bahwa penentuan jalur terpendek adalah panjang jalan secara fisik yang berpengaruh pada modal yang dikeluarkan untuk mengadakan jalur tersebut. Bharali dan Baruah (2013) memasukkan suatu faktor percepatan dalam algoritma tersebut sehingga kepadatan suatu jalur yang berpengaruh terhadap waktu tempuh dapat diperhitungkan. Ini berarti bahwa penambahan faktor percepatan tersebut memperhatikan panjang efektif suatu jalur, yaitu panjang jalur berdasarkan proporsi waktu tempuh yang diluangkan untuk melalui jalur tersebut. Dalam hal ini yang diutamakan bukan lagi biaya konstruksi (construction cost) melainkan biaya perjalanan (travel cost) yang dikeluarkan oleh pengguna jaringan jalan tersebut.

Meskipun metode penerapan faktor percepatan oleh Bharali dan Baruah (2013) ke dalam algoritma Dijkstra dapat mencakup kebutuhan pengguna jalan terhadap minimalisasi biaya perjalanan, namun pembentukan jaringan jalan dengan metode tersebut masih berfokus pada penyediaan jaringan jalan yang efisien. Efektifitas jaringan, dalam hal ini efek jaringan jalan terhadap pertumbuhan wilayah, masih kurang diperhatikan. Makarachi dan Tillotson (1991) mengamati bahwa suatu jaringan akan memberikan hasil yang efektif bagi pertumbuhan wilayah jika jaringan tersebut bertujuan menghubungkan desa-desa dengan pasar sebagai pusat kegiatan ekonomi. Dengan kata lain, suatu jaringan jalan perdesaan perlu berorientasi pada keterhubungan dengan pasar agar efektif dalam melayani pertumbuhan desa-desa tersebut. Pengamatan tersebut sejalan dengan hasil penelitian Oosterhaven dan Knaap (2003) yang menyatakan bahwa jaringan transportasi akan lebih memberi efek bagi pertumbuhan wilayah jika menghubungkan daerah yang non-isomorfis, yaitu daerah yang berbeda dalam hal Meskipun metode penerapan faktor percepatan oleh Bharali dan Baruah (2013) ke dalam algoritma Dijkstra dapat mencakup kebutuhan pengguna jalan terhadap minimalisasi biaya perjalanan, namun pembentukan jaringan jalan dengan metode tersebut masih berfokus pada penyediaan jaringan jalan yang efisien. Efektifitas jaringan, dalam hal ini efek jaringan jalan terhadap pertumbuhan wilayah, masih kurang diperhatikan. Makarachi dan Tillotson (1991) mengamati bahwa suatu jaringan akan memberikan hasil yang efektif bagi pertumbuhan wilayah jika jaringan tersebut bertujuan menghubungkan desa-desa dengan pasar sebagai pusat kegiatan ekonomi. Dengan kata lain, suatu jaringan jalan perdesaan perlu berorientasi pada keterhubungan dengan pasar agar efektif dalam melayani pertumbuhan desa-desa tersebut. Pengamatan tersebut sejalan dengan hasil penelitian Oosterhaven dan Knaap (2003) yang menyatakan bahwa jaringan transportasi akan lebih memberi efek bagi pertumbuhan wilayah jika menghubungkan daerah yang non-isomorfis, yaitu daerah yang berbeda dalam hal

Dengan demikian, terdapat suatu model alternatif bagi pembentukan jaringan jalan perdesaan, yaitu model yang berorientasi pada keterhubungan dengan pusat kegiatan ekonomi, di samping model tradisional yang bertujuan sekedar menghubungkan satu desa dengan desa-desa lainnya. Untuk melihat efektifitas serta efisiensi model alternatif tersebut, maka perlu dilakukan pengujian dengan menerapkannya pada kasus-kasus studi. Sebagai pembanding efektifitas tentu diperlukan suatu model pembanding. Untuk hal tersebut, maka diturunkan suatu model alternatif lain yang berasal dari panduan-panduan nasional di Indonesia yang berhubungan dengan perencanaan jaringan jalan perdesaan di kabupaten- kabupaten di Indonesia.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (Kementrian Pekerjaan Umum, 2009) dan Undang- undang (UU) 38 tahun 2004 tentang Jalan. Pasal 9 ayat (4) UU 38/2004 menyatakan:

“ Jalan kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang tidak termasuk

pada ayat (2) dan ayat (3), yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, antaribukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal, antarpusat kegiatan lokal, serta jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah kabupaten, dan jalan strategis kabupaten.”

Dalam Bab II bagian 2.1.2 tentang sistem prasarana utama dinyatakan:

“(iii) Jaringan jalan kabupaten yang terdiri atas: jalan kolektor primer yang tidak termasuk dalam jalan nasional dan provinsi; jalan lokal primer yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat desa, antaribukota kecamatan, ibukota kecamatan dengan desa, dan antardesa; jalan sekunder; dan jalan strategis kabupaten.”

Pasal 1 pada nomor 11, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 03/PRT/M/2012 menyatakan:

“ Jalan Lokal Primer yang selanjutnya disingkat JLP adalah jalan yang menghubungkan secara berdaya guna pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lingkungan, pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lingkungan, antarpusat kegiatan lokal, atau pusat kegiatan lokal dengan pusat kegiatan lingkungan, serta antarpusat kegiatan lingkungan.”

Sesuai dengan panduan tersebut maka jaringan jalan kabupaten bertujuan melayani klaster-klaster pertumbuhan yang ada dengan spesifikasi sesuai yang dinyatakan di pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor

34 Tahun 2006 tentang Jalan:

“ Jalan lokal primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 (dua puluh) kilometer per jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 7,5 (tujuh koma lima) meter.”

Dengan demikian, perlu disediakan suatu jaringan jalan perdesaan dengan kualitas tertentu dan memiliki efisiensi serta efektifitas sebagai suatu jaringan jalan yang melayani pertumbuhan suatu wilayah tertentu. Tesis ini bertujuan mengamati efektifitas serta efisiensi model jaringan jalan dalam membentuk suatu jaringan Dengan demikian, perlu disediakan suatu jaringan jalan perdesaan dengan kualitas tertentu dan memiliki efisiensi serta efektifitas sebagai suatu jaringan jalan yang melayani pertumbuhan suatu wilayah tertentu. Tesis ini bertujuan mengamati efektifitas serta efisiensi model jaringan jalan dalam membentuk suatu jaringan

1.2 Deskripsi Topik

Penelitian dalam tesis ini difokuskan pada pencarian model yang dapat menyediakan dasar bagi perencanaan jaringan jalan perdesaan yang efisien sekaligus efektif. Efisiensi jaringan diukur dari terbentuknya jalur terpendek pada jaringan jalan sedangkan efektifitas jaringan diukur dari efek jaringan terhadap pertumbuhan wilayah. Lebih lanjut, dengan memperhatikan hasil penelitian berbagai peneliti (Makarachi dan Tillotson, 1991; Oosterhaven dan Knaap, 2003; Laird et al., 2005 dan Harrison, 2010) maka dalam tesis ini efek terhadap pertumbuhan wilayah diukur dari tingkat keterhubungan jaringan dengan pasar. Semakin suatu jaringan terhubung secara langsung dengan pasar maka semakin efektif peran jaringan tersebut bagi pertumbuhan wilayah.

Dalam upaya mencari model yang dapat menyediakan dasar bagi perencanaan jaringan jalan yang efisien sekaligus efektif tersebut dilakukan perbandingan jaringan-jaringan jalan dalam kasus-kasus studi yang terbentuk dari dua model jaringan jalan. Model pertama dikembangkan oleh Makarachi dan Tillotson (1991) yang berorientasi pada hubungan dengan pasar dan model kedua diturunkan dari panduan-panduan nasional yang berhubungan dengan jaringan jalan yaitu model yang berorientasi pada keterhubungan dalam klaster.

Perbandingan dilakukan pertama melalui uji statistik menggunakan metode Kruskal-Wallis dengan post-hoc uji Mann-Whitney. Karena sifat dari uji statistik yang digunakan adalah untuk menentukan apakah ada perbedaan yang signifikan tanpa menjelaskan secara lebih detail di mana perbedaan yang mungkin terjadi (Field, 2009), maka dilakukan pengujian lanjutan menggunakan metode analisa multi-kriteria. Analisa multi-kriteria memungkinkan disusunnya peringkat Perbandingan dilakukan pertama melalui uji statistik menggunakan metode Kruskal-Wallis dengan post-hoc uji Mann-Whitney. Karena sifat dari uji statistik yang digunakan adalah untuk menentukan apakah ada perbedaan yang signifikan tanpa menjelaskan secara lebih detail di mana perbedaan yang mungkin terjadi (Field, 2009), maka dilakukan pengujian lanjutan menggunakan metode analisa multi-kriteria. Analisa multi-kriteria memungkinkan disusunnya peringkat

Melalui pengujian-pengujian tersebut, maka dapat diidentifikasi mana dari kedua model yang dibandingkan yang dapat lebih menyediakan suatu jaringan jalan yang efisien sekaligus efektif.

1.3 Permasalahan yang Dikaji

Pengajian yang dilakukan dalam tesis ini adalah perbandingan antara dua model jaringan jalan untuk dengan memperhatikan efisiensi dan efektifitas jaringan jalan yang terbentuk dari dua model tersebut. Dengan demikian perlu dilakukan penerapan kedua model ke dalam kasus-kasus studi untuk diamati efisiensi dan efektifitas jaringan-jaringan tersebut. Efisiensi jaringan diamati menggunakan penerapan algoritma Dijkstra untuk mencari jalur terpendek serta uji statistik Kruskal-Wallis dengan post-hoc uji Mann-Whitney untuk mengidentifikasi apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara jaringan-jaringan tersebut. Efektifitas jaringan diamati menggunakan analisa multi-kriteria dengan memperhatikan beberapa aspek yaitu aspek keterhubungan dengan pasar, aspek keterhubungan dalam klaster, efek terhadap pertumbuhan wilayah serta efek terhadap terbentuknya jaringan jalan terpendek. Dengan memperhatikan efek-efek tersebut dapat disusun peringkat jaringan-jaringan yang terbentuk.

Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, maka dapat dinyatakan satu permasalahan utama yaitu “Model mana yang dapat menghasilkan jaringan jalan yang paling efektif dan efisien”. Untuk menjawab permasalahan utama tersebut maka diajukan pertanyaan-pertanyaan antara yaitu:

1. Model-model alternatif bagi model tradisional jaringan jalan perdesaan mana yang akan diuji efektifitas dan efisiensinya?

2. Bagaimana efektifitas dan efisiensi jaringan jalan perdesaan diukur?

3. Bagaimana penerapan model-model alternatif tersebut ke dalam studi kasus?

4. Dengan metode apa model-model tersebut dibandingkan?

5. Apakah uji statistik cukup untuk melihat perbedaan di antara model-model tersebut?

1.4 Tujuan dan Sasaran

Tujuan dilakukannya penelitian dalam tesis ini adalah untuk mengidentifikasi model mana di antara dua model jaringan jalan, yaitu model Makarachi dan Tillotson (1991) dan model yang diturunkan dari panduan nasional yang berhubungan dengan perencanaan jaringan jalan, yang lebih efisien sekaligus efektif. Secara akademik hasil penelitian ini dapat mendukung teori kedua peneliti Makarachi dan Tillotson (1991) atau sebaliknya menyajikan suatu negasi terhadap metode yang dikembangkan oleh kedua peneliti. Secara praktis, dengan mengidentifikasi model mana yang lebih menyajikan jaringan jalan yang efisien sekaligus efektif, maka model tersebut dapat dijadikan dasar bagi perencanaan jalan perdesaan.

Untuk mencapai tujuan di atas, maka ditentukan sasaran-sasaran yang berguna untuk membantu menjawab permasalahan utama tersebut di atas. Sasaran-sasaran tersebut adalah:

1. Mengidentifikasi model-model alternatif bagi model tradisional jaringan jalan perdesaan;

2. Menentukan batasan bagi pengukuran efektifitas dan efisiensi jaringan jalan perdesaan;

3. Mengaplikasikan model-model alternatif tersebut ke dalam studi kasus sehingga dapat dibandingkan;

4. Melakukan uji statistik terhadap model-model tersebut untuk melihat signifikansi perbedaannya;

5. Melakukan uji lanjutan jika uji statistik tidak cukup menunjukkan perbedaan di antara model-model tersebut;

6. Menarik kesimpulan dari temuan-temuan terhadap sasaran-sasaran di atas untuk menjawab tujuan utama.

1.5 Lingkup Permasalahan

Lingkup permasalahan dalam tesis ini adalah pengujian secara statistik serta pengujian lanjutan menggunakan metode analisa multi-kriteria dan analisa perbandingan karakteristik untuk mengamati sejauh mana perbedaan yang terjadi dalam jaringan-jaringan jalan yang terbentuk berdasarkan kedua model yang telah disebutkan sebelumnya. Pengujian statistik dilakukan untuk mengamati signifikansi perbedaan yang ada sedangkan analisa perbandingan karakteristik jaringan dilakukan untuk mengamati mengapa terjadi perbedaan dengan tingkat signifikansi yang dihasilkan oleh uji statistik. Pengujian lanjutan menggunakan analisa multi-kriteria dilakukan untuk mengamati secara lebih detail perbedaan- perbadaan yang ada pada jaringan-jaringan yang terbentuk. Analisa multi-kriteria dilakukan karena uji statistik hanya mampu menyajikan sejauh mana signifikansi perbedaan yang ada tanpa dapat melihat lebih detail di mana saja perbedaan tersebut terjadi.

1.6 Pendekatan dan Metode Yang Digunakan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian di tesis ini adalah pertama mengidentifikasi model-model alternatif bagi model tradisional pengembangan jaringan jalan perdesaan. Didapati dua model yaitu model yang dikembangkan oleh Makarachi dan Tillotson (1991) dan model yang diturunkan dari panduan- panduan nasional yang berhubungan dengan perencanaan jaringan jalan di Indonesia. Model pertama berorientasikan hubungan dengan pasar sedangkan model kedua berorientasi pada keterhubungan dalam klaster. Kedua model tersebut kemudian diaplikasikan ke dalam pembentukan jaringan-jaringan jalan yang melayani sebelas klaster-klaster pertumbuhan di tiga kabupaten di Indonesia. Pengaplikasian kedua model dilakukan dengan memperhatikan empat buah aspek yaitu keterhubungan jaringan dengan pasar yang diambil dari penelitian Makarachi dan Tillotson (1991), keterhubungan dalam klaster yang diambil dari panduan-panduan nasional, minimalisasi biaya konstruksi (construction cost) dan minimalisasi biaya perjalanan (travel cost) yang diambil dari penelitian Makarachi dan Tillotson (1991). Tujuan pengaplikasian aspek-aspek tersebut adalah untuk mengamati jaringan jalan terpendek berdasarkan kombinasi berbagai aspek Pendekatan yang digunakan dalam penelitian di tesis ini adalah pertama mengidentifikasi model-model alternatif bagi model tradisional pengembangan jaringan jalan perdesaan. Didapati dua model yaitu model yang dikembangkan oleh Makarachi dan Tillotson (1991) dan model yang diturunkan dari panduan- panduan nasional yang berhubungan dengan perencanaan jaringan jalan di Indonesia. Model pertama berorientasikan hubungan dengan pasar sedangkan model kedua berorientasi pada keterhubungan dalam klaster. Kedua model tersebut kemudian diaplikasikan ke dalam pembentukan jaringan-jaringan jalan yang melayani sebelas klaster-klaster pertumbuhan di tiga kabupaten di Indonesia. Pengaplikasian kedua model dilakukan dengan memperhatikan empat buah aspek yaitu keterhubungan jaringan dengan pasar yang diambil dari penelitian Makarachi dan Tillotson (1991), keterhubungan dalam klaster yang diambil dari panduan-panduan nasional, minimalisasi biaya konstruksi (construction cost) dan minimalisasi biaya perjalanan (travel cost) yang diambil dari penelitian Makarachi dan Tillotson (1991). Tujuan pengaplikasian aspek-aspek tersebut adalah untuk mengamati jaringan jalan terpendek berdasarkan kombinasi berbagai aspek

Setelah jaringan-jaringan terpendek berdasar kedua model dengan memperhatikan empat aspek tersebut terbentuk, maka dilakukan uji statistik untuk mengidentifikasi apakah terdapat perbedaan yang signifikan di antara jaringan- jaringan jalan yang terbentuk. Pengujian dilakukan menggunakan uji Kruskal- Wallis untuk menguji perbedaan di antara banyak grup serta ditindaklanjuti dengan pengujian post-hoc menggunakan uji Mann-Whitney yang berguna untuk menguji satu grup jaringan dengan satu grup jaringan lainnya sehingga mendukung hasil yang didapatkan dari uji Kruskal-Wallis yang membandingkan sekaligus banyak grup.

Karena uji statitstik hanya mampu mengidentifikasi secara umum apakah terdapat perbedaan yang signifikan di antara grup-grup tersebut tanpa memberikan penjelasan yang mendetail tentang perbedaan-perbedaan yang terjadi, maka dilakukan uji lanjutan menggunakan metode analisa multi-kriteria. Tujuan analisa ini adalah untuk melakukan pemeringkatan terhadap jaringan-jaringan yang terbentuk berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditentukan yaitu terbentuknya jaringan dengan jalur terpendek, pengaruh jaringan terhadap pertumbuhan wilayah, keterhubungan dalam klaster serta keterhubungan dengan pasar. Pemeringkatan melalui analisa multi-kriteria dilakukan menggunakan software Definite 3.1 yang dikembangkan oleh Universitas Amsterdam, Belanda.

Analisa lanjutan lainnya adalah melalui perbandingan karakteristik untuk mengetahui mengapa didapati nilai signifikansi tertentu pada hasil uji statistik. Perbandingan kriteria ini mengamati apakah memang terdapat banyak perbedaan atau persamaan di antara model-model yang membentuk jaringan-jaringan tersebut.

Secara skematis pendekatan serta metode yang digunakan dalam tesis ini ditampilkan dalam gambar 1.1, sedangkan uraian yang lebih lengkap tentang metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini disajikan pada Bab III.

1.7 Sistematika Thesis

Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, maka tesis ini disusun dengan pertama memberikan pada Bab I latar belakang permasalahan yang disorot dalam tesis ini. Kedua, tinjauan terhadap teori-teori yang digunakan untuk menganalisa permasalahan diberikan pada Bab II. Pada bab ini diberikan pula gambaran tentang perkembangan keilmuan mengenai perencanaan jaringan jalan perdesaan. Selanjutnya pada Bab III diberikan uraian tentang metode yang digunakan untuk melakukan penelitian dalam tesis ini. Dalam Bab IV, studi-studi kasus tentang penerapan model-model jaringan jalan tersebut ke dalam wilayah studi yaitu beberapa kabupaten di Indonesia disajikan. Analisa terhadap hasil dari studi-studi kasus diberikan di Bab V. Dan akhirnya, beberapa kesimpulan disampaikan di Bab VI berserta kemungkinan penelitian lanjutan yang berkenaan dengan perencanaan jaringan perdesaan.

Secara skematik, gambar 1.1 memberikan gambaran tentang langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan penelitian dalam tesis ini, sedangkan susunan bab-bab dalam tesis ini adalah sebagai berikut:

: Tinjauan Pustaka

BAB III

: Metode Penelitian

BAB IV

: Studi Kasus

BAB V

: Analisa

BAB VI

: Kesimpulan

Model-model Jaringan Jalan Perdesaan

Model Awal (Tradisional)

• Makarachi dan Tillotson, 1991; • Shrestha et al., 2014

Model Alternatif 1 Model Alternatif 2 (Orientasi Pasar)

(Orientasi Klaster)

• Makarachi

• Undang-undang 38 tahun 2004 Tillotson, 1991

dan

tentang Jalan; • Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 03/PRT/M/2012; • Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan

Aspek Penentu - Orientasi terhadap

pasar; - Orientasi terhadap

Setiap desa klaster;

Efektifitas:

terhubung secara baik dengan - Biaya Konstruksi

pasar

(construction cost); Efisiensi: Jalur terpendek - Biaya Perjalanan (travel

dari tiap desa menuju pasar cost ).

St udi Kasus

Kabupaten Blora

Kabupaten Temanggung - Klaster BL1

Kabupaten Kotabaru

- Klaster TM1 - Klaster BL2

- Klaster KB1

- Klaster TM2 - Klaster BL3

- Klaster KB2

- Klaster TM3 - Klaster BL4

- Klaster KB3

- Klaster TM4

Aspek Keluaran:

Jaringan-jaringan dengan jalur terpendek berdasar

aspek-aspek penentu

Uji Statistik terhadap Signifikansi Perbedaan antar Model: Uji Kruskal-Wallis dengan post-hoc Uji Mann-Whitney

Analisa lanjutan terhadap Uji Statistik: -

Perbandingan Prioritas (Menggunakan Analisa Multi Kriteria); -

Perbandingan Karakteristik Model Jaringan Jalan.

Gambar 1.1: Skema Thesis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Efek Ekonomi dan Spasial dari Infrastruktur Jalan

Identifikasi efek dari infrastruktur jalan masih menjadi masalah utama bagi penelitian-penelitian terkini (Oosterhaven dan Knaap, 2003). Yang menjadi permasalahan utama adalah bagaimana menentukan bahwa suatu pertumbuhan ekonomi dapat tetap terjadi tanpa bantuan penyediaan infrastruktur baru. Namun, pengembangan infrastruktur tetap diidentifikasi memiliki hubungan yang positif dengan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah (Linneker dan Spence, 1996; Calderon dan Serven, 2004) maupun pertumbuhan spasialnya (Holtz-Eakin dan Schwartz, 1995; Holl, 2004). Tinjauan literatur berikut ini mengamati bagaimana infrastruktur jalan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan spasial suatu wilayah.

2.1.1 Efek Ekonomi dari Infrastruktur Jalan

Oosterhaven dan Knaap (2003) berpendapat bahwa sementara pengembangan infrastruktur jalan menyediakan dampak positif bagi pengembangan ekonomi dan spasial dalam suatu area, adalah sulit untuk mengidentifikasi apa saja efek-efek tersebut. Kesulitan ini karena pertumbuhan tersebut mungkin terjadi karena aspek lain dan bukan karena pengembangan infrastruktur tersebut.

Maka, untuk mengamati apakah infrastruktur baru memberikan efek positif terhadap suatu area, Oosterhaven dan Knaap (2003) menyusun suatu kerangka kerja untuk mengamati dampak ekonomi dari suatu infrastruktur baru dalam suatu wilayah. Kedua peneliti menetapkan enam parameter yaitu efek langsung dan tak langsung, permanen dan temporer serta pasar dan non pasar. Parameter ini digunakan sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 2.1.

Efek temporer adalah efek yang muncul selama proses konstruksi. Efek ini mengandung efek langsung dan tak langsung. Efek temporer langsung dapat berupa suara gaduh, pencemaran udara sementara, kemacetan sementara, dan Efek temporer adalah efek yang muncul selama proses konstruksi. Efek ini mengandung efek langsung dan tak langsung. Efek temporer langsung dapat berupa suara gaduh, pencemaran udara sementara, kemacetan sementara, dan

Efek langsung permanen dapat diamati dari perubahan biaya yang dikeluarkan oleh komunitas akibat pembangunan infrastruktur. Efek tak langsung permanen diamati melalui efek pendapatan pada lingkungan sekitar proyek dan juga melalui berubahnya pola transportasi akibat proyek tersebut.

Jenis Efek Penyebaran Efek

Temporer

Permanen

Langsung - Melalui pasar

- Efek eksploitasi dan - Eksternal efek - Efek lingkungan

- Efek konstruksi

penghematan waktu - Efek

lingkungan, keamanan dsb. Tak

- Efek pengeluaran Langsung

- Melalui

- Efek

tambahan - Melalui supply

demand

pengeluaran

- Efek produktivitas - Eksternal efek - Efek kepadatan

tambahan

dan lokasi - Efek emisi tidak - Efek emisi tidak

langsung

langsung dsb

Tabel 2.1: Jenis-jenis Efek Ekonomi dari Suatu Penyediaan Infrastruktur Jalan Sumber: Oosterhaven dan Knaap, 2003

Rodrigue et al., (2013) mengamati bahwa pertumbuhan ekonomi suatu wilayah berkaitan dengan berkembangnya modal transportasi dari yang tidak menggunakan motor menjadi penggunaan kendaraan bermotor. Lebih lanjut, para peneliti tersebut berpendapat bahwa pengembangan infrastruktur transportasi akan berpengaruh terhadap kondisi makroekonomi suatu wilayah, antara lain melalui peningkatan arus supply komoditi, dan juga kondisi mikroekonomi wilayah tersebut, antara lain berupa peningkatan nilai kompetisi suatu wilayah serta tumbuhnya akumulasi kegiatan ekonomi. Dalam tabel 2.2 ditampilkan efek Rodrigue et al., (2013) mengamati bahwa pertumbuhan ekonomi suatu wilayah berkaitan dengan berkembangnya modal transportasi dari yang tidak menggunakan motor menjadi penggunaan kendaraan bermotor. Lebih lanjut, para peneliti tersebut berpendapat bahwa pengembangan infrastruktur transportasi akan berpengaruh terhadap kondisi makroekonomi suatu wilayah, antara lain melalui peningkatan arus supply komoditi, dan juga kondisi mikroekonomi wilayah tersebut, antara lain berupa peningkatan nilai kompetisi suatu wilayah serta tumbuhnya akumulasi kegiatan ekonomi. Dalam tabel 2.2 ditampilkan efek

Efek Langsung Efek Tak Langsung Supply Transport Demand Transport

Mikroekonomi - Pendapatan

Makroekonomi

- Terbentuknya operasional

- Peningkatan

- Rent income

- Harga komoditi jaringan (tiket, gaji);

aksesibilitas;

distribusi; - Akses menuju

- Penghematan

yang murah;

biaya dan waktu; - Supply komoditi - Rangsangan distribusi pasar - Peningkatan

terbentuknya yang lebih luas.

yang tinggi.

akumulasi - Penyebaran

produktivitas;

kegiatan

ekonomi; - Akses menuju

tenaga kerja;

daya saing;

konsumen yang

- Peningkatan

konsumsi; - Aspek economy

lebih luas;

- Terpenuhinya

of scale .

kebutuhan mobilitas.

Tabel 2.2: Efek Ekonomi dari Infrasturktur Transport Sumber: Rodrigue et al., 2013

2.1.2 Efek Spasial dari Infrastruktur Jalan

Oosterhaven dan Knaap (2003) menyediakan beberapa pola efek spasial dari pengembangan infastruktur transportasi. Para peneliti tersebut mengamati perbedaan dari pengembangan spasial antara area isomorfis dan non-isomorfis serta antara infrastruktur yang berpola linear seperti jalan dengan yang bersifat titik seperti terminal. Gambar 2.1 mengilustrasikan pola-pola yang dibentuk oleh tipe-tipe koneksi yang berbeda antar area. Area yang digambarkan dalam gambar

2.1 adalah area ekonomis yang dikembangkan melalui pembangunan ataupun peningkatan infrastruktur tansportasi. Dalam gambar 2.1 (a), area A memiliki karakteristik yang sama dengan area B. Pola yang timbul dari pengembangan konstruksi infrastruktur transoportasi baru yang menghubungkan kedua area serupa dengan pola kupu-kupu di mana area A menerima efek yang sama dengan area B atau dengan kata lain kedua area adalah isomorfik.

Pola yang berbeda muncul jika kedua area bersifat isomorfis atau memiliki karakteristik yang berbeda. Gambar 2.1 (b) menunjukkan perbedaan di mana area

A berlokasi dekat pusat aglomerasi ekonomi sedangkan area B berada pada area yang relatif kurang memiliki daya tarik. Pola spasial yang muncul berbeda dengan pola pada gambar (a) karena pada gambar (b) area B menerima keuntungan yang lebih besar dibanding area A karena area B memiliki akses baru ke pusat pertumbuhan. Dengan demikian efek spasial area B akan lebih luas dibanding area

A sebagaimana ditunjukkan pada gambar 2.1 (b).

Dalam infrastruktur berpola titik sebagaimana diilustrasikan pada gambar 2.1 (c) dan (d), pola serupa dengan gambar (a) dan (b) juga muncul sesuai dengan karakteristik daerah yang saling terhubung. Jika infrastruktur titik dilokasikan di area yang relatif merata daya tariknya maka efek spasialnya akan berbentuk melingkar di mana area terluar dari lingkaran memiliki efek yang paling kecil. Seperti dalam infrastruktur linear, pola pertumbuhan juga mengalami perubahan jika infrastruktur titik diletakkan dekat dengan pusat kegiatan ekonomi area aglomerasi ekonomi.

Gambar 2.1: Efek Spasial dari Pengadaan Infrasturktur Jalan Sumber: Oosterhaven dan Knaap, 2003

2.2 Penyediaan Jaringan Jalan Desa

2.2.1 Jaringan Jalan Desa yang Efisien dan Efektif

Secara tradisional, jaringan jalan desa yang berupa jalan tanah bertujuan menghubungkan satu desa dengan desa lainnya (Van de Walle dan Cratty, 2002; Shrestha et al., 2014). Tujuan penghubungan antar desa ini ada berbagai macam antara lain untuk perdagangan (Linneker dan Spence, 1996), untuk upacara adat (Wickramasinghe dan Hopper, 2005) dan untuk mencapai pusat-pusat kegiatan baik ekonomi ataupun sosial (Makarachi dan Tillotson, 1991; Meng dan Yang, 2002; Shresta et al., 2014). O’Sullivan (2003) menyatakan bahwa suatu wilayah akan membuat sarana transportasi menuju wilayah lain jika dapat terjadi perdagangan yang menguntungkan baginya. Dengan demikian, semakin suatu wilayah dipandang menguntungkan untuk dilakukan perdagangan maka semakin banyak daerah lain yang membangun akses menuju daerah tersebut.

Lebih lanjut, Shresta (2013) dan Shrestha et al., (2014) berpendapat bahwa agar keterhubungan antar desa tersebut dapat terus terjadi sepanjang tahun, maka jalan dengan perkerasan yang dapat dilalui di segala cuaca adalah satu aspek penting dalam pengadaan jaringan jalan desa. Jaringan jalan desa tradisional yang berupa jalan tanah akan sulit dilalui jika turun hujan sehingga jaringan jalan tersebut tidak optimal dalam memberikan layanan aksesibilitas. Untuk menjaga keberlanjutan aksesibilitas antar desa maka jalan dengan perkerasan yang dapat dilalui di segala cuaca perlu diadakan.

Sepemikiran dengan Shresta (2013 dan 2014), Makarachi dan Tillotson (1991) berpendapat bahwa suatu jaringan jalan desa akan lebih efisien dan efektif jika tidak hanya bertujuan memberikan akses bagi tiap desa ke desa lainnya melainkan lebih berorientasi pada keterhubungan dengan pasar.

2.2.2 Keterhubungan

2.2.2.1 Keterhubungan dalam Jaringan Jalan

Keterhubungan dalam jaringan transportasi dapat didefinisikan sebagai suatu ukuran tentang seberapa jauh suatu titik dalam jaringan terhubung dengan titik Keterhubungan dalam jaringan transportasi dapat didefinisikan sebagai suatu ukuran tentang seberapa jauh suatu titik dalam jaringan terhubung dengan titik

Lebih lanjut, keterhubungan diidentifikasi sebagai suatu karakteristik penting tentang aktifitas fisik dari suatu lingkungan terbangun (Chin et al., 2008). Panduan perencanaan ruang di Indonesia tahun 2004 serta Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011) juga mengenali bahwa keterhubungan antar wilayah adalah penting bagi pertumbuhan wilayah tersebut. Rodrigue et al. (2013) berpendapat bahwa karena terdapat faktor jarak dalam hubungan antar wilayah dan adanya kebutuhan untuk mengatasi faktor tersebut, maka jaringan transportasi diperlukan untuk memindahkan manusia dan barang dari wilayah satu ke wilayah lainnya. Gambar 2.2 mengilustrasilan aspek-aspek dari sistem transportasi.

Gambar 2.2: Aspek-aspek Sistem Transportasi Sumber: Rodrigue et al., 2013

Lebih lanjut, pola keterhubungan antar titik dalam jaringan jalan dapat memengaruhi arus lalu lintas dalam wilayah tersebut. Gambar 2.3 menunjukkan ukuran arus lalu lintas dalam suatu wilayah dengan dua pola keterhubungan. Pada gambar 2.3 (a) jaringan jalan terdiri dari dua wilayah jaringan di mana akses dari satu area ke area lainnya dibatasi sedangkan dalam gambar 2.3 (b) ditunjukkan

pola di mana tidak terdapat pemisahan wilayah dalam jaringan jalan. Sebagaimana ditunjukkan dalam gambar-gambar tersebut, volume arus dalam gambar 2.3 (a) di mana terdapat pembagian area dengan batasan tertentu lebih besar daripada arus di area di mana tidak terdapat batasan tertentu sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 2.3 (b). Dalam hubungannya dengan kasus yang diamati di tesis ini, keadaan tersebut serupa dengan keberadaan klaster-klaster pertumbuhan serta penekanan pola jaringan transportasinya. Sesuai dengan panduan nasional tentang perencanaan tata ruang dan jalan, penekanan pola jaringan transportasi adalah pada keterhubungan antar titik dalam klaster pertumbuhan lalu keterhubungan antar klaster. Dengan pola demikian, maka terjadi semacam pola pembagian wilayah sebagaimana diilustrasikan pada gambar 2.3 (a) di mana terjadi arus lalu lintas yang relatif besar dalam klaster. Dengan demikian maka jaringan transportasi terutama jaringan jalan dalam klaster harus ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitasnya untuk mewadahi arus yang terjadi. Pola yang sesuai dengan gambar 2.3 (b) terjadi pula dalam model yang diamati dalam studi kasus di mana pola jaringan jalan desa tipikal dimodifikasi dengan penekanan pada keterhubungan ke akses utama ke pasar. Dengan penekanan tersebut maka batasan arus sebagaimana yang terdapat pada pola dengan penekanan keterhubungan dalam klaster sebagaimana pada gambar 2.3 (a) tidak terjadi yang berakibat pada membesarnya arus lalu lintas pada jalur-jalur tertentu dengan tidak memperhatikan batasan wilayah klaster.

Untuk mengidentifikasi jalur dalam suatu jaringan, suatu matriks keterhubungan dapat digunakan (Rodrigue et al., 2013). Dengan menggunakan matriks ini, titik- titik serta jalur dan panjang jalur dapat diidentifikasi. Identifikasi ini berguna untuk membandingkan panjang jalur-jalur sehingga jalur terpendek dapat diidentifikasi. Pengamatan terhadap jalur terpendek dapat digunakan untuk menentukan jalur efektif dalam jaringan. Gambar 2.4 menunjukkan hubungan antara grafik suatu jaringan dengan matriks keterhubungan. Matriks tersebut terdiri dari baris dan kolom yang berisi titik-titik dalam jaringan. Sel-sel tersebut bernilai 1 jika antar dua titik saling terhubung dan 0 jika kedua titik tidak saling terhubung.

Gambar 2.3: Hubungan antara Jenis Jaringan dan Volume Arus Sumber: Rodrigue et al., 2013

Gambar 2.4: Matriks Keterhubungan Sumber: Rodrigue et al., 2013

2.2.2.2 Model Keterhubungan Jaringan Jalan

Untuk meninjau model keterhubungan jaringan jalan, penggunaan teori grafis sangat bermanfaat. Suatu grafik adalah suatu obyek yang terdiri dari titik-titik yang disebut vertex yang saling dihubungkan oleh garis-garis yang disebut jalur (Caldwell, 1995; West, 2001; Ruohonen, 2013). West (2001) menambahkan faktor ketiga yaitu hubungan di mana satu titik berfungsi sebagai titik awal dan titik lainnya berfungsi sebagai akhir.

Teori grafis sering digunakan untuk menyusun model dan solusi bagi masalah keterhubungan dalam suatu jaringan jalan (Rodrigue et al., 2013). Contoh yang paling umum tentang penggunaan teori grafis adalah apa yang sering disebut sebagai Masalah Jembatan Konigsberg. Konigsberg adalah suatu kota yang Teori grafis sering digunakan untuk menyusun model dan solusi bagi masalah keterhubungan dalam suatu jaringan jalan (Rodrigue et al., 2013). Contoh yang paling umum tentang penggunaan teori grafis adalah apa yang sering disebut sebagai Masalah Jembatan Konigsberg. Konigsberg adalah suatu kota yang

West (2001) mengamati bahwa untuk masuk dan meninggalkan suatu pulau, sepasang jembatan diperlukan jika seseorang ingin melintasi jembatan yang sama hanya sekali. Dengan demikian kondisi kota Konigsberg dengan tujuh jembatannya tidak memenuhi persyaratan tersebut sehingga tidak mungkin bagi seseorang untuk berangkat dari satu titik lalu pergi melintasi setiap jembatan hanya sekali sebelum kembali lagi ke titik awal tersebut.

Pengamatan oleh West (2001) didasarkan pada metode yang dikembangkan oleh Euler (1763). Pada tahun 1763 Euler menjawab permasalahan Konigsberg dengan menyusun suatu metode yang dikenal sebagai jalur Euler (Caldwell, 1995). Euler menggunakan geometri untuk memberikan solusi bagi permasalahan tersebut. Dengan menggunakan titik dan garis, Euler membentuk model dari dua pulau di Konigsberg dengan tujuh jembatannya. Model tersebut ditunjukkan pada gambar

Dengan menggunakan model grafis, Euler (1763) dalam Caldwell (1995) menyodorkan apa yang dikenal dengan teorema sirkuit Euler bahwa setiap jalur dalam satu sirkuit dapat dilintasi sekali jika dan hanya jika setiap titik yang terhubung pada sirkuit tersebut memiliki derajad yang genap (Caldwell, 1995). Teorema ini merupakan dasar bagi penerapan teori grafis untuk mengamati Dengan menggunakan model grafis, Euler (1763) dalam Caldwell (1995) menyodorkan apa yang dikenal dengan teorema sirkuit Euler bahwa setiap jalur dalam satu sirkuit dapat dilintasi sekali jika dan hanya jika setiap titik yang terhubung pada sirkuit tersebut memiliki derajad yang genap (Caldwell, 1995). Teorema ini merupakan dasar bagi penerapan teori grafis untuk mengamati

Penggunaan teori grafik dalam keterhubungan jaringan sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 2.6 (b) terdiri dari beberapa bagian yang dikenal sebagai titik, jalur dan sirkuit (Caldwell, 1995). Titik adalah tempat di mana suatu jalur mulai atau berakhir. Derajad dari suatu titik adalah jumlah jalur yang terhubung dengan titik tersebut. Jalur adalah suatu sekuens dari ruas-ruas jalur atau garis dalam suatu grafis sedangkan suatu sirkuit adalah suatu jalur yang memiliki awal dan akhir pada titik yang sama. Dalam gambar 2.6 (b), A, B, C dan D adalah titik sedangkan derajad B, C dan D adalah 3 sementara A memiliki derajad 5. AB, BA, AC, CA, CD, BD dan AD adalah ruas-ruas jalur sedangkan ABACD adalah suatu contoh dari sebuah jalur sedangkan ABDCA adalah contoh dari suatu sirkuit.

Gambar 2.5: Jembatan Kota Konigsberg Sumber: Google Maps dengan Pengolahan

(a) Peta yang Disederhanakan (b) Model Grafis

Gambar 2.6: Model dari Tujuh Jembatan di Kota Konigsberg Sumber: Caldwell, 1995

2.3 Orientasi dalam Jaringan Jalan Perdesaan

Tujuan utama dari pengadaan jaringan jalan perdesaan adalah untuk menghubungkan setiap desa (Makarachi dan Tillotson, 1991; Olsson, 2007; Shrestha, 2013; Shrestha et al., 2014). Lebih lanjut, Shrestha et al. (2014) mengamati bahwa pengadaan jalan-segala-cuaca di perdesaan juga penting karena jaringan jalan perdesaan sebagian besar didominasi oleh jalan tanah yang sulit dilalui jika hujan turun.

Namun, Makarachi dan Tillotson (1991) berpendapat bahwa tujuan dari pengadaan jaringan jalan seharusnya tidak hanya menyediakan akses bagi setiap desa. Kedua peneliti tersebut mengajukan pertimbangan baru bagi perencanaan jaringan desa yaitu orientasi jaringan. Makarachi dan Tillotson (1991) berpendapat bahwa jaringan jalan desa seharusnya diorientasikan pada wilayah pasar terdekat. Lebih lanjut, dalam memberi orientasi tersebut bagi jaringan jalan, jalur utama menuju pasar harus lebih dulu diidentifikasi. Pertimbangan selanjutnya dalam mengarahkan jaringan menuju area pasar adalah jalur mana yang harus diambil untuk mencapai akses utama menuju pasar.