Teknologi Informasi Sebagai Sasaran dan Sarana Kejahatan

B. Teknologi Informasi Sebagai Sasaran dan Sarana Kejahatan

  Dalam “Black Law Dictionary” (2001), dimasukkan pengertian istilah cybersquatting, the act of reserving a domain name on the internet, esp. a name that would be associated with a company's trademark and than seeking to profit by selling or licensing the name to the company that has an interest in being identified with it. Cybertalking, the act of the threatening, harassing or annoying someone through multiple e-mail messages, as trough the internet, esp. with the intent of placing the recipient in fear that an illegal act or an injury will be inflicted on the recipient or member of the recipient's family or household.

  Di Indonesia sampai saat ini belum ada Undang-undang khusus yang mengkriminalisasikan tipe kejahatan dengan menggunakan teknologi komputer. Jika dalam beberapa kasus penggunaan komputer untuk melakukan kejahatan tertentu telah dijatuhi pidana Pengadilan di Indonesia, fakta tersebut bukan merupakan penerapan dari hukum pidana, melainkan suatu analisis hukum yang “mempersamakan” kejahatan dimaksud dengan kejahatan biasa yang telah diatur dalam KUHP. Sedangkan yang dimaksud dengan kejahatan siber dapat meliputi pertama, teknologi informasi sebagai sasaran kejahatan dan kedua,

  teknologi informasi sebagai sarana untuk melakukan kejahatan. 26

  Sebagaimana disebutkan dalam “Convention on Cybercrime” (2001), teknologi informasi sebagai sasaran kejahatan terbagi atas tiga jenis kejahatn siber yaitu :

  1. Offences against the confidentiality, integrity and avaibility of computer data, meliputi : illegal access, illegal interception; data interference; sistem interference; misuse devices.

  2. Computer related offences, meliputi computer related forgery; computer related fraud; offences related forgery; computer related fraud; offences related to childpornography.

  3. Offences related to infringement of copy right and related rights, meliputi kejahatan terhadap hak kekayaan intelektual.

  26 Romli Atmasasmita, disampaikan dalam “Seminar Teknologi Informasi “, kerjasama BPHN dan Program Pasca Sarjana UNPAD, 20-21 Oktober 2003.

  Sedangkan sasaran teknologi informasi sebagai sarana kejahatan, khususnya dalam transaksi bisnis internasional telah menimbulkan akibat hukum yang sangat merugikan, dan bahkan telah menimbulkan masalah yurisdiksi hukum. Khusus mengenai prinsip yurisdiksi hukum pidana telah diakui beberapa prinsip yurisdiksi, antara lain prinsip teritorialitas, prinsip nasionalitas, baik nasionalitas pelaku maupun korban dan prinsip universalitas.

  Mengingat semakin kompleksnya permasalahan terhadap perlunya penerapan hukum untuk menghadapi kejahatan siber, maka diperlukan

  hukum pidana khusus siber atau cybercrime law 27 yang dirasakan sangat mendesak kehadirannya di negara kita. Di dalam Konvensi Cybercrime

  (2001) yang diadopsi oleh Council of Europe telah ada ketentuan mengenai yurisdiksi hukum pidana yang selama ini telah diakui dalam hukum pidana yang berlaku di seluruh negara.

  Sampai saat ini belum ada satu lembaga internasional yang memiliki wewenang untuk memutuskan yurisdiksi negara yang berwenang menuntut dan mengadili kasus dimaksud. Namun demikian prinsip umum hukum internasional sudah mengakui bahwa pilihan yurisdiksi hukum pidana terhadap kejahatan siber yang bersifat transnasional merupakan wewenang negara locus delicti, dilihat dari sisi nasionalitas pelaku atau korban atau tempat dimana sarana teknologi komputer digunakan. Demikian juga telah diterima prinsip yurisdiksi yang bersifat opsional

  Dalam “Black Law Dictionary”. (2001), hlm. 392 disebutkan : Cyberlaw, the field of law dealing with computers and the internet, including such issuess as intellectual – property right s, freedom of expression and free access to information.

  bahwa negara lain yang telah dirugikan karena kejahatan transnasional tersebut dapat mengajukan klaim yurisdiksi yang sama.

  Teknologi komputer telah mengubah budaya manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Bainbridge mengatakan bahwa : Computer Technology is having an ever-growing impact upon society and the way that society conducts its affairs. Computer have permeated almost every profesional, commercial and industrial activity and many organizations would find it difficult, if not impossible, to function without

  relying heavily on computer. 28

  Teknologi berkembang seiring dengan kebutuhan manusia untuk memudahkan hidup manusia dari waktu sebelumnya. Pemanfaatan telematika dalam berbagai bidang kehidupan manusia, seperti pendidikan, pertukaran informasi, hiburan, perdagangan dan sebagainya bukan saja telah mengakibatkan segala urusan menjadi mudah, tetapi juga melahirkan sejumlah permasalahan termasuk masalah hukum. Dalam perdagangan secara elektronik (e-commerce) misalnya, muncul persoalan hukum berkaitan dengan perlindungan data pribadi para konsumen (the protection of privacy right of consumen).

  Informasi mengenai transaksi secara elektronik (on-line system) atau e- commerce membutuhkan adanya perlindungan hukum yang memadai terhadap upaya orang atau pihak-pihak yang berusaha mengakses secara ilegal. Jenis perlindungan ini meliputi beberapa aspek

  Bainbridge, David, “Introduction to Computer Law”, Pearson Education Limited, Great Britain, 2000, hlm.1.

  yang disebut CIANA 3, yaitu : Confidentiality, Integrity, Authorization, Non- repudiation, Availibility, Authenticity dan Auditability. Seluruh aspek tersebut dirangkum dalam sebuah sistem yang dinamakan Cryptosystem yang terdiri atas dua sistem yakni, symetric cryptosystem atau secret key

  cryptosystem dan asymetric cryptosystem atau public key cryptosystem 29 .

  Teknologi informasi atau information technology (IT) telah menghasilkan berbagai jenis dan peluang baru dan telah menciptakan karir baru dalam pekerjaan manusia. Transaksi-transaksi bisnis makin banyak dilangsungkan secara elektronik, suatu perubahan dari “paper transaction”, menjadi “electronic transaction”. E-commerce memerlukan sistem pengamanan yang dapat melindungi pihak-pihak yang bertransaksi.

  Amerika Serikat memainkan peran utama dalam revolusi informasi, menyadari ketergantungan mereka pada IT yang telah membuka ancaman baru terhadap ekonomi, keamanan masyarakat (public safety) dan pengamanan nasional (national security). Sehubungan dengan itu pada tanggal 22 Mei 1999, Presiden Amerika Serikat telah menandatangani Presidential Decision Directive 63 (PDD 63) on Critical Infrastructure Protection. Di dalam Keputusan Presiden Amerika Serikat tersebut ditegaskan sistem pengamanan terhadap komunikasi elektronik memberikan perlindungan perbuatan-perbuatan yang dapat berupa :

  Makalah “Cyber Law : Antisipasi Hukum Terhadap Transaksi Bisnis Melalui Cyber Network”, Seminar Pusat Studi Hukum dan Kemasyarakatan (PSHK) Medan, 30 Januari 2001.

  1. Pengubahan, penambahan atau perusakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab terhadap data dan informasi, baik selama proses transmisi oleh pengirim kepada penerima maupun selama dalam penyimpanan.

  2. Perbuatan pihak yang tidak bertanggung jawab dalam usaha memperoleh informasi yang dirahasiakan , baik secara langsung dari penyimpanan, maupun ketika ditransmisikan oleh pengirim kepada penerima (upaya penyadapan).

  Sehubungan dengan itu, sistem pengamanan komunikasi elektronik harus mengakomodasikan kebutuhan pengamanan CIANA 3. Indonesia mempersiapkan RUU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,

  karena menyadari

  perkembangan teknologi

  telah

  mempengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru.

  Didalam RUU tersebut, antara lain memuat substansi tentang tanda tangan elektronik (electronic signature) atau digital signature. Signature yang dimaksudkan disini bukan merupakan digitalizes image of handwritten signature”, bukan tanda tangan yang dibutuhkan oleh seseorang dengan tangannya di atas dokumen-dokumen, antara lain dokumen-dokumen kertas seperti yang lazim dilakukan. Digital signature diperoleh dengan terlebih dahulu menciptakan suatu message digest atau hash, yaitu mathematical summary dokumen yang akan dikirimkan melalui dunia siber (cyberspace). Fungsi suatu digital signature sama dengan Didalam RUU tersebut, antara lain memuat substansi tentang tanda tangan elektronik (electronic signature) atau digital signature. Signature yang dimaksudkan disini bukan merupakan digitalizes image of handwritten signature”, bukan tanda tangan yang dibutuhkan oleh seseorang dengan tangannya di atas dokumen-dokumen, antara lain dokumen-dokumen kertas seperti yang lazim dilakukan. Digital signature diperoleh dengan terlebih dahulu menciptakan suatu message digest atau hash, yaitu mathematical summary dokumen yang akan dikirimkan melalui dunia siber (cyberspace). Fungsi suatu digital signature sama dengan

  bertujuan untuk dapat dijadikan alat bukti kuat secara hukum bahwa isi pesan yang telah dikirimkan oleh pengirim itu disetujui oleh pengirimnya dan bukan dikirimkan oleh orang lain.

  Pada tanggal 1 Oktober 2000 Amerika Serikat telah mengeluarkan suatu Undng-undang yang mengatur mengenai digital signature atau electronic signature, disebut sebgai “Electronic Signature in Global and International Commerce Act”, Singapura mengatur digital signature mendahului Amerika Serikat dengan menerbitkan Electronic Transaction Act Number 25 of 1998, tanggal 10 juli 1998, Dalam RUU tentang Informasi dan Transaksi Elekronik di Indonesia disebutkan bahwa tanda tangan elektronik adalah Informasi elektronik yang dilekatkan, memiliki hubungan langsung atau terasosiasi pada suatu informasi elektronik lain yang ditujukan oleh pihak yang bersangkutan untuk menunjukkan identitas dan status subyek hukum. Sedangkan transaksi elektronik adalah hubungan hukum yang dilakukan melalui komputer, jaringan komputer atau media elektronik lainnya 31 . Dari kedua definisi tersebut titik

  berat diletakkan pada pentingnya status subyek hukum dan hubungan hukumnya.

  30 Drew, Grady N. “Using Set For Secure Electronic Commerce”, Prentice Hall PTR, 1999, hlm. 40. 31 Rancangan Undang-undang Republik Indonesia Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.