Space Treaty 1967
A. Space Treaty 1967
I. Prinsip-prinsip Pokok
Sebagai “Magna Charta” Bagi kegiatan keantariksaan. “Space Treaty 1967” memuat prinsip-prinsip pokok bagi kegiatan keantariksaan, yang mencakup :
a. Prinsip kebebasan dalam melakukan kegiatan eksplorasi dan penggunaan antariksa secara non-diskriminatif (“freedom of exploration and use on a non-discriminators basis”) untuk
kepentingan dan manfaat semua bangsa 34 .
b. Prinsip larangan penundukan nasional (“not subject national appropriation”) atas antariksa, termasuk bulan dan benda-
benda langit lainnya 35 .
c. Prinsip
Internasional termasuk Piagam PBB bagi kegiatan keantariksaan 36 .
d. Prinsip Larangan penempatan dan percobaan senjata nuklir dan senjata perusak masal serta perbentengan di antariksa 37
e. Prinsip kewajiban pertolongan terhadap astronaut sebagai duta
kemanusiaan (“envoys
of
mankind”) serta
pengembalian terhadap astronaut dan benda-benda
Lihat Pasal I Space Treaty 1967. 35 Ibid. Pasal II
36 Ibid. Pasal III 37 Ibid. Pasal IV 36 Ibid. Pasal III 37 Ibid. Pasal IV
f. Prinsip tanggung jawab negara (“state responsibility”) bagi “national activities” dengan melaksanakan “authorization and continuing supervision”. serta kewajiban memberikan ganti rugi internasional (“international liability”) atas akibat yang
ditimbulkan oleh kegiatan benda-benda antariksa 39 .
g. Prinsip pelaksanaan yurisdiksi dan pengendalian atas benda antariksa oleh negara pendaftar dari suatu benda
antariksa 40 .
h. Prinsip perlindungan dan pelestarian lingkungan melalui “international consultation” 41 .
i. 42 Prinsip kerjasama internasional .
Mengingat prinsip-prinsip di atas bersifat universal, maka tak heran jika sampai dengan tanggal 1 Januari 2003 jumlah negara yang telah meratifikasi Space Treaty 1967 berjumlah 98 (sembilan puluh delapan) negara. bahkan negara-negara yang belum meratifikasinya dalam prakteknya menghormati dan melaksanakan prinsip-prinsip “Space Treaty 1967”. Dengan demikian dapat
39 Ibid. Pasal V Ibid. Pasal VI dan VII 40 Ibid. Pasal VIII
41 Ibid. Pasal IX 42 Ibid. Pasal XI 41 Ibid. Pasal IX 42 Ibid. Pasal XI
2. Permasalahan Interpretasi dan Implementasi
Meskipun bersifat universal, akan tetapi banyak negara dan para ahli yang menginterpretasikan serta mengimplementasikan secara berbeda prinsip-prinsip di atas. Beberapa contoh mengenai perbedaan interpretasi dan implementasi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
a. Pengertian “province of mankind” apakah sama dengan “common heritage of mankind”, meskipun keduanya merupakan kawasan “beyond national territory”, namun penafsirannya yang berbeda dapat mengakibatkan implementasi yang berbeda pula;
b. Mengenai status antariksa sebagai “province of mankind” dan “common heritage of mankind”. ada yang menafsirkannya sebagai “common interesr”, sementara yang lain memahaminya sebagai “common ownership”;
c. Mengenai konsep “non-appropriation”, AS berpendapat bahwa hanya terbatas pada pengertian tidak tunduk kepada “kedaulatan nasional”, akan tetapi kepemilikan pribadi (“private ownership”) dimungkinkan, di mana hal itu dapat diatur pada hukum nasional masing-masing. Sementara itu c. Mengenai konsep “non-appropriation”, AS berpendapat bahwa hanya terbatas pada pengertian tidak tunduk kepada “kedaulatan nasional”, akan tetapi kepemilikan pribadi (“private ownership”) dimungkinkan, di mana hal itu dapat diatur pada hukum nasional masing-masing. Sementara itu
d. Mengenai pengertian “peaceful” meskipun dari rumusan “Space Treaty 1967” sesuai dengan penafsiran AS yaitu “partial demilitarization” (sepanjang tidak agresif), namun negara lain (mis. Iran) masih mempertanyakan, terutama dikaitkan dengan penafsiran Uni Sovyet (dulu), yang memahami “peaceful” sebagai “non-military”;
e. Masih banyak negara yang belumtidak memahami adanya perbedaan konsepsi antara “state responsibility” dan “international liability” dalam konteks kegiatan keantariksaan, dimana “state responsibility” merupakan bentuk “tanggung jawab umum” sedangkan “international liability” merupakan salah satu bentuk konsekuensinya yaitu berupa kewajiban untuk membayar ganti rugi;
f. Menyangkut kewajiban untuk melakukan “international consultation”, masih terdapat penafsiran yang berbeda, terutama dalam hal permintaan konsultasi dilakukan oleh negara yang secara potensial akan menghadapi dampak dari kegiatan keantariksaan yang dilakukan oleh negara lain. Apabila langkah konsultasi tersebut gagal, tetap tidak ada f. Menyangkut kewajiban untuk melakukan “international consultation”, masih terdapat penafsiran yang berbeda, terutama dalam hal permintaan konsultasi dilakukan oleh negara yang secara potensial akan menghadapi dampak dari kegiatan keantariksaan yang dilakukan oleh negara lain. Apabila langkah konsultasi tersebut gagal, tetap tidak ada
g. Tidak jelasnya kriteria tentang kualifikasi dari “space crew” yang dapat dikategorikan sebagai “astronaut” yang notabene adalah “envoys of mankind”. Hal ini penting mengingat di masa depan akan semakin banyak personil yang dikirim ke antariksa (termasuk sebagai “tourist”), yang tidak semuanya layak diperlakukan sebagai “envoys of mankind”.
h. Tidak adanya kejelasan mengenai negara mana yang dimaksud dengan “appropriate state”, apakah “launching state”, “state of registry” ataukah negara yang memberikan lisensi bagi suatu kegiatan keantariksaan;
i.
Masih perlunya redefinisi terhadap beberapa istilah dan pengertian seperti : “space activities”, “space objects”, “launching State”, “national activities”, dan lain-lain.
3. Implikasi terhadap Perumusan Legislasi Nasional
Perbedaan interpretasi dan implementasi prinsip-prinsip Space Treaty tentu saja membawa implikasi bagi upaya perumusan legislasi nasional, khususnya yang akan dituangkan dalam RUU Keantariksaan. Oleh karena itu maka perkembangan tersebut perlu dicermati dan sekaligus dapat diambil sikap sebelum diinkorporasikan ke dalam RUU Keantariksaan. Untuk itu Perbedaan interpretasi dan implementasi prinsip-prinsip Space Treaty tentu saja membawa implikasi bagi upaya perumusan legislasi nasional, khususnya yang akan dituangkan dalam RUU Keantariksaan. Oleh karena itu maka perkembangan tersebut perlu dicermati dan sekaligus dapat diambil sikap sebelum diinkorporasikan ke dalam RUU Keantariksaan. Untuk itu
a. Perlu penetapan status antariksa sebagai “province of mankind” dan “common heritage of mankind” yang tidak tunduk pada kedaulatan nasional;
b. Mengenai status antariksa sebagai “province of mankind” dan “common heritage of mankind” kiranya secara prinsip terlebih dahulu dipahami sebagai “common ownership” sebelum ada rejim khusus yang menjabarkannya, hal ini diperlukan untuk mencegah pemanfaatan oleh negara-negara maju dengan semata-mata berdasarkan prinsip “first come, first served” dan hanya didasarkan atas kemampuan ilmiah dan teknis;
c. Mengenai penerapan prinsip “non-appropriation” juga harus diartikan bukan hanya tidak tunduk kepada kedaulatan nasional, tetapi juga tidak dapat dimiliki oleh privat sepanjang tidak berdasarkan atas rejim internasional yang berlaku;
d. Mengenai pengertian “peaceful”,perlu ditetapkan beberapa parameter hukum dan teknis serta diterapkannya sistem verifikasi untuk menjamin pemanfaatan antariksa untuk maksud-maksud damai; d. Mengenai pengertian “peaceful”,perlu ditetapkan beberapa parameter hukum dan teknis serta diterapkannya sistem verifikasi untuk menjamin pemanfaatan antariksa untuk maksud-maksud damai;
f. Sebagai suatu negara yang disatu sisi aktif di bidang pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi keantariksaan serta pada sisi lain menjadi “potential victims” bagi kegiatan keantariksaan, maka Indonesia perlu memperhatikan penafsiran tentang “international consultation” dari sudut pandang pengamanan kepentingan nasional.
g. Mengingat eratnya kaitan antara pendaftaran, yurisdiksi dan pengendalian atas benda antariksa dengan masalah “state responsibility” dan “International liability”, maka masalah ini harus terus didalami, termasuk dalam hal kegiatan keantariksaan dilakukan oleh badan hukum bukan negara.
h. Dan lain-lain.