JILBAB DI KALANGAN DOSEN FAKULTAS HUKUM

5.2. JILBAB DI KALANGAN DOSEN FAKULTAS HUKUM

Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa, keberadaan mahasiswi maupun dosen perempuan di fakultas hukum tidak seluruhnya berjilbab. Hal ini kerap dimaknai dengan tidak adanya kewajiban berjilbab di lingkungan kampus fakultas hukum UM Jberdasarkan aturan yang ada. Namun ketika peneliti melakukan penelitian di kampus tersebut, beberapa pejabat struktural berencana akan menetapkan sebuah aturan baru dalam hal penggunaan jilbab (busana muslim). Dengan demikian, saat ini fakultas hukum berupaya menerapkan sebuah regulasi yang berkenaan dengan penggunaan busana ‘Islami’ bagi mahasiswa dan dosen, meski terkesan bersifat berbeda

dengan awal keberadaan universitas yang dinyatakan bersifat terbuka bagi seluruh agama, suku maupun golongan. Melalui kebijakan baru tersebut seolah ingin menyamakan suatu persepsi yang seragam terhadap cara berpakaian dengan menunjukkan karakteristik tertentu. Namun demikian, beberapa dosen hingga kini masih ada pula yang tetap tidak berjilbab. Meski dosen tersebut juga telah mengajar selama hampir tujuh belas tahun dan merupakan alumni dari fakultas hukum UMJ, namun yang bersangkutan tidak menggunakan jilbab. Dalam suatu kesempatan pertemuan dengan peneliti, dosen tersebut mengemukakan alasannya bahwa :

“ahh … gimana yaa .. aku kok kayaknya ribet gitu kalo pake jilbab… lagian orang yang pake jilbab tuh kan harus yang bener-bener rapi lah … sabar … karena kan makenya ga cepet … padahal aku kan orangnya kayak gini … udah gitu kayaknya gimanaa gitu , perasaan gerah aja deh , rambut kayak lepek gitu, kayaknya aku belum bisa … yang penting sih aku udah sopan pakaiannya … kayak gini kan udah nutup aurat ..Emang sih … di fakultas lain aku pernah suka disindir juga, kan aku juga ngajar di ekonomi, malah disana dari semua dosen ataupun karyawannya, kayaknya aku aja deh yang enggak pake jilbab, kadang ada rasa enggak enak juga tapi gimana yaaa…… makanya aku juga suka kayak disindir giu … kapan nih bu Anna (bukan nama sebenarnya) pake … malah waktu itu ada yang nyediain jilbabnya juga … yaa akhirnya aku kerudungin aja waktu di kelas … tapi abis itu dilepas lagi … Lama-

lama bisa dipecat juga kali aku yaa?.. (sambil tertawa) …ya biarin deh ….. 80 .

Di sisi lain, ada pula beberapa dosen di lingkungan fakultas hukum dalam beberapa tahun terakhir kemudian menggunakan jilbab dengan berbagai alasan dan motivasinya. Seperti halnya ibu Etha (bukan nama sebenarnya) mengemukakan bahwa dirinya menggunakan jilbab sejak pulang dari beribadah haji, tahun 2007. Dalam hal ini Ibu Etha menjelaskan pula bahwa :

‘ sebenernya sebelum saya naik haji, saya juga udah mulai coba-coba pakai jilbab, tapi modelnya kayak topi yang dilapisi kerudung gitu aja bu…dan memang saya niat banget mau berangkat haji… makanya

80 Berdasarkan pembicaaraan singkat antara peneliti dengan salah seorang dosen fakultas hukum UMJ, Ibu Anna (bukan nama sebenarnya), 9 Mei 2012.

Universitas Indonesia Universitas Indonesia

Hingga saat ini pun ibu Etha menggunakan jilbab dengan model yang praktis (jilbab yang siap pakai tanpa menutupi dada, dengan tambahan topi di dalamnya) yang dipadukan dengan gaya berpakaian yang casual (blus yang pas di badan dan dengan blazer serta celana panjang). Pilihan model jilbab seperti ini dirasakan ibu Etha merupakan hal yang sesuai dengan keinginannya, sehingga meski ibu Etha aktif pula di kegiatan Aisyiah, yang umumnya menggunakan jilbab hingga menutupi dada, namun ibu Etha merasa nyaman dengan yang dikenakannya saat ini. Dalam beberapa pertemuan di Aisyiah, misalnya, secara langsung ibu Etha menjelaskan mengenai alasannya menggunakan jilbab dengan gayanya tersebut, seperti yang diceritakannya

dalam kesempatan wawancara singkat tanggal 16 Mei 2012 82 :

Pernah waktu ada acara di Aisyah misalnya, kadang saya juga suka bilang aja sama ibu-ibu… maaf yaa ibu-ibu saya pake jilbabnya ya model begini.. saya enggak bisa pake model yang kayak gitu …saya sih apa adanya aja, ya begini ini, karena kalo pake yang panjang trus pake bajunya kayak yang ibu-ibu pengajian, kayaknya enggak pantes gitu ..

Bagi ibu Etha, gaya berjilbabnya ini setidaknya telah memenuhi kewajibannya sebagai seorang muslimah untuk menutup aurat. Model jilbab bagi dirinya, sepanjang tidak menimbulkan syahwat bagi orang lain, tidak perlu dipersoalkan mengenai ragam bentuk ataupun model, karena pengaruh budaya juga menjadi bagian dari cara seseorang untuk menggunakan jilbab, sepanjang tidak bertentangan dengan syar’i. Berjilbab merupakan bagian dari upaya memperbaiki masa lalunya, serta banyak pula dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggal maupun kampus.

81 Seperti yang diceritakan ibu Etha (bukan nama sebenarnya) dalam wawancara singkat dengan peneliti, tanggal 16 Mei 2012

82 Cerita ibu Etha tentang pilihan model jilbab yang digunakannya

Universitas Indonesia

Demikian pula halnya menurut dosen lain (Ibu Tri, bukan nama sebenarnya), jilbab yang digunakannya sejak menikah di tahun 1995 hingga saat ini pada hakekatnya merupakan kewajiban bagi perempuan muslim dan terkait dengan latar belakang budaya sebuah masyarakat ataupun bangsa, seperti yang dikemukakannya dalam sebuah wawancara singkat :

‘Dengan jilbab bagi gue, minimal untuk nunjukin bahwa gue ini muslim… emang si di Al- Qur’an juga disebut, kan katanya supaya mudah dikenali … jadi ciri gitu lah … Cuma memang yang di Indonesia kayaknya jilbab enggak ada karakternya, ada yang pake biasa aja, ada yang gombrong-gombrong gitu, banyak lah … maksudnya gimana yaa… misalnya di Malaysia aja, umumnya yang pake jilbab itu pake rok panjang, jilbabnya berbunga-bunga malah … udah gitu bunganya yang … ahh .. norak deh… atau kalo di Mesir atau Arab misalnya kenapa jilbabnya harus ditutup semua, kan ada pengaruh keadaan disana juga, kan katanya cuacanya panas … kayak gitulah … tapi yang menurut gue, kalo di Indonesia malah jadi enggak ada cirinya gitu,

karena orang banyak pake jilbab tapi banyak juga modelnya … 83 . Adapun jilbab yang digunakannya sekarang, menurut penuturannya, sebenarnya bukan dalam

arti jilbab seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Ibu Tri mendefinisikan jilbab yang digunakannya masih dalam pengertian kerudung, karena jilbab dalam pandangannya tidak hanya meliputi bagian dari berpakaian, tetapi juga terkait dengan sikap, perilaku, tutur kata, hingga cara berpikir. Namun demikian, meskipun dari segi model bahwa jilbab ibu Tri sebenarnya juga mewakili jilbab pada umumnya, yang terdiri dari kain yang diikat di leher dan menutupi dada dan dipadukan dengan blus (batik ataupun kemeja) dan celana panjang, setidaknya bagi ibu Tri dengan berjilbab (berkerudung) untuk menunjukkan keberadaannya sebagai seorang muslimah.

Keinginan untuk berjilbab ini pun sebenarnya telah muncul sejak sebelum menikah. Namun saat itu (tahun 90-an), orang tua (ayah) melarang menggunakan jilbab dengan alasan akan sulit jika mencari pekerjaan. Penggunaan jilbab di masa itu juga banyak dilatarbelakangi oleh iklim politik yang berkembang di masa Orde Baru, yang membatasi kegiatan seorang perempuan yang berjilbab hingga adanya upaya pelarangan berjilbab di sekolah maupun instansi tertentu. Tetapi dalam perkembangannya kemudian, jilbab bagi ibu Tri menjadi bagian dari kehidupannya dan ada rasa kenyamanan dalam dirinya. Dengan berjilbab, menurut pandangannya, seorang perempuan dapat terlihat lebih anggun, lebih menarik dan cantik.

83 Seperti yang diceritakan ibu Tri (bukan nama sebenarnya) dalam wawancara singkat dengan peneliti, tanggal 16 Mei 2012

Universitas Indonesia

Senada dengan ibu Tri, salah seorang karyawati bagian tata usaha fakultas hukum (Upik, bukan nama sebenarnya), juga mengemukakan bahwa, jilbab dapat membuat seseorang perempuan terlihat lebih rapi dan cantik, karena dapat menutupi rambut yang kadang ‘berantakan’ ataupun yang sudah ‘beruban’. Bagi Upik, meski jilbab juga seakan telah menjadi bagian dari kehidupannya sehari-hari, namun diakuinya pula bahwa, jilbab hanya digunakannya ketika sedang berada di kampus ataupun ketika menghadiri acara tertentu.

Menurut penuturannya pada peneliti, alasan Upik berjilbab lebih didasarkan pada faktor lingkungan kerja (di kampus), yang umumnya banyak mahasiswi dan dosen yang telah menggunakan jilbab, seolah ada faktor luar (suasana kampus) yang mendorong Upik untuk

menggunakan jlbab, seperti yang tampak dari penjelasannya 84 :

“yahh … gimana ya buu lama-lama enggak enak juga kalo enggak pake, karena rata-rata udah hampir semua dosen sama mahasiwi disini yang pake jilbab kan … yaa .. mau enggak mau jadi pake juga … kayak kepaksa sih …habis mau gimana lagi … Lagian kan kita di Muhammadiyah bu … enggak enak lah kalo enggak pake … tapi kalo di rumah sih saya bebas aja.. gerah banget soalnya kalo pake jilbab, ribet lah … kalo keluar rumah, sekitar kompleks saya mah cuek aja bu … malah kadang saya suka pake celana pendek, pake tank top … biar ada tamu laki-laki, ya saya cuek aja lah … di rumah ini…”

Oleh karena itu, meski masa kerja Upik telah melewati tujuh belas tahun di fakultas hukum, namun sejak sepuluh tahun belakangan ini Upik berjilbab, karena perasaan ‘tidak enak’ dengan lingkungan kampus yang bernuansa agamis. Bahkan sebelum menikah, seperti halnya pengalaman ibu Tri, ayah Upik juga melarang dirinya untuk menggunakan jilbab dengan alasan takut dan khawatir dengan kebijakan pemerintah saat itu. Keadaan ini didukung pula oleh berbagai isu negatif yang muncul seputar jilbab dan munculnya persepsi masyarakat terhadap pengguna jilbab yang berasal dari golongan tertentu yang dinilai ‘ekstrim’ oleh pemerintah di masa itu.

Dengan demikian, bagi beberapa dosen dan karyawati di lingkungan fakultas hukum pun, berjilbab juga berada dalam sebuah proses sebagaimana yang terjadi pada mahasiswinya. Beberapa alasan yang sangat pribadi dan bernuansa ‘hidayah’ (seperti melalui mimpi atau peristiwa yang tidak rasional) kerap menjadi alasan pula untuk merubah penampilan seseorang dari tidak berjilbab menjadi berjilbab. Berjilbab bagi kalangan dosen di fakultas hukum

84 Penuturan Upik , 42 tahun, (bukan nama sebenarnya) pada peneliti, dalam wawancara singkat, tanggal 16 Mei 2012

Universitas Indonesia Universitas Indonesia