Biografi, Profil Intelektual, dan Karya-karya al-Sya> t} ibi> Al-Sya> t} ibi> adalah pemikir muslim abad ke-8 H./14 M. dari Andalusia,

A. Biografi, Profil Intelektual, dan Karya-karya al-Sya> t} ibi> Al-Sya> t} ibi> adalah pemikir muslim abad ke-8 H./14 M. dari Andalusia,

sebuah wilayah di semenanjung Iberia yang saat ini merupakan bagian dari negara Spanyol dan Portugal. 1 Nama lengkapnya adalah Abu> Ish} a> q Ibra> hi> m ibn

Mu> 2 sa> ibn Muh} ammad al-Lakhmi> al-Garna> t} i> al-Sya> t} ibi> . Berdasarkan namanya

itu, para sejarahwan menduga bahwa dia berasal dari keturunan keluarga bersuku Arab, Lakhm, 3 yang hidup di Sya> t} ibah (Xativa atau Jativa), sebuah kota di

sebelah selatan Valencia yang dikenal sebagai penghasil kertas di Spanyol Abad Pertengahan. 4

Tidak ada keterangan pasti tentang kapan dan di mana al-Sya> t} ibi> dilahirkan. 5 Meski menisbatkan namanya kepada kota Sya> t} ibah, al-Sya> t} ibi>

1 L. Torres Balbás dan G.S. Colin, “Al-Andalus”, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition (Leiden: Brill Academic Publishers, 2003)

2 Khayr al-Di> n al-Zirikli> , Al-A‘la> m: Qa> mu> s Tara> jim li Asyhar al-Rija> l wa al-Nisa> ` min al-‘Arab wa al-Musta‘ribi> n wa al-Mustasyriqi> n, vol. 1 (Beirut: Da> r al-‘Ilm li al-Mala> yi> n, cet. 9,

1990), hlm. 75. Bandingkan dengan ‘Umar Rid} a Kah{ h{ a> lah, Mu‘jam al-Mu`allifi> n: Tara> jim Mus} annifi> al-Kutub al-‘Arabiyyah, vol. 1 (Beirut: Da> r Ih} ya> ` al-Tura> ts al-‘Arabi> , 1957), hlm. 118.

3 Untuk informasi lebih jauh tentang Bani Lakhm, lihat H. Lammens dan Irfan Shahid, “Lakhm”, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam,WebCD Edition.

4 Dari segi perkembangan kehidupan intelektual, kota Sya> t} ibah mencapai puncak keemasannya pada abad 6 H./12 M.. Beberapa karya ensiklopedi biografis menyebut kurang lebih

121 nama ulama abad 6 H. yang berasal dari Sya> t} ibah, termasuk Abu> al-Qa> sim ibn Firruh ibn Khalaf al-Sya> t} ibi> (w. 590 H./1194 M.), seorang ulama qira> `ah yang terkenal. Lihat Manuela Marín, “Sha> t} iba”, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition.

5 Muh{ ammad Abu> al-Ajfa> n menduga bahwa al-Sya> t} ibi> lahir sebelum tahun 720 H. dengan alasan karena guru pertamanya, Abu> Ja‘far Ah{ mad ibn al-Zayya> t, meninggal pada tahun

728 H.. Namun dugaan ini ditolak oleh H{ amma> di> al-‘Ubaydi> karena Abu> Ja‘far sebetulnya tidak pernah menjadi guru al-Sya> t} ibi> . H{ amma> di> menduga bahwa al-Sya> t} ibi> lahir sekitar tahun 730-an H.. Lihat H{ amma> di> al-‘Ubaydi> , Al-Sya> t} ibi> wa Maqa> s}id al-Syari> ‘ah (Tripoli: Kulliyyah al-Da‘wah al-Islâmiyyah, 1992), hlm. 12-13.

tampaknya tidak lahir di kota tersebut, 6 melainkan di Granada ( Garna> t} ah). Karena itu, dia menyebut dirinya “al-Garna> ti> ”. Selanjutnya, di sepanjang masa

hidupnya, al-Sya> 7 t} ibi> sama sekali tidak pernah meninggalkan Granada. Al-Sya> t} ibi> memulai proses intelektualnya dengan belajar ilmu-ilmu

bahasa Arab dan qira> `a> t kepada Abu ‘Abdilla> h Muh} ammad ibn al-Fakhkha> r al- Bi> 8 ri> yang dikenal dengan julukan “syaykh al-nuh} h} a> h” di Andalusia. Saat itu, al-

Sya> t} ibi> kecil telah menunjukkan kemampuannya untuk memahami persoalan- persoalan linguistik yang sangat sulit dipahami oleh anak-anak seusianya—

sesuatu yang kerap membuat Ibn al-Fakhkha> 9 r takjub. Guru pertama al-Sya> t} ibi> ini meninggal dunia pada akhir tahun 756 H. atau awal tahun 757 H.. 10 Dan

hingga beberapa tahun berikutnya, al-Sya> t} ibi> terus merasa sangat kehilangan sosok guru yang dicintainya itu. 11

Saat Ibn al-Fakhkha> r masih hidup, al-Sya> t} ibi> juga belajar ilmu fiqh dan bahasa Arab kepada Abu> Sa‘i> d Faraj ibn Qa> sim ibn Ah} mad ibn Lubb al-Garna> t} i> (w. 782 H.), seorang mufti Andalus dan pengajar di Madrasah al-Nas} riyyah yang juga ahli di bidang syair serta bahasa Arab. Al-Sya> t} ibi> berutang kepada Ibn Lubb,

6 Pada tahun 645 H./1248 M., seluruh penduduk muslim kota Sya> t} ibah terusir dari kota tersebut menyusul invasi pasukan Kristen yang dipimpin oleh Raja James I. Lihat Manuela

Marín, “Sha> t} iba” dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition. Al-Syatibi sendiri meninggal dunia pada tahun 790 H./1388 M., atau 140 tahun setelah invasi pasukan Kristen tersebut. Berdasarkan hal itu, terdapat indikasi yang kuat bahwa tempat lahir al- Sya> t} ibi> bukan di Sya> t} ibah.

7 Tampaknya, ini terjadi karena al-Sya> t} ibi> tidak memiliki cukup harta untuk membiayai perjalanan ke luar Granada. Lihat H{ amma> di> al-‘Ubaydi> , Al-Sya> t} ibi> wa Maqa> s}id al-Syari> ‘ah, hlm.

13. Di sisi lain, proses intelektual al-Sya> t} ibi> yang sepenuhnya dijalani di Granada itu menyiratkan bahwa, pada abad 8 H., tradisi keilmuan di kota tersebut telah berkembang pesat sedemikian rupa hingga tingkat di mana seseorang tidak perlu lagi pergi ke luar untuk mempelajari ilmu-ilmu keislaman tradisional.

8 Muhammad Khalid Masud, Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu> Ish}a> q al- Sha> t}ibi> ’s Life and Thought (Delhi: International Islamic Publishers, 1989), hlm. 99.

9 H{ amma> di> al-‘Ubaydi> , Al-Sya> t} ibi> wa Maqa> s}id al-Syari> ‘ah, hlm. 13.

10 Sebagian literatur menyebut tahun 754 H. sebagai tahun wafat Ibn al-Fakhkha> r. Tetapi, berdasarkan kutipan pernyataan al-Sya> t} ibi> sendiri, H{ amma> di> memperkirakan bahwa Ibn

al-Fakhkha> r meninggal dunia pada akhir tahun 756 H. atau awal tahun 757 H. Lihat H{ amma> di> al- ‘Ubaydi> , Al-Sya> t} ibi> wa Maqa> s} id al-Syari> ‘ah, hlm. 66.

11 H{ amma> di> al-‘Ubaydi> , Al-Sya> t} ibi> wa Maqa> s}id al-Syari> ‘ah, hlm. 65.

terutama dalam persoalan kemampuan memberikan fatwa dan putusan hukum. 12 Tetapi, dalam disiplin keilmuan bahasa Arab, al-Sya> t} ibi> tampaknya

menempatkan Ibn Lubb sedikit di bawah Ibn al-Fakhkha> 13 r. Belakangan, hubungan antara al-Sya> t} ibi> dan Ibn Lubb, gurunya,

memburuk. Hal itu dipicu oleh perselisihan pendapat di seputar persoalan fatwa dan pemahaman atas dalil-dalil hukum tertentu. Al-Sya> t} ibi> menganggap Ibn Lubb terlalu longgar dalam memberikan fatwa sehingga banyak hal-hal yang sebetulnya terlarang menurut syariat justru dibolehkannya. Akibat perbedaan pendapat tersebut, Ibn Lubb kemudian justru menjadi musuh dan penentang

paling keras al-Sya> 14 t} ibi> .

Pada tahun 757 H., kota Granada didatangi oleh Abu> ‘Abdilla> h Muh} ammad ibn Ah} mad al-Maqqari> (w. 759 H.), seorang ulama Magrib bermazhab Maliki yang sangat terkenal. Selama dua tahun berikutnya, al-Sya> t} ibi>

mempelajari ilmu fiqh, hadits, dan tasawuf di bawah bimbingan al-Maqqari> 15 . Al-Maqqari> merupakan salah satu guru yang paling berpengaruh bagi al-

Sya> t} ibi> . Darinyalah al-Sya> t} ibi> mengenal pemikiran Fakhr al-Di> n al-Ra> zi> dalam bidang usul fiqh. 16 Kenyataan bahwa al-Sya> t} ibi> mempelajari ilmu tasawuf

12 Khalid Masud, Islamic Legal Philosophy, hlm. 100. Bandingkan dengan H{amma> di> al- ‘Ubaydi> , Al-Sya> t} ibi> wa Maqa> s} id al-Syari> ‘ah, hlm. 74. 13 Suatu hari, al-Sya> t} ibi> pernah mengajukan pertanyaan tentang tafsir ayat 13 dan 14 dari surah al-Nisa> ` kepada dua orang gurunya (Ibn al-Fakhkha> r dan Ibn Lubb) itu. Jawaban Ibn al-

Fakhkha> r ternyata dianggapnya lebih tepat secara gramatikal. Untuk detail yang lebih rinci, lihat H{ amma> di> al-‘Ubaydi> , Al-Sya> t} ibi> wa Maqa> s}id al-Syari> ‘ah, hlm. 73-74.

14 H{ amma> di> al-‘Ubaydi> , Al-Sya> t} ibi> wa Maqa> s}id al-Syari> ‘ah, hlm. 74-76. 15 H{ amma> di> al-‘Ubaydi> , Al-Sya> t} ibi> wa Maqa> s}id al-Syari> ‘ah, hlm. 68-69. 16 Fakhr al-Din al-Ra> zi> dianggap sebagai salah satu tokoh yang membangkitkan

ketertarikan kepada filsafat di kalangan Sunni. “Razisme” masuk ke dalam mazhab Maliki terutama melalui disiplin ilmu us} ul fiqh. Lihat Khalid Masud, Islamic Legal Philosophy, hlm. 57. Al-Ra> zi> menulis kitab al-Mah} s} u> l fi> ‘ilm Us} u> l al-Fiqh. T{ a> ha> Ja> bir al-‘Alwa> ni> menyatakan bahwa, dari sekian banyak literatur dalam disiplin ilmu us} ul fiqh yang ditulis sejak akhir abad keenam hingga masa modern, karya al-Ra> zi> ini merupakan literatur terpenting. Lihat T{ a> ha> Ja> bir al- ‘Alwa> ni> , “Muqaddimah al-Muhaqqiq”, dalam Fakhr al-Di> n al-Ra> zi> , al-Mah} s} u> l fi> ‘ilm Us} u> l al-Fiqh (Beirut: Mu`assasah al-Risa> lah, 1997), hlm. 48. Nilai penting karya al-Ra> zi> itu juga terlihat dalam kenyataan bahwa ia paling banyak dijadikan sumber dari syarh} -syarh} dalam us} ul fiqh. Lihat Hasan Hanafi, Min al-Nas} s} ila> al-Wa> qi‘; Takwi> n al-Nas}s}: Muh}a> walah li I‘a> dah Bina> ` ‘Ilm Us}u> l al-Fiqh (Kairo: Markaz al-Kita> b li an-Nasyr, 2004), hlm.433-434. Tetapi tidak jelas apakah al- Sya> t} ibi> mempelajari pemikiran al-Ra> zi> melalui karyanya, al-Mah} s} u> l, atau melalui karya Ibn al- ketertarikan kepada filsafat di kalangan Sunni. “Razisme” masuk ke dalam mazhab Maliki terutama melalui disiplin ilmu us} ul fiqh. Lihat Khalid Masud, Islamic Legal Philosophy, hlm. 57. Al-Ra> zi> menulis kitab al-Mah} s} u> l fi> ‘ilm Us} u> l al-Fiqh. T{ a> ha> Ja> bir al-‘Alwa> ni> menyatakan bahwa, dari sekian banyak literatur dalam disiplin ilmu us} ul fiqh yang ditulis sejak akhir abad keenam hingga masa modern, karya al-Ra> zi> ini merupakan literatur terpenting. Lihat T{ a> ha> Ja> bir al- ‘Alwa> ni> , “Muqaddimah al-Muhaqqiq”, dalam Fakhr al-Di> n al-Ra> zi> , al-Mah} s} u> l fi> ‘ilm Us} u> l al-Fiqh (Beirut: Mu`assasah al-Risa> lah, 1997), hlm. 48. Nilai penting karya al-Ra> zi> itu juga terlihat dalam kenyataan bahwa ia paling banyak dijadikan sumber dari syarh} -syarh} dalam us} ul fiqh. Lihat Hasan Hanafi, Min al-Nas} s} ila> al-Wa> qi‘; Takwi> n al-Nas}s}: Muh}a> walah li I‘a> dah Bina> ` ‘Ilm Us}u> l al-Fiqh (Kairo: Markaz al-Kita> b li an-Nasyr, 2004), hlm.433-434. Tetapi tidak jelas apakah al- Sya> t} ibi> mempelajari pemikiran al-Ra> zi> melalui karyanya, al-Mah} s} u> l, atau melalui karya Ibn al-

praktik-praktik asketisme dibatasi oleh aturan-aturan syariat. Dan al-Sya> t} ibi> sendiri, dalam karya-karyanya belakangan, mengecam banyak praktik kaum sufi yang dianggapnya sebagai bid‘ah serta bertentangan dengan syariat Islam.

Al-Sya> t} ibi> juga mempelajari ilmu hadits dan fiqh dari Syams al-Di> n Abu> ‘Abdilla> h ibn Muh} ammad ibn Ah} mad ibn Marzu> q (w. 781 H.), seorang ulama perantau yang berasal dari Tilimsa> n. Ibn Marzu> q adalah salah seorang di antara tiga ulama—dua ulama lainnya adalah al-Maqqari> dan Ibn Lubb—yang paling

terkenal di Granada pada abad 8 H.. 18 Dia mengajarkan kitab al-Muwat} t}a`, karya

Imam Ma> lik, di Masjid Jami‘ Granada, di mana al-Sya> t} ibi> kerap hadir dan mengikuti pelajarannya. 19

Selain al-Maqqari> , salah satu guru yang memberikan pengaruh paling mendalam kepada al-Sya> t} ibi> adalah Abu> ‘Ali> Mans} u> r ibn ‘Abdilla> h ibn ‘Ali> al- Zawa> wi> , gurunya di bidang us} ul fiqh. Al-Zawa> wi> inilah yang tampaknya membangkitkan minat al-Sya> t} ibi> untuk mencurahkan perhatiannya kepada bagian-bagian paling mendasar dari sebuah disiplin keilmuan. Dalam sebuah kuliahnya, al-Zawa> wi> menyatakan bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang berupa prinsip-prinsip general ( kulliyya> t) dan dasar-dasar yang bersifat umum ( us} u> l ‘a> mmah). Kulliyya> t dan us}u> l ‘a> mmah itu, menurut al-Zawa> wi> , melingkupi semua persoalan partikular ( al-masa> `il al-juz`iyyah) di bawahnya

serta menjadikan akal sebagai pengontrolnya. 20 Dalam karya-karyanya

H{ a> jib, Mukhtas} ar al-Muntaha> —sebuah karya yang juga didasarkan pada al-Mah} s} u> l. Lihat Maribel Fierro, “Al-Sha> t} ibi> ”, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam.

17 Al-Maqqari> menulis sebuah buku tentang tasawuf, berjudul al-H{ aqa> `iq wa al-Raqa> `iq, yang juga diajarkannya kepada al-Sya> t} ibi> . Lihat H{ amma> di> al-‘Ubaydi> , Al-Sya> t} ibi> wa Maqa> s} id al-

Syari> ‘ah, hlm. 68. Kecenderungan tasawuf al-Maqqari> juga terlihat ketika dia melakukan proses inisiasi yang tidak lazim dalam kuliah-kuliahnya, sebuah prosesi di mana sang guru menyuapkan makanan ke mulut sang murid. Lihat Khalid Masud, Islamic Legal Philosophy, hlm. 66.

18 H{ amma> di> al-‘Ubaydi> , Al-Sya> t} ibi> wa Maqa> s}id al-Syari> ‘ah, hlm. 71. 19 H{ amma> di> al-‘Ubaydi> , Al-Sya> t} ibi> wa Maqa> s}id al-Syari> ‘ah, hlm. 76. 20 H{ amma> di> al-‘Ubaydi> , Al-Sya> t} ibi> wa Maqa> s}id al-Syari> ‘ah, hlm. 79-80.

kemudian, al-Sya> t} ibi> mengembangkan konsep kulliyya> t dan juz`iyya> t itu secara sangat elaboratif.

Dalam al-Ifa> da> t wa al-Insya> da> t, al-Sya> t} ibi> mencantumkan sebuah pernyataan yang kerap diulang-ulang oleh al-Zawa> wi> bahwa seseorang tidak dapat disebut memiliki ilmu tentang sebuah hal kecuali jika ia telah memenuhi empat syarat berikut. Pertama, mengetahui dasar-dasar ilmu tersebut secara sempurna. Kedua, memiliki kemampuan untuk menyampaikan ilmu tersebut kepada orang lain. Ketiga, mengerti apa yang harus dilakukannya berdasarkan ilmu tersebut. Keempat, memiliki kemampuan untuk menyelesaikan kerumitan- kerumitan dalam ilmu tersebut. Belakangan, al-Sya> t} ibi> menyadari bahwa

pernyataan gurunya itu berasal dari al-Fa> ra> bi> . Berbeda dengan al-Maqqari> , al-Zawa> wi> dikenal sangat kritis terhadap Fakhr al-Di> n al-Ra> zi> yang dianggapnya terpengaruh oleh gagasan-gagasan

Muktazilah. 22 Dalam hal ini, al-Zawa> wi> memiliki pendirian yang sama dengan guru al-Sya> t} ibi> lainnya, Abu> ‘Abdilla> h al-Syari> f al-Tilimsa> ni> (w. 771 H.), yang

dikenal dengan keahliannya di bidang ilmu-ilmu rasional ( al-‘ulu> m al- ‘aqliyyah). 23 Karena al-Tilimsa> ni> tercatat mengajarkan karya-karya Ibn Si> na> dan

Ibn Rusyd, maka patut diduga bahwa al-Sya> t} ibi> juga mempelajari filsafat darinya. 24 Di bidang us} ul fiqh, al-Syari> f al-Tilimsa> ni> menulis Mifta> h} al-Wus} u> l ila>

Bina> 25 ` al-Furu> ‘ ‘ala> al-Us} u> l, sebuah karya yang memperlihatkan

21 H{ amma> di> al-‘Ubaydi> , Al-Sya> t} ibi> wa Maqa> s}id al-Syari> ‘ah, hlm. 76. 22 Meski al-Zawa> wi> menganggap al-Ra> zi> dipengaruhi oleh gagasan-gagasan Muktazilah,

namun ia tetap mengajarkan kitab Mukhtas} ar al-Muntaha> , karya Ibn al-H} a> jib di bidang us} ul fiqh, yang dipengaruhi oleh kitab al-Mah} s} u> l, karya al-Ra> zi> . Lihat Maribel Fierro, “Al-Sha> t} ibi> ”, dalam

C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam. 23 Ibn ‘Arafah, salah seorang murid al-Tilimsa> ni> , bahkan menyatakan bahwa kematian gurunya itu menandai matinya ilmu-ilmu rasional. Lihat Khalid Masud, Islamic Legal Philosophy, hlm. 101.

24 Hamka Haq, Al-Syâthibî: Aspek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al- Muwafaqat (Jakarta: Erlangga, 2007), hlm. 19. Karya-karya filsafat tampaknya juga tidak terlalu

asing bagi al-Sya> t} ibi> . Setidaknya, dia mengenal karya al-Fa> ra> bi> sebagaimana terlihat pada bagian terdahulu. Lihat catatan kaki nomer 21.

25 Maribel Fierro, “Al-Sha> t} ibi> ”, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam.

kecenderungannya untuk memperhatikan aspek-aspek fundamental dari hukum Islam serta membangun seluruh hukum partikular di atas aspek-aspek fundamental tersebut.

Selain dari nama-nama di atas, al-Sya> t} ibi> juga mempelajari fiqh dan sastra Arab dari Abu> al-Qa> sim al-H{ asani> al-Sabti> (w. 760 H.) yang pernah

menjabat sebagai 26 qa> d} i> kepala di Granada; bahasa dan tafsir dari Abu> ‘Abdilla> h al-Balansi> ; ilmu fara> `id} dari Abu> Ja‘far Muh} ammad al-Syaqu> ri> ; sastra Arab dari

Abu> 27 ‘Abdilla> h al-Lawsyi> ; serta aljabar dari Abu> al-H{ asan al-Kuh} ayli> . Setelah menyelesaikan masa studinya, al-Sya> t} ibi> kemudian mengajar di

Masjid Jami‘ Granada, salah satu pusat kegiatan intelektual, selain Madrasah al-

Nas} riyyah, di kota tersebut. Kuliah-kuliah yang diberikannya mencakup lima bidang ilmu pengetahuan: fiqh, us} 28 ul fiqh, hadits, qira> `a> t, dan nah} w. Meski

dikisahkan bahwa kuliah-kuliah al-Sya> t} ibi> dihadiri oleh banyak murid, namun hanya beberapa orang di antara mereka yang berhasil meraih reputasi intelektual di Andalusia, seperti Abu> ‘Abdilla> h al-Maja> ri> , Abu Yah} ya> ibn ‘A< s} im, al-Qa> d} i>

Abu> 29 Bakr ibn ‘A< s} im, Ibn Ja‘far al-Fakhkha> r, dan Abu> ‘Abdilla> h al-Baya> ni> . Pada masa al-Sya> t} ibi> , Granada beberapa kali dilanda konflik politik

internal. Suksesi kekuasaan seringkali berlangsung melalui perebutan yang berdarah-darah. Tetapi tidak ada data apa pun yang mengindikasikan keberpihakan al-Sya> t} ibi> kepada salah satu pihak yang bertikai memperebutkan tampuk kekuasaan. Dunia politik tampaknya tidak menarik minat al-Sya> t} ibi> . Dia justru mencurahkan seluruh perhatian dan minat intelektualnya untuk

26 Khalid Masud, Islamic Legal Philosophy, hlm. 100. 27 H{ amma> di> al-‘Ubaydi> , Al-Sya> t} ibi> wa Maqa> s}id al-Syari> ‘ah, hlm. 82-84. 28 ‘Abdulla> h al-Maja> ri> menyebut daftar kitab yang diajarkan oleh gurunya, al-Sya> t} ibi> . Di

antara kitab-kitab tersebut adalah al-Kita> b (karya Sibawayh) dan beberapa syarh} atas kitab Alfiyyah karya Ibn Malik dalam bidang nah}w; Muqaddimah Ibn al-S}ala> h} dalam bidang ‘ulu> m al- h} adi> ts; al-Taysi> r (karya Abu> ‘Amr al-Da> ni> ) di bidang ilmu qira> `a> t; al-Muwat} t} a` (karya Ma> lik) dan al-Mudawwanah (karya Sah} nu> n) di bidang fiqh; serta Mukhtas} ar Ibn al-H{ a> jib dan karyanya sendiri, al-Muwa> faqa> t, di bidang us}ul fiqh. Lihat H{ amma> di> al-‘Ubaydi> , Al-Sya> t} ibi> wa Maqa> s} id al-Syari> ‘ah, hlm. 91-92.

29 H{ amma> di> al-‘Ubaydi> , Al-Sya> t} ibi> wa Maqa> s}id al-Syari> ‘ah, hlm. 92-93.

menyelesaikan dua problem besar yang menyeruak di tengah-tengah masyarakat Granada saat itu: taklid dan bid‘ah.

Mayoritas penduduk Andalusia abad 8 Hijriah adalah penganut mazhab Maliki. 30 Hingga tingkat tertentu, mereka memegang afiliasi mazhab tersebut

secara fanatik. Akibatnya, para penganut mazhab-mazhab fiqh lain sering memperoleh perlakuan yang buruk. Hal ini tidak terlepas dari pengamatan al- Sya> t} ibi> . Meski merupakan pengikut mazhab Maliki, al-Sya> t} ibi> mengkritik fanatisme mazhab yang berlebihan. Dia menyatakan bahwa sikap fanatik dalam mengikuti mazhab Maliki merupakan “kecintaan yang berlebihan terhadap mazhab tertentu, padahal pandangan yang adil akan membuktikan bahwa mereka

31 [para pemuka pelbagai mazhab itu] adalah imam-imam yang mulia.”

Menurut al-Sya> t} ibi> , penyebab terbesar dari menyebarnya taklid dan fanatisme buta di kalangan penduduk Granada adalah kecenderungan mereka untuk membatasi perhatian hanya kepada persoalan-persoalan sekunder ( furu> ‘) tanpa mau mencoba melacak prinsip-prinsip fundamental ( us} u> l) dari ajaran-

ajaran Islam. 32 Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor pendorong al- Sya> t} ibi> untuk menulis karya besarnya, al-Muwa> faqa> t.

Taklid dan pengabaian prinsip-prinsip fundamental ajaran Islam itu berlangsung seiring dengan maraknya praktik-praktik bid‘ah di tengah

30 Mazhab Maliki mulai dianut oleh mayoritas penduduk Andalusia sejak masa kekuasaan Hisya> m I (putra ‘Abd al-Rah} ma> n al-Da> khil, pendiri dinasti Umawiyyah di Andalusia)

yang berkuasa sejak tahun 173 H. hingga tahun 180 H.—masa ketika Ma> lik sendiri masih hidup. Dikisahkan bahwa, suatu hari, dua orang ulama, masing-masing menganut mazhab Hanafi dan Maliki, berdebat di hadapan Hisya> m. Setelah mengetahui bahwa Abu> H{ ani> fah berasal dari Kufah dan Ma> lik berasal dari Madinah, maka Hisya> m berkata, “Cukup bagi kami seorang imam dari tempat hijrah Rasulullah.” Lihat H{ amma> di> al-‘Ubaydi> , Al-Sya> t} ibi> wa Maqa> s} id al-Syari> ‘ah, hlm.

46. Khalid Masud menambahkan dua faktor lain yang patut dipertimbangkan di balik meluasnya penyebaran mazhab Maliki di Andalusia. Pertama, faktor ajaran. Konservatisme kalangan muslim Andalusia lebih sesuai dengan ajaran-ajaran mazhab Maliki. Kedua, faktor politik. Dinasti ‘Abba> siyah adalah lawan politik dinasti Umawiyyah Andalusia. Sebagai seorang tokoh penentang dinasti ‘Abba> siyah, Ma> lik dianggap pilihan yang tepat untuk memberikan legitimasi yang dibutuhkan oleh para penguasa Umawiyyah di Andalusia. Lihat Khalid Masud, Islamic Legal Philosophy, hlm. 49.

31 Al-Sya> t} ibi> , Al-I‘tis} a> m, hlm. 348. 32 H{ amma> di> al-‘Ubaydi> , Al-Sya> t} ibi> wa Maqa> s}id al-Syari> ‘ah, hlm. 36.

masyarakat. 33 Al-Sya> t} ibi> melukiskan situasi pada zamannya itu dalam pernyataan berikut.

“Bid‘ah pun semakin merebak dengan bahaya dan keburukan yang tersebar luas. Orang-orang sibuk mempraktikkannya, sementara para ulama belakangan ( al-muta`akhkhiri> n) hanya diam dan tidak menentangnya. Yang tersisa hanyalah sekelompok orang yang tidak tahu atau abai untuk melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan. Praktik-praktik bid‘ah itu seakan-akan menjadi Sunnah yang pasti serta syariat yang bersumber dari Allah. Maka syariat Islam pun kemudian menjadi bercampur dengan hal-hal lain di luarnya. Dan orang yang hendak kembali ke Sunnah yang

murni dianggap seakan-akan hendak keluar darinya.” 34

Al-Sya> t} ibi> tidak tinggal diam menyaksikan bid‘ah menyebar luas. Ia menulis kitab al-I‘tis} a> m, sebuah karya yang berisi seruan untuk kembali ke ajaran

Islam yang murni dan meninggalkan segala bid‘ah. Tidak hanya itu, al-Sya> t} ibi> juga menentang keras para ulama yang mendiamkan, atau bahkan mendukung, praktik-praktik bid‘ah. Dalam upayanya melakukan perbaikan sosial dan religius itu, al-Sya> t} ibi> bukan tidak menyadari risiko berat yang dia hadapi. Ditulisnya, “Aku berpendapat bahwa binasa dalam mengikuti Sunnah adalah sebuah keselamatan, dan orang-orang sama sekali tidak akan bisa memberikan manfaat

apa pun kepadaku di luar apa yang telah ditetapkan Allah.” 35 Penentangan al-Sya> t} ibi> terhadap banyak kebiasaan yang telah berakar

kuat dalam tradisi masyarakat Granada sontak membuatnya menjadi kontroversial. Dia dicerca dan dimusuhi. Banyak tuduhan miring dialamatkan kepadanya. Suatu ketika, karena al-Sya> t} ibi> menolak praktik doa bersama setelah shalat, dia dituduh menganggap doa sama sekali tidak bermanfaat. Al-Sya> t} ibi> juga pernah dituding termasuk kelompok Ra> fid}ah yang membenci para sahabat

33 Al-Sya> t} ibi mengemukakan empat sebab di balik munculnya bid‘ah. Pertama, ketidaktahuan tentang bahasa Arab. Kedua, pengabaian maqa> s}id al-syari> ‘ah dan prinsip-prinsip

general ajaran Islam. Ketiga, pemberian otoritas yang terlampau besar kepada akal. Keempat, dorongan hawa nafsu dan kepentingan duniawi. Lihat al-Sya> t} ibi> , Al-I‘tis} a> m, hlm. 470. Selain itu, al-Sya> t} ibi> juga menyebut tiga sebab mengapa para pelaku bid‘ah bisa dianggap keluar dari komunitas umat Islam. Tetapi tiga sebab itu bisa dikembalikan hanya kepada satu sebab: ketidaktahuan tentang maqa> s}id al-syari> ‘ah. Lihat Al-I‘tis} a> m, hlm. 403.

34 Al-Sya> t} ibi> , Al-I‘tis} a> m, hlm. 31. 35 Al-Sya> t} ibi> , Al-I‘tis} a> m, hlm. 18.

Rasul hanya karena dia menolak menyebut nama-nama al-khulafa> ` al-ra> syidu> n dalam khutbahnya. Kritik tajamnya kepada para sufi yang dianggapnya menyimpang dari ajaran Islam membuatnya dituduh membenci para wali kekasih Allah. Lebih dari itu, fatwa al-Sya> t} ibi> bahwa praktik mendoakan penguasa dalam khutbah adalah bid‘ah sempat membuatnya dituding menghalalkan

pemberontakan kepada pemerintah. 36 Berhadapan dengan tuduhan dan permusuhan itu, al-Sya> t} ibi> berusaha

untuk tidak goyah. Ketika beberapa orang sahabat menganjurkannya untuk melakukan kompromi dengan lawan-lawannya, al-Sya> t} ibi> menjawab,

“…dan terhadap orang yang berkata, ‘Janganlah engkau melakukan sesuatu yang tidak disukai orang-orang!’, cukuplah baginya hadits

Rasulullah saw. berikut ini sebagai jawaban. ‘Barang siapa mencari ridha manusia dengan membuat Allah murka, maka Allah pasti akan murka, dan membuat orang-orang murka, kepadanya. Dan barang siapa mencari ridha Allah dengan membuat marah manusia, maka Allah pasti ridha, dan membuat orang-orang ridha, kepadanya’.” 37

Al-Sya> t} ibi> juga mengutus murid-muridnya ke seluruh penjuru kota Granada untuk menyeru masyarakat kepada tradisi keagamaan yang benar. Suatu hari, salah seorang murid yang diutusnya mengeluhkan respons buruk dari masyarakat. Sebagai jawaban, al-Sya> t} ibi> menulis,

“Kita harus bersikap sebagaimana Allah telah ajarkan kepada Nabi-Nya saw., yaitu berpegang teguh pada kebenaran yang kita yakini. Bukan kewajiban kita untuk menjadikan seluruh manusia meyakini kebenaran yang sama. Itu di luar kemampuan kita. Hanya Allah satu-satu-Nya yang bisa memberikan petunjuk dan menyesatkan manusia. Tuhan kita telah berfirman, ‘Sungguh, engkau hanyalah seorang pemberi peringatan dan

Allah pemelihara segala sesuatu.’ 38 …Maka, Saudaraku, pegang teguhlah wasiat ini. Jangan pernah menuntut orang-orang untuk memberikan

sesuatu yang bukan hakmu. Tetapi tuntutlah dirimu sendiri untuk menyampaikan apa yang wajib engkau sampaikan….” 39

36 Al-Sya> t} ibi> , Al-I‘tis} a> m, hlm. 18. 37 H{ amma> di> al-‘Ubaydi> , Al-Sya> t} ibi> wa Maqa> s}id al-Syari> ‘ah, hlm. 25. Dengan redaksi

yang sedikit berbeda, hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Tirmidzi> dalam bab Zuhd, nomer 2338.

38 Hu> d [11]: 12. 39 H{ amma> di> al-‘Ubaydi> , Al-Sya> t} ibi> wa Maqa> s}id al-Syari> ‘ah, hlm. 24.

Dengan kontroversi, gagasan, serta statusnya sebagai salah seorang ulama mazhab Maliki yang terkemuka di Andalusia, nama al-Sya> t} ibi> seharusnya dikutip dalam banyak literatur yang ditulis pada zamannya. Tetapi mengherankan bahwa Ibn Farh} u> n (w. 779 H.) yang hidup sezaman dengan al-Sya> t} ibi> justru tidak mencantumkan namanya dalam al-Di> ba> j al-Mudzahhab, sebuah literatur biografis yang ditulisnya tentang para ulama mazhab Maliki. Demikian pula Lisa> n al-Di> n ibn al-Khat} i> b (w. 776 H.) dan Ibn Khaldu> n (w. 784 H.); meski keduanya menulis karya tentang Granada dan para ulama yang hidup di kota tersebut pada masa mereka, tidak ada satu pun rujukan kepada al-Sya> t} ibi> dalam karya mereka berdua

itu. 40

Berdasarkan ketiadaan informasi tentang al-Sya> t} ibi> dalam literatur- literatur tersebut, Khalid Masud menduga bahwa al-Sya> t} ibi> belum populer hingga dia mempublikasikan al-Muwa> faqa> t yang selesai ditulisnya setelah tahun 771 H.. Itu menjelaskan mengapa Ibn Farh} u> n (yang menyelesaikan karyanya pada tahun 761 H.), Lisa> n al-Di> n ibn al-Khat} i> b (yang menyelesaikan karyanya pada tahun 771 H.), dan Ibn Khaldu> n (yang berkunjung dan tinggal di Granada pada tahun 764-765 H.) tidak mencantumkan nama al-Sya> t} ibi> dalam karya-karya

mereka. 41 Al-Muwa> faqa> t memang merupakan karya terpenting al-Sya> t} ibi> . Pada

mulanya, al-Sya> t} ibi> hendak menamainya dengan ‘Unwa> n al-Ta‘ri> f bi Asra> r al- Takli> f. Namun, belakangan, dia mengubah niatnya itu karena sebuah mimpi yang

dialami gurunya. Dikisahkan oleh al-Sya> t} ibi> sendiri bahwa, suatu hari, dia menemui salah seorang gurunya. Saat itu, al-Sya> t} ibi> telah mencapai tahap akhir dari penyusunan al-Muwa> faqa> t. Tiba-tiba sang guru berkata,

40 Khalid Masud, Islamic Legal Philosophy, hlm. 96-97. Bandingkan dengan H{ amma> di> al-‘Ubaydi> , Al-Sya> t}ibi> wa Maqa> s}id al-Syari> ‘ah, hlm. 86-88. 41 Khalid Masud, Islamic Legal Philosophy, hlm. 96-97. H{ amma> di> mengemukakan teori lain. Menurutnya, ketiadaan informasi tentang al-Sya> t} ibi> dalam literatur-literatur tersebut

disebabkan karena perbedaan watak, gaya hidup, dan orientasi politik di antara mereka. Al- Sya> t} ibi> cenderung bersikap asketis, sementara Lisa> n al-Di> n dan Ibn Khaldu> n condong untuk menikmati kemewahan duniawi dan kedekatan pribadi dengan penguasa. Lihat H{ amma> di> al- ‘Ubaydi> , Al-Sya> t} ibi> wa Maqa> s} id al-Syari> ‘ah, hlm. 88.

“Aku bermimpi tadi malam, melihatmu sedang memegang sebuah buku yang engkau susun. Ketika kutanyakan kepadamu tentang buku itu, engkau menjawab bahwa ia adalah al-Muwa> faqa> t. Lalu kutanyakan kembali tentang makna dari judul yang indah itu. Engkau menjawab bahwa engkau ingin memadukan antara mazhab Ibn al-Qa> sim dan Abu>

H{ 42 ani> fah….”

Meski belakangan menjadi populer, al-Muwa> faqa> t sebetulnya sempat lama terabaikan. Hanya ada dua orang—dan keduanya adalah murid al-Sya> t} ibi> sendiri—yang sempat memberikan perhatian akademis kepada karya tersebut dalam bentuk ringkasan dan naz} am. Al-Qa> d} i> Abu> Bakr ibn ‘A< s} im meringkas al- Muwa> faqa> t dalam karya yang berjudul Nayl al-Muna> fi> Ikhtisa> r al-Muwa> faqa> t.

Orang kedua, yang tidak diketahui namanya, menerjemahkan al-Muwa> faqa> t ke dalam bentuk syair ( naz} am) yang berjumlah enam ribu bait dan diberinya judul

Nayl al-Muna> 43 min al-Muwa> faqa> t. Di luar perhatian dalam bentuk dua karya tersebut, al-Muwa> faqa> t nyaris

dilupakan orang. 44 Rasyid Ridha merujuk kepada kenyataan ini ketika dia menyatakan bahwa al-Sya> t} ibi> mengalami nasib yang sama seperti Ibn Khaldu> n—

keduanya sama-sama merintis pembaharuan dalam bidang yang berbeda, tetapi

42 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 1, hlm. 16-17. Ibn al-Qa> sim (w. 191 H.) adalah murid Ma> lik ibn Anas yang paling terkemuka. Untuk uraian yang lebih lengkap, lihat Joseph Schacht,

“Ibn al-K} a> sim”, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam,WebCD Edition. Dengan menyebut Ibn al-Qa> sim, tampak bahwa al-Sya> t} ibi> enggan meletakkan Abu> H{ ani> fah dalam status yang setara dengan Ma> lik. Tetapi hal itu barangkali juga disebabkan oleh hasrat al- Sya> t} ibi> untuk memperoleh simpati dari para pengikut mazhab Maliki di Andalusia. Lihat H{ amma> di> al-‘Ubaydi> , Al-Sya> t} ibi> wa Maqa> s}id al-Syari> ‘ah, hlm. 104.

43 H{ amma> di> al-‘Ubaydi> , Al-Sya> t} ibi> wa Maqa> s}id al-Syari> ‘ah, hlm. 108. 44 ‘Abdulla> h Darra> z menyebut dua sebab mengapa al-Muwa> faqa> t dilupakan orang.

Pertama, karya ini memuat hal-hal baru serta asing. Dan ia ditulis pada abad ke-8, ketika disiplin ilmu us} ul fiqh telah mapan sehingga sesuatu yang berbeda darinya cenderung tidak diterima. Kedua, gaya tulisan al-Sya> t} ibi> yang rumit, melelahkan, dan sarat pengulangan. Lihat ‘Abdulla> h Darra> z, “Muqaddimah”, dalam al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 1, hlm. 9-10. T{ a> ha> Ja> bir al- ‘Alwa> ni> menambahkan bahwa al-Muwa> faqa> t cenderung diabaikan karena ia memuat gagasan tentang dibolehkannya mencari alasan atau ratio legis di balik hukum-hukum Tuhan—sesuatu yang bertentangan dengan keyakinan mayoritas ulama. Lihat T{ a> ha> Ja> bir al-‘Alwa> ni> , Source Methodology in Islamic Jurisprudence, terj. Yusuf Talal DeLorenzo dan Anas S. al Shaikh-Ali (Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1994), hlm. 79-80.

umat Islam tidak mengambil manfaat yang semestinya dari karya-karya yang mereka tulis. 45

Karya lain al-Sya> t} ibi> adalah al-I‘tis} a> m, sebuah buku yang tentangnya Rasyid Ridha berkomentar, “Seandainya buku ini tidak ditulis di masa kemunduran ilmu pengetahuan dan agama di kalangan umat Islam, maka ia pasti menjadi awal kebangkitan baru dari upaya menghidupkan kembali Sunnah serta

memperbaiki kondisi akhlak dan masyarakat….” 46 Buku yang berisi ajakan untuk memerangi bid‘ah dan kembali ke Sunnah ini tampaknya ditulis setelah al-

Muwa> 47 faqa> t. Dan terdapat indikasi kuat bahwa al-Sya> t} ibi> meninggal dunia sebelum dia sempat menyelesaikannya. 48

Selain al-Muwa> faqa> t dan al-I‘tis} a> m, al-Sya> t} ibi> juga menulis al-Ifa> da> t wa al-Insya> da> t (sebuah karya ensiklopedis tentang beragam peristiwa yang terjadi di masanya serta penjelasan mengenai banyak fragmen akademis dari pelbagai

disiplin keilmuan), 49 Kita> b al-Maja> lis (berisi penjelasan tentang hadits-hadits bab 50 al-Buyu> ‘ dalam S} ah} i> h} al-Bukha> ri> ), Syarh} al-Khula> s}ah (sebuah karya di

bidang nah}w yang berisi komentar dan penjelasan terhadap Alfiyyah Ibn Ma> 51 lik), ‘Unwa> n al-Ittifa> q fi> ‘Ilm al-Isytiqa> q (tentang ilmu s} arf atau morfologi

Arab), dan 52 Us} u> l al-Nah} w. Beberapa fatwa al-Sya> t} ibi> yang tercantum dalam al-

45 Rasyid Ridha, “Al-Ta‘ri> f bi Kita> b al-I‘tis} a> m”, dalam al-Sya> t} ibi> , Al-I‘tis} a> m, hlm. 4. 46 Rasyid Ridha, “Al-Ta‘ri> f bi Kita> b al-I‘tis} a> m”, dalam al-Sya> t} ibi> , Al-I‘tis} a> m, hlm. 4. 47 Itu terlihat dari beberapa anjuran al-Sya> t} ibi kepada para pembacanya untuk merujuk

kepada kitab al-Muwa> faqa> t. Lihat, misalnya, al-Sya> t} ibi> , Al-I‘tis} a> m, hlm. 21, 171, 182, dan 499.

48 H{ amma> di> al-‘Ubaydi> , Al-Sya> t} ibi> wa Maqa> s}id al-Syari> ‘ah, hlm. 113. 49 H{ amma> di> al-‘Ubaydi> , Al-Sya> t} ibi> wa Maqa> s}id al-Syari> ‘ah, hlm. 100. 50 Al-Tinbukti> menyatakan bahwa, di dalam Kita> b al-Maja> lis itu, dia menemukan

“beberapa faedah ( fawa> `id) dan penjelasan (tah}qi> qa> t) yang tidak mungkin diajarkan [kepada al- Sya> t} ibi> ] kecuali oleh Allah semata”. Lihat H{ amma> di> al-‘Ubaydi> , Al-Sya> t} ibi> wa Maqa> s} id al- Syari> ‘ah, hlm. 98.

51 Tentang buku ini, Rasyid Ridha berkomentar, “Sepengetahuan saya, tidak pernah ada karya [tentang syarh} Alfiyyah] yang setara dengannya dalam hal [baiknya] pembahasan (bahtsan)

dan identifikasi persoalan ( tah} qi> qan).” Lihat Lihat Rasyid Ridha, “Tarjamah al-Mu`allif”, dalam Al-Sya> t} ibi> , Al-I‘tis} a> m, hlm 9.

52 Kedua buku ini ( ‘Unwa> n al-Ittifa> q fi> ‘Ilm al-Isytiqa> q dan Us} u> l al-Nah} w) telah hilang sejak al-Sya> t} ibi> masih hidup. Lihat Rasyid Ridha, “Tarjamah al-Mu`allif”, dalam Al-Sya> t} ibi> , Al-

I‘tis} a> m, hlm 9.

Muwa> faqa> t dan al-I‘tis}a> m juga dikumpulkan dalam sebuah buku tersendiri yang kemudian diberi judul 53 Fata> wa> al-Sya> t} ibi> . Selain itu, terdapat dua karya lain

yang dinisbatkan kepada al-Sya> t} ibi> : sebuah manuskrip di Universitas Leiden berupa risalah tentang ilmu pengobatan 54 serta sebuah manuskrip lain di

perpustakaan 55 Ruba> t} yang berjudul al-Juma> n fi> Mukhtas> ar Akhba> r al-Zama> n. Di antara karya-karya al-Sya> t} ibi> di atas, hanya ada tiga buku yang sempat

dicetak, yaitu al-Muwa> faqa> t, al-I‘tis} a> m, dan al-Ifa> da> t wa al-Insya> da> t. Rasyid Ridha merujuk pada kenyataan ini ketika ia mengutip syair, “Cukuplah bagiku apa yang sedikit darimu. Tetapi tidaklah bisa dibilang sedikit apa yang sedikit

darimu” ( 56 qali> l minka yakfi> ni> wa la> kin qali> luka la yuqa> l lahu> qali> l).

Al-Sya> t} ibi> meninggal dunia di Granada pada hari Selasa, 8 Sya‘ban 790 H./1388 M.. 57

B. Al-Sya> t} ibi> , Maqa> s} id al-Syari> ‘ah, dan Proyek Ta`s}i> l al-Us} u> l Teori maqa> s} id al-syari> ‘ah menempati posisi yang sentral dalam pemikiran dan karya al-Sya> t} ibi> . Jika hendak dipetakan, seluruh karya dan proyek intelektual al-Sya> t} ibi> berporos pada dua kategori: ‘ulu> m al-wasa> `il dan ‘ulu> m al-maqa> s} id. Kategori pertama meliputi ilmu-ilmu bahasa yang sekedar menjadi sarana untuk

mewujudkan tujuan intelektual pada kategori kedua. 58 Meski bukan al-Sya> t} ibi> , sebetulnya, yang pertama kali mengenalkan

konsep 59 maqa> s} id al-syari> ‘ah, namun di tangannyalah konsep tersebut dielaborasi

53 H{ amma> di> al-‘Ubaydi> , Al-Sya> t} ibi> wa Maqa> s}id al-Syari> ‘ah, hlm. 99-100. 54 Khalid Masud, Islamic Legal Philosophy, hlm. 112. 55 Al-Zirikli> , Al-A‘la> m, hlm. 75. 56 Rasyid Ridha, “Al-Ta‘ri> f bi Kita> b al-I‘tis} a> m”, dalam al-Sya> t} ibi> , Al-I‘tis} a> m, hlm. 3. 57 H{ amma> di> al-‘Ubaydi> , Al-Sya> t} ibi> wa Maqa> s}id al-Syari> ‘ah, hlm. 13. 58 H{ amma> di> al-‘Ubaydi> , Al-Sya> t} ibi> wa Maqa> s}id al-Syari> ‘ah, hlm. 97. 59 Sebelum al-Sya> t} ibi> , terdapat nama-nama seperti al-Tirmidzi> al-H{ a> kim (w. 318 H.),

Abu> Mans} u> r al-Ma> turi> di> (w. 333 H.), Abu> Bakr al-Sya> syi> (w. 365 H.), al-Ba> qilla> ni> (w. 403 H.), al-Juwayni> (w. 478 H.), al-Gaza> li> (w. 505 H.), ‘Izz al-Di> n ibn ‘Abd al-Sala> m (w. 660 H.), al-T{ u> fi> (w. 716 H.), dan lain-lain. Ada bermacam-macam pendapat tentang siapakah orang pertama yang mengenalkan konsep maqa> s}id al-syari> ‘ah. H{ amma> di> al-‘Ubaydi> menyebut nama Ibra> hi> m al- Nakha‘i> (w. 96 H.), seorang ta> bi‘i> , sekaligus guru dari H{ amma> d ibn Sulayma> n yang kemudian Abu> Mans} u> r al-Ma> turi> di> (w. 333 H.), Abu> Bakr al-Sya> syi> (w. 365 H.), al-Ba> qilla> ni> (w. 403 H.), al-Juwayni> (w. 478 H.), al-Gaza> li> (w. 505 H.), ‘Izz al-Di> n ibn ‘Abd al-Sala> m (w. 660 H.), al-T{ u> fi> (w. 716 H.), dan lain-lain. Ada bermacam-macam pendapat tentang siapakah orang pertama yang mengenalkan konsep maqa> s}id al-syari> ‘ah. H{ amma> di> al-‘Ubaydi> menyebut nama Ibra> hi> m al- Nakha‘i> (w. 96 H.), seorang ta> bi‘i> , sekaligus guru dari H{ amma> d ibn Sulayma> n yang kemudian

syariat ( 61 ta`s}i> l us} u> l ‘ilm al-syari> ‘ah). Paragraf-paragraf berikut ini akan menjelaskan secara singkat unsur-unsur penting yang membentuk konsep

maqa> s} id al-syari> ‘ah dalam pemikiran al-Sya> t} ibi> . Ada setidaknya dua sebab mengapa konsep maqa> s} id al-syari> ‘ah tidak berkembang sebelum al-Sya> t} ibi> . Pertama, tidak semua ulama sepakat bahwa hukum syariat memiliki alasan atau ratio legis. Ada beberapa orang, seperti al- Ra> zi> , yang bersikeras mempertahankan pendapat bahwa hukum Tuhan sama

sekali tidak perlu dicari alasannya ( 62 laysa mu‘allalah bi ‘illah albattah) karena

Allah “ tidak ditanya tentang apa yang Dia lakukan, tetapi merekalah yang akan ditanya.” 63

Kedua, para ulama us}ul fiqh sebelum al-Sya> t} ibi> memusatkan perhatian mereka kepada pendekatan linguistik terhadap teks-teks syariat. 64 Proyek

menjadi guru Abu> H{ ani> fah. Lihat H{ amma> di> al-‘Ubaydi> , Al-Sya> t} ibi> wa Maqa> s} id al-Syari> ‘ah, hlm. 134. Sementara ‘Abd al-Rah} ma> n al-Kayla> ni> menganggap al-Juwayni> (w. 478 H.) sebagai orang pertama yang mengenalkan konsep tersebut. Lihat ‘Abd al-Rah} ma> n Ibra> hi> m al-Kayla> ni> , Qawa> ‘id

al-Maqa> s} id ‘Inda al-Ima> m al-Sya> t} ibi> ‘Ard} an wa Dira> satan wa Tah} li> lan (Damaskus: Da> r al-Fikr, 2000), hlm. 14.

60 ‘Abd al-Rah} ma> n al-Kayla> ni> menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh para ulama sebelum al-Sya> t} ibi> di bidang maqa> s}id al-syari> ‘ah bernilai sama seperti sebuah pengantar

( muqaddimah) jika dibandingkan dengan apa yang ditulisnya dalam al-Muwa> faqa> t. Lihat ‘Abd al- Rah} ma> n Ibra> hi> m al-Kayla> ni> , Qawa> ‘id al-Maqa> s} id ‘Inda al-Ima> m al-Sya> t} ibi> , hlm. 14. Sementara itu, ‘Abd al-Muta‘a> li> al-S{ a‘i> di> bahkan membandingkan jasa al-Sya> t} ibi> dalam perumusan maqa> s} id al-syari> ‘ah dengan jasa al-Sya> fi‘i> dalam perumusan us} ul fiqh. Lihat H{ amma> di> al-‘Ubaydi> , Al- Sya> t}ibi> wa Maqa> s}id al-Syari> ‘ah, hlm. 132.

61 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 1, hlm. 70. 62 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 4. 63 Surah al-Anbiya> ` [21]: 23. 64 Sebagian besar literatur us} ul fiqh menyediakan satu bagian tersendiri tentang metode-

metode dan teknik-teknik yang berlaku dalam bahasa dengan porsi yang terkadang mencapai ratusan halaman. Karya Abu> al-H{ usayn al-Bas} ri> , al-Mu‘tamad fi> Us}ul al-Fiqh, misalnya, menghabiskan kira-kira sepertiga dari hampir seribu halamannya untuk pembahasan hukum- hukum bahasa. Lihat Abu> al-H{ usayn al-Bas} ri> , Kita> b al-Mu‘tamad fi> Us}ul al-Fiqh (Damaskus: al- Ma‘had al-‘Ilmi> al-Faransi> li al-Dira> sa> t al-‘Arabiyyah, 1964). Bagian ketiga ( al-qut} b al-tsa> lits) dari al-Mustas} fa> , karya al-Gaza> li> , yang bertajuk T{ uruq al-Istitsma> r, juga secara khusus diperuntukkan bagi perumusan hukum dari teks melalui metode-metode linguistik. Lihat al- Gaza> li> , Al-Mustas} fa> min ‘Ilm al-Us} u> l (Beirut: Mu`assasah al-Risa> lah, 1997), vol. 1, hlm. 41 dan vol. 2, hlm. 5-214. Bandingkan pula dengan al-Juwayni> yang mengkhususkan 220 halaman dari metode dan teknik-teknik yang berlaku dalam bahasa dengan porsi yang terkadang mencapai ratusan halaman. Karya Abu> al-H{ usayn al-Bas} ri> , al-Mu‘tamad fi> Us}ul al-Fiqh, misalnya, menghabiskan kira-kira sepertiga dari hampir seribu halamannya untuk pembahasan hukum- hukum bahasa. Lihat Abu> al-H{ usayn al-Bas} ri> , Kita> b al-Mu‘tamad fi> Us}ul al-Fiqh (Damaskus: al- Ma‘had al-‘Ilmi> al-Faransi> li al-Dira> sa> t al-‘Arabiyyah, 1964). Bagian ketiga ( al-qut} b al-tsa> lits) dari al-Mustas} fa> , karya al-Gaza> li> , yang bertajuk T{ uruq al-Istitsma> r, juga secara khusus diperuntukkan bagi perumusan hukum dari teks melalui metode-metode linguistik. Lihat al- Gaza> li> , Al-Mustas} fa> min ‘Ilm al-Us} u> l (Beirut: Mu`assasah al-Risa> lah, 1997), vol. 1, hlm. 41 dan vol. 2, hlm. 5-214. Bandingkan pula dengan al-Juwayni> yang mengkhususkan 220 halaman dari

terpinggirkan. 65 Al-Sya> t} ibi> menghindar untuk masuk terlalu jauh ke dalam perdebatan

tentang ta‘li> l al-ah} ka> m dengan alasan bahwa hal itu merupakan bagian pembahasan ilmu Kalam, bukan us} ul fiqh. Menurutnya, cukuplah bila ditegaskan bahwa proses induksi terhadap syariat secara keseluruhan membuktikan bahwa hukum Tuhan ditetapkan demi kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat—

sesuatu yang “tidak akan ditentang oleh al-Ra> 66 zi> maupun siapa pun selainnya.”

Metode induksi dipilih oleh al-Sya> t} ibi> karena dalil partikular apa pun tidak bisa bersifat qat} ‘i> pada dirinya sendiri. Sebuah dalil yang mutawa> tir sekalipun selalu harus dipahami melalui perangkat kebahasaan tertentu yang

bersifat 67 z} anni> . Kewajiban melaksanakan shalat, misalnya, tidak bisa ditetapkan secara pasti melalui hanya satu dalil partikular dalam al-Qur`an, seperti ayat “ wa

aqi> mu> al-s} ala> h”, karena kita harus terlebih dahulu membahas persoalan- persoalan: apakah perintah itu bersifat mewajibkan ( yaqtad} i> al-wuju> b) atau tidak, apakah lafaz tersebut bermakna h} aqi> qi> atau maja> zi> , apakah perintah itu bersifat umum tanpa ada ketentuan-ketentuan yang membuatnya menjadi khusus, dan sebagainya. Maka kepastian bahwa shalat itu wajib tidak didapatkan melalui pemahaman linguistik terhadap sebuah dalil tertentu, melainkan melalui induksi

terhadap seluruh dalil dan hukum yang ada. 68 Dan metode induksi itu membuat sekumpulan dalil-dalil partikular terelevasi menjadi sebuah prinsip general.

bukunya untuk membahas konsep al-baya> n dan 13 halaman lain untuk al-istidla> l. Lihat al- Juwayni> , al-Burha> n fî Us} u> l al-Fiqh (Beirut: Da> r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), vol. 1, hlm. 39-259, serta vol. 2, hlm. 161-174. T{ a> ha> Ibra> hi> m bahkan menganggap bahwa logika us} ul fiqh merupakan salah satu cabang dari logika bahasa Arab. Lihat T{ a> ha> Ibra> hi> m, Us} u> l Badi> lah li al-Fiqh wa li al- Fikr: Musa> hamah fi> H{ all Azmah al-‘Aql al-‘Arabi> al-Muslim (Kairo: Merit li al-Nasyr wa al- Ma‘lu> ma> t, 2002), hlm. 68.

65 ‘Abdulla> h Darra> z, “Muqaddimah”, dalam al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, hlm. 4-5. 66 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 4. 67 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 1, hlm. 24. 68 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 1, hlm. 24-26.

Dengan demikian, menjadi jelas bahwa proyek peletakan dasar-dasar ilmu syariat ( ta`s}i> l al-us} u> l) yang dirancang oleh al-Sya> t} ibi> bertumpu pada upaya mendasarkan ilmu syariat di atas hal-hal yang pasti serta tak terbantahkan ( qat} ‘iyya> t) melalui metode induksi. Pada bagian paling awal dari al-Muwa> faqa> t, al-Sya> t} ibi> menyatakan, “Us} ul fiqh dalam Islam bersifat qat} ‘i> , bukan z}anni> . Dalilnya adalah karena ia disandarkan kepada prinsip-prinsip general ( kulliyya> t) dalam syariat. Apa pun yang disandarkan kepada prinsip-prinsip general itu pasti

bersifat 69 qat} ‘i> .…” Lebih jauh lagi, al-Sya> t} ibi> menegaskan bahwa ilmu syariat yang didasarkan kepada dasar yang qat} ‘i> itu memiliki tiga karakteristik dasar.

Pertama, umum dan komprehensif. Hukum-hukum syariat mencakup semua

perbuatan manusia tanpa terkecuali. Setiap aturan hukum partikular pasti bisa dirujuk kepada prinsip-prinsip umumnya. Kedua, tetap dan tidak berubah selamanya. Yang wajib akan selamanya menjadi wajib, kapan pun dan dalam keadaan apa pun. Ketiga, bersifat menentukan (h} a> kim) dan bukan ditentukan

( 70 mah> ku> m ‘alayh). Syariat menentukan amal perbuatan dan bukan sebaliknya. Sebagaimana tersirat dalam uraian di atas, teori maqa> s}id al-syari> ‘ah al-

Sya> 71 t} ibi> dibangun di atas hubungan dialektis antara prinsip-prinsip general ( kulliyya> t) dan unsur-unsur partikularnya (juz`iyya> t). Keduanya harus sama-sama

dipertimbangkan karena “siapa pun yang mengambil unsur-unsur partikular tanpa menghiraukan prinsip general yang menyatukannya, atau siapa pun yang

69 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 1, hlm. 19. 70 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 1, hlm. 54-55. 71 Kata “kulli> ” bisa diterjemahkan menjadi “general” atau “universal”. Penulis mencoba

menilik artikel Hallaq yang berjudul “The Primacy of the Qur`a> n in Sha> t} ibi> ’s Legal Theory”. Pada sebuah kasus, Hallaq menerjemahkan “kulliyya> t” menjadi “general foundations”. Sementara di tempat lain, Hallaq menerjemahkan “us} u> l kulliyyah” menjadi “universal principles”. Bahkan dia juga tercatat menggunakan kedua kata itu secara bersama-sama seperti tampak dalam pernyataannya, “…lay down the most general and universal legal principles….” Lihat Hallaq, “The Primacy of the Qur`a> n in Sha> t} ibi> ’s Legal Theory”, hlm. 75-76. Dalam penelitian ini, padanan kata yang dipilih adalah “general”, bukan “universal”, karena padanan pertama itu lebih tepat untuk dilawankan dengan “partikular” sebagai padanan kata “juz`i> ”. Lihat Cambridge Advanced Learner’s Dictionary on CD-ROM, versi 1.0 (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), entri “general”.

mengambil prinsip general tanpa mempertimbangkan unsur-unsur partikularnya, maka ia telah berbuat kesalahan.” 72

Berhadapan dengan pertanyaan apakah prinsip-prinsip general syariat bisa dibatalkan karena bertentangan dengan sebagian unsur-unsur partikularnya, al- Sya> t} ibi> menyatakan,

“Pertentangan antara unsur-unsur partikular dengan prinsip general tidak mungkin terjadi dalam syariat tanpa alasan. Jika pertentangan itu terjadi dengan alasan yang kuat, maka hal itu [harus dipahami] sebagai bagian dari upaya untuk menjaga prinsip general tersebut dari sisi yang berbeda atau untuk menjaga prinsip general lainnya. Dengan demikian, yang pertama [yakni pertentangan yang terjadi tanpa alasan] memang bisa membatalkan sebuah prinsip general. Sementara yang kedua [yakni

pertentangan yang terjadi dengan alasan yang kuat] sama sekali tidak bisa mencederai sebuah prinsip general.” 73

Oleh karena itu, pemahaman yang menyeluruh terhadap syariat akan membuktikan bahwa pertentangan antara prinsip-prinsip general dengan unsur- unsur partikularnya tidak mungkin terjadi. Dinyatakan oleh al-Sya> t} ibi> ,

“Jika sebuah prinsip general telah ditetapkan melalui proses induksi, kemudian ada sebuah teks yang memuat unsur partikular yang bertentangan dengan prinsip general tersebut dalam satu dan lain aspek, maka yang harus dilakukan adalah memadukan pemahaman antara keduanya. Tuhan tidak mungkin menetapkan sebuah unsur partikular kecuali dengan tujuan untuk menjaga prinsip-prinsip general yang ada, karena generalitas sebuah prinsip diketahui secara pasti setelah melalui

pemahaman yang menyeluruh terhadap 74 maqa> s} id al-syari> ‘ah….”

Dalam hubungannya dengan dialektika antara kulliyya> t dan juz`iyya> t, al- Sya> t} ibi> jelas-jelas menolak pemahaman yang literal terhadap teks-teks syariat—

sesuatu yang dia sebut sebagai pemahaman kaum Z{ 75 a> hiriyyah. Tetapi, di sisi lain, al-Sya> t} ibi> juga menentang pemahaman yang mementingkan makna dan

mengorbankan lafaz—pemahaman yang dia nisbatkan kepada kelompok Ba> t} iniyyah dan orang-orang yang memberi posisi terlampau penting kepada qiya> s

72 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 5. 73 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 49. 74 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 6-7. 75 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 297.

( 76 al-muta‘ammiqu> n fi> al-qiya> s). Sebaliknya, pemahaman yang benar adalah pemahaman yang mempertimbangkan lafal dan makna sekaligus, di mana

“makna tidak mengganggu teks, dan tidak pula sebaliknya, sehingga syariat dapat dijalankan berdasarkan satu aturan tunggal yang tidak mengandung

perbedaan serta pertentangan”. 77 Inilah pendapat yang, menurut al-Sya> t} ibi> , dianut oleh “mayoritas ulama yang memiliki pengetahuan mendalam” ( aktsar al-

‘ulama> 78 ` al-ra> sikhi> n). Melalui metode induksi serta perumusan kulliyya> t dan qat} ‘iyya> t dalam

syariat, al-Sya> t} ibi> kemudian membagi maqa> s} id al-syari> ‘ah menjadi dua kategori besar: 79 qas} d al-sya> ri‘ dan qas}d al-mukallaf. Kategori pertama dibaginya lagi

menjadi empat sub-kategori. Pertama, tujuan Tuhan dalam menetapkan syariat sejak awal ( qas} d al-sya> ri‘ min wad} ‘ al-syari> ‘ah ibtida> `an). Prinsip generalnya adalah bahwa syariat ditetapkan untuk memelihara maslahat manusia di dunia dan di akhirat. Di sinilah al-Sya> t} ibi> mengadopsi tiga kategori maslahat:

d} aru> riyya> t, h} a> jiyya> t, dan tah} si> niyya> t—tiga kategori yang telah dirumuskan oleh ulama lain sebelumnya, seperti al-Gaza> 80 li> .

Kedua, tujuan Tuhan dalam menetapkan syariat untuk dipahami manusia ( qas} d al-sya> ri‘ min wad} ‘ al-syari> ‘ah li al-ifha> m). Prinsip generalnya adalah bahwa Tuhan menetapkan syariat ini dalam bahasa dan cara yang bisa dipahami manusia. Karena wahyu diturunkan dalam bahasa Arab, maka ia harus dipahami sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab dengan berpedoman kepada kondisi

bangsa Arab yang 81 ummi> di masa turunnya wahyu tersebut. Ketiga, tujuan Tuhan dalam menetapkan syariat untuk memberikan takli> f

sesuai dengan apa yang dituntutnya ( qas} d al-sya> ri‘ min wad} ‘ al-syari> ‘ah li al- takli> f bi muqtad} a> ha> ). Prinsip generalnya adalah bahwa Tuhan tidak mungkin

76 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 297-298. 77 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 298. 78 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 298. 79 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 3. 80 Bagian ini diuraikan oleh al-Sya> t} ibi> dalam al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 7-49. 81 Bagian ini diuraikan oleh al-Sya> t} ibi> dalam al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 49-82.

membebani manusia dengan apa pun yang berada di luar kemampuan mereka. Karena itu, naluri-naluri dasar manusia—seperti lapar, haus, gembira, sedih, dan

lain-lain—tidak menjadi sasaran 82 takli> f. Keempat, tujuan Tuhan agar manusia tunduk kepada hukum-hukum

syariat ( qas} d al-sya> ri‘ min dukhu> l al-mukallaf tah} ta ah} ka> m al-syari> ‘ah). Prinsip generalnya adalah bahwa syariat menginginkan manusia untuk tidak tunduk kepada dorongan hawa nafsunya sehingga dia bisa menjadi hamba Allah secara sukarela sebagaimana dia telah menjadi hamba Allah secara terpaksa. Karena itu, tidak boleh ada sedikit pun anggapan bahwa syariat ditetapkan sekedar untuk

memuaskan hasrat dan dorongan nafsu manusia. 83

Empat sub-kategori di atas merupakan bagian dari maqa> s}id al-syari> ‘ah yang berhubungan dengan tujuan Tuhan dalam menetapkan syariat ( qas} d al- sya> ri‘). Sedangkan maqa> s} id al-syari> ‘ah yang berhubungan dengan tujuan manusia ( qas} d al-mukallaf) mencakup prinsip-prinsip seperti bahwa manusia harus menyesuaikan tujuan pribadinya dengan tujuan Tuhan dalam menetapkan syariat,

bahwa amal perbuatan dinilai berdasarkan niatnya, dan sebagainya. 84 Demikianlah sekilas tentang teori maqa> s} id al-syari> ‘ah menurut al-Sya> t} ibi> .

Meski disepakati bahwa bukan al-Sya> t} ibi> yang pertama kali mengenalkan istilah maqa> s} id al-syari> ‘ah, tetapi ada beragam pendapat tentang tingkat orisinalitas

pemikiran al-Sya> t} ibi> ini dan relasinya dengan pemikiran para ulama sebelumnya. Imran Ahsan, misalnya, menyebut bahwa sebagian besar gagasan dalam karya al- Sya> t} ibi> sekedar merupakan elaborasi dan pengembangan dari gagasan-gagasan al-

Gaza> 85 li> . Dengan cara yang berbeda, Khalid Masud juga menekankan bahwa perhatian terhadap prinsip-prinsip general hukum Islam, terutama di Andalusia

abad 6-8 H., bukanlah monopoli al-Sya> t} ibi> sendiri. Munculnya institusi-institusi

82 Bagian ini diuraikan oleh al-Sya> t} ibi> dalam al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 82-128. 83 Bagian ini adalah bagian terpanjang dari empat sub-kategori maqa> s}id al-syari> ‘ah yang

berhubungan dengan qas} d al-sya> ri‘ dan diuraikan oleh al-Sya> t} ibi> dalam al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 128-246.

84 Bagian ini diuraikan oleh al-Sya> t} ibi> dalam al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 246-313. 85 Imran Ahsan Khan Nyazee, Theories of Islamic Law: The Methodology of Ijtihad

(Islamabad: Islamic Research Institute, 1994), hlm. 234.

sosial, politik, dan ekonomi baru di Andalusia sebagai ganti dari institusi- institusi lama pada abad-abad tersebut memaksa para juris untuk “merujuk kepada persoalan-persoalan fundamental dalam metodologi hukum serta kepada prinsip-prinsip general dari teori hukum untuk menyelesaikan problem-problem

baru yang mereka hadapi.” 86 Apa yang dilakukan oleh al-Sya> t} ibi> merupakan refleksi langsung dan bagian tak terpisahkan dari kecenderungan tersebut.

‘A< bid al-Ja> biri> , di sisi lain, menekankan adanya sebuah peralihan epistemologis antara gagasan al-Sya> t} ibi> dengan gagasan para ulama

sebelumnya. 87 Dibandingkan dengan pemikiran al-Sya> t} ibi> , apa yang ditulis al- Gaza> li> mengenai maqa> s}id al-syari> ‘ah, menurut al-Ja> biri> , sekedar merupakan

“catatan pinggir” ( ha> misy). Lebih jauh lagi, al-Ja> biri> menulis, “Jika perhatian terhadap aspek maqa> s} id merupakan gagasan klasik yang

diajukan sendiri oleh syariat Islam, maka terdapat perbedaan yang besar serta luas antara para ulama yang membangun pemikiran dan ijtihad mereka di atas metode qiya> s, yaitu analogi far‘ terhadal as} l melalui sebuah persamaan yang mereka sebut ‘illah, dan sama sekali tidak memperhatikan tujuan syariat atau maslahat kecuali ketika mereka kesulitan menemukan ‘illah sehingga maslahat itu kemudian mereka kategorikan sebagai ‘illah muna> sibah (sebagaimana dilakukan oleh, misalnya, al-Gaza> li> )…sungguh terdapat perbedaan besar antara mereka yang menggunakan metode tersebut dengan orang yang menjadikan perhatian terhadap maqa> s} id sebagai dasar pemikiran dan ijtihadnya, sementara hal-hal lain, seperti ‘illah, istitsma> r al-alfa> z} , dan seterusnya, hanya dijadikannya sebagai

unsur-unsur pembantu.” 89

Menarik juga untuk diamati bahwa al-Ja> biri> menganggap pemikiran al- Sya> t} ibi> sebagai bagian dari proyek peralihan epistemologis dalam ilmu-ilmu keislaman yang berbasis teks—sebuah proyek yang disebutnya sebagai “ ta`si> s al- baya> n ‘ala> al-burha> n”, pendasaran ilmu-ilmu tekstual di atas basis yang bersifat

86 Khalid Masud, Islamic Legal Philosophy, hlm. 82. 87 Muh{ ammad ‘A< bid al-Ja> biri> , Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi> : Dira> sah Tah} li> liyyah Naqdiyyah

li Nuz} um al-Ma‘rifah fi> al-Tsaqa> fah al-‘Arabiyyah (Beirut: al-Da> r al-Bayd} a> `, cet. 7, 2000), hlm. 527.

88 Al-Ja> biri> , Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, hlm. 521. 89 Muh{ ammad ‘A< bid al-Ja> biri> , Wijhah al-Naz} ar (Beirut: Markaz Dira> sa> t al-Wih{ dah al-

‘Arabiyyah, 1994), hlm. 57.

rasional. Proyek ini, menurut al-Ja> biri> , berkembang di Andalusia dan Magrib abad 5-8 H., dimulai oleh Ibn H{ azm, dilanjutkan oleh Ibn Rusyd, lalu oleh al-

Sya> 90 t} ibi> , lalu oleh Ibn Khaldu> n. Tentu saja relasi antara pemikiran keempat tokoh tersebut perlu diuji dalam skala yang lebih luas dan komprehensif.

Di atas semua itu, sumbangan terbesar al-Sya> t} ibi> terletak pada peletakan dasar-dasar metodologis serta perluasan konsep maqa> s} id al-syari> ‘ah. Bahkan hingga di zaman ini, ketika telah banyak karya ditulis untuk mengkaji maqa> s} id al-syari> ‘ah, karya al-Sya> t} ibi> tetap dianggap sebagai “sumber asal bagi karya- karya yang muncul belakangan, sumber yang tidak mungkin diabaikan, terutama dalam persoalan yang berhubungan dengan kulliyya> t, dasar-dasar umum, serta

tujuan-tujuan syariat.”