Al-Sya> t} ibi> dan Tafsir al-Qur `an Al-Sya> t} ibi> lebih dikenal sebagai seorang us} u> li> (ulama us} ul fiqh) daripada

C. Al-Sya> t} ibi> dan Tafsir al-Qur `an Al-Sya> t} ibi> lebih dikenal sebagai seorang us} u> li> (ulama us} ul fiqh) daripada

sebagai mufassir. Daftar karya-karya al-Sya> t} ibi> juga tidak memuat bukti apa pun bahwa dia pernah menulis kitab tafsir. Informasi tentang reputasi al-Sya> t} ibi> sebagai mufassir justru terlihat dalam data-data biografis di beberapa literatur. ‘A< dil Nuwayhid} , misalnya, mencantumkan nama al-Sya> t} ibi> dalam karya yang berisi daftar para mufassir al-Qur`an sejak awal perkembangan Islam hingga kira-

kira pertengahan abad 20. 92 Dia juga mengutip pernyataan Ahmad Ba> ba> al- Tinbukti> bahwa al-Sya> t} ibi> memiliki jasa “kepeloporan yang nyata ( al-qadam al-

ra> sikh) dan kepemimpinan yang agung (al-ima> mah al-‘uz} ma> ) dalam pelbagai disiplin keilmuan, seperti fiqh, us} ul fiqh, tafsir, hadits, bahasa Arab, dan lain-

90 Untuk uraian lengkap tentang proyek ini, lihat al-Ja> biri> , Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, hlm. 491-532.

91 H{ amma> di> al-‘Ubaydi> , Al-Sya> t} ibi> wa Maqa> s}id al-Syari> ‘ah, hlm. 110. 92 ‘A< dil Nuwayhid} , Mu‘jam al-Mufassiri> n min S{ adr al-Isla> m h} atta> al-‘As} r al-H{ a> d} ir, vol.

1 (Beirut: Mu`assasah Nuwayhid{ al-Tsaqa> fiyyah, cet. 3, 1988), hlm. 23.

lain.” 93 Selain itu, ‘Umar Rid} a Kah} h{ alah juga menyebut al-Sya> t} ibi> sebagai mufassir, selain sebagai muh} 94 addits, faqi> h, us} u> li> , dan lugawi> .

Dalam proses intelektualnya, al-Sya> t} ibi> mempelajari tafsir dan ‘ilm al- qira> `a> t. Dia mengisahkan bahwa gurunya, Ibn al-Fakhkha> r, pernah mengajarkan cara membaca ayat 71 dari surah al-Baqarah. Orang yang membaca ayat tersebut seharusnya berhenti ( waqf) pada frasa “qa> lu> al-a> n”, untuk kemudian melanjutkannya dengan “ji`ta bi al-h}aqq”. Dengan cara pembacaan semacam itu, ayat tersebut akan bermakna, “Sekarang [kami paham apa yang engkau maksud].

Engkau [selalu] membawa kebenaran.” 95 Selain itu, posisi sentral al-Qur`an dalam struktur pemikiran al-Sya> t} ibi>

juga merupakan sesuatu yang jelas terasa. Seluruh prinsip general dari maqa> s} id al-syari> ‘ah, menurut al-Sya> t} ibi> , diinduksikan dari al-Qur`an, atau, lebih khusus

lagi, dari ayat-ayat 96 makkiyyah. Dalam pernyataan al-Sya> t} ibi> sendiri, al-Qur`an merupakan “dasar pertama dari seluruh dasar yang ada ( as} l al-us} u> l) serta tujuan

terakhir dari pemikiran para pemikir dan pengetahuan para mujtahid”. 97 Di luar itu semua, ada setidaknya tiga gagasan al-Sya> t} ibi> yang sering

dikutip dalam kajian-kajian tafsir. Pertama, tentang kesatuan tematis ayat-ayat al-Qur`an ( al-wih} dah al-mawd} u> ‘iyyah li al-Qur`a> n al-kari> m). Sonia Wafiq, misalnya, menyatakan bahwa al-Sya> t} ibi> , sebagaimana terlihat dalam

93 ‘A< dil Nuwayhid} , Mu‘jam al-Mufassiri> n, hlm. 23. Pernyataan yang nyaris sama juga dikemukakan oleh Rasyid Ridha. Lihat Rasyid Ridha, “Tarjamah al-Mu`allif”, dalam al-Sya> t} ibi> ,

Al-I‘tis} a> m, hlm 8. 94 ‘Umar Rid} a> Kah} h} a> lah, Mu‘jam al-Mu`allifi> n, hlm. 118.

95 H{ amma> di> al-‘Ubaydi> , Al-Sya> t} ibi> wa Maqa> s}id al-Syari> ‘ah, hlm. 67. Surah al-Baqarah [2]: 71 itu berbunyi,

M | _ Å∞÷ ⎯z ↔t≈ #$9ø θ#( 9ä %s$ 4 $ γy ùÏ‹ πs ‹u ©Ï ω  π× ϑy =¯ ¡| Βã ^ y tpö :ø #$ ’ +Å ¡ó ?s ω Ÿ ρu Ú u { F‘ö #$ ç ?èVÏ Α× θ 9ä Œs ω  tο× )s /t κp$ )ÎΞ¨ Αã θ )à ƒt … μç )ÎΡ¯ Αt %s$ ∠∩ ∪⊇ χ š θ èy=è ø ƒt ρ#( Šß .x% $ Βt ρu $ δy tçθ 2r ‹x ùs 4 s y,dÈ 9ø /Î$$ 96 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 30-31 dan 33-36. Bandingkan dengan

H{ amma> di> al-‘Ubaydi> , Al-Sya> t} ibi> wa Maqa> s} id al-Syari> ‘ah, hlm. 137 dan Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories, hlm. 189-190.

97 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 31.

penafsirannya terhadap surah al-Mu`minu> 98 n, merupakan salah seorang ulama paling awal, jauh sebelum al-Biqa> 99 ‘i (w. 885 H.)> , yang merumuskan gagasan tentang surah dalam al-Qur`an sebagai sebuah unit tematis. 100 Gagasan al- Sya> 101 t} ibi> itu kemudian mengilhami Muh} ammad ‘Abdullah Darra> z untuk

melakukan kajian metodologis terhadap gagasan kesatuan tematik al-Qur`an— sesuatu yang menjadi cikal bakal munculnya metode tafsir 102 mawd} u> ‘i> . Dengan

mengutip al-Sya> t} ibi> , Muh} ammad ‘Abdullah Darra> z menyatakan dalam karyanya, al-Naba` al-‘Az}i> m: Naz} ara> t Jadi> dah fi> al-Qur`a> n, bahwa,

“seberagam apa pun persoalan-persoalan yang dikandung oleh satu surah, ia tetap merupakan sebuah pernyataan tunggal ( kala> m wa> h} id) di mana bagian awalnya mengkonfirmasikan bagian akhirnya, dan demikian pula sebaliknya. Dalam totalitasnya itu, seluruh bagian dari sebuah surah mengandung satu tujuan ( garad} ) yang sama, sebagaimana beberapa kalimat saling terjalin satu sama lain untuk mengekspresikan sebuah

gagasan yang sama pula.” 103

Berdasarkan penelusuran terhadap karya-karya metodologis di bidang tafsir mawd} u> ‘i> , Mohamed El-Tahir El-Misawi menekankan adanya konvergensi antara tujuan serta pendekatan yang digunakan oleh para pendukung tafsir

98 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 311-314. 99 Al-Biqa> ‘i> dianggap sebagai salah satu pelopor metode tafsir mawd} u> ‘i> , terutama dalam

hal yang menyangkut kesatuan tematis setiap surah dalam al-Qur`an. Lihat S} ala> h} ‘Abd al-Fatta> h} al-Kha> lidi> , Al-Tafsi> r al-Mawd} u> ‘i> bayna al-Naz} ariyyah wa al-Tat} bi> q: Dira> sah Naz} ariyyah wa Tat}bi> qiyyah Murfaqah bi Nama> dzij wa Lat}a> `if al-Tafsi> r al-Mawd} u> ‘i> (Yordania: Da> r al-Nafa`is, 1997), hlm. 57.

100 Sonia Wafiq, “Manhaj al-Tafsi> r al-Mawd} u> ‘i> wa al-H{ a> jah ilayh”, dalam Buh} u> ts Mu`tamar Mana> hij Tafsi> r al-Qur`a> n al-Kari> m wa Syarh} al-H{ adi> ts al-Syari> f (Kuala Lumpur: Dept.

of Qur`an and Sunnah Studies, Kulliyyah of IRKHS, IIUM, 2006), hlm. 651. 101 Muh} ammad ‘Abdulla> h Darra> z adalah putera dari ‘Abdulla> h Darra> z, muh} aqqiq kitab Al-Muwa> faqa> t, karya al-Sya> t} ibi> . 102 Mohamed El-Tahir El-Misawi, “The Meaning and Scope of al-Tafsir al-Mawdu‘i: A

Comparative Historical Analysis” dalam Papers of the International Conference on the Qur`an and Sunnah: Methodologies of Interpretation (Kuala Lumpur: Dept. of Qur`an and Sunnah Studies, Kulliyyah of IRKHS, IIUM, 2006), hlm. 134. Berdasarkan inspirasi dari para ulama terdahulu—terutama al-Sya> t} ibi> —itu, Muh} ammad ‘Abdulla> h Darra> z kemudian mencoba menafsirkan surah al-Baqarah, surah terpanjang dalam al-Qur`an, dengan menekankan kesatuan tematis antar unsur-unsurnya. Lihat Muh} ammad ‘Abdulla> h Darra> z, Al-Naba` al-‘Az}i> m: Naz} ara> t Jadi> dah fi> al-Qur`a> n (Kuwait: Da> r al-Qalam, cet. 4, 1977), hlm. 163-210.

103 Muh} ammad ‘Abdulla> h Darra> z, Al-Naba` al-‘Az}i> m, hlm. 159. Bandingkan pernyataan ini dengan al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 309-310.

mawd} u> ‘i> dengan apa yang digagas oleh al-Sya> t} ibi> dalam karyanya, al- Muwa> 104 faqa> t. Itu yang membuat al-Sya> t} ibi> dipandang sebagai salah satu

pemberi inspirasi terpenting bagi munculnya metode tafsir mawd} u> ‘i> pada beberapa dekade terakhir. 105

Kedua, gagasan al-Sya> t} ibi> tentang turunnya al-Qur`an kepada bangsa Arab yang ummi> sehingga tafsir yang benar terhadapnya tidak boleh melampaui kondisi nyata bangsa Arab saat itu. Gagasan ini biasa dikutip untuk membantah

tafsir saintifik ( 106 al-tafsi> r al-‘ilmi> ) terhadap al-Qur`an, atau untuk menegaskan bahwa pemahaman yang benar terhadap al-Qur`an adalah pemahaman yang

sesuai dengan fitrah dasar manusia. 107 Di sisi lain, tidak semua ulama tafsir

menerima pendapat al-Sya> t} ibi> tersebut. Dalam bagian mukaddimah untuk kitab tafsirnya, al-Tah} ri> r wa al-Tanwi> r, al-T} a> hir ibn ‘A< syu> r, misalnya, mengutip pendapat al-Sya> t} ibi> itu untuk kemudian menolaknya dengan enam alasan yang seluruhnya berpusat pada argumen bahwa petunjuk al-Qur`an tidak boleh

dibatasi hanya bagi masyarakat zaman tertentu. 108 Ketiga, pandangan al-Sya> t} ibi> tentang penerjemahan al-Qur`an. Pada

paruh pertama abad 20, berlangsung beberapa perdebatan di Mesir dan Turki tentang absah atau tidaknya upaya menerjemahkan al-Qur`an. Sebagian pemikir yang terlibat dalam perdebatan tersebut menggunakan konsep makna primer dan

104 Mohamed El-Tahir El-Misawi, “The Meaning and Scope of al-Tafsir al-Mawdu‘i: A Comparative Historical Analysis”, hlm. 132. 105 Fahd ibn ‘Abd al-Rah} ma> n ibn Sulayma> n al-Ru> mi> , Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-H{ adi> tsah fi> al-Tafsi> r (Beirut: Mu`assasah al-Risa> lah, 1407 H.), hlm. 232-233. 106 Lihat, misalnya, Fahd al-Ru> mi> , Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-H{ adi> tsah fi> al- Tafsi> r, hlm. 267; al-Dzahabi> , Al-Ittija> ha> t al-Munh} arifah fi> Tafsi> r al-Qur`a> n al-Kari> m: Dawa> fi‘uha>

wa Daf‘uha> (t.t.p: Da> r al-I‘tis} a> m, cet. 2, 1978), hlm. 92-93; ‘Abd al-Maji> d ‘Abd al-Sala> m al- Muh} tasib, Ittija> ha> t al-Tafsi> r fi> al-‘As} r al-H{ adi> ts (Beirut: Da> r al-Fikr, tt.), hlm. 297-302; atau Irwan, “Tafsir bi al-‘Ilmi dalam Perspektif al-Syathibi” (Tesis pada Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2000), hlm. 121.

107 S{ a> lih} Qadi> r Zanki> , “Qawa> ‘id fi> Tafsi> r al-Nas} s} al-Syar‘i> ‘inda al-Ima> m al-Sya> t} ibi> ”, dalam Buh} u> ts Mu`tamar Mana> hij Tafsi> r al-Qur`a> n al-Kari> m wa Syarh} al-H{ adi> ts al-Syari> f, hlm.

358. 108 Muh} ammad al-T{ a> hir ibn ‘A< syu> r, al-Tah} ri> r wa al-Tanwi> r (Tunis: al-Da> r al-Tu> nisiyyah

li al-Nasyr, 1984), vol. 1, hlm. 44-45. Keenam argumen tersebut akan dijelaskan secara lebih terperinci pada bagian mendatang.

makna sekunder al-Sya> t} ibi> untuk menyatakan bahwa penerjemahan al-Qur`an absah untuk dilakukan. 109 Tetapi, pada sisi yang berlawanan, terdapat pemikir

lain, seperti al-Zarqa> 110 ni> , yang menggunakan konsep yang sama dari al-Sya> t} ibi> untuk melarang upaya penerjemahan tersebut. Konsep tentang makna yang

diajukan al-Sya> t} ibi> itu beserta perdebatan mengenainya akan diuraikan pada bagian mendatang.

Di luar tiga gagasan di atas, ada beberapa hal lain yang dinisbatkan kepada al-Sya> t} ibi> . S} a> lih} Qadi> r Zanki> , misalnya, menyebutkan lima belas kaidah

tafsir yang bisa dirumuskan dari 111 al-Muwa> faqa> t. Dalam pengantar untuk tulisannya itu, S} a> lih} Qadi> r Zanki> menulis,

“Imam al-Sya> t} ibi> merupakan seorang ulama bijaksana yang meletakkan dasar-dasar ilmiah bagi interpretasi teks-teks tasyri> ‘ agar penggunaan teks-teks tersebut bisa menghasilkan pemahaman yang benar terhadap maksud Sang Pemilik syariat serta menghindari pemahaman yang serampangan ( taqawwul) terhadapnya…Di antara dasar-dasar tersebut, terdapat beberapa kaidah yang juga pernah dirumuskan oleh ulama-ulama selain al-Sya> t} ibi> , namun al-Sya> t} ibi> berhasil menambahkan corak khusus kepadanya. Dan sebagian yang lain belum pernah dirumuskan oleh ulama

selainnya.” 112

Posisi penting al-Qur`an dalam konstruk pemikiran al-Sya> t} ibi> juga ditegaskan oleh Wael B. Hallaq dalam tulisannya, “The Primacy of the Qur`a> n in Sha> t} ibi> ’s Legal Theory”. Mengomentari tulisan tersebut, Mohamed El-Tahir El- Misawi menyatakan bahwa Hallaq berhasil menunjukkan upaya al-Sya> t} ibi> untuk “menjembatani jurang pemisah antara yurisprudensi Islam dan tafsir al-Qur`an

109 Ah} mad Ibra> hi> m Mahna, Dira> sah H{ awla Tarjamah al-Qur`a> n al-Kari> m (ttp.: Mat} bu> ‘a> t al-Sya‘b, tt.), hlm. 35 dan 60. 110 Al-Zarqa> ni> , Manahil al-‘Irfa> n, vol. 2, hlm. 179-182. 111 S{ a> lih} Qadi> r Zanki> , “Qawa> ‘id fi> Tafsi> r al-Nas} s} al-Syar‘i> ‘inda al-Ima> m al-Sya> t} ibi> ”,

hlm. 353-371. 112 S{ a> lih} Qadi> r Zanki> , “Qawa> ‘id fi> Tafsi> r al-Nas} s} al-Syar‘i> ‘inda al-Ima> m al-Sya> t} ibi> ”, hlm. 354.

dengan membangun hermeneutika hukumnya di atas dasar metode induksi tematis”. 113

Uraian di atas menunjukkan bahwa al-Sya> t} ibi> mengemukakan secara cukup eksplisit konsepnya tentang prinsip dan metode tafsir al-Qur`an. Beberapa di antaranya memicu respons dan tanggapan dari para pemikir lain setelahnya, terutama di masa modern ini. Bab berikut akan diperuntukkan bagi elaborasi atas prinsip-prinsip tafsir al-Sya> t} ibi> tersebut.

113 Mohamed El-Tahir El-Misawi, “The Meaning and Scope of al-Tafsir al-Mawdu‘i: A Comparative Historical Analysis”, hlm. 132.

BAB III