Asyhari Metodologi Kritik Tafsir Al Habsyi

TESIS

Diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh Gelar Magister Agama dalam bidang Pengkajian Islam

Oleh

ASYHARI NIM: 06.2.00.1.14.08.0073

Pembimbing

Dr. MUCHLISH M. HANAFI, MA

KONSENTRASI ULUM AL-QUR'AN SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1429 H/2008 M

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama

: Asyhari

Nomor Pokok Mahasiswa

Tempat/ Tanggal Lahir

: Kediri, 21 Juni 1979

Pekerjaan : Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (STIT &K) Dar Aswaja Rohil Riau

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis saya yang berjudul ”METODOLOGI KRITIK TAFSIR: AL-HABASYI (1910-2008 M)” adalah benar karya asli saya, kecuali yang saya sebutkan sumbernya. Apabila dikemudian hari terdapat di dalamnya kesalahan, maka hal tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya dengan konsekuensi pencabutan gelar.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.

Jakarta, 23 Desember 2008 Yang Menyatakan

Asyhari

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis yang berjudul ”METODOLOGI KRITIK TAFSIR: AL-HABASYI (1910-2008 M)”, yang ditulis oleh Asyhari, Nomor Induk Mahasiswa 06.2.00.1.14.08.0073 , konsentrasi Ulum al-Qur'an telah disetujui untuk dibawa ke dalam ujian tesis.

Pembimbing,

Dr. Muchlis M. Hanafi, MA

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Tesis yang berjudul ”METODOLOGI KRITIK TAFSIR: AL-HABASYI (1920-2008 M)” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Magister Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal

23 Desember 2008. Tesis ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Agama (MA) Bidang Pengkajian Islam, Konsentrasi Ulum al-Qur'an.

Jakarta, 23 Desember 2008

Sidang Munaqosyah

1. Dr.Fuad Jabali, MA

1. .............................. Ketua Sidang

2. Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA

2. .............................. Penguji

3. Dr. Yusuf Rahman, MA

3. ............................... Penguji

4. Dr. Muchlis Hanafi, MA

4. .............................. Pembimbing / Penguji

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah ta'ala, Tuhan semesta alam. Salawat dan salam Allah semoga tetap terlimpah pada nabi Muhammad, keluarga dan para sahabat serta para pengikutnya. Amin

Penyelesaian penulisan tesis ini tidak dapat terlepas dari bantuan, dukungan dan partisipasi segenap pihak, baik secara langsung atau tidak, secara moril maupun materil. Karena itu dengan segala kerendahan hati dan kebesaran jiwa, penulis haturkan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA dan Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, masing- masing sebagai Rektor dan Direktur Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk memberi kesempatan menempuh pendidikan di program magister Ilmu Agama.

2. Departemen Agama RI yang telah memberi bea siswa kepada penulis, selama dalam pendidikan di Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Yusuf Rahman, MA, Dr. Mukhlis Hanafi, MA, masing-masing sebagai penanggung jawab program bea siswa konsentrasi Ulumul Qur'an dan pembimbing tesis yang telah memberi bimbingan dan motifasi penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini.

4. Seluruh tenaga pengajar (dosen) pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak mungkin penulis sebutkan namanya satu persatu, yang telah memberi warna pada diri penulis selama menempuh pendidikan.

5. Dr.Syekh Samir al-Qadi, Dr. Syekh Tarik al-Laham al-Husaini, Syekh Muhammad Aukal al-Husaini, Syekh Khairudin al-Abbas, seluruhnya adalah para murid syekh Abd Allah al-Harari al-Habasyi yang telah memberikan usulan dan bimbingan kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini.

6. Seluruh keluarga khususnya sang ibu tercinta ibu Masrifah dan istri tercinta Arini al- Haqqah serta anak Surahbil Ahmad Musaddad dan Muhammad Haidar Ali yang selalu memberi motifasi penulis untuk selalu fokus dalam penyelesaian tesis.

7. Pemerintah Daerah (PEMDA) Riau yang telah memberikan bantuan dana penulisan tesis.

8. Para sahabat dari Syabab Ahlussunnah Wal Jama'ah (SYAHAMAH) yang juga

banyak memberi sumbangan pemikiran demi terselesaikan penulisan tesis ini.

9. Para teman kuliah senasib sepenanggungan yang telah rela berbagi suka dan citanya dengan penulis selama menempuh pendidikan. Akhirnya semoga tesis ini bermanfaat khususnya bagi para pemerhati pecinta ilmu- ilmu al-Qur'an dan tafsir dan umunya umat Islam yang haus akan penelitian-penelitian bernuansa pencerahan tafsir al-Qur'an. Amin

Jakarta

23 Desember 2008 M

25 Dzulhijjah 1429 H

ABSTRAK

Asyhari: Metodologi Kritik Tafsir: al-Habasyi (1910-2008 M) Terjadinya kesalahan dalam tafsir al-Qur'an adalah sesuatu yang logis, karena ia adalah hasil pemikiran manusia yang relatif. Maka sebagai langkah antisipasi, para ulama tafsir telah mengembangkan tradisi kritik tafsir, agar tafsir yang menyimpang dapat terindentifikasi sedini mungkin. Menurut al-Habasyi, kriteria yang harus dikedepankan dalam aplikasi kritik tafsir adalah kesatuan dan keterpaduan usûl al-syari'ah. Kesimpulan ini muncul mengingat bahwa sebagai sumber utama ajaran Islam, al-Qur'an tidak mungkin kontradiktif dengan sunnah sebagai bayan-nya dan ijma' sebagai penguatnya serta akal sebagai saksi kebenarannya. Penelitian ini dilakukan untuk memperkuat penelitian-penelitian sebelumnya dalam bidang kritik tafsir, yang telah berhasil membuktikan adanya penyimpangan- penyimpangan dalam tafsir al-Qur’an. Penelitian tersebut antara lain seperti yang dilakukan oleh Muhammad Husain al-Dzahabi dengan "al-Ittijahât al-Munharifah fi Tafsir al-Qur’an al-Karîm ", Abd Allâh al-Ghumâri dengan "Bida’ al-Tafâsir". Secara tidak langsung penelitian ini juga membantah kesimpulan sementara sarjana al-Qur'an kontemporer, semisal Nasr Hamid Abu Zayd yang menyatakan bahwa tafsir al-Qur’an bersifat nisbiy secara mutlak, sehingga tidak selayaknya ada klaim salah dan benar dalam tafsir. Sumber yang dipakai dalam penelitian ini adalah semua buku karya Abd Allâh al- Habasyi sebagai sumber primer, dan buku-buku yang berkaitan dengan kritik tafsir secara umum sebagai sumber skunder. Data-data yang diperoleh, dibaca dengan menggunakan content analisys. Pertama-tama dilakukan penelusuran dan pengumpulan aplikasi kritik tafsir al Habasyi yang tersebar dalam sebagian besar karyanya (sumber primer). Kemudian mengklasifikasinya menjadi dua kelompok, yaitu; obyek kritik tafsir dan kriteria kritik tafsir. Setelah itu dianalisa dengan membandingkannya dengan data dari sumber skunder.

ABSTRACT Asyhari: A Methodology of Criticizing Tafsir: al-Habasyi (1910 – 2008 M) To make wrong interpretations in making tafsir of the Qur'an is something logic because

the humans' mind is relative. To anticipate this, the scholars who are knowledgeable in making tafsir have developed the tafsir criticizing tradition, so that the deviated interpretations can be identified as early as possible. According to al-Habasyi, the criteria that have to be put upfront in applying the tafsir criticism is the unity of usul al-syari'ah. This is concluded so as the Qur'an, as the main source of the Islamic teaching, cannot be contradictive with the sunnah as its bayan, ijma' as its strength, and the mind as the witness of its truth.

This research is done to support previous researches in criticizing tafsir that have successfully proven that there are deviations in making tafsir of the Qur'an. The book "al- Ittijahat al-Munharifah fi Tafsir al-Qur'an al-Karim " written by Muhammad Husain al- Dzahabi and the book "Bida' al-Tafasir" written by Abd Allah al-Ghumari are two of them. This research also indirectly rebuts the conclusion of contemporary Qur'an scholars such as Nasr Hamid Abu Zayd, who stated that the tafsir of the Qur'an was absolute by nature that there would be no right or wrong in making tafsir.

The sources used in this research are all the works of Abd Allah al-Habasyi as the primary source, and other books related to criticizing tafsir in general as the secondary source. The data gathered are read using the content analysis. Firstly, the data spread in most of al-Habasyi's works, as the primary source, are traced and gathered. Secondly, is to classify them into two groups: the object of cricizing tafsir and the criteria of criticizing tafsir. And then all the data are analyzed by comparing them with the data taken from the secondary source.

PEDOMAN TRANSLITERASI

A. Konsonan

Huruf Huruf Latin Huruf

Huruf Latin

B. Vokal

Vokal tunggal

Vokal Panjang

Vokal Rangkap

: ْﻲَـــــ = ai

ْﻮـَــــ = aw

C. Lain-lain

-Transliterasi syaddah atau tasydid dilakukan dengan menggandakan huruf yang sama -Transliterasi ta` marbutah adalah "h", termasuk ketika ia diikuti oleh kata sandang "al" ( لا) -Kata sandang " لأ" ditransliterasikan dengan "al" diikuti dengan kata penghubung "-", baik dengan huruf qamariyyah maupun syamsyiah -Transliterasi kata " " yang tersambung dengan kata lain sebelumnya ditulis secara ﷲأ terpisah. -Nama-nama dan kata-kata yang telah ada versi populernya dalam tulisan latin, pada umumnya, akan ditulis berdasarkan versi populer tersebut.

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kemungkinan akan munculnya penyimpangan-penyimpangan dalam tafsir, khususnya dalam al-tafsir bi al-ra`yi telah diisyaratkan oleh Rasulullah, mufassir resmi al-Qur'an. Terpecah belahnya umat Islam menjadi beberapa sekte dan aliran, baik dalam bidang teologi maupun fikih terbukti menjadi salah satu pemicu terbesar munculnya penyimpangan-penyimpangan tersebut. Panatisme madzhab telah menjadikan mereka tidak dapat bersikap obyektif dalam pembacaan al-Qur'an. Tafsir al-Qur'an digunakan sebagai justifikasi kebenaran madzhab yang dianutnya.

Keadaan seperti ini, menjadi keprihatianan para 'ulama al-Qur'an. Sehingga mereka merasa terpanggil untuk merumuskan kaidah-kaidah penafsiran, syarat-syarat mufassir dan hal-hal yang wajib dijauhi oleh seorang mufassir. Dengan berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, kemudian mereka mengembangkan tradisi kritik tafsir, untuk mengidentifikasi tafsir-tafsir yang menyimpang. Namun tradisi yang berujung pada klaim benar dan salah tersebut dinilai oleh sebagian pihak belum memiliki kriteria dan standart yang universal, dan tidak dapat diterima oleh semua pihak.

Untuk menjawab persoalan di atas, al-Habasyi menawarkan sebuah metodologi kritik tafsir berupa usûl al-syari'ah. Bahwa semua reinterpretasi terhadap al-Qur'an tidak boleh kontradiktif dengan satu kesatuan usûl al-syari'ah (al-Qur'an, hadits dan ijma'). Karena kebenaran ketiga sumber syari'at tersebut bersifat qat'iy/absolut, sehingga tidak mungkin saling betentangan satu dengan lainnya.

Metodologi kritik tafsir al-Habasyi, secara umum lahir dari sebuah adagium yang mengatakan bahwa sebuah dalil yang muhtamal (mengandung kemungkinan salah dan benar) menjadi tidak mu'tabar (tidak bernilai), apabila bertentangan dengan dalil yang lebih kuat. Seperti orang yang mendengar berita kematian Zaid, kemudian

ia secara lansung bertemu dengan Zaid dalam keadaan masih hidup. 1 Atas dasar tersebut al-Habasyi berkesimpulan bahwa interpretasi manusia terhadap ayat yang

zanniy al-dilâlah yang bersifat muhtamal, harus tunduk pada pemahaman al-Qur'an yang qat'iy (absolut) kebenarannya (muhkam al-Qur'an, tafsir Nabi, dan tafsir mujma' 'alaihi ).

1 'Alau al-Dîn al-Bukhâri, Syarh Usûl al-Bazdawi, Juz 2, h.671

1. Pemahaman ayat muhkamat harus berdasarkan bahasa arab saat al-Qur'an diturunkan.

2. Interpretasi ayat zanniy al-dilâlah/ mutasyâbihat harus disinkronkan dengan sunnah Nabi, tidak boleh kontradiktif dengannya.

3. Interpretasi ayat zanniy al-dilâlah/ mutasyâbihat juga harus disinkronkan dengan pemahaman ayat muhkamat.

4. Interperetasi ayat zanniy al-dilâlah/ mutasyâbihat tidak boleh kontradiktif dengan ajaran-ajaran yang telah disepakati (mujma' 'alaihi).

5. Kebenaran interpretasi al-Qur'an juga harus dapat dibuktikan secara akal, karena akal adalah syâhid al-syara'. Dasar pemikiran aplikasi usûl al-syarî'ah dalam kritik tafsir adalah sebagai

berikut:

1. Al-Qur'an diturunkan sebagai petunjuk (hudan) bagi manusia dan diturunkan dengan menggunakan bahasa arab yang jelas, karenanya semua ayat al-Qur'an pasti dapat dipahami oleh manusia. Dengan doktrin al-Habasyi menolak pendapat kelompok wahhabi dan kelompok literalis lainnya yang berpendapat bahwa tidak ada manusia yang mengetahui makna ayat mutasyâbihat. Sebab tidak ada yang mengetahui makna ayat mutasyâbihat kecuali hanya Allah. Menurut al-Habasyi, pendapat kelompok literais ini bertentangan dengan fungsi al-Qur'an sebagai petunjuk, juga bertentangan dengan kenyataan bahwa al-Qur'an diturunkan dengan memakai bahasa arab yang jelas. Lebih fatal lagi menurutnya, pendapat tersebut juga merupakan bentuk pelecehan terhadap nabi, bahwa nabi mengajak manusia pada sesuatu yang ia sendiri tidak mengetahuinya.

2. Syari'at Islam adalah merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak saling betentangan. Doktrin ini diyakini oleh al-Habasyi, karena syari'at Islam bersumber dari kalam Allah (al-Qur'an) yang kebenaran sumbernya pasti dan tidak diragukan (qat'iy al-tsubût). Ia juga bersumber dari sunnah yang pada hakikatnya juga merupakan wahyu dari Allah ta'ala dan disempurnakan oleh ijma' yang dijamin kebenarannya oleh Allah ta'ala. Menurut al-Habasyi tidak ada pertentangan antara ayat-ayat al-Qur'an, ayat al-Qur'an dengan hadits dan ayat al-Qur'an dengan ijma'. Karena itu setiap tafsir yang bertentangan secara nyata dengan ayat al-Qur'an, hadits atau ijma' (usûl al-syarî'ah) adalah mutlak keliru.

dipandang buruk oleh syara'. Dari doktrin ini al-Habasyi melakukan kritik tafsir terhadap reinterpretasi al-Qur'an kontemporer yang berangkat dari sebuah usaha untuk membantah stigma buruk yang dilekatkan pada Islam seperti agama kekerasan dan teroris, agama biadab, agama yang disebarkan dengan pedang dan agama eksklusif. Padahal stigma tersebut bersumber dari akal manusia yang terkadang bercambur dengan emosi dan hawa nafsu.

B. Saran-Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas maka penulis memberikan saran-saran sebagai berikut:

1. Setiap orang yang melakukan reinterpretasi ayat al-Qur'an harus terlebih dahulu telah memahami dan menguasai syari'at Islam secara komprehensif. Sehingga ia tidak menelorkan syari'at baru yang bertentangan dengan syari'at Islam yang telah mansûs dan disepakati (mujma' 'alaihi) atau bahkan yang ma'lum min al-din bi al-darurah (telah diketahui oleh semua umat Islam, baik yang 'alim maupun 'awam).

2. Setiap ayat dalam al-Qur'an telah ditafsirkan oleh para mufassir dan dapat ditemukan dalam kitab-kitab tafsir mereka. Karena itu setiap orang yang akan melakukan reinterpretasi terhadap ayat al-Qur'an harus menjadikan kitab-kitab tersebut sebagai bahan pertimbangan dalam penafsiran.

3. Hendaknya setiap orang tidak melakukan reinterpretasi ayat al-Qur'an tanpa didasari ilmu. Reinterpretasi ayat al-Qur'an dengan ilmu artinya melakukan aktifitas penafsiran ulang dengan berdasarkan sunnah atau atsar dari para sahabat, tabi'in dan mufassir sebelumnya, atau berdasarkan ilmu-ilmu tafsir serta ilmu pendukungnya seperti ilmu bahasa dan usul.

4. Pengkajian tafsir yang moderat, tidak liberal dan tidak literal, harus lebih dikembangkan di tengah ramainya kajian-kajian ilmu al-Qur'an dan tafsir.

5. Penelitian tentang kritik tafsir perlu ditingkatkan, seiring dengan semakian berkembangnya kajian tafsir yang tidak hanya melibatkan umat Islam, tetapi juga non Islam.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang Masalah

Dalam diskursus keilmuan Islam, istilah kritik hadits terasa lebih akrab di telinga dibandingkan dengan istilah kritik tafsir. Padahal keduanya sama pentingnya untuk mengawal pemahaman yang benar terhadap ajaran Islam. Karena al-Qur’ân dan hadits adalah pedoman utama umat Islam dalam memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Apabila tanpa kritik hadits tidak dapat diidentifikasi hadits yang maqbûl

(diterima) dari hadits yang mardûd (ditolak), 1 demikian juga tanpa kritik tafsir tidak dapat diidentifikasi tafsir yang menyimpang dari tafsir yang lurus.

Kesalahan dalam tafsir al-Qur’ân bukan sesuatu yang mustahîl, sebab ia bukan wahyu , tetapi hasil pemikiran manusia yang selalu mengandung dua kemungkinan (muhtamal), salah dan benar. Tidak ada jaminan dari Allah, Nabi atau siapapun bahwa kebenaran tafsir bersifat mutlak, kecuali tafsir Nabi. Karena beliau adalah

penafsir resmi al-Qur'an (Q.S al-Nisa`:105), 2 yang segala ucapannya merupakan wahyu dari Allah ta'ala (Q.S al-Najm: 3-4). 3 Dengan demikian, tafsir berbeda dengan al-Qur’ân yang keotentikannya telah dijamin oleh Allah ta'ala (Q.S al-Hijr: 9). 4

Terbukti setiap usaha yang dilakukan untuk merubah, menambah atau mengurangi

1 Hadits-hadits palsu mulai menyebar setelah generasi sahabat, khususnya ketika umat Islam telah terpecah belah menjadi beberapa sekte aliran. Sehingga umat Islam kesulitan untuk membedakan

antara hadits yang asli dan yang palsu. Keadaan seperti ini memberikan motifasi kepada khalifah Umar bin Abd Aziz untuk memerintahkan kepada para ulama Hadits untuk membuat kaidah-kaidah pembeda antara hadits yang maqbul dan mardud. Kaidah-kaidah tersebut kemudian dikenal dengan ilmu hadits dirâyah atau ilmu Mustalah al-Hadits. Orang yang pertama kali menyusun ilmu ini adalah Abu Muhammad al-Ramahurmuzi dengan kitabnya " al-Muhaddits al-Fasil". Lihat: Abd. Allâh al-Harari al-Habasyi (selanjutnya disingkat dengan al-Habasyi), Syarah al-Baiquniyah, (makhtût), h. 11

2 Maknanya: "Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan

kepadamu…" 3 Maknanya: "Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya

itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)". 4 Maknanya: "Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya".

huruf-huruf al-Qur’ân selalu mengalami kegagalan (Q.S al- Isrâ: 88). 5 Karena itu pula dalam khazanah keilmuan Islam, tidak dikenal istilah kritik al-Qur'an. Pada masa Rasulullah, belum terjadi penyimpangan tafsir, karena para sahabat dapat dengan mudah mengakses tafsir Nabi. Setiap kali menemukan kesulitan tentang makna ayat al-Qur'an, mereka dapat secara langsung bertanya kepada Nabi. Meskipun demikian, diduga Nabi telah melihat adanya gejala akan terjadinya penyimpangan dalam tafsir al-Qur'an, sehingga dalam sebuah haditsnya, beliau mengecam orang-orang yang menafsirkan al-Qur'an dengan hanya berdasarkan ra’yu

(pendapat)nya, dan mengancam mereka dengan neraka”. 6 Sebagai tindakan prefentif, Nabi menegaskan bahwa meskipun hasil penafsirannya benar, seseorang yang

menafsirkan al-Qur’ân dengan ra’yu (pendapat) nya, dia tetap dianggap telah berbuat salah”. 7

Selain mengisyaratkan pengakuan Nabi terhadap akan adanya penyimpangan dalam tafsir al-Qur'an, hadits di atas juga mengisyaratkan bahwa tafsir yang paling berpotensi menyimpang adalah al-tafsîr bi al-ra`yi. 8 Meskipun para ulama berbeda

pendapat tentang maksud ra`yu dalam hadits tersebut, sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ra'yu dalam hadits tersebut adalah hawa nafsu. Sedangkan sebagian 'ulama yang lain berpendapat bahwa yang dimaksud adalah apabila seseorang menafsirkan al-Qur'an tanpa memandang pada pendapat para ulama

dan tanpa menggunakan kaidah-kaidah ilmu seperti kaidah nahwu dan usûl. 9

5 Maknanya: "Katakanlah: "sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun

sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain". 6 Hadits ini diriwayatkan oleh al-Tirmizi dalam Sunan al- Tirmizi, kitab tafsir al-Qur'an, bab fî

mâ jâa fî al- ladzi yufassir al- Qur’ân bi Ra’yihi, (al-maktabah al-syamilah, vol. 2) h.45 7 Hadits ini diriwayatkan oleh al-Tirmizi dalam Sunan al- Tirmizi, kitab tafsir al-Qur'an, bab fî

mâ jâa fî al- lazi yufassir al- Qur’ân bi Ra’yihi, (al-maktabah al-syamilah, vol. 2)h.46 8 Tafsir bi al-Ra’yi adalah tafsir al-Qur'an yang didasarkan pada ijtihad. Lihat: Muhammad

Husain al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Maktabah Mush’ab bin Umair al-Islamiyah) juz 1, h.183. 9

Al-Qurtubi, al-Jâmi' li Ahkam al-Qur'an, ( Bairut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiah, t.t) jld. 1, juz 1, h.66

Menyadari hal tersebut, maka para ulama mengklasifikasikan al-tafsir bi al-ra`yi menjadi dua kelompok; mamdûh (terpuji) dan madzmûm (tercela). 10

Sebagai langkah antisipasi terhadap penyebaran tafsir madzmûm, para ulama al- Qur'an klasik telah merumuskan kaidah-kaidah tafsir, syarat-syarat mufassir dan hal- hal yang harus dijauhi oleh seorang mufassir dalam kegiatan penafsiran. Sehingga apabila ketentuan-ketentuan tersebut tidak dipatuhi oleh seorang mufassir, maka terjadinya penyimpangan tafsir sulit untuk dihindarkan. Al-Suyûtî (w.991 M) menulis bahwa setidaknya ada lima penyebab terjadinya penyimpangan tafsir al-Qur'an; pertama, apabila tafsir tidak dilengkapi dengan ilmu-ilmu pendukung, kedua, menafsirkan ayat mutasyâbih yang hanya diketahui oleh Allah, ketiga, mendasarkan tafsir pada madzhab tertentu yang rusak, keempat, tafsir yang memastikan sebagai maksud Allah pada ayat tertentu tanpa ada dalil, dan kelima, mendasarkan tafsir pada

hawa nafsu 11 . Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, maka para ulama tafsir kemudian

melakukan kritik tafsir. Setiap tafsir yang tidak memenuhi ketentuan dianggap telah menyimpang dari kebenaran. Sehingga dari tradisi ini, kemudian muncul gairah para ulama tafsir untuk menulis kitab-kitab tafsir dengan berbagai macam metode

12 (manhaj) 13 dan corak (laun) , yang sebagian sengaja ditulis untuk mengcounter dan menanggapi kitab tafsir sebelumnya yang dianggap menyimpang. Ketika al-

Zamakhsyari (w.538 H) menulis tafsir al-Kassyâf dengan nuansa akidah Muktazilah yang sangat kental, maka al-Râzi (w.606 H) menulis kitab tafsir serupa dan

10 Abd al-'Azim al-Zarqani, Manâhil al-'Irfân, (Bairut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1416 H/1996 M), juz 2, h.39 11

Jalal al-Dîn Abd al-Rahmân al-Suyûti, al- Itqan fi ‘ulum al-Qur'an, (Kairo: Dar al-Hadits 1427 H/ 2006 M) juz 4, h.464 12 ‘Abd al-Hayyi al-Farmâwî mengatakan bahwa secara umum penafsiran al-Qur’ân dilakukan melalui empat metode yaitu global (ijmâlî), analitis (tahlîlî), perbandingan (muqâran) dan tematik (maudû’î) Lihat: Abd al-Hayyi al-Farmâwî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudû’I, Dirâsât Manhajiyah Maudû’iyah (Kairo, Maktabah al-Had arah al-‘Arabiyah, cet II, 1977 M), h. 23.

13 Corak (laun) yang dikenal dalam diskursus tafsir adalah corak tafsir klasik (sunniy, i’tizalyi, salafiy ), corak tafsir siyâsah ( khârijiy, syî’iy), corak falsafiy, corak sûfiy, fiqhiy, ‘ilmiy, adabiy,

ijtimâ’iy, bayâniy dan hidâiy . Lihat: Ahmad Syarbasyî, Qisah al- Tafsîr, (Kairo: Dar al-Qalam, 1962 M), h.39-41 ijtimâ’iy, bayâniy dan hidâiy . Lihat: Ahmad Syarbasyî, Qisah al- Tafsîr, (Kairo: Dar al-Qalam, 1962 M), h.39-41

sunnah 14 dan syi'ah. Tradisi kritik tafsir juga diikuti para ulama sesudahnya sampai pada masa

sekarang, Muhammad Husain al-Dzahabi menulis sebuah buku berjudul al-Ittijahât al-Munharif fi Tafsîr al-Qur'an al-Karîm (trend penyimpangan dalam tafsir al- Qur'an), Abd Allâh al-Ghumâri (w.1413 H) menulis buku berjudul Bida' al-Tafâsir (Bid'ah-bid'ah penafsiran) dan Abd Allâh al-Habasyi menulis buku berjudul Sarîh al- Bayân fi al-Raddi 'ala man Khâlafa al-Qur'an (penjelasan yang gamblang untuk membantah orang yang menyalahi al-Qur'an).

Namun tradisi kritik tafsir sebagaimana yang dikembangkan oleh para ulama al- Qur'an klasik ini, mendapat sorotan tajam dari para sarjana al-Qur'an kontemporer. Berdasarkan metode hermeneutika falsafi yang mereka kembangkan dalam khazanah tafsir al-Qur'an, mereka berpendapat bahwa semua tafsir al-Qur'an bersifat nisbiy secara mutlak, sehingga tidak sepantasnya bagi seseorang mengklaim bahwa tafsir tertentu salah dan tafsir lainnya benar. Salah satu tokoh pengembang hermenutika falsafi dalam Islam adalah Nasr Hâmid Abû Zayd, ia menegaskan bahwa dalam hermeneutika tidak ada tafsir yang benar secara mutlak, semuanya relatif, yang benar menurut seseorang, boleh jadi salah menurut orang lain. Kebenaran terikat dan

bergantung pada konteks (zaman dan tempat) tertentu. 15 Karena itu, Abu Zayd menuduh syirik terhadap setiap orang yang mengkalim kebenaran untuk dirinya,

dengan alasan ia telah menyamakan yang mutlak (Tuhan) dan yang relatif (manusia) serta menyamakan antara maksud Tuhan dan pemahaman manusia, termasuk pemahaman Nabi. Menurutnya, hal itu merupakan dugaan yang berakibat pada

14 Baca: Al-Zamakhsyari, Abd al-Qâsim Mahmûd bin Muhammad bin Umar, Tafsîr al-Kasysyâf 'an Haqâiq al-Tanzîl wa 'uyûn al-Aqâwil

15 , (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, cet.1, 1995 M) Nasr Hâmid Abû Zayd, Isykaliyatu al-Qira`ah wa 'Aliyatu al-Ta`wil ( Bairut: al-Markaz al-

Tsaqâfah al-Arabiy, cet V, 1999 M), h.16-17 Tsaqâfah al-Arabiy, cet V, 1999 M), h.16-17

Alasan lain yang sering dikemukakan adalah bahwa klaim salah dan benar terhadap suatu tafsir al-Qur'an, selalu menggunakan kriteria yang parsial, tidak universal , sehingga tidak dapat diterima oleh semua pihak. Menilai tafsir kelompok lain dengan kriteria kelompok yang berbeda, kesimpulannya sudah dapat dipastikan, bahwa hanya tafsir kelompok tersebutlah yang benar, sedangkan tafsir kelompok lain menyimpang. Seorang yang beraliran sunni akan menilai tafsir kelompok lain sebagai tafsir yang menyimpang, apabila dalam menilainya ia menggunakan kriteria sunni. Demikian juga kelompok lain, akan menilai menyimpang terhadap tafsir sunni, apabila dalam menilainya ia menggunakan kriteria kelompoknya.

Sementara kalangan tradisionalis berpendapat bahwa apabila sebuah tafsir al- Qur'an telah didasari oleh argumen naqli (al-Qur'an dan hadits) yang tsâbit dan argumen rasio yang qâti' (tidak dapat dibantah lagi secara akal), maka tafsir tersebut boleh diklaim sebagai tafsir yang benar. Sebab menurut mereka, al-Qur'an yang diturunkan sebagai petunjuk (hudan) bagi manusia, mustahil tidak dapat diketahui makna dan maksudnya yang pasti. Tanpa diketahui makna dan maksudnya yang pasti, maka petunjuk al-Qur'an tidak akan pernah didapatkan oleh manusia. Persoalan kriteria kritik tafsir, bukan persoalan siapa dan madzhab mana yang menggunakannya, tetapi yang terpenting adalah kekuatan dalil dan argument penggunaan kriteria tersebut. Setiap kelompok memang memiliki kriteria tersendiri, tetapi belum tentu mereka dapat mempertahankan kebenaran kriteria tersebut, baik secara naql maupun akal.

Pemutlakan terhadap kenisbian tafsir al-Qur'an, pada hakikatnya hanya merupakan pintu untuk membuka pintu tafsir seluas-luasnya. Sehingga terbuka bagi siapa saja, termasuk orang yang tidak memiliki perangkat keilmuan pendukung untuk

16 Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitâb al-Dîniy, ( Kairo: Sina li al-Nasyr, 1992 M) h.93-94 16 Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitâb al-Dîniy, ( Kairo: Sina li al-Nasyr, 1992 M) h.93-94

dikembangkan di dunia barat (non Islam). 18 Namun dalam tahap aplikasi, reinterpretasi al-Qur’ân yang mereka lakukan

selalu melahirkan penafsiran yang kontroversial di kalangan umat Islam. Sebagai contoh, penafsiran Nasr Hâmid Abû Zayd terhadap al-Qur’ân surat al-Baqarah: 102 19

yang menjelaskan tentang jin, syetan, sihir dan hasad. Dengan pendekatan historis, ia memahami ayat ini dengan bahwa jin, syetan, sihir dan hasad adalah kata-kata yang terdapat dalam kerangka pemikiran yang terikat dengan periode tertentu dari perkembangan kesadaran manusia. Kemudian teks al-Qur’ân merombak makna syetan sebagai kekuatan penghalang, dan menjadikan sihir sebagai salah satu alat

untuk memperdaya manusia. 20

17 www.islamlib.com 18 Pendekatan penafsiran yang paling mutakhir adalah pendekatan hermenetika dengan

penekanan yang beragam, misalnya Nasr Hâmid Abû Zayd dengan kritik sejarah dan Syahrûr dengan strukturalisme linguistik . Lebih lanjut baca: Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitâb al-Dîniy , Muhammad Syahrûr, al-Kitab wa al-Qur'an: Qira’ah Mu’asirah ( Damaskus: al-Ahali li al-Tiba’ah wa al-Nasyr wa al-Tawzi’, 1990)

19 Maknanya: "Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak

kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan-lah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil Yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya Kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Maka mereka mempelajari dari kedua Malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui". 20

Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitâb al-Diniy, h.206

Syahrûr dengan konsep strukturalisme linguistik menafsirkan kata al-Nisâ' dalam Q.S Ali Imrân: 14, 21 dengan hal-hal yang mutakhir, bukan perempuan atau istri

sebagaimana penafsiran para mufassir klasik. Syahrur beralasan bahwa kata-kata tersebut didahului dengan “zuyyina li al-nâs”, “al-nâs” berarti manusia yang meliputi laki-laki dan perempuan, apabila “al-nisâ’” berarti istri atau perempuan maka mestinya bunyi ayat itu adalah “zuyyina li al-rijâl”. Menurutnya jika “al-nisâ'” dimaknai istri atau perempuan, maka membawa implikasi bahwa al-Qur’ân membolehkan biseksual, karena dalam kata “al- nâs” sudah terkandung laki-laki dan perempuan. 22

Harus diakui bahwa metodologi kritik tafsir para ulama tradisional, secara umum masih lemah, sehingga sering menimbukan kontroversi. Dalam kritik tafsir bi

al-ma’tsûr, 23 mereka berbicara tentang hadits maudû’ dan isrâiliyat, dan dalam kritik tafsir bi al-ra’yi, mereka terfokus pada madzhab-madzhab pemikiran dalam Islam dan

kajian bahasa al-Qur'an. Abd Allâh al-Harari atau yang lebih dikenal dengan sebutan al-Habasyi memiliki keunikan tersendiri dalam melakukan kritik tafsir. Ia berpendapat bahwa kesatuan dan keterpaduan usûl al-syarî'ah harus menjadi kriteria utama dalam kritik tafsir. Menurutnya hanya dengan mengkomparasikan tafsir dengan usûl al-syarî'ah dengan sendirinya akan dapat diidentifikasi tafsir-tafsir yang

menyimpang. 24 Usûl al-syarî’ah adalah sumber pengambilan syari'at (ajaran) Islam, meliputi

al-Qur'an, hadits, dan ijma' yang dipersaksikan kebenarannya oleh akal. Menurut al- Habasyi ketiga sumber ajaran Islam tersebut saling menjelaskan, menguatkan dan tidak saling bertentangan. Al-Qur'an ayat-ayatnya tidak saling bertentangan, ia juga

21 Maknanya: "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: nisa`, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-

binatang ternak dan ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia…"

22 Muhammad Syahrûr, al-Kitâb wa al-Qur’ân: Qirâ’ah Mu’âsirah, h.641-642 23 Tafsir bi al-ma’tsur adalah tafsir yang dikutip dari al-Qur'an, Hadits, atsar sahabat dan tabi’in.

Lihat: Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz I, h.112 24 Lihat: Al-Habasyi, Sarîh al-Bayân fi Raddi 'ala man Khâlafa al-Qur`an (Bairut: Dar al- Masyari, 2001 M) Lihat: Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz I, h.112 24 Lihat: Al-Habasyi, Sarîh al-Bayân fi Raddi 'ala man Khâlafa al-Qur`an (Bairut: Dar al- Masyari, 2001 M)

Al-Habasyi atau al-Harari adalah dua panggilan akrab seorang ulama kharismatik yang nama aslinya adalah Abu 'Abd al-Rahmân 'Abd Allâh Ibn Yûsuf Ibn Abd Allâh Ibn Jâmi' al-Harari al-Syaibi al-'Abdarî. Ia dilahirkan di Harar pada tahun 1339 H/1910 M dan wafat di Bairut pada 1429 H/ 2008 M. Selama hidupnya al-Habasyi telah menghasilkan puluhan karya tulis yang berharga bagi khazanah keilmuan Islam, yang meliputi seluruh disiplin ilmu agama; ilmu aqîdah, fikih,

akhlâk 25 , bahasa, Ilmu al-Qur’ân, mustalâh, dan lainnya. Pengabdiannya dalam dunia keilmuan dan pendidikan telah melahirkan ribuan cendekiawan muslim yang tersebar

lebih dari 40 negara, di timur dan di barat. Para muridnya ini, kemudian mendirikan sebuah organisasi keagamaan yang bermisikan penyebaran ilmu agama dan penjagaan terhadap dasar-dasar agama. Organisasi tersebut menjadikan Bairut Libanon sebagai pusat dengan nama "Jam'iyah al-Masyari' al-Khairiyah al- Islamiyah" . Pada saat ini telah memiliki cabang pada lebih dari 40 negara, termasuk Amerika, Kanada, Ukraina, Australia, Malaysia dan Indonesia.

Namun al-Habasyi juga dikenal sebagai ulama kontroversial di mata kelompok

26 Islam yang bersebrangan pendapat dengannya, seperti Wahhâbi 27 , Hizb al-Ikhwân dan Hizb al-Tahrîr. 28 Karena dikenal sangat kritis terhadap ketiga kelompok tersebut.

Kekeliruan kelompok Wahhâbi dinilai disebabkan oleh antipati mereka terhadap ta`wil dan memilih untuk berpegang teguh pada zâhir ayat-ayat mutasyabihât.

25 Lihat: www. Al Habashi.info, http://ar.wikipedia.org 26 Wahhabiyah 27 Hizb al adalah pengikut Muhammad ibn Abdul Wahhab an-Najdi (W. 1206 H). 28 Hizb al-Tahrir -Ikhwân adalah para pengikut Sayyid Qutb al Mishri (W. 1387 H)

adalah pengikut Taqiyyuddin an-Nabhani al Palesthini (W. 1400 H)

Sedangkan kekeliruan Hizb al-Ikhwân dan Hizb al-Tahrîr berawal dari penafsiran al- Qur’ân tanpa mempertimbangkan khitab dan konteks dari ayat. 29

Dibandingkan dengan dua kelompok yang lain, kelompok Wahhâbi adalah kelompok yang paling merasa terancam eksistensinya dengan keberadaan dan sepak terjang al-Habasyi. Terbukti mereka telah menerbitkan karya tulis sebagai bantahan terhadap al-Habasyi. Indikasi tersebut juga dapat dengan mudah di temukan dalam

beberapa website yang memiliki aliansi dengan kelompok tersebut. 30 Penekanan pada usûl al-syarî’ah sebagai kriteria kritik tafsir, terlihat dalam

aplikasi kritik tafsir yang dituangkan al-Habasyi dalam beberapa buku karyanya seperti al-Tahzîr al-Syar’i al-Wâjib, Sarîh al-Bayân li Man Khâlafa al-Qur’ân, al- Dalîl al-Qawîm ‘ala al-Sirât al-Mustaqîm, al-Syarh al-Qawîm fi Halli alfaz al-Sirât al-Mustaqim dan lainnya. Dalam beberapa karyanya tersebut, al-Habasyi melakukan kritik tafsir terhadap beberapa penafsiran seperti penafsiran ayat-ayat sifat Tuhan yang mutasyâbihat, ayat-ayat kisah para Nabi, ayat-ayat pluralisme agama, ayat-ayat perang dan ayat-ayat penerapan syari'at. Ia juga melakukan kritik tafsir terhadap beberapa kitab tafsir, seperti, Tanwîr al-Miqbâs min Tafsîr Ibn Abbâs, tafsir Ibn Taimiyah, tafsir al-Kassyâf, tafsir fî Zilâl al-Qur’ân, tafsir Muhammad Mutawalli al-

Sya’râwi, al-Tafsîr al-Farîd dan beberapa penafsiran dalam tafsir Jalâlain 31 .

Sebagai contoh, berdasarkan Q.S al-Hajj: 39 dan al-Baqarah: 190, 32 sebagian besar intelektual muslim kontemporer berpendapat bahwa perang dalam Islam lebih

bersifat difensif, sebagai upaya untuk mempertahankan diri bila ada ancaman dan serangan. Wahbah Zuhaili misalnya menyatakan bahwa umat Islam tidak boleh memulai peperangan kecuali apabila orang kafir menyerang lebih dahulu. Karena menurutnya, penyebab peperangan dalam Islam bukan karena kekafiran orang-orang

30 Al-Habasyi, Risâlah al-Tahdzîr min al-Firaq al- Tsalâts (Bairut: Dar al-Masyari’, 2003 M) Lebih lanjut lihat: http://antihabashis.com , www.alrased.net 31 Baca: al-Habasyi, al-Tahdzîr al-Syar'iy al-Wâjib, (Bairut: Dar al-Masyari, 2004 M), juz 1

32 Maknanya: "Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya…"

Maknanya:"Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas…" Maknanya:"Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas…"

34 oleh al-Qardâwi 35 dan Sayyid Sâbiq. Menurut al-Habasyi, pendapat tersebut kontradiktif dengan ayat-ayat al-Qur'an yang lain, hadits, ijmâ' sahabat, fakta sejarah

dan tujuan perang dalam Islam, yang seluruhnya menunjukkan bahwa perang dalam Islam bersifat difensif dan ofensif sekaligus. Meskipun menurutnya perang secara praktis tidak boleh lagi dilakukan pada masa sekarang, mengingat tidak

ditemukannya alasan untuk melakukannya. 36 Contoh lainnya adalah ketika wacana pluralisme agama digulirkan oleh para

cendikiawan muslim kontemporer, dengan dalih beberapa ayat al-Qur'an seperti Q.S

37 38 39 al-Baqarah: 256, 40 Q.S Yûnus: 99, Q.S al-Kahfi: 29 dan al-Kâfirun: 6, dan Q.S Sajdah: 25. 41 Al-Habasyi melontarkan kritik serius, bahwa penggunaan ayat-ayat

tersebut sebagai dalil adanya pluralisme agama dalam Islam tidak tepat dan bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur'an, hadits serta ijma' umat Islam. Menurutnya al-Qur'an dan hadits justru menegaskan bahwa dalam masalah akidah atau agama seseorang tidak diberi kebebasan untuk memilih, tetapi mesti memilih Islam sebagai agamanya, sebab Islam adalah satu-satunya agama samawi dan satu-satunya agama yang benar. Begitu pula doktrin akidah yang selama berabad-abad disepakati oleh umat Islam secara keseluruhan. Namun dalam tataran praktis, dakwah kepada Islam

33 Wahbah Zuhaili, Atsâr al-Harb fi al-Fiqh al-Islâmi (Bairut: Dar al-Fikr, t.t), h.106 34 Yûsuf al-Qardâwi, Ghairu al-Muslimin fi al-Mujtama' al-Islami, (Kairo: Dar al-Syuruq, 2000

M), h.13 35 Sayyid Sâbiq, Anâsir al-Quwwah fi al-Islâm, terj. Muhammad Abday Ratami (Surabaya: Toko Nabhana, 1981 M) h. 272-274 36 Al-Habasyi, al-Dalîl al-Qawîm 'ala al-Sirat al-Mustaqîm, (makhtût) h.207 37 Maknanya:"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)". 38 Maknanya:"… Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi

orang-orang yang beriman semuanya ?" 39 Maknanya: Dan katakanlah: "kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang

ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir".

41 Maknanya:"Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." Maknanya:"Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang memberikan keputusan di antara mereka

pada hari kiamat tentang apa yang selalu mereka perselisihkan padanya".

harus dilakukan dengan hikmah, sesuai dengan situasi dan kondisi umat Islam dan manusia yang menjadi sasaran dakwah. 42

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, permasalahan yang muncul dapat diidentifikasi sebagai berikut :

a) Urgensi kritik tafsir

b) Sejarah perkembangan tradisi kritik tafsir

c) Sebab-sebab penyimpangan tafsir

d) Perdebatan seputar hakikat tafsir

e) Metodologi kritik tafsir klasik

f) Metodologi kritik tafsir kontemporer

g) Hadits maudû’ sebagai kritik tafsir

h) Isrâiliyat sebagai kritik tafsir

i) Panatisme madzhab sebagai kritik tafsir j) Bahasa arab sebagai kriteria kritik tafsir k) Usûl al- syarî’ah sebagai kritik tafsir

2. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka dalam penelitian tesis ini penulis hanya membatasi permasalahan pada usûl al-syarî'ah sebagai metodologi kritik tafsir, sebagaimana dikembangkan oleh al-Habasyi dalam beberapa buku karyanya. Sebab metodologi kritik tafsir semacam itu, meskipun secara implisit sering disebutkan oleh para ulama tafsir, tetapi belum menjadi penekanan dalam tradisi kritik tafsir.

42 Al-Habasyi, al-Dalîl al-Qawîm, h.205

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, penulis merumuskan permasalahan pada satu masalah pokok yaitu, bagaimana al-Habasyi menggunakan usûl al-syarî'ah sebagai metodologi kritik tafsir ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:

1) Membuktikan pendapat adanya penyimpangan dalam tafsir al-Qur'an

2) Menguji argumen al-Habasyi dalam penggunaan usûl al-syarî'ah sebagai kriteria kritik tafsir

D. Manfaat / Signifikasi Penelitian

Realisasi penelitian ini akan bermanfaat/signifikan secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut:

1) Menggugah kesadaran terhadap urgensi kritik tafsir

2) Mengingatkan pentingnya selektifitas dalam membaca buku tafsir

3) Memberi wacana yang berbeda seputar metodologi kritik tafsir

4) Memberi penjelasan tentang kritik al-Habasyi terhadap beberapa penafsiran Sedangkan secara praktis, penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut:

1) Memberi kontribusi ilmiah dalam disiplin ilmu-ilmu al-Qur’ân dan tafsir

2) Memberikan arah bagi penelitian serupa yang lebih intensif di belakang hari

E. Studi Terdahulu yang Relefan

Untuk menghasilkan tulisan yang terarah, tidak tumpang tindih dan komprehensif, maka sebagai langkah awal, penulis melakukan review terhadap beberapa studi terdahulu yang dianggap relefan. Obyek review dibagi menjadi dua variable ; pertama, tulisan yang berkaitan dengan kritik tafsir dan metodologinya, kedua, tulisan yang berkaitan dengan tokoh al-Habasyi.

Pada variable pertama penulis menemukan beberapa tulisan, diantaranya sebuah buku berjudul "Bida' al-Tafâsir" karya Abd Allah Muhammad al-Siddîq al- Ghumâri (Kairo: Maktabah al-Qâhirah, 1994 M). Dalam buku ini, al-Ghumâri berusaha untuk mengungkap beberapa bid'ah dalam penafsiran yang dilakukan oleh beberapa kelompok seperti muktazilah dan syi'ah serta yang lainnya. Pembahasan disajikan secara berurut, surat persurat, sehingga lebih mudah untuk dipahami.

Buku kedua berjudul “al- Ittijâhât al-Munharifah fi Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm Dawafi’uha wa Daf’uha ” karya Muhammad Husain al-Dzahabi (Kuwait: Dar al- I’tisam, 1398 H/ 1978 M). Dalam buku ini al-Dzahabi menjelaskan beberapa hal yang menyebabkan munculnya penyimpangan dalam tafsir al-Qur’ân. Ia juga mengungkap penyimpangan-penyimpangan dalam tafsir yang dilakukan oleh beberapa madzhab, seperti madzhab al-Qassash, al-Nahwiyah, Mu’tazilah, Syi’ah, Khawârij, Sûfiyah, tafsir Ilmi, pengklaim tajdîd.

Buku ketiga berjudul “al-Dakhîl fi Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm” karya ‘Abd al Wahhâb ‘Abd al-Wahhâb Fâyid (Kairo: Universitas al-Azhar, Fakultas Usûluddin, 1401 H/1980 M). Buku ini menjelaskan beberapa bentuk penyimpangan dalam tafsir, diantara yang diungkapkan adalah penafsiran yang disandarkan pada hadits maudu’, bid’ah tafsir kebahasaan, ta`wil aliran kebatinan, syatahat para ahli tasawuf, penyimpangan al-Bahaiyah dan Qadiyâniyah. Dalam buku ini, penulis menguraikan sebab-sebab adanya penyimpangan dalam tafsir dan contoh-contohnya.

Buku keempat berjudul “al-Asîl wa al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân wa Ta’wîluhu Riwâyatan wa Dirâyatan” karya Abd al-Ghafûr Mahmûd Mustafa Ja’far ( Kairo, Universitas al-Azhar, Fakultas Usuluddin, 1416 H/ 1995 M). Buku ini tidak berbeda dengan buku Abd al-Wahhab Fayid di atas, hanya cara penyajiannya yang berbeda.

Buku kelima berjudul “al-Dakhîl wa al-asîl fî al-Tafsîr” karya Ibrâhim Khalîfah (Kairo: Universitas al-Azhar, Fakultas Usuluddin, t.t). Pembahasan buku ini juga tidak berbeda dengan buku sebelumnya, namun buku ini lebih terinci dalam menguraikan sebab-sebab terjadinya penyelewengan dan lebih banyak menyajikan contoh-contoh.

Buku keenam berjudul “Methodologies of The Qur’anic Exegesis” karya Tamîm Usâma, telah diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh Hasan Basri dengan judul “Metodologi Tafsir al-Qur'an, Kajian Kritis, Obyektif Dan Komprehensif” (Jakarta: Riora Cipta, 2000 M). Dalam buku ini dijelaskan beberapa kekeliruan madzhab-madzhab penafsiran di abad-abad awal Islam, dan keganjilan- keganjilan yang terdapat dalam penafsiran al-Qur’ân serta syarat-syarat menafsirkan al-Qur’ân.

Buku ketujuh berjudul “al-Isrâiliyat fî al-Tafsîr wa al-Hadîts” karya Muhammad Husain al-Dzahabi (Maktabah Wahbah, 1406 H/ 1986 M). Buku ini mengungkap beberapa riwayat Israiliyat yang terdapat dalam beberapa buku tafsir seperti Jâmi’ al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân karya al-Tabari, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm karya Ibnu Katsir, Tafsir Muqâtil bin Sulaiman, al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr al Qur’ân karya Tsa’labi, Lubâb al-Ta’wîl fî Ma’âni al-Tanzîl karya al-Khazin, Ruh al- Ma’âni fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm wa al- Sab’ al- Matsâni karya al-Alusi, Tafsir al- Manâr karya M. Rasyid Ridha. Buku ini hanya membahas penyimpangan tafsir dalam tafsir bi al-ma’tsûr.

Buku kedelapan berjudul “Rasionalitas Al-Qur'an, Studi Kritis atas Tafsir al- Manar” karya M.Quraisy Sihab (Jakarta: Lentera Hati,1428 H/ 2007 M). Buku ini selain memaparkan keistimewaan tafsir al-Manâr, juga mengungkap kekurangan- kekurangannya. Diantara kekurangan yang mendapat sorotan Quraisy Sihab adalah bahwa Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Rida masih belum mampu melepaskan akidah dan madzhab mereka dalam menafsirkan al-Qur’ân. Asumsi ini diketahui dari adanya sekian banyak penakwilan tanpa menggunakan alasan yang dianaut mayoritas ulama, hanya dengan dalih bahwa tanpa penakwilan tersebut maka makna yang dikandung ayat itu tidak dipahami berdasarkan ukuran akal penafsirannya, bukan berdasarkan ukuran kekuasaan dan kudrat Allah.

Buku kesembilan berjudul “Asbâb al-Khata` fî al-Tafsîr” karya Tahir Mahmûd Muhammad Ya’qûb (Dar Ibn al-Jauzi cetakan I, 1425 H). Buku ini berasal dari sebuah disertasi pada Universitas Islam Madinah al-Munawwarah fakultas al-Qur’ân Buku kesembilan berjudul “Asbâb al-Khata` fî al-Tafsîr” karya Tahir Mahmûd Muhammad Ya’qûb (Dar Ibn al-Jauzi cetakan I, 1425 H). Buku ini berasal dari sebuah disertasi pada Universitas Islam Madinah al-Munawwarah fakultas al-Qur’ân

Buku kesepuluh berjudul “al-Aqwâl al-Syâdzdzah fî al-Tafsîr Nasy‘atuhâ wa Asbâbuhâ wa Atsaruhâ” karya Abd al-Rahmân bin Sâlih bin Sulaiman al-Dahsyi ( al-Hikmah, cet I 1425 /2004 M). Buku ini juga berasal dari sebuah disertasi pada Universitas Imam Muhammad bin Su’ud Saudi Arabia. Dalam buku ini penulis menguraikan sejarah munculnya pendapat-pendapat penafsiran yang kontroversial dari satu masa ke masa, sebab-sebab munculnya pendapat-pendapat tersebut dan pengaruhnya dalam ilmu tafsir.

Buku kesebelas berjudul “Ikhtilâf al-Mufassirîn” karya Ahmad Muhammad al -Syarqawi (Kairo: Universitas al-Azhar, Fakultas Usuluddin, 1425 H/ 2004 M). Buku ini menjelaskan perbedaan pendapat para ahli tafsir dalam tafsir al-Qur’ân, diantara perbedaan itu ada yang madzmum (tercela) dan mamduh (terpuji). Perbedaan pendapat yang madzmum diakibatkan adanya penyimpangan-penyimpangan dalam tafsir al-Qur’ân. Selanjutnya al-Syarqâwi menjelaskan beberapa tafsir yang menyimpang, seperti tafsir Mu’tazilah, Syi’ah, tafsir yang bertentangan dengan ahl al-sunnah , tafsir yang berpegang pada hadits maudû’ dan isrâiliyat, dan tafsir yang berpegang pada zahir ayat al-Qur’ân.

Buku kedua belas berjudul “al-Isrâiliyat wa al-Maudû’at fî Kutûb al-Tafsîr” karya Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah (Kairo: Maktabah al-Sunnah, 1408 H). Buku ini menjelaskan kritik tafsir terhadap buku-buku tafsir bil ma’tsur yang telah tercemar oleh hadits-hadits maudû’ dan isrâiliyat.

Buku ketiga belas berjudul "al-Isrâiliyat wa al-Maudu'at wa Bida' al-Tafâsir Qadîman wa Hadîtsan " karya Abu Anas Hamid Ahmad al-Tâhir al-Basyuni (Dar al- Taqwa, cet. I, 1424 H, 2004 M). Pada bagian awal dari buku ini, penulis mengupas tentang isrâiliyat, hadits-hadits maudu' secara umum. Kemudian pada bagian kedua ia mulai menjelaskan dampak buruk cerita israiliyat dan maudu' ketika masuk dalam tafsir klasik maupun kontemporer.

Buku kempat belas berjudul “How do the Uniwise Interpret The Qur’an?” karya Harun Yahya, telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Samson Abdurrahman dengan judul “Misinterpretasi Terhadap al-Qur'an, Mewaspadai Penyimpangan Dalam Menafsirkan Al-Qur'an” (Rabbani Press, 2003 M). Dalam buku ini dijelaskan sebab-sebab terjadinya misinterpretasi terhadap al-Qur’ân dan contoh-contoh interpretasi yang dianggapnya menyimpang.

Pada variabel kedua penulis hanya menemukan dua tulisan yang keduanya berbentuk tesis; pertama sebuah tesis yang ditulis oleh Khalilurrahman dengan konsentrasi hadits, berjudul “Kualitas Hadits Subhah; studi Komporatif Metode Tashih dan Tad’if hadits al-Habasyi dan al-Albani” , (Sekolah Pasca Sarjana UIN Jakarta, 2005 M). Tesis ini berbeda dengan peneletian penulis, karena ia meneliti tokoh al-Habasyi dari sisi ketokohan al-Habasyi dalam bidang ilmu hadits, sedangkan penelitian ini meneliti al-Habasyi dari sisi ketokohan al-Habasyi dalam bidang tafsir, khususnya kritik tafsir.

Kedua, sebuah tesis yang ditulis oleh ‘Abd al ‘Aziz dengan konsentrasi dakwah, berjudul “Revitalisasi Dakwah Ahlussunnah wa al- Jama’ah perspektif al-Habasyi” ( Jakarta: Universitas Islam al-Syafi’iyah (UIA), 2006 M). Tesis ini berbeda dengan penelitian penulis, karena ia meneleti ketokohan al-Habasyi dalam bidang dakwah, sedangkan penelitian ini meneliti al-Habasyi dari sisi ketokohan al-Habasyi dalam bidang tafsir, khususnya kritik tafsir.

Dari review pustaka diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:

a) Penelitian terdahulu, umumnya berbicara tentang kritik tafsir secara praktis. Kriteria yang dipergunankan juga cenderung sama, yaitu isrâiliyat, maudu', panatisme madzhab dan kajian bahasa, tidak satupun yang menjadikan usûl al- syarî'ah sebagai kriteria kritik tafsir.

b) Penelitian tafsir yang menjadikan al-Habasyi sebagai obyek penelitian belum ada. Dengan demikian, penelitian tentang metodologi kritik tafsir al-Habasyi yang menekankan usûl al-syarî'ah perlu dilakukan. Selain belum ada penelitian tentang itu, juga berguna untuk pengembangan tradisi kritik tafsir berikutnya.

F. Metodologi Penelitian