ORTODOKSI TAFSIR DAN AL-SYA< T{ IBI<

BAB IV ORTODOKSI TAFSIR DAN AL-SYA< T{ IBI<

A. Ortodoksi Tafsir: Sebuah Kerangka Teoretis Sering dinyatakan bahwa perumusan aturan-aturan serta kaidah-kaidah

penafsiran al-Qur`an telah dimulai oleh Rasulullah saw. sendiri. 1 Dalam sebuah hadits, misalnya, diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda,

“Sungguh, al-Qur`an tidak turun dengan mengandung pertentangan antara satu bagian dengan bagian yang lain. Setiap bagian dari al-Qur`an justru saling membenarkan satu sama lain. Maka apa yang kalian ketahui

darinya, amalkanlah. Dan apa yang tidak kalian ketahui darinya, kembalikanlah hal itu kepada orang yang mengetahuinya.” 2

Meski demikian, elaborasi ilmiah dan sistematis terhadap kaidah-kaidah tafsir tersebut baru dilakukan pada masa kodifikasi ( ‘as} r al-tadwi> n, kira-kira

sejak akhir abad pertama dan awal abad kedua Hijriah). 3 Saat itu, mulai bermunculan tulisan-tulisan yang mengarah kepada perumusan kaidah-kaidah

tafsir al-Qur`an dalam bentuknya yang sederhana dan fragmenter, seperti al- Asyba> h wa al-Naz} a> `ir fi> al-Qur`a> n al-Kari> m, karya Muqa> til ibn Sulayma> n (w. 150 H.); Ma‘a> ni> al-Qur`a> n, karya al-Farra> `(w. 207 H.); serta Maja> z al-Qur`a> n,

1 Kha> lid ibn ‘Utsma> n al-Sabt, Qawa> ‘id al-Tafsi> r Jam‘an wa Dira> satan (Kairo: Da> r Ibn ‘Affa> n, 1421 H.), hlm. 42; dan Kha> lid ‘Abd al-Rah{ ma> n al-‘Akk, Us}u> l al-Tafsi> r wa Qawa> ‘iduhu> ,

(Beirut: Da> r al-Nafa> `is, cet. 2, 1986), hlm. 32-33. 2 Diriwayatkan oleh Ah{ mad dalam Musnad-nya, bab al-Muktsiri> n min al-S}ah} a> bah,

nomer 6415, melalui jalur periwayatan ‘Amr ibn Syu‘ayb, dari ayahnya, dari kakeknya, dengan redaksi sebagai berikut.

Hadits ini juga dikutip dalam Wasi> m Fath{ ulla> h, Al-Ikhtila> f fi al-Tafsi> r: Haqi> qatuhu> wa Asba> buhu> (t.tp: t.p., t.t.), hlm. 19.

3 Muh{ ammad ‘A< bid al-Ja> biri> , Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi> : Dira> sah Tah} li> liyyah Naqdiyyah li Nuz} um al-Ma‘rifah fi> al-Tsaqa> fah al-‘Arabiyyah (Beirut: al-Da> r al-Bayd} a> `, cet. 7, 2000), hlm.

karya Abu ‘Ubaydah Ma‘mar ibn al-Mutsanna> 4 (w. 215 H.). Tetapi orang yang dianggap berperan paling penting dalam meletakkan pondasi bagi perumusan

kaidah-kaidah tafsir al-Qur`an adalah al-Sya> fi‘i> (w. 204 H.) melalui karyanya, al- Risa> 5 lah.

Sejak awal masa kodifikasi hingga beberapa abad berikutnya, upaya elaborasi terhadap kaidah-kaidah interpretasi al-Qur`an tersebar dalam karya-

karya tafsir, us} 6 ul fiqh, dan bahasa Arab. Al-Ja> biri> menulis analisis yang bagus dengan menyatakan bahwa, pada masa pembentukan dan pengembangannya,

disiplin-disiplin keilmuan tradisional Islam itu disatukan oleh sebuah landasan epistemologis yang sama, yaitu apa yang dia sebut “niz} a> m ma‘rifi> baya> ni> ”,

dengan salah satu proyek teoretis yang juga sama: menetapkan aturan untuk melakukan interpretasi al-Qur`an, 7 al-khit} a> b al-mubi> n.

Melalui proses dinamika intelektual, sosial serta politik yang panjang, kaidah-kaidah tafsir al-Qur`an itu kemudian menjadi mapan dan digunakan sebagai kriteria penentu ortodoksi. Dengan kata lain, kaidah-kaidah tersebut menjadi prinsip-prinsip yang dengannya “tafsir yang benar” dan “tafsir yang salah” bisa dibedakan—“yang benar” menjadi bagian dari ortodoksi, dan “yang salah” dianggap sebagai deviasi ( inh} ira> f) atau heterodoksi.

Satu hal yang penting untuk diperhatikan adalah bahwa ortodoksi kerap dihubungkan dengan dinamika sosial, politik, dan budaya pada masa tertentu. Dengan kata lain, sebuah teori, pendekatan, atau asumsi yang pada suatu masa

4 Al-Ja> biri> , Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, hlm. 16-17. Dengan karyanya di atas, Muqa> til ibn Sulayma> n dianggap sebagai salah seorang yang paling awal menulis karya di bidang ‘ulu> m al-

Qur`a> n. Ulama-ulama belakangan, seperti al-Zarkasyi> dan al-Suyu> t} i> , mengutip banyak hal dari karyanya itu. Lihat ‘Abdullah Mah} mu> d Syah} a> tah, “Muqa> til ibn Sulayma> n: Dira> sah ‘an al- Mu`allif” dalam Muqa> til ibn Sulayma> n, Al-Asyba> h wa al-Naz}a> `ir fi> al-Qur`a> n al-Kari> m (Kairo:

Al-Hay`ah al-Mis} riyyah al-‘A< mmah li al-Kita> b, cet. 2, 1994), hlm. 77. 5 Kha> lid Al-‘Akk, Us}u> l al-Tafsi> r wa Qawa> ‘iduhu, hlm. 35. Kha> lid ibn ‘Utsma> n al-Sabt menambahkan Ah} ka> m al-Qur`an sebagai karya lain al-Syafi‘i yang memuat kaidah-kaidah interpretasi al-Qur`an. Lihat Kha> lid al-Sabt, Qawa> ‘id al-Tafsi> r, hlm. 42. Al-Ja> biri> bahkan menyebut al-Sya> fi‘i> dengan al-Risa> lah-nya sebagai “peletak pertama aturan-aturan tafsir al- khit} a> b al-baya> ni> dan perintis terbesar ( al-musyarri‘ al-akbar) bagi nalar Arab.” Lihat al-Ja> biri> , Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi> , hlm. 17.

6 Kha> lid al-Sabt, Qawa> ‘id al-Tafsi> r, hlm. 43. 7 Al-Ja> biri> , Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi> , hlm. 534-536 6 Kha> lid al-Sabt, Qawa> ‘id al-Tafsi> r, hlm. 43. 7 Al-Ja> biri> , Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi> , hlm. 534-536

misalnya, pendapat bahwa al-Qur`an merupakan sesuatu yang diciptakan ( 9 makhlu> q) dianggap sebagai bagian dari ortodoksi. Sementara pada masa-masa

berikutnya, pendapat sebaliknyalah yang dianggap ortodoks. Demikian pula dengan metode tafsir mawd} u> ‘i> . Pada tahun 1967, ketika Muh} ammad Mah} mu> d H{ ija> zi> menulis disertasinya yang kemudian diterbitkan dengan judul al-Wih} dah al-Mawd} u> ‘iyyah fi> al-Qur`a> n al-Kari> m, metode tafsir mawd} u> ‘i> masih ditolak oleh

banyak petinggi Universitas al-Azhar. 10 Belakangan, metode ini menjadi bagian yang sah dari ortodoksi tafsir Sunni.

Akan tetapi penelitian ini menganut asumsi bahwa ada struktur dasar yang bersifat relatif tetap dan permanen dalam ortodoksi tafsir dari masa ke

masa. 11 Pergeseran-pergeseran yang terjadi tetap tidak mampu menyentuh

8 Mih} nah adalah sebuah prosedur yang digunakan untuk menguji pendirian teologis seseorang menyangkut persoalan: apakah al-Qur`an diciptakan ( makhlu> q) atau tidak. Prosedur ini

diberlakukan oleh khalifah al-Ma`mu> n serta dua khalifah lain setelahnya (al-Mu‘tas} im dan al- Wa> tsiq). Untuk detail yang lebih rinci, lihat M. Hinds, “Mih} na”, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition (Leiden: Brill Academic Publishers, 2003). Pencabutan dekrit mih} nah oleh al-Mutawakkil pada tahun 234 H./848 M., berikut persekusi balasan yang dilakukan kaum tradisionalis Sunni terhadap kaum rasionalis Muktazilah, kerap dianggap sebagai momentum paling penting bagi terbentuknya ortodoksi Sunni. Lihat W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), hlm. 253-254. Bandingkan dengan G.H.A. Juynboll, “Sunna”, dalam C.E. Bosworth dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition. Sejak saat itu, lawan politik dan ideologis terkuat kelompok Sunni praktis tinggal kelompok Syi‘ah. Dan tidak berapa lama kemudian, apa yang disebut kelompok Sunni, secara sederhana, menjadi identik dengan sebuah kelompok mayoritas di luar Syi‘ah. Lihat Jonathan P. Berkey, The Formation of Islam: Religion and Society in the Near East, 600-1800 (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), hlm. 141.

9 J. R. T. M. Peters, God’s Created Speech: A Study in the Speculative Theology of the Mu‘tazilî Qâd} î l-Qud} ât Abû l-H} asan ‘Abd al-Jabbâr bn Ah} mad al-Hamadânî (Leiden: E. J. Brill,

1976), hlm. 1-3. 10 Mohamed El-Tahir El-Misawi, “The Meaning and Scope of al-Tafsir al-Mawdu‘i: A Comparative Historical Analysis” dalam Papers of the International Conference on the Qur`an and Sunnah: Methodologies of Interpretation, hlm. 126-127.

11 Asumsi senada juga diajukan oleh Norman Calder dalam analisisnya tentang persoalan genre kitab-kitab tafsir yang ditulis sejak masa al-T{abari> (w. 310 H.) hingga masa Ibn Katsi> r (w.

774 H.). Genre tafsir al-Qur`an Sunni, menurutnya, memiliki sebuah “tradisi” yang dibangun di atas tiga “karakteristik struktural”. Pertama, pemilahan ayat dan penulisan tafsir berdasarkan urutan mus} h}

af. Kedua, pencantuman otoritas-otoritas yang menjadi rujukan tafsir serta variasi bacaan. Ketiga, pelibatan disiplin-disiplin skolastik seperti ilmu bahasa Arab, teologi, fiqh, dan af. Kedua, pencantuman otoritas-otoritas yang menjadi rujukan tafsir serta variasi bacaan. Ketiga, pelibatan disiplin-disiplin skolastik seperti ilmu bahasa Arab, teologi, fiqh, dan

Struktur internal ortodoksi tafsir Sunni yang terbentuk jauh di masa lalu dan terus berpengaruh hingga di masa kita ini akan diuraikan pada bagian berikut. Tetapi, sebelum itu, kita terlebih dahulu akan melihat secara singkat bagaimana teori tentang ortodoksi dikembangkan oleh Mohammed Arkoun dan Norman Calder.

1. Arkoun dan Calder tentang Ortodoksi Gagasan tentang ortodoksi merupakan bagian yang sangat sentral dalam pemikiran Arkoun, sesuatu yang dianggapnya sebagai “salah satu kunci untuk

memikirkan-ulang ( 12 to rethink) seluruh bagian dari teologi Islam”. Arkoun menganggap ortodoksi Islam bermula dari munculnya perdebatan teologis

selepas terbunuhnya Utsma> n ibn ‘Affa> n. Peristiwa yang kemudian diikuti oleh berdirinya dinasti Umayyah itu melahirkan sebuah proses di mana,

lain sebagainya. Meski terdapat variasi-variasi tertentu, terutama melalui apa yang dilakukan oleh al-Ra> zi> dan Ibn Katsi> r, Calder tetap menyatakan bahwa tradisi tafsir Sunni itu bersifat akuisitif serta meliputi segala variasi yang ada—setiap variasi justru menegaskan batas bagi tradisi tersebut. Lihat Norman Calder, “Tafsi> r from T{ abari> to Ibn Kathi> r: Problems in the description of a genre, illustrated with reference to the story of Abraham”, dalam G.R. Hawting dan Abdul-Kader A. Shareef [ed.], Approaches to the Qur’a> n (London dan New York: Routledge, 1993), hlm. 101-134.

12 Ursula Günther, “Mohammed Arkoun: towards a radical rethinking of Islamic thought”, dalam Suha Taji-Farouki [ed.], Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an (Oxford:

Oxford University Press, 2004), hlm. 138.

“modal simbolik yang diemban oleh al-Qur`an digunakan untuk mengkonstruksi dan membentuk Islam yang resmi dan ortodoks: resmi karena ia lahir dari pilihan-pilihan politik negara yang mencoba mengeliminasi secara fisik para lawan yang melakukan interpretasi dan penggunaan modal simbolik itu secara berbeda (terutama kelompok Syi‘ah dan Khawarij); ortodoks karena para ulama yang diberi kuasa secara resmi oleh otoritas-otoritas politik meyakini bahwa adalah mungkin untuk melakukan pembacaan yang benar terhadap Kalam Tuhan serta untuk

memiliki pengetahuan yang menyeluruh terhadap Sunnah Nabi….” 13

Hingga di sini, adalah hal yang jelas bahwa, bagi Arkoun, negara dan otoritas-otoritas politik merupakan faktor yang bersifat sangat menentukan bagi

terbentuknya ortodoksi. 14 Karena itu, ortodoksi, baik dalam versi Sunni maupun Syi‘ah, 15 tulis Arkoun, “tidak lebih dari agama resmi ( the official religion) yang

terbentuk melalui kolaborasi antara mayoritas…ulama dan negara.” 16 Lebih dari itu, ortodoksi juga bekerjasama dengan kekuatan-kekuatan lain dalam

masyarakat, seperti negara, budaya tulis, serta kultur kaum terpelajar untuk melawan kekuatan-kekuatan lain yang menjadi rivalnya, seperti heterodoksi,

masyarakat segmenter, budaya tutur ( 17 orality), serta kultur populis. Dalam Lectures du Coran, Arkoun mengelaborasi lebih jauh lagi konsep

ortodoksi. Dia menulis, “ Ortodoksi didefinisikan sebagai sistem kepercayaan-kepercayaan dan

representasi-representasi mitologis melalui mana ( through which), dan dengan mana ( with which), sebuah kelompok sosial mempersepsi serta mengkonstruksi sejarahnya sendiri…Dalam konteks ini, ortodoksi bisa

13 Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers, terj. Robert D. Lee (Boulder, Colorado: Westview Press, 1994), hlm. 22 —cetak miring

bersumber dari buku asal. 14 Dalam hal ini, Arkoun memberikan penekanan yang berbeda dari, misalnya, Montgomery Watt yang meyakini bahwa, dalam Islam Sunni, wewenang untuk menyatakan sebuah doktrin sebagai sesuatu yang resmi ada di tangan para ulama, bukan di tangan para penguasa sekular seperti khalifah dan sultan. Lihat Watt, The Formative Period of Islamic Thought, hlm. 268.

15 Arkoun meyakini bahwa terma ortodoksi bisa diberlakukan bagi kelompok-kelompok Sunni, Syi‘ah, Khawarij, atau bahkan mazhab Malikiyah, Syafi‘iyah, dan sebagainya. Lihat

Mohammed Arkoun, Kajian Kontemporer al-Qur’an, terj. Hidayatullah (Bandung: Pustaka, 1998), hlm. 221, catatan kaki nomer 6.

16 Ursula Günther, “Mohammed Arkoun”, hlm. 139. 17 Ursula Günther, “Mohammed Arkoun”, hlm. 141.

juga didefinisikan sebagai sistem nilai-nilai yang berfungsi terutama untuk menjamin proteksi serta keamanan sebuah kelompok. Itu sebabnya mengapa setiap ortodoksi pasti merupakan sebuah visi ideologis yang berorientasi secara berlebihan kepada kepentingan subyektif kelompok yang memilikinya. Tetapi kelompok yang dianggap sebagai sebuah ‘kesadaran kolektif’ itu tidak pernah menyadari bahwa ia menggunakan sejarah secara subyektif dan penuh bias; ia justru melihat ‘ortodoksi’ miliknya itu sebagai sebuah ekspresi yang sejati (genuine) dari

identitasnya sendiri.” 18

Kutipan di atas memperlihatkan bahwa ortodoksi di mata Arkoun terbentuk melalui sebuah proses yang tanpa-disadari dan berfungsi sebagai representasi dari satu-satunya ekspresi yang dianggap otentik. Karena itu,

ortodoksi selalu dimaknai secara teologis. Tetapi, pada saat yang sama, ortodoksi juga merupakan hasil dari sebuah proses historis yang panjang, sebuah proses

yang melibatkan upaya “seleksi, eliminasi, serta difusi dari nama-nama, karya- karya, mazhab-mazhab, dan gagasan-gagasan” yang dilakukan berdasarkan

tujuan-tujuan kelompok atau komunitas yang bersangkutan. 19 Sementara itu, dalam artikelnya, “The Limits of Islamic Orthodoxy”,

Calder menyatakan bahwa, berbeda dengan tradisi Katolik Roma, ortodoksi Islam tidak pernah dirumuskan sekali jadi—ia justru terus-menerus dirumuskan dalam sebuah proses yang diskursif, sebuah proses menafsirkan masa lalu yang

berlangsung tanpa henti. 20 Tidak peduli, “…sedahsyat, sekuat, seelegan, atau secanggih apa pun artikulasi seorang

ulama, bahkan tidak peduli seberpengaruh apa pun ia, hal itu bukanlah artikulasi yang bersifat final. Para ulama di tengah-tengah umat [Islam], dengan cara saling berkonsultasi dan mendengarkan satu sama lain, secara bertahap berkembang, berubah dan bergerak—meski, barangkali, tidak

terlalu jauh.” 21

18 Pernyataan ini dikutip dalam Ursula Günther, “Mohammed Arkoun”, hlm. 139 — cetak miring bersumber dari buku asal. 19 Ursula Günther, “Mohammed Arkoun”, hlm. 139 20 Norman Calder, “The Limits of Islamic Orthodoxy”, dalam Farhad Daftary [ed.],

Intellectual Traditions in Islam (London: I.B. Tauris, 2000), hlm. 69. 21 Calder, “The Limits of Islamic Orthodoxy”, hlm. 69-70.

Untuk mendefinisikan ortodoksi keagamaan, Calder mengajukan lima kriteria, yaitu kitab suci ( scripture), komunitas (community), nalar (reason),

pengetahuan mistik-spiritual ( 22 gnosis), dan karisma (charisma). Dalam konteks Islam, ortodoksi yang berbasis nalar direpresentasikan oleh para filsuf dan

kelompok Muktazilah, sementara gnosis direpresentasikan oleh para sufi. Sedangkan kelompok Syi‘ah Itsna> -‘Asyariyah dan Isma> ‘i> liyah membangun ortodoksi mereka di atas basis karisma para imam. Lalu, dalam spektrum epistemologis ini, di manakah posisi Sunni? Menurut Calder, kelompok Sunni membangun ortodoksi mereka berdasarkan pemahaman terhadap al-Qur`an ( scripture) dan melalui apa yang terjadi dalam komunitas, sebuah komunitas

yang berproses tanpa henti ( the ongoing community). Karena al-Qur`an dipahami melalui sebuah tradisi yang bersifat diskursif dan kumulatif, maka keseluruhan pengalaman praktis dan historis umat Islam menjadi sesuatu yang sentral dalam struktur ortodoksi. Kesalahan orang seperti

Sayyid ‘Ali> 24 Muh} ammad Syi> ra> zi> (w. 1850), pendiri sekte Baha`i, menurut Calder, adalah bahwa dia mengabaikan tradisi dan tidak “memberikan

pengakuan, dalam tafsir yang ditulisnya, terhadap pengalaman umat…, yaitu pengalaman intelektual yang direpresentasikan dalam aktivitas tafsir [al-Qur`an]

sepanjang beberapa generasi”. 25 Atas dasar itu, Calder menegaskan bahwa ortodoksi Sunni disandarkan

lebih kepada otoritas generasi-generasi awal daripada kepada kitab suci mereka

22 Calder, “The Limits of Islamic Orthodoxy”, hlm. 71. 23 Calder, “The Limits of Islamic Orthodoxy”, hlm. 71-73. 24 Untuk informasi yang lebih lengkap mengenai Sayyid ‘Ali> Muh} ammad Syi> ra> zi> dan

tafsir yang ditulisnya, lihat A. Bausani, “Ba> b”, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition. Lihat juga B. Todd Lawson, “Interpretation as Revelation: The Qur’an Commentary of Sayyid ‘Ali> Muh} ammad Shi> ra> zi> , the Ba> b (1819-1850)”, dalam Andrew Rippin [ed.], Approach to the History of the Interpretation of the Qur’a> n (Oxford: Clarendon Press, 1998), hlm. 223-253.

25 Calder, “The Limits of Islamic Orthodoxy”, hlm. 77.

sendiri. Islam Sunni, menurut Calder, “ …is more a religion of community than of scripture”. 26 Dengan kata lain,

“tradisi intelektual Islam merupakan sebuah tradisi yang mempersyaratkan bahwa sebuah generasi harus mengkaji dan mempertimbangkan karya- karya generasi sebelum mereka. Ini bukanlah sebuah agama yang, dari generasi ke generasi, merujuk kepada kata-kata asli dalam kitab suci serta wahyu. Ketika seorang ulama berusaha untuk kembali ke sumber-sumber asli dan mengkajinya dengan tanpa praduga (jika hal semacam itu benar- benar ada), maka masyarakat tidak akan mempercayai hal tersebut

dan…pendapatnya akan ditolak.” 27

Demikianlah teori ortodoksi yang dirumuskan oleh Arkoun dan Calder. Struktur ortodoksi tafsir dalam penelitian ini akan didasarkan, dengan beberapa

modifikasi dan penyesuaian, terutama kepada teori Calder karena ia secara lebih spesifik mengarahkan kajiannya untuk menguraikan struktur internal ortodoksi Sunni dalam relasinya dengan ortodoksi kelompok-kelompok lain dalam Islam. Selain itu, berbeda dengan Arkoun yang memberikan penekanan kepada relasi antara ortodoksi dengan pilihan politik penguasa, Calder lebih memusatkan perhatiannya kepada “proses diskursif” yang berlangsung di antara para ulama. Perhatian kepada proses perdebatan yang terjadi secara internal di kalangan para ulama itu tampaknya lebih sesuai dengan jenis ortodoksi yang hendak diuraikan oleh penelitian ini, yaitu ortodoksi dalam disiplin keilmuan tafsir.

2. Tiga Basis Ortodoksi Tafsir Sunni Tulisan Calder di atas menunjukkan bahwa meski tidak ada otoritas tunggal yang bisa menentukan kriteria bagi ortodoksi, tetapi ada batasan-batasan tertentu yang bisa ditarik dari “proses diskursif” yang berlangsung secara terus- menerus sepanjang beberapa generasi. Meminjam asumsi tersebut, penelitian ini berpendapat bahwa tidak ada satu pun karya di bidang tafsir yang bisa dianggap memberi kata akhir bagi apa yang disebut ortodoksi tafsir Sunni. Karena itu, penelitian ini tidak mencoba melacak ortodoksi tafsir melalui pandangan atau

26 Calder, “The Limits of Islamic Orthodoxy”, hlm. 73. 27 Calder, “The Limits of Islamic Orthodoxy”, hlm. 77.

karya seorang ulama tertentu, melainkan melalui pembatasan terhadap struktur dasar ortodoksi dengan mana deviasi dari ortodoksi itu bisa dinilai.

Jika Calder menyebut “scripture” dan “community” sebagai dua hal yang menjadi basis ortodoksi Sunni secara keseluruhan, maka penelitian ini menyatakan bahwa ortodoksi tafsir Sunni dibangun di atas orientasi tekstual serta pengalaman masyarakat Sunni. Dalam “orientasi tekstual” terkandung pengertian bahwa tafsir harus selalu setia dan tidak bertentangan dengan keseluruhan teks. “Teks” yang dimaksud di sini adalah al-Qur`an serta hadits. Dan karena keduanya diujarkan dalam bahasa Arab, maka “orientasi tekstual” juga meliputi perhatian kepada kaidah-kaidah bahasa Arab. Sedangkan

“pengalaman masyarakat Sunni” mewakili apa yang disebut oleh Calder dengan “ 28 acknowledgement of what happens inside the community”. Tentu saja

masyarakat yang dimaksud di sini adalah “masyarakat- 29 mufassir Sunni”. Artinya, setiap upaya penafsiran al-Qur`an pada sebuah masa harus mengkaji dan

mempertimbangkan apa yang telah diwariskan oleh generasi sebelumnya. Tetapi bisa diamati bahwa tidak setiap generasi memiliki otoritas yang sama. Ada semacam hirarki di sana. Generasi al-salaf al-s} a> lih} , terutama para sahabat dan ta> bi‘i> n, cenderung dianggap lebih otoritatif dibandingkan dengan generasi- generasi berikutnya.

Selain melalui dua kategori di atas, ortodoksi tafsir Sunni juga bisa dilihat melalui identifikasi Sunni sendiri sebagai sebuah kelompok teologis. Proses artikulasi ortodoksi sering melibatkan upaya menetapkan batas-batas tertentu yang memisahkan antara doktrin-doktrin Sunni dan doktrin-doktrin kelompok lain di luarnya. Tentu saja, sebagaimana dinyatakan Calder, ortodoksi

28 Calder, “The Limits of Islamic Orthodoxy”, hlm. 73. 29 Sebagai perbandingan, Stanley Fish pernah mempopulerkan konsep “interpretive

community” guna menengahi perdebatan antara kelompok obyektivis dan kelompok subyektivis dalam persoalan makna. Dengan konsep “interpretive community”, makna tidak sepenuhnya obyektif dan tidak pula sepenuhnya subyektif, melainkan menjadi sesuatu yang dimiliki dan diproses bersama oleh para anggota dari kelompok sosial-budaya tertentu. Lihat Jane Dammen McAuliffe, “Text and Textuality: Q. 3:7 as a Point of Intersection”, dalam Issa J. Boullata [ed.], Literary Structures of Religious Meaning in the Qur’a> n (Surrey: Curzon Press, 2000), hlm. 68.

Sunni juga mengakomodasi beberapa pandangan dari kelompok-kelompok lain. 30 Tetapi hal itu dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan kriteria-kriteria

ortodoksi yang dirumuskan oleh para ulama Sunni sendiri. Dengan demikian, kita memperoleh tiga prinsip yang menjadi struktur dasar ortodoksi tafsir Sunni, yaitu, pertama, tekstualisme dan perhatian kepada kaidah-kaidah bahasa; kedua, pengakuan terhadap pengalaman masyarakat- penafsir Sunni; serta ketiga, identifikasi teologis. Pemetaan struktur dasar ortodoksi tafsir itu akan membantu kita memahami mengapa pergeseran- pergeseran tertentu diterima, sementara pergeseran-pergeseran lain ditolak, untuk menjadi bagian dari ortodoksi. Metode mawd} u> ‘i> dalam tafsir, misalnya,

diterima karena ia tidak bertentangan dengan tiga prinsip yang menjadi struktur dasar ortodoksi tafsir di atas. Sementara pendapat tentang historisitas al-Qur`an ditolak karena ia bertentangan dengan salah satu bagian dari struktur dasar ortodoksi tafsir tersebut. Bagian berikut akan diarahkan untuk menguraikan ketiga kriteria ortodoksi tafsir di atas.

3. Ortodoksi Tafsir, Tekstualisme, dan Persoalan-persoalan Bahasa Karya-karya awal di bidang kaidah-kaidah tafsir al-Qur`an menunjukkan

perhatian yang besar kepada persoalan-persoalan bahasa. 31 Atau, jika hendak dirumuskan secara berbeda, sebagian besar literatur tentang bahasa Arab paling

awal menjadikan al-Qur`an sebagai fokus perhatian utamanya. Fenomena itu bermula dari anggapan tentang al-Qur`an sebagai lokus bahasa Arab, sebagai

“ 32 kita> b al-‘arabiyyah al-akbar”. Pada saat yang sama, para ahli bahasa Arab saat itu juga menghadapi tudingan dari masyarakat non-muslim, terutama para

30 Calder, “The Limits of Islamic Orthodoxy”, hlm. 79-83. 31 Penafsiran bercorak linguistik terhadap al-Qur`an telah ada sejak masa-masa yang

sangat awal. Bahkan selain didasarkan pada riwayat, tafsir al-Qur`an di abad-abad pertama juga cenderung sepenuhnya bersifat filologis. Lihat Helmut Gätje, The Qur'a> n and Its Exegesis: Selected Texts with Classical and Modern Muslim Interpretations, terj. Alford T. Welch (Oxford: Oneworld Publications, 1997), hlm. 33-34. Bandingkan dengan Ibn Khaldu> n, Muqaddimah (Kairo: Da> r al-Fikr, tt.), hlm. 439.

32 Muh} ammad ibn Muh} ammad Abu> Syahbah, Al-Madkhal li Dira> sah al-Qur`a> n al-Kari> m (Beirut: Da> r al-Jayl, 1992), hlm. 9.

penganut Manichaeisme, bahwa secara linguistik al-Qur`an sama sekali tidak istimewa. Maka dibutuhkan kajian-kajian linguistik untuk mengungkapkan

keistimewaan al-Qur`an dan menjawab tantangan para pembantahnya itu. 33

Upaya untuk mengkaji keistimewaan al-Qur`an dan membantah pandangan para penentangnya itu mendorong elaborasi konsep 34 i‘ja> z al-Qur`a> n.

Orang-orang yang meyakini bahwa i‘ja> z al-Qur`a> n berlaku bagi seluruh bangsa, baik Arab maupun non-Arab, menekankan pandangan bahwa mukjizat al-Qur`an

terletak terutama pada maknanya, bukan pada lafaznya. 35 Sebaliknya, para ulama Sunni ortodoks berpendapat bahwa mukjizat al-Qur`an terletak pada lafaz

sekaligus pada maknanya—dua hal yang bersifat internal pada teks itu sendiri.

Itu sebabnya mengapa mereka juga menolak konsep s}arfah, sebuah pandangan tentang i‘ja> z al-Qur`a> n sebagai sebuah kondisi yang disebabkan oleh faktor di

luar teks. 36 Karena i‘ja> z al-Qur`a> n terletak pada lafaz sekaligus maknanya, maka

tidak ada satu pun bahasa asing (non-Arab) yang mampu mengekspresikan i‘ja> z itu seperti apa yang bisa dilakukan oleh bahasa Arab. Implikasinya, upaya menerjemahkan al-Qur`an menjadi sesuatu yang tidak mungkin, atau bahkan

33 Al-Ja> biri> , Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi> , hlm. 69-70 34 Orang yang dianggap pertama kali mengkaji konsep i‘ja> z al-Qur`a> n dalam sebuah

karya yang utuh adalah Abu> Sulayma> n al-Busti> (w. 388 H.). Lihat Muh{ ammad Ha> di> Ma‘rifah, Al- Tamhi> d fi> ‘Ulu> m al-Qur`a> n, vol. 4 (Qum: Mu`assasah al-Nasyr al-Isla> mi> , 1411 H.), hlm. 31. Tetapi ada sebuah karya yang hilang milik Abu> ‘Abdilla> h Muh} ammad ibn Zayd al-Wa> sit} i> (w. 306 H.) berjudul I‘ja> z al-Qur`a> n fi> Naz}mihi> wa Ta`li> fihi> . Lihat Muni> r Sult} a> n, I‘ja> z al-Qur`a> n bayna al- Mu‘tazilah wa al-Asya> ‘irah (Iskandariyyah: Mansya`ah al-Ma‘a> rif, cet. 3, 1986), hlm. 50 dan 235.

35 Al-Ja> biri> menisbatkan pandangan ini kepada kelompok Muktazilah. Lihat al-Ja> biri> , Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi> , hlm. 70.

36 S} arfah atau s} irfah adalah sebuah pandangan bahwa Allahlah yang membuat orang- orang Arab tidak mampu menandingi al-Qur`an, bukan karena teks al-Qur`an itu memang bersifat

tidak tertandingi pada dirinya sendiri. Salah satu pelopor pandangan ini adalah al-Nazza> m (w. 231 H.). Lihat al-Suyu> t} i, Al-Itqa> n fi> ‘Ulu> m al-Qur`a> n (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), vol.2, hlm. 231. Bandingkan pula dengan M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur`an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Ghaib (Bandung: Mizan, cet. 4, 1998), hlm. 155-163. Konsep s} arfah ini sering dinisbatkan kepada kelompok Muktazilah. Tetapi Muni> r Sult} a> n menunjukkan bahwa konsep tersebut sebetulnya tidak menempati posisi yang sentral dalam pemikiran para pemuka kelompok Muktazilah sendiri—mereka menganggapnya sekedar “salah satu aspek dari sekian banyak aspek ( wajh win wuju> h) i‘ja> z al-Qur`a> n.” Lihat Muni> r Sult} a> n, I‘ja> z al-Qur`a> n bayna al-Mu‘tazilah wa al-Asya> ‘irah, hlm. 213-216.

terlarang, untuk dilakukan. Terdapat indikasi yang kuat bahwa penerjemahan al- Qur`an sempat menjadi polemik bahkan hingga di awal abad 20. 37 Belakangan,

kebolehan melakukan penerjemahan al-Qur`an mulai diterima secara luas dengan asumsi bahwa terjemah merupakan bagian dari tafsir al-Qur`an serta dengan

syarat bahwa terjemahan itu tidak boleh menggantikan teks al-Qur`an. 38

Di sisi lain, setelah Islam berekspansi ke luar Jazirah Arab, semakin banyak orang-orang non-Arab yang memeluk agama Islam. Ada proses pembentukan sebuah lapisan sosial di mana bahasa Arab tidak lagi menjadi bahasa-ibu. Akibatnya, para ulama memandang perlu dirumuskannya aturan- aturan tertentu agar pemahaman terhadap al-Qur`an dilakukan dalam koridor

bahasa Arab yang benar. Banyaknya tema-tema dalam literatur kaidah-kaidah tafsir dan ‘ulu> m al-Qur`a> n yang mengambil titik tolaknya dari persoalan- persoalan linguistik juga bisa dipandang sebagai bagian dari hasrat untuk menetapkan batasan agar al-Qur`an tidak ditafsirkan secara menyimpang dari

kaidah-kaidah bahasa Arab. 39

37 Ketika Mahmud Yunus hendak menerjemahkan al-Qur`an ke dalam bahasa Indonesia pada awal abad 20, dia ditentang oleh banyak ulama. Meski akhirnya dia berhasil merampungkan

terjemahan tersebut, penentangan itu menunjukkan bahwa upaya penerjemahan al-Qur`an saat itu belum sepenuhnya diterima. Lihat Howard Federspiel, Kajian al-Qur`an di Indonesa: Dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab, terj. Tajul Arifin (Bandung: Mizan, cet. 2, 1996), hlm.

34. Polemik yang lebih keras dan berkepanjangan terjadi di Mesir antara tahun 1925 hingga tahun 1936. Untuk detail yang lebih lengkap tentang polemik tersebut, lihat Ah} mad Ibra> hi> m Mahna, Dira> sah H{ awla Tarjamah al-Qur`a> n al-Kari> m (ttp.: Mat} bu> ‘a> t al-Sya‘b, tt.), hlm. 13-78.

38 R. Paret, “Al-K{ ur’a> n—Translation of the K{ ur’a> n—The Orthodox Doctrine Concerning Translation”, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD

Edition. Al-Dzahabi> menyebutkan empat syarat agar terjemahan interpretatif ( al-tarjamah al- tafsi> riyyah) atas al-Qur`an bisa diterima. Pertama, dilakukan berdasarkan syarat-syarat tafsir yang benar (menaati hadits-hadits Rasulullah saw., kaidah-kaidah bahasa, serta prinsip-prinsip dasar syariat Islam). Kedua, penerjemah tidak boleh condong kepada akidah yang menyimpang dari kandungan al-Qur`an. Ketiga, penerjemah harus memiliki penguasaan yang mendalam terhadap bahasa Arab dan bahasa terjemahan. Keempat, ayat-ayat al-Qur`an beserta tafsirnya harus pula dituliskan agar tidak ada seorang pun yang menganggap terjemahan itu sebagai terjemahan harfiah terhadap al-Qur`an. Lihat Muh} ammad H{ usayn al-Dzahabi> , Al-Tafsi> r wa al- Mufassiru> n (Beirut: Syarikah Da> r al-Arqam ibn Abi> al-Arqam, t.t.), vol. 1, hlm. 21.

39 Sebagai ilustrasi, dari 80 bab dalam al-Itqa> n fi> ‘Ulu> m al-Qur`a> n, karya al-Suyu> t} i, terdapat tidak kurang dari 35 bab yang berhubungan dengan kajian-kajian bahasa Arab. Lihat al-

Suyu> t} i, Al-Itqa> n, hlm. 14-17. Bahkan terdapat beberapa karya yang mencoba merangkum secara khusus kaidah-kaidah linguistik dalam tafsir, seperti karya Nor Ichwan, Memahami Bahasa al- Qur`an: Refleksi atas Persoalan Linguistik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002) dan karya ‘Abd

Perhatian kepada persoalan-persoalan linguistik itu bermuara pada upaya penetapan pola relasi antara teks dan maknanya. Secara umum, relasi tersebut bersifat tekstualis, dalam arti bahwa pemaknaan apa pun terhadap al-Qur`an

tidak boleh bertentangan dengan teks (al-Qur`an dan hadits). 40 Pada praktiknya kemudian, prinsip tentang tekstualisme dalam tafsir ini bersinggungan dengan,

paling tidak, dua hal: takwil dan pembatalan teks ( 41 ta‘t} i> l al-nas} s} ). Takwil dengan segala perdebatan mengenai definisi dan pembatasannya

menganut asumsi tentang dua level makna: z} a> hir-ba> t} in, h} aqi> qi> - maja> zi> , qari> b- ba‘i> 42 d, muh} kam-mutasya> bih, ja> zim-muh} tamil, atau ma`tsu> r-manz} u> r. Dalam

pandangan ortodoksi Sunni, pembagian dua level makna ini bersifat biner, dalam

arti bahwa kategori yang kedua harus merujuk kepada, dan dibatasi oleh, kategori pertama. Lebih jauh lagi, perumusan makna pada kategori kedua harus selalu dilakukan dalam wilayah yang diizinkan oleh kaidah-kaidah bahasa Arab. Dengan demikian, makna ba> t} in, maja> zi> , ba‘i> d, mutasya> bih, muh}tamil, dan manz} u> r hanya bisa diterima apabila ia tidak bertentangan dengan makna z} a> hir, h} aqi> qi> , qari> b, muh} kam, ja> zim, dan ma`tsu> r serta tidak menyimpang dari aturan-

aturan bahasa. 43

al-Ha> di> al-Fad{ li> , Al-Wasi> t} fi> Qawa> ‘id Fahm al-Nus} u> s} al-Syar‘iyyah (Beirut: Mu`assasah al- Intisya> r al-‘Arabi> , 2001).

40 Teks al-Qur`an bahkan ditempatkan di atas bahasa—bukan bahasa yang menjadi kriteria benar atau tidaknya teks, melainkan teks yang menentukan apakah sebuah kaidah dalam

bahasa Arab bisa dianggap benar atau tidak. Lihat G.E. von Grunebaum, “I‘dja> z”, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition. Bandingkan dengan al- Suyu> t} i, Al-Itqa> n, vol. 1, hlm. 9.

41 Istilah “ta‘t} i> l al-nas} s} ” berasal dari Yu> suf al-Qard} a> wi> . Lihat al-Qard} a> wi> , Dira> sah fi Fiqh Maqa> s}id al-Syari> ‘ah: Bayn al-Maqa> s}id al-Kulliyyah wa al-Nus}u> s} al-Juz`iyyah (Kairo: Da> r

al-Syuru> q, 2006), hlm. 4. 42 Tentang konotasi takwil dengan dua level makna ini, lihat al-Dzahabi> , al-Tafsi> r wa al- Mufassiru> n, vol. 1, hlm. 13-16 dan Musa> ‘id al-T{ ayya> r, Mafhu> m al-Tafsi> r wa al-Ta`wi> l wa al- Istinba> t} wa al-Tadabbur wa al-Mufassir ( www.ahlalhdeeth.com ), hlm. 52-60.

43 Menurut al-Ja> biri> , bahkan kelompok Sunni dan Muktazilah sebetulnya sepakat bahwa takwil tidak boleh melanggar batasan-batasan yang ditetapkan dalam bahasa Arab. Perbedaan di

antara kedua kelompok tersebut sebetulnya terletak hanya dalam penentuan ayat-ayat mutasya> biha> t. Lihat al-Ja> biri> , Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, hlm. 59-60. Sementara itu, menurut al- Dzahabi> , untuk menerima takwil makna batin, para ulama telah menetapkan dua syarat. Pertama, makna batin itu sesuai dengan makna zahir yang ditetapkan dalam bahasa Arab. Kedua, ada teks

Sebuah kutipan dari al-Dzahabi> berikut ini memperlihatkan bagaimana dua level makna itu diperlakukan dalam kegiatan interpretasi al-Qur`an. “Setiap makna bahasa Arab yang pemahaman al-Qur`an tidak bisa

dibangun kecuali di atasnya adalah termasuk kategori z} a> hir. Maka untuk memahami z} a> hir al-Qur`a> n, tidak diperlukan syarat tambahan selain menaati kaidah-kaidah bahasa Arab. Setiap makna yang ditarik dari al- Qur`an secara tidak sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab sama sekali bukanlah termasuk tafsir al-Qur`an…Siapa pun yang memiliki pendapat di luar hal itu, maka pendapatnya tidak dapat diterima. Sedangkan [untuk memahami] makna ba> t} in, pengetahuan tentang kaidah-kaidah bahasa Arab saja tidak memadai. [Selain kaidah-kaidah bahasa], dibutuhkan juga cahaya yang diletakkan Allah ke dalam hati manusia agar ia bisa memiliki pandangan yang terbuka serta pemikiran yang jernih. Artinya, tafsir ba> t} in

44 bukanlah sesuatu yang berada di luar kandungan lafaz al-Qur`an….”

Akan tetapi orientasi tekstual dalam tafsir itu tidak sama dengan literalisme yang kaku. Ortodoksi Sunni menolak penafsiran yang terlampau

literal seperti apa yang dilakukan oleh kelompok Z{ 45 a> hiriyyah. Artinya, memang ada pengakuan terhadap konteks, namun pengakuan tersebut hanya dibatasi pada

konteks linguistik yang tidak melampaui teks, seperti siya> q al-kala> m dan muna> sabah, atau konteks historis yang juga didasarkan pada teks, seperti asba> b al-nuzu> l. Sedangkan kontekstualisasi yang melampaui teks cenderung tidak diterima kecuali jika ada teks lain, seperti dalam konsep naskh, yang menguatkannya.

Perdebatan tentang teks dan konteksnya itu juga terlihat dalam persoalan ta‘t} i> l al-nas} s} . Perubahan-perubahan di bidang sosial dan budaya, terutama pada

masa modern ini, melahirkan perdebatan mengenai hubungan antara teks al- Qur`an dengan realitas kehidupan. Pertanyaannya adalah: bagaimana menafsirkan beberapa ayat al-Qur`an yang terkesan bertolak belakang dengan

yang dengan tegas mendukung keabsahan makna batin tersebut. Lihat al-Dzahabi> , Al-Ittija> ha> t al- Munh} arifah, hlm. 82.

44 Al-Dzahabi> , Al-Ittija> ha> t al-Munh} arifah, hlm. 82. 45 Al-Dzahabi> , Al-Ittija> ha> t al-Munh} arifah, hlm. 19. Bandingkan dengan Yu> suf al-

Qard{ a> wi> , Dira> sah fi Fiqh Maqa> s}id al-Syari> ‘ah, hlm. 45-50. Bahkan R. Brunschvig menyatakan bahwa jika dibandingkan dengan kelompok-kelompok lain dalam Islam, Z{ a> hiriyyah berada di “batas terjauh dari ortodoksi” ( at the furthest limit of orthodoxy). Lihat Abdel-Magid Turki, “al- Z{ a> hiriyya”, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition.

perkembangan sosial? Beberapa pemikir muslim modern, seperti Muh{ ammad

46 ‘A< 47 bid al-Ja> biri> di Maroko, Nas} r H{ a> mid Abu> Zayd di Mesir, Mohammed

48 Arkoun 49 di Prancis, dan A. Muqsith Ghazali di Indonesia, berpendapat bahwa lafaz teks bisa dibatalkan berdasarkan maslahat tertentu. Sebagai rujukan, salah

satu ulama masa lalu yang sering dikutip mendukung pendapat tersebut adalah Najm al-Di> 50 n al-T} u> fi> , seorang juris abad 7-8 Hijriah yang bermazhab Hanbali.

Dengan sruktur ortodoksi yang dibangun di atas prinsip sentralitas teks al-Qur`an, tentu saja pandangan tentang keabsahan pembatalan teks al-Qur`an

demi sesuatu di luarnya itu ditolak keras oleh para ulama ortodoks. 51 Teks hanya bisa dibatalkan (di- naskh) oleh teks yang lain, baik berupa ayat al-Qur`an yang

lain maupun hadits Nabi, bukan oleh sesuatu di luarnya dan bukan pula oleh maslahat yang tidak memiliki landasan tekstual.

46 Secara tersirat, al-Ja> biri> menekankan perlunya hukum waris yang terdapat dalam al- Qur`an untuk ditafsirkan dengan mempertimbangkan kondisi sosial, budaya, dan sejarah yang

terus berubah. Lihat Muh{ ammad ‘A< bid al-Ja> biri> , Al-Tura> ts wa al-H{ada> tsah: Dira> sa> t wa Muna> qasya> t (Beirut: al-Markaz al-Tsaqa> fi> al-‘Arabi> , 2001), hlm. 54-56.

47 Untuk analisis tentang penafsiran Nas} r H{ a> mid Abu> Zayd terhadap ayat-ayat yang berbicara mengenai posisi kaum wanita dalam Islam, termasuk tentang hukum waris, lihat Yusuf

Rahman, “The Hermeneutical Theory of Nas} r H{ a> mid Abu> Zayd”, hlm. 181-189. 48 Al-Qard{ a> wi> , Dira> sah fi Fiqh Maqa> s} id al-Syari> ‘ah, hlm. 87. Untuk kajian yang lebih

terperinci tentang posisi Arkoun dalam penafsiran ayat-ayat mi> ra> ts, lihat Jilani Ben Touhami Meftah, “Al-Fahm al-H{ ada> tsi> li al-Nas} s} al-Qur`a> ni> : Ayata> al-Mi> ra> ts Namu> dzajan Tat} bi> qiyyan” dalam Buh} u> ts Mu`tamar Mana> hij Tafsi> r al-Qur`a> n al-Kari> m wa Syarh} al-H{ adi> ts al-Syari> f (Kuala Lumpur: Dept. of Qur`an and Sunnah Studies, Kulliyyah of IRKHS, IIUM, 2006), hlm. 887-894

49 Menurutnya, maqa> s}id al-syari> ‘ah merupakan sumber hukum pertama dan primer dalam Islam, di atas al-Qur`an dan hadits. Dengan demikian, jika teks sebuah ayat dalam al-Qur`an

bertentangan dengan maqa> s}id, maka yang harus didahulukan dan diberi prioritas adalah maqa> s} id, bukan teks. Jika prinsip ini diterapkan dalam tafsir al-Qur`an, maka kontradiksi-kontradiksi antar ayat akan dengan mudah diatasi tanpa harus memaksakan interpretasi yang sewenang-wenang. Lihat A. Muqsith Ghazali, “A Methodology of Qur`anic Text Reading”, dalam ICIP Journal, vol.

2, no. 4, Agustus 2005. 50 Najm al-Di> n al-T{ u> fi> lahir pada tahun 675 H. di T{ u> fah, sebuah desa yang tidak jauh

dari Baghdad, dan meninggal dunia di Hebron pada tahun 716 H.. Karyanya yang kontroversial tentang mas} lah} ah adalah Kita> b al-Ta‘yi> n fi> Syarh} al-Arba‘i> n, atau juga dikenal dengan Risa> lah al- Ima> m al-Tu> fi> fi> Taqdi> m al-Mas} lah} ah fî al-Mu‘a> mala> t ‘ala> al-Nas}s} . Lihat W.P. Heinrichs, “al- T} u> fi> ”, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition.

51 Al-Qard} a> wi> menyebutnya sebagai ta‘t} i> l al-nus} u> s} bi ism al-mas} a> lih} wa al-maqa> s} id. Lihat al-Qard{ a> wi> , Dira> sah fi Fiqh Maqa> s}id al-Syari> ‘ah, hlm. 85.

4. Ortodoksi Tafsir dan Pengalaman Komunitas-Mufassir Sumber pengetahuan dalam tafsir al-Qur`an biasanya dipetakan menjadi tiga: riwayat, rasio, dan intuisi. Yang pertama melahirkan tafsi> r bi al-ma`tsu> r, yang kedua melahirkan tafsi> r bi al-ra`y, dan yang ketiga melahirkan tafsi> r isya> ri> . Bagian ini akan mengkaji relasi antara dua sumber yang pertama, yaitu riwayat ( atsar) dan rasio (ra`y). Tafsi> r isya> ri> sengaja tidak akan banyak disinggung karena ia tidak terlalu berkaitan dengan tujuan pembahasan ini.

Dalam banyak literatur tafsir, dapat kita temukan kecenderungan untuk

menempatkan tafsi> r bi al-ma`tsu> r di atas tafsi> r bi al-ra`y. Ignaz Goldziher mencoba melacak awal mula kecenderungan tersebut melalui apa yang terjadi pada masa-masa awal aktivitas penafsiran al-Qur`an. Menurutnya, hingga awal abad kedua Hijriah, upaya menafsirkan al-Qur`an masih dipandang sebagai

sesuatu yang “meragukan” dan dilakukan dengan enggan. 52 Banyak riwayat yang menunjukkan bahwa para ulama di masa-masa tersebut memandang aktivitas

interpretasi al-Qur`an dengan rasa tidak suka. Tetapi, tulis Goldziher, “…penolakan yang keras ini ditujukan kepada tafsir dalam pengertiannya

yang khusus: bahwa al-Qur`an tidak boleh ditafsirkan berdasarkan ra`y, yakni pemikiran individu, serta berdasarkan hawa> , yakni kecenderungan personal. Cara yang benar dalam tafsir al-Qur`an adalah menginterpretasikannya dengan ‘ilm…[yaitu] ajaran-ajaran yang bersambung kepada satu-satunya sumber pengetahuan yang diakui, yakni yang bersambung melalui riwayat kepada Rasulullah saw. atau kepada

para sahabat….” 53

Tafsi> r bi al-ma`tsu> r biasanya dianggap meliputi, paling tidak, tiga kategori, yaitu penafsiran ayat al-Qur`an dengan ayat al-Qur`an yang lain, penafsiran al-Qur`an dengan hadits-hadits Rasulullah saw., serta penafsiran al- Qur`an dengan riwayat para sahabat, plus satu kategori yang sering

52 Ignaz Goldziher, Madza> hib al-Tafsi> r al-Isla> mi> , terj. ‘Abd al-H{ ali> m al-Najja> r (Kairo: Maktabah al-Sunnah al-Muh} ammadiyyah, 1955), hlm. 73. 53 Goldziher, Madza> hib al-Tafsi> r al-Isla> mi, hlm. 80.

diperdebatkan, yaitu penafsiran al-Qur`an dengan pendapat para ta> 54 bi‘i> n. Tetapi pembagian ini bukannya tanpa persoalan. Penafsiran ayat al-Qur`an dengan ayat

al-Qur`an yang lain ( tafsi> r al-Qur`a> n bi al-Qur`a> n) sebetulnya lebih tepat untuk tidak dimasukkan sebagai sebuah kategori dalam tafsi> r bi al-ma`tsu> r karena upaya menjadikan sebuah ayat sebagai penafsiran bagi ayat yang lain merupakan aktivitas yang tidak ada hubungannya dengan atsar yang bisa dinisbatkan kepada generasi-generasi penafsir terdahulu, kecuali jika ia merupakan bagian dari

kategori-kategori yang lain (tafsir Nabi, sahabat, atau ta> 55 bi‘i> n). Di atas itu semua, pembagian tafsir ke dalam tafsi> r bi al-ma`tsu> r dan

tafsi> r bi al-ra`y belakangan menuai kritik. Muncul anggapan bahwa dualisme di

antara keduanya dibangun di atas kriteria-kriteria yang tidak jelas. Tafsi> r bi al- ma`tsu> r tidak bisa serta merta dilawankan secara biner dengan tafsi> r bi al-ra`y

lantaran bahkan dalam penafsiran-penafsiran yang dikategorikan sebagai tafsi> r bi al-ma`tsu> r sekalipun terdapat aktivitas rasional. Implikasi dari kritik-kritik tersebut bisa dilihat dalam dua persoalan. Pertama, pembagian karya-karya tafsir ke dalam dua kategori tafsi> r bi al-ma`tsu> r dan tafsi> r bi al-ra`y itu kemudian dianggap tidak lagi relevan. Tidak ada satu pun karya tafsir yang sepenuhnya ma`tsu> r dan steril dari pilihan-pilihan rasional penulisnya. Pilihan-pilihan al- T{ abari> untuk memuat dan melakukan tarji> h} terhadap riwayat-riwayat tertentu dalam karya tafsirnya, misalnya, menunjukkan adanya aktivitas rasional dalam

penulisan karyanya itu. 56 Kedua, karena tafsi> r bi al-ma`tsu> r (khususnya yang

54 Menurut Musa> ‘id al-T{ ayya> r, pembagian tafsi> r bi al-ma`tsu> r ke dalam kategori- kategori ini dimulai oleh al-Zarqa> ni> (w. 1367 H.), diikuti kemudian oleh al-Dzahabi> (w. 1397 H.)

dan lain-lain. Lihat Musa> ‘id al-T{ ayya> r, Mafhu> m al-Tafsi> r wa al-Ta`wi> l, hlm. 7. Bandingkan dengan al-Zarqa> ni> , Mana> hil al-‘Irfa> n fi> ‘Ulu> m al-Qur`a> n (Beirut: Da> r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), vol. 2, hlm. 12; dan al-Dzahabi> , al-Tafsi> r wa al-Mufassiru> n, vol. 1, hlm. 105.

55 Musa> ‘id al-T{ ayya> r, Mafhu> m al-Tafsi> r wa al-Ta`wi> l, hlm. 8. 56 Musa> ‘id al-T{ ayya> r, Mafhu> m al-Tafsi> r wa al-Ta`wi> l, hlm. 8. Hal yang sama juga

dikemukakan oleh Claude Gilliot. Menurutnya, al-T{ abari> tidak bisa dianggap semata-mata kolektor hadits-hadits tafsir. Al-T{ abari> juga merupakan seorang teolog-mufassir karena dia melakukan seleksi terhadap hadits-hadits berdasarkan keyakinan teologisnya. Karena itu, al- T{ abari> harus juga dianggap turut serta dalam melakukan elaborasi terhadap ortodoksi Islam. Lihat Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam: The Authenticity of Muslim Literature from the Formative Period (Richmond: Curzon Press, 2000), hlm. 89.

berasal dari para sahabat dan ta> bi‘i> n) juga mengandung aktivitas rasional, maka, dalam hal-hal yang bersifat ijtiha> diyyah itu, ia juga bisa diterima atau ditolak dengan kriteria yang sama seperti penerimaan atau penolakan terhadap tafsi> r bi

al-ra`y. 57 Kriteria penerimaan atau penolakan tafsi> r bi al-ma`tsu> r harus mempertimbangkan aspek-aspek dira> yah selain aspek-aspek riwa> yah. Dengan

kata lain, tafsi> r bi al-ma`tsu> r tidak otomatis lebih benar daripada tafsi> r bi al-ra`y. Akan tetapi uraian di atas tidak bertentangan dengan asumsi yang dianut oleh penelitian ini bahwa ortodoksi tafsir Sunni dibangun di atas otoritas generasi-generasi pertama ( al-salaf al-s} a> lih} ), khususnya para sahabat dan

ta> 58 bi‘i> n. Tafsir yang berasal dari mereka biasanya dibagi menjadi dua kategori:

tafsir yang tidak mengandung ijtihad (seperti tafsir tentang asba> b al-nuzu> l, tafsir tentang hal-hal gaib, dan lain sebagainya) serta tafsir yang berupa ijtihad. Kategori pertama harus diterima sepanjang tidak ada cacat pada proses periwayatannya. Sedangkan kategori kedua, yakni tafsir berupa ijtihad, yang berasal dari generasi pertama itu,

“…termasuk dalam kategori al-ra`y al-mah}mu> d karena mereka tidak pernah berkata tentang al-Qur`an tanpa pengetahuan ( bi gayr ‘ilm). Mereka juga tidak terpengaruh oleh fanatisme mazhab ( hawa> madzhabi> ) yang bisa membuat mereka menyelewengkan makna-makna ayat untuk mendukung apa yang mereka yakini. Maka ketika mereka bebas dari dua hal yang merupakan penyebab terbesar dari munculnya penyimpangan dalam tafsir, dan mereka juga menafsirkan al-Qur`an berdasarkan

57 Musa> ‘id al-T{ ayya> r, Mafhu> m al-Tafsi> r wa al-Ta`wi> l, hlm. 8. 58 Penafsiran yang dilakukan oleh Rasulullah saw. tidak secara khusus menjadi bagian

dari otoritas generasi-generasi awal. Pembedaan ini diberlakukan karena hadits telah mengalami elevasi sehingga statusnya menjadi sejajar dengan teks al-Qur`an sendiri sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu. Karena itu, menurut para ulama, tidak ada alasan untuk mempersoalkan validitas tafsir yang didasarkan pada hadits sahih karena Rasulullah saw. “…mengetahui segala sesuatu dalam al-Qur`an, yang z} a> hir maupun yang ba> t}in, yang muh} kam maupun yang mutasya> bih, yang ‘a> mm maupun yang kha> s}s} , yang mut} laq maupun yang muqayyad…, yang tampak maupun yang tersembunyi….” Lihat Muhammad Bakr Isma‘il, Dira> sa> t fi ‘Ulu> m al-Qur`a> n (Kairo: Da> r al-Mana> r, 1991), hlm. 14. Secara hiperbolis, al-Awza> ‘i> (w. 157 H.) bahkan menyatakan, “Al-Qur`an membutuhkan Sunnah lebih daripada Sunnah membutuhkan al-Qur`an.” Lihat R. Marston Speight, “The Function of h} adi> th as Commentary on the Qur’a> n, as Seen in the Six Authoritative Collections”, dalam Andrew Rippin [ed.], Approach to the History of the Interpretation of the Qur’a> n, hlm. 64-67. Al-Qurt{ ubi> juga menukil pernyataan yang sama, tetapi dengan menisbatkannya kepada Makh} u> l (w. 113 H.), bukan al- Awza> ‘i> . Lihat al-Qurt} ubi> , Al-Ja> mi‘ li Ah} ka> m al-Qur`a> n, vol. 1, hlm. 30.

pengetahuan, maka pendapat mereka dalam tafsir menjadi terpuji. Pendapat yang d} a‘i> f dalam tafsir-tafsir mereka bukan merupakan al-ra`y al-madzmu> m.. Sementara pendapat-pendapat yang gari> b dari sebagian di antara mereka…juga merupakan sesuatu yang jarang terjadi, bahkan

hampir tidak bisa disebutkan.” 59

Dengan otoritas semacam itu, tafsir generasi-generasi pertama selalu menjadi kerangka rujukan bagi tafsir generasi-generasi berikutnya. Memang ada beberapa variasi dalam hal ini sebagaimana diungkap Calder dalam ulasannya mengenai kitab-kitab tafsir sejak masa al-T{ abari> hingga Ibn Katsi> r. Al-Ra> zi> , misalnya, dianggap terlalu bersandar kepada otoritas nalar dibandingkan kepada otoritas masyarakat Sunni—sesuatu yang membuat kitab tafsirnya kerap

60 dikritik. Sementara itu, Ibn Katsi> r cenderung mengabaikan tradisi intelektual

tafsir yang terentang beberapa abad sebelumnya demi tujuan memberikan otoritas kepada Sunnah dan penafsiran generasi 61 salaf. Variasi-variasi ini

menunjukkan bahwa prinsip pengakuan terhadap pengalaman masyarakat Sunni itu bersifat longgar dan akuisitif. Al-Ra> zi> serta Ibn Katsi> r tetap menjadi bagian dari ortodoksi tafsir Sunni, sebuah ortodoksi yang cenderung mengecam proses penafsiran apa pun yang hanya didasarkan kepada ra`y semata, yang dilakukan

dengan tanpa sama sekali merujuk kepada otoritas generasi-generasi terdahulu. 62

Dalam kerangka rujukan semacam itu, mudah dipahami jika tafsi> r bi al- ra`y al-mah}mu> d yang berasal dari generasi-generasi belakangan bahkan dibatasi hanya pada dua hal: pertama, tarji> h} atas tafsir-tafsir generasi pertama, dan kedua,

tafsir baru yang tidak bertentangan dengan tafsir generasi pertama. 63 Kegiatan penafsiran al-Qur`an memang harus terus dilakukan untuk menjawab tuntutan

zaman yang senantiasa berubah, namun,

59 Musa> ‘id al-T{ ayya> r, Mafhu> m al-Tafsi> r wa al-Ta`wi> l, hlm. 12-13. 60 Calder, “Tafsi> r from T{ abari> to Ibn Kathi> r”, hlm. 110-115. 61 Calder, “Tafsi> r from T{ abari> to Ibn Kathi> r”, hlm. 120-131. 62 Calder, “Tafsi> r from T{ abari> to Ibn Kathi> r”, hlm. 134. 63 Musa> ‘id al-T{ ayya> r, Mafhu> m al-Tafsi> r wa al-Ta`wi> l, hlm. 13. Pendapat senada juga

tersirat dalam S} ubh} i> S{ a> lih} , Maba> h} its fi> ‘Ulu> m al-Qur`a> n, hlm. 293-294.

“…diperlukan batasan-batasan tertentu dalam hal ini, yaitu…bahwa makna [yang ditarik dari al-Qur`an] harus sahih dan sesuai dengan [kaidah-kaidah] bahasa serta tidak bertentangan dengan (yakni tidak membatalkan) pendapat generasi terdahulu ( al-salaf). Jika syarat-syarat ini terpenuhi, maka…tafsir baru ( al-tafsi> r al-jadi> d) dapat dianggap sahih dan dikategorikan sebagai tafsi> r bi al-ra`y al-mah}mu> d yang didasarkan kepada

ilmu.” 64

Kutipan di atas menggambarkan dengan bagus dua bagian paling penting dari struktur dasar ortodoksi tafsir dalam tradisi Sunni. Satu hal yang tidak disebutkan di dalamnya adalah bahwa ortodoksi tafsir Sunni juga dibangun di atas asumsi-asumsi teologis tertentu dengan mana Sunni sebagai sebuah kelompok mengidentifikasi dirinya. Kita akan mengkaji hal tersebut pada bagian berikut ini.

5. Ortodoksi Tafsir dan Identifikasi Teologis Salah satu persoalan teologis menyangkut al-Qur`an adalah perdebatan

tentang status al-Qur`an: apakah ia 65 makhlu> q (diciptakan) atau tidak? Perdebatan ini dianggap bersifat teologis karena ia berangkat dari pemerian

tentang sifat-sifat Allah serta pernah menjadi kriteria paling penting bagi identifikasi Sunni sebagai sebuah kelompok teologis. Selain itu, perdebatan tentang status al-Qur`an tersebut tidak memiliki pertautan langsung dengan prinsip orientasi tekstual maupun pemberian otoritas kepada generasi-generasi terdahulu—dua hal lain yang menjadi struktur dasar ortodoksi tafsir Sunni.

Para ulama Sunni menganut pandangan bahwa al-Qur`an adalah kala> mulla> h yang tidak diciptakan (gayr makhlu> q) dan tidak bermula (qadi> m).

Pandangan ini berujung pada anggapan bahwa al-Qur`an bersifat ahistoris, berada di luar sejarah—ia tidak bermula dan tidak pula berakhir. Ortodoksi Sunni selalu

64 Musa> ‘id al-T{ ayya> r, Mafhu> m al-Tafsi> r wa al-Ta`wi> l, hlm. 13. 65 Untuk memperoleh gambaran singkat tentang bagaimana pendapat para ulama dari

masa klasik hingga masa modern tentang persoalan tersebut, lihat L. Gardet, “Kala> m—The K{ ur’a> n, Word of God” dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam,WebCD Edition. Bandingkan dengan Muni> r Sult} a> n, I‘ja> z al-Qur`a> n bayna al-Mu‘tazilah wa al-Asya> ‘irah (Iskandariyyah: Mansya`ah al-Ma‘a> rif, cet. 3, 1986), hlm. 32-39.

menolak pendapat bahwa teks al-Qur`an terbentuk melalui proses historis. Al- Qur`an telah ada sejak zaman azali, tidak bergantung kepada sesuatu apa pun,

dan akan terus abadi. 66 Kenyataan bahwa al-Qur`an diturunkan secara berangsur-angsur

( munajjaman) kepada Rasulullah saw. serta adanya konsep naskh dan sabab al- nuzu> 67 l sering dijadikan argumen untuk mengafirmasikan historisitas al-Qur`an.

Namun, bagi ortodoksi tafsir Sunni, argumen-argumen tersebut sama sekali tidak bernilai. Al-Qur`an memang diturunkan secara berangsur-angsur, tetapi ia telah ada sejak dahulu kala di al-lawh} al-mah} fu> z} . Sabab al-nuzu> l tidak dimaknai sebagai sebab turunnya ayat dalam pengertiannya yang kausalistis—ayat

tersebut telah ada sejak zaman azali meski ia baru diturunkan bersamaan dengan peristiwa yang menjadi sabab al-nuzu> l-nya. Konsep naskh juga tidak boleh dijadikan argumen untuk menyatakan bahwa al-Qur`an tunduk kepada perubahan kondisi sosial. Naskh sepenuhnya merupakan kehendak Tuhan dan tidak terjadi

di luar pengetahuan-Nya yang bersifat kekal serta serba-meliputi. 68 Pada masa-masa belakangan, setelah kelompok-kelompok teologis

menghilang dan Sunni berhasil memapankan ortodoksinya, persoalan apakah al- Qur`an makhlu> q atau bukan menjadi tidak lagi sepenting pada masa-masa sebelumnya. Meski demikian, penyangkalan aspek historisitas al-Qur`an tetap menjadi bagian tidak terpisahkan dari ortodoksi Sunni. Karena itu, bisa dipahami mengapa konsep tentang al-Qur`an sebagai produk kultural ( muntaj tsaqa> fi> ), selain sebagai produsen kultural ( muntij tsaqa> fi> ), yang diajukan oleh Nas} r H{ a> mid

Abu> 69 Zayd menuai penentangan keras dari para ulama. Bagi mayoritas ulama Sunni, status al-Qur`an sebagai kala> mulla> h yang

tidak diciptakan dan tidak bermula itu membuatnya tidak bisa ditafsirkan kecuali

66 A.T. Welch, “Al-K{ ur’a> n—The K{ ur’a> n in Muslim Life and Thought”, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition 67 Yusuf Rahman, “The Hermeneutical Theory of Nas} r H{ a> mid Abu> Zayd”, hlm. 145 68 Muh} ammad Ibra> hi> m al-H{ afana> wi> , Dira> sa> t fi> al-Qur`a> n al-Kari> m (Kairo: Da> r al-H{ adi> ts,

tt.), hlm. 238-342. 69 Nas} r H{ a> mid Abu> Zayd, Mafhu> m al-Nas} s} : Diras> ah fi> ‘Ulu> m al-Qur`an (Beirut: al- Markaz al-Tsaqa> fi> al-‘Arabi> , cet. 4, 1998), hlm. 24.

dengan metode “khusus” yang sesuai dengan karakter al-Qur`an sendiri. 70 Al- Qur`an bukan teks biasa yang bisa didekati melalui metode-metode sekular,

seperti hermeneutika, semiotika, analisis literer, dan lain sebagainya. Kesalahan terbesar para pengusung gagasan penggunaan metode-metode sekular tersebut di mata ortodoksi adalah bahwa mereka menempatkan al-Qur`an pada posisi yang sejajar dengan teks-teks lainnya.

Selain dalam persoalan khalq al-Qur`a> n, identifikasi Sunni sebagai sebuah kelompok teologis juga terlihat dalam kritik-kritik yang diajukan para ulama Sunni terhadap tafsir-tafsir yang dilakukan oleh lawan-lawan teologis mereka. Salah satu ilustrasi yang bagus adalah tafsir al-Kasysya> f, karya al-Zamakhsyari> .

Meski diakui sebagai salah satu karya tafsir paling baik dalam menjelaskan aspek-aspek linguistik al-Qur`an, al-Kasysya> f kerap menuai kritik lantaran ia

mengandung pandangan-pandangan kelompok Muktazilah. 71 Barangkali tidak ada sebuah daftar yang memuat secara lengkap seluruh

prinsip teologis kelompok Sunni. Melalui penelusurannya terhadap karya-karya [‘Abd al-Qa> hir] al-Bagda> di> (w. 429 H.), al-Gaza> li> (w. 505 H.), dan [Najm al- Di> n?] al-Nasafi> (w. 537 H.), Montgomery Watt mencoba merumuskan sebagian prinsip teologis Sunni itu sebagai berikut. (1) Tiada tuhan selain Allah; Dia Tunggal, tidak beristri, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. (2) Allah ada, dan wujud-Nya bisa dibuktikan melalui keberadaan alam semesta. (3) Allah kekal, tiada bermula dan tiada berakhir. (4) Allah tidak serupa dengan apa pun. (5) Allah bisa dilihat oleh manusia di hari Kiamat nanti. (6) Allah memiliki sifat- sifat seperti Mahakuasa, Mahatahu, Maha Mendengar, Maha Melihat, dan lain- lain. (7) Al-Qur`an kekal dan bukan makhluk. (8) Kehendak Allah berada di atas segala sesuatu dan pasti terjadi. (9) Tindakan manusia diciptakan oleh Allah

70 Yusuf Rahman, “The Hermeneutical Theory of Nas} r H{ a> mid Abu> Zayd”, hlm. 32 71 Ibn Taymiyah menyatakan bahwa al-Zamakhsyari> termasuk orang-orang yang

“memiliki gaya pengungkapan yang baik ( h} asan al-‘iba> rah) dan fasih”. Tetapi dia juga “menyisipkan bid‘ah dalam tulisannya, sementara sebagian besar orang tidak menyadari hal tersebut.” Lihat Ibn Taymiyah, Muqaddimah fi> Us} u> l al-Tafsi> r, hlm. 76. Beberapa pendapat lain —seperti dari Ibn Khaldu> n, Ta> j al-Di> n al-Subki> , H{ aydar, dan al-Suyu> t} i> — tentang karya al- Zamakhsyari> itu juga tercantum dalam Mus} t} afa> al-S{ a> wi> al-Juwayni> , Manhaj al-Zamakhsyari> fi> Tafsi> r al-Qur`a> n wa Baya> n I‘ja> zihi> (Kairo: Da> r al-Ma‘a> rif, cet. 3, 1983), hlm. 265-271.

tetapi tetap diatribusikan kepada manusia itu sendiri. (10) Allah juga memiliki atribut-atribut aktif ( s} ifa> t fi‘liyyah). (11) Nama atau sifat Allah hanya bisa diketahui melalui al-Qur`an, hadits, atau ijma> ‘. (12) Pertanyaan malaikat Munkar dan Naki> r, siksa kubur, serta tanda-tanda hari Kiamat adalah hal-hal yang nyata dan pasti terjadi. (13) Allah akan menghakimi manusia di hari Kiamat; mi> za> n dan s} ira> t} adalah nyata. (14) Beberapa orang, terutama Rasulullah saw., memiliki hak untuk memberikan syafa‘at. (15) Surga dan neraka telah diciptakan dan akan terus ada secara abadi. (16) Doa untuk orang-orang yang telah mati atau sedekah yang dikeluarkan atas nama mereka akan mendatangkan manfaat bagi mereka. (17) Allah telah mengutus para nabi dan rasul; mereka lebih mulia daripada

malaikat; Muh} ammad saw. adalah nabi dan rasul terakhir. (18) Para rasul terjaga ( ma‘s} u> m) dari dosa. (19) Sebaik-baik manusia setelah para rasul adalah Abu> Bakr, lalu ‘Umar, lalu ‘Utsma> n, lalu ‘Ali> . (20) Semua sahabat Rasulullah saw. memiliki integritas moral yang terjaga ( ‘udu> l) serta tidak boleh dicela. (21) Seorang mukmin yang melakukan dosa tidak otomatis menjadi kafir. (22) Iman meliputi keyakinan di hati, pengakuan melalui lisan, serta amal perbuatan; ia bisa bertambah dan bisa pula berkurang. (23) Keimanan merupakan petunjuk dari

Allah, sementara kekafiran adalah pengabaian ( 72 khidzla> n) dari-Nya. Meski demikian, ortodoksi tafsir Sunni juga melakukan asimilasi

terhadap beberapa pandangan yang berasal dari kelompok-kelompok teologis lainnya. Hanya saja, proses asimilasi itu dilakukan dengan cara yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ortodoksi. Maka yang terjadi sebetulnya adalah penundukan konsep-konsep asing di bawah kriteria-kriteria yang ditetapkan oleh ortodoksi Sunni sendiri. Asumsi-asumsi kaum Sufi tentang makna batin dari al-Qur`an serta pandangan-pandangan kelompok Muktazilah tentang peran akal dalam interpretasi al-Qur`an, misalnya, diadopsi sebagian dan

72 W. Montgomery Watt, “‘Ak} i> da”, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition.

ditolak sebagian berdasarkan syarat-syarat yang dirumuskan sendiri oleh tradisi ortodoks. 73

6. Ortodoksi Tafsir: Generalisasi dan Pengujian Teori Pada bagian terdahulu, telah diuraikan tiga prinsip yang membentuk struktur dasar ortodoksi tafsir Sunni. Sebuah upaya interpretasi al-Qur`an dapat dinyatakan menyimpang dari ortodoksi apabila ia bertentangan dengan satu, dua, atau seluruh prinsip-prinsip tersebut. Paragraf-paragraf berikut ini akan mencoba menguji pemetaan itu melalui analisis terhadap buku al-Ittija> ha> t al-Munh} arifah fi> Tafsi> r al-Qur`a> n al-Kari> m: Dawa> fi‘uha> wa Daf‘uha> , karya Muh} ammad H{ usayn

al-Dzahabi> . Karya ini dipilih karena ia, disadari atau tidak, menarik garis pembatas antara ortodoksi dan deviasi dalam tafsir. Melalui penafsiran- penafsiran yang dianggap menyimpang, kita bisa mengetahui di mana batas-batas terluar dari ortodoksi sekaligus menilai apakah penyimpangan-penyimpangan itu telah cukup terliput dalam pemetaan yang telah dilakukan pada bagian sebelumnya.

Al-Dzahabi> membagi tafsir menjadi dua: bi al-ma`tsu> r dan bi al-ra`y. Penyimpangan dalam tafsi> r bi al-ma`tsu> r terjadi akibat kesalahan pada sanadnya. Sementara itu, sebagian besar penyimpangan dalam tafs> ir bi al-ra`y terjadi dalam dua hal berikut. Pertama, penafsir meyakini sesuatu lalu membawa lafaz al- Qur`an untuk mendukung keyakinannya itu. Dengan kata lain, penyimpangan ini terjadi akibat perhatian yang terlampau besar kepada makna dengan mengabaikan lafaz. Kedua, penafsir melakukan interpretasi terhadap al-Qur`an

dengan hanya memperhatikan lafaznya dan mengabaikan konteksnya. 74 Dari sini, dapat kita lihat bahwa al-Dzahabi> mengembalikan sebagian

besar penyimpangan tafsir kepada kegagalan sang penafsir untuk mengapresiasi

73 Tentang asimilasi ini, dan berdasarkan lima kriteria ortodoksi yang dirumuskannya sendiri, Norman Calder menyatakan bahwa Islam Sunni adalah “sebuah agama yang berbasis

komunitas, kitab suci dan pengetahuan mistik, sedikit nalar ( marginally of reason), dan sama sekali menolak karisma”. Lihat Calder, “The Limits of Islamic Orthodoxy”, hlm. 83.

74 Al-Dzahabi> , Al-Ittija> ha> t al-Munh} arifah, hlm. 17-19.

prinsip orientasi tekstual (prinsip pertama) dalam tafsir al-Qur`an. Maka ketika al-Sulami> (w. 412 H.) menyatakan bahwa perintah “uqtulu> anfusakum” dalam

surah al-Nisa> 75 ` [4]: 66 bermakna “memerangi hawa nafsu”, al-Dzahabi> menganggapnya sebagai makna yang “tidak dikehendaki” ( gayr mura> dah) oleh

teks al-Qur`an. 76 Akan tetapi, sebagaimana telah dijelaskan di atas, orientasi tekstual itu

tidak sama dengan literalisme. Karena itu, penafsiran kata “mubs} irah” dalam surah al-Isra> ` [17]: 59 dengan makna “[unta yang] bisa melihat”, meski sah secara literal, dianggap salah oleh al-Dzahabi> lantaran ia tidak memperhatikan konteks ayat ( siya> q al-kala> m)—konteks yang sepenuhnya digali dari relasi antar

bagian teks itu sendiri. Kata “mubs} irah” dalam ayat tersebut seharusnya dimaknai sebagai “bukti yang jelas tentang kebenaran kenabian”. 77

Selanjutnya, al-Dzahabi> menguraikan penyimpangan-penyimpangan tafsir yang dilakukan oleh tujuh kelompok, yaitu para penutur dongeng dan kisah ( al- akhba> riyyu> n wa al-qus} s} a> s} ), para ahli nah} w yang berafiliasi kepada mazhab nah} w tertentu, orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang kaidah-kaidah bahasa Arab, kelompok Muktazilah dan Syi‘ah, kelompok Khawa> rij dan para sufi, para pendukung tafsir saintifik ( al-tafsi> r al-‘ilmi> ), serta para penyokong gerakan pembaharuan dalam tafsir.

Penyimpangan yang dilakukan oleh kelompok al-akhba> riyyu> n wa al- qus} s} a> s} sebagian besar disebabkan oleh fakta bahwa asumsi-asumsi teologis yang

terkandung dalam penafsiran mereka itu bertentangan dengan apa yang dirumuskan dalam teologi Sunni (bertentangan dengan prinsip ketiga). Maka ketika al-Kha> zin (w. 741 H.) mengutip sebuah kisah panjang tentang penderitaan

Nabi Ayyu> 78 b dalam tafsirnya atas surah al-Anbiya> ` [21]: 73-74, al-Dzahabi>

75 Al-Sulami> , H{ aqa> `iq al-Tafsi> r (Beirut: Da> r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), hlm. 154. 76 Al-Dzahabi> , Al-Ittija> ha> t al-Munh} arifah, hlm. 19. 77 Al-Dzahabi> , Al-Ittija> ha> t al-Munh} arifah, hlm. 22. Bandingkan dengan al-Qurt} ubi> , Al-

Ja> mi‘ li Ah} ka> m al-Qur`a> n (Beirut: Da> r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.) vol. 1, hlm. 27. 78 Al-Kha> zin, Luba> b al-Ta`wi> l fi> Ma‘a> ni> al-Tanzi> l (ttp.: Da> r al-Fikr, tt.), vol. 3, hlm.

268-273.

menyangkal kandungan kisah tersebut dengan menulis, “Al-Qur`an dan hadits ( al-naql) telah menyatakan dengan tegas bahwa para pemimpin pasti memiliki sifat-sifat fisik yang istimewa, yang bisa melekatkan wibawa pada diri

mereka….” 79 Para penganut mazhab nah} w yang fanatik, menurut al-Dzahabi> , seringkali

mengorbankan riwayat yang sahih demi teori linguistik yang mereka yakini (bertentangan dengan prinsip pertama). Al-Zamakhsyari> (w. 538 H.) dan Ibn ‘At} iyyah (w. 546 H.), dalam tafsir mereka berdua terhadap surah al-An‘a> m [6]:

137, 80 menolak sebuah qira> `ah yang mutawa> tir dengan anggapan bahwa qira> `ah tersebut bertentangan dengan mazhab 81 nah} w yang mereka anut. Terhadap

kecenderungan tersebut, al-Dzahabi> menyatakan, “…Tidaklah layak bagi al- Zamakhsyari> maupun bagi orang lain untuk menjadikan mazhab nah} w yang dia anut sebagai penilai kita> bulla> h. [Sebaliknya], kita> bulla> h adalah sumber yang harus dirujuk dan dijadikan argumen untuk menghakimi setiap pertentangan yang

terjadi di antara para ahli 82 nah} w.” Pengetahuan yang mendalam tentang kaidah-kaidah bahasa Arab

merupakan syarat penting untuk melakukan tafsir. Al-Dzahabi> mengutip beberapa contoh yang menunjukkan bahwa penyimpangan dalam tafsir al-Qur`an bisa terjadi karena ketidaktahuan sang penafsir tentang kaidah-kaidah bahasa Arab (bertentangan dengan prinsip pertama). Tetapi penelusuran terhadap contoh-contoh tersebut memperlihatkan bahwa penyimpangan itu juga didorong

79 Untuk mendukung pernyataannya ini, al-Dzahabi> mengutip surah al-Baqarah [2]: 247, “Dan nabi mereka berkata kepada mereka, ‘Sesungguhnya Allah telah mengangkat T{ a> lut menjadi

raja kalian.’ Mereka menjawab, ‘Bagaimana mungkin T{ a> lut memperoleh kerajaan atas kami, sedangkan kami lebih berhak atas kerajaan itu daripadanya, dan dia tidak diberi kekayaan yang banyak?’ [Nabi] menjawab, ‘Allah telah memilihnya [menjadi raja] kalian dan memberikan kelebihan ilmu dan fisik.’ Allah memberikan kerajaan-Nya kepada siapa pun yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui”. Lihat al-Dzahabi> , Al-Ittija> ha> t al-Munh} arifah, hlm. 35- 36.

80 Lafaz ayat tersebut adalah sebagai berikut. öΝèδäτ!$Ÿ2tä© öΝÏδω≈s9÷ρr& Ÿ≅÷Fs% š⎥⎫Å2Îô³ßϑø9$# š∅ÏiΒ 9ÏWx6Ï9 š⎥¨⎪y— šÏ9≡x‹Ÿ2uρ

81 Al-Zamakhsyari> , Al-Kasysya> f, vol. 2, hlm. 66-67 dan Ibn ‘At} iyyah, Al-Muh}arrar al- Waji> z fi> Tafsi> r al-Kita> b al-‘Azi> z (Beirut: Da> r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), vol. 2, hlm. 349-350.

82 Al-Dzahabi> , Al-Ittija> ha> t al-Munh} arifah, hlm. 43.

oleh hasrat untuk membenarkan keyakinan teologis tertentu (bertentangan dengan prinsip ketiga). Penafsiran kata “dzara`na> ” dalam surah al-A‘ra> f [7]:

179 83 dengan makna “alqayna> ”, misalnya, selain menunjukkan bahwa sang penafsir tidak mengetahui kaidah-kaidah bahasa Arab, juga disebabkan oleh

keinginan untuk membenarkan sebuah pandangan teologis bahwa “Allah tidak menciptakan petunjuk dan kesesatan serta tidak menentukan sebelumnya siapa

yang masuk neraka dan siapa pula yang masuk surga”. 84 Demikian pula kata “ima> 85 m” dalam surah al-Isra` [17]: 71 yang dimaknai sebagai bentuk plural dari

“umm”. Al-Dzahabi> , dengan mengutip al-Zamakhsyari> , menyatakan bahwa pemaknaan tersebut tidak dibenarkan secara linguistik dan mengandung tendensi

untuk memuliakan Nabi Isa serta H{ asan dan H{ usayn, dua putera ‘Ali> ibn Abi> T{ 86 a> lib.

Kesalahan tafsir kelompok Muktazilah dan Syi‘ah dilihat oleh al- Dzahabi> , terutama, dari sisi tekstual-linguistik (prinsip pertama) dan teologis (prinsip ketiga). Itu tampak, misalnya, dalam bantahannya terhadap argumen

kelompok Muktazilah ketika mereka menafsirkan surah al-Qiya> 87 mah [75]: 22-23 untuk menolak pandangan kelompok Sunni tentang kemungkinan melihat Allah

di akhirat nanti. 88 Dan ketika Ibra> hi> m ibn Fura> t al-Ku> fi> , salah seorang ulama

83 Lafaz ayat tersebut adalah sebagai berikut. ( ħΡM}$#uρ Çd⎯Ågø:$# š∅ÏiΒ #ZÏWŸ2 zΟ¨ΨyγyfÏ9 $tΡù&u‘sŒ ô‰s)s9uρ 84 Al-Dzahabi> , Al-Ittija> ha> t al-Munh} arifah, hlm. 46-47. Ayat tersebut sering digunakan

oleh para teolog Sunni sebagai argumen untuk menegaskan bahwa Allahlah yang menciptakan perbuatan manusia ( khalq af‘a> l al-‘iba> d). Lihat al-Ra> zi> , Mafa> ti> h} al-Gayb, vol. 15, hlm. 64-66.

85 Lafaz ayat tersebut adalah sebagai berikut. ÷ΛÏιÏϑ≈tΒÎ*Î/ ¤¨$tΡé& ¨≅à2 (#θããô‰tΡ tΠöθtƒ 86 Al-Dzahabi> , Al-Ittija> ha> t al-Munh} arifah, hlm. 47. Lihat juga al-Zamakhsyari> , Al-

Kasysya> f, vol. 2, hlm. 655-656. 87 Lafaz ayat tersebut adalah sebagai berikut.

∩⊄⊂∪ ×οtÏß$tΡ $pκÍh5u‘ 4’n<Î) ∩⊄⊄∪ îοuÅÑ$¯Ρ 7‹Í×tΒöθtƒ ×νθã_ãρ 88 Al-Dzahabi> , Al-Ittija> ha> t al-Munh} arifah, hlm. 52-54. Al-Zamakhsyari> , salah mufassir beraliran Muktazilah, menafsirkan kata “na> z} irah” dalam ayat tersebut dengan makna “al-

Syi‘ah Itsna> -‘Asyariyah, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “al-naba` al- ‘az} im” dalam surah al-Naba` [78]: 2 adalah ‘Ali> ibn Abi> T{ a> lib, al-Dzahabi> membantahnya dengan menyatakan bahwa argumen tersebut bertentangan

dengan 89 siya> q al-su> rah. Akan tetapi al-Dzahabi> juga merujuk kepada otoritas para ulama hadits

dan jumhu> r al-mufassiri> n (prinsip kedua) dalam bantahannya terhadap tafsir kelompok Syi’ah. Seluruh riwayat yang menyatakan status kewalian ‘Ali> , berdasarkan ketetapan para ulama hadits, dianggap tidak memiliki dasar serta sekedar merupakan upaya kelompok Syi‘ah untuk menyokong pendirian teologis

mereka. 90 Kemudian untuk menyanggah pendapat al-Mawla> ‘Abd al-Lat} i> f al-

Ka> zara> ni> tentang tafsir ayat “ ka> f-ha> `-ya> `-‘ayn-s}a> d” (surah Maryam [19]: 1), al- Dzahabi> menyatakan bahwa hal itu bertentangan dengan kesepakatan mayoritas ulama tafsir tentang makna al-h} uru> f al-muqat} t} a‘ah di awal sebagian surah dalam

al-Qur`an. 91 Argumen-argumen yang sama juga diajukan al-Dzahabi> untuk

membantah penyimpangan tafsir yang dilakukan oleh kelompok Khawarij dan para sufi. Penafsiran kaum Khawarij yang menggunakan surah A< li ‘Imra> n [3]: 97,

al-Ma> 92 `idah [5]: 44, dan al-Tag> abun [64]: 2 untuk mendukung keyakinan bahwa status pelaku dosa besar adalah kafir, menurut al-Dzahabi> , lahir sebagai akibat

tawaqqu‘ wa al-raja> `—menunggu dan berharap”. Lihat al-Zamakhsyari> , Al-Kasysya> f, vol. 4, hlm. 649-650.

89 Al-Dzahabi> , Al-Ittija> ha> t al-Munh} arifah, hlm. 61-62. 90 Al-Dzahabi> , Al-Ittija> ha> t al-Munh} arifah, hlm. 61. 91 Al-Dzahabi> , Al-Ittija> ha> t al-Munh} arifah, hlm. 65. 92 Lafaz ayat-ayat tersebut, secara berurutan, adalah sebagai berikut.

∩®∠∪ t⎦⎫Ïϑn=≈yèø9$# Ç⎯tã ;©Í_xî ©!$# ¨βÎ*sù txx. ⎯tΒuρ 4 Wξ‹Î6y™ Ïμø‹s9Î) tí$sÜtGó™$# Ç⎯tΒ ÏMøt7ø9$# kÏm Ĩ$¨Ζ9$# ’n?tã ¬!uρ ∩⊆⊆∪ tβρãÏ≈s3ø9$# ãΝèδ y7Íׯ≈s9'ρé'sù ª!$# tΑt“Ρr& !$yϑÎ/ Οä3øts† óΟ©9 ⎯tΒuρ ∩⊄∪ îÅÁt/ tβθè=yϑ÷ès? $yϑÎ/ ª!$#uρ 4 Ö⎯ÏΒ÷σ•Β /ä3ΖÏΒuρ ÖÏù%Ÿ2 ö/ä3ΖÏϑsù ö/ä3s)n=s{ “Ï%©!$# uθèδ

Tentang bagaimana kelompok Khawa> rij menggunakan ayat 44 dari surah al-Ma> `idah di atas untuk mendukung pendirian teologis mereka, serta bagaimana para teolog Sunni mengajukan bantahan terhadap argumen tersebut, lihat al-Ra> zi> , Mafa> ti> h} al-Gayb, vol. 12, hlm. 6-7.

dari pengabaian konteks ayat, fanatisme kelompok, dan ketidaktahuan akan hadits-hadits Rasulullah saw. tentang status para pelaku dosa besar. 93

Salah satu proponen kaum sufi yang banyak ditentang pendapatnya oleh al-Dzahabi> adalah Ibn ‘Arabi> (w. 638 H.). Dalam tafsirnya terhadap ayat “ wa ila> hukum ila> h wa> h} id” (al-Baqarah [2]: 163), Ibn ‘Arabi> menyatakan bahwa

Tuhan kaum muslimin dan Tuhan kaum musyrikin sebetulnya satu. 94 Sementara ketika menafsirkan surah al-Muzzammil [73]: 8, 95 Ibn ‘Arabi> menyatakan,

“Ingatlah Tuhanmu, yakni dirimu sendiri. Artinya, kenali dan ingatlah dirimu. Jangan sampai engkau melupakannya sehingga Allah pun akan melupakanmu. Dan berusahalah untuk mencapai kesempurnaan diri setelah engkau mengetahui

96 hakikatnya….” Tafsir semacam itu ditentang oleh al-Dzahabi> karena ia

bertolak dari pandangan wih} dah al-wuju> d serta asumsi-asumsi filosofis yang bertentangan dengan al-Qur`an dan agama Islam (bertentangan dengan prinsip

pertama dan ketiga). 97 Berikutnya, kesalahan tafsir saintifik ( al-tafsi> r al-‘ilmi> ), menurut al-

Dzahabi> , disebabkan oleh pengabaian karakter dasar teks al-Qur`an yang bukan merupakan “kitab filsafat, kedokteran, atau teknik”. 98 Sedangkan para

penyokong gerakan pembaharuan dalam tafsir cenderung melakukan interpretasi al-Qur`an dengan mengabaikan kaidah-kaidah bahasa, sunnah Rasulullah saw.,

dan 99 h} ikmah al-tasyri> ‘. Ketika orang-orang tertentu menolak aplikasi hukum h} udu> d yang ditetapkan oleh al-Qur`an, maka apa yang mereka lakukan itu,

menurut al-Dzahabi> , bertentangan dengan kaidah bahasa Arab yang menegaskan

93 Al-Dzahabi> , Al-Ittija> ha> t al-Munh} arifah, hlm. 71. 94 Al-Dzahabi> , Al-Ittija> ha> t al-Munh} arifah, hlm. 79. 95 Lafaz ayat tersebut adalah sebagai berikut.

∩∇∪ Wξ‹ÏFö;s? Ïμø‹s9Î) ö≅−Gu;s?uρ y7În/u‘ zΝó™$# Ìä.øŒ$#uρ 96 Al-Dzahabi> , Al-Ittija> ha> t al-Munh} arifah, hlm. 80. 97 Al-Dzahabi> , Al-Ittija> ha> t al-Munh} arifah, hlm. 81. 98 Al-Dzahabi> , Al-Ittija> ha> t al-Munh} arifah, hlm. 98. 99 Al-Dzahabi> , Al-Ittija> ha> t al-Munh} arifah, hlm. 104.

bahwa perintah al-Qur`an tersebut bersifat mewajibkan ( al-amr li al-wuju> b), bertentangan dengan Sunnah yang menyatakan bahwa Rasulullah saw. sendiri melakukan hukum h} udu> d tersebut, serta bertentangan juga dengan hikmah di

balik penetapan hukum syariat. 100 Demikianlah beberapa contoh penyimpangan tafsir yang dikutip oleh al-

Dzahabi> berikut argumen-argumen yang diajukannya untuk membantah tafsir- tafsir tersebut. Uraian itu menunjukkan bahwa ortodoksi tafsir, setidaknya menurut al-Dzahabi> , dibatasi oleh tiga hal yang telah disebutkan pada bagian terdahulu: orientasi tekstual (sebuah tafsir dianggap menyimpang karena ia bertentangan dengan penegasan al-Qur`an sendiri, hadits-hadits Nabi, atau

kaidah-kaidah bahasa), pengalaman komunitas (sebuah tafsir dianggap menyimpang karena ia bertentangan dengan tafsir yang ma`tsu> r dari generasi pertama atau bertentangan dengan pendapat mayoritas ulama), serta identifikasi teologis kelompok Sunni (sebuah tafsir dianggap menyimpang karena ia lahir dari asumsi-asumsi teologis non-Sunni). Selanjutnya, kita akan melakukan upaya penilaian terhadap prinsip-prinsip tafsir al-Sya> t} ibi> berdasarkan tiga basis ortodoksi di atas.

B. Penilaian terhadap Prinsip-prinsip Tafsir al-Sya> t} ibi> Seperti telah dikemukakan pada bagian terdahulu, al-Sya> t} ibi> meyakini bahwa al-Qur`an adalah kala> mulla> h yang bersifat qadi> m dan tidak diciptakan ( gayr makhlu> q). Dalam hal ini, pendapatnya tentu saja kongruen dengan pendapat yang ortodoks dalam kelompok Sunni. Demikian pula pendapatnya tentang al-Qur`an sebagai sumber ajaran Islam—mayoritas umat Islam rasanya memiliki pandangan yang sama. Perbedaan antara al-Sya> t} ibi> dengan sebagian mufassir dalam hal terakhir ini barangkali hanya terletak pada persoalan aksentuasi. Dalam penafsirannya terhadap ayat 89 dari surah al-Nah} l [16], Ibn Katsi> r, misalnya, mengutip beberapa riwayat yang menyatakan bahwa al-Qur`an mengandung penjelasan tentang segala sesuatu ( kull syay`), atau tentang segala

100 Al-Dzahabi> , Al-Ittija> ha> t al-Munh} arifah, hlm. 103-104.

hal yang termasuk dalam kategori halal dan haram ( kull h} ala> l wa h} ara> m), atau tentang apapun yang telah dan akan terjadi ( khabar ma> sabaq wa ‘ilm ma>

saya`ti> 101 ). Meski Ibn Katsi> r tidak memberikan keterangan lebih lanjut, tetapi adalah hal yang barangkali diakui oleh setiap muslim bahwa al-Qur`an tidak

memuat penjelasan yang terperinci tentang segala sesuatu. Kalaupun ia dianggap menjelaskan segala sesuatu, maka yang dimaksud dengan “segala sesuatu” tentu saja adalah prinsip-prinsip dasarnya. Pada titik inilah pendapat al-Sya> t} ibi> tentang al-Qur`an sebagai kulliyyah al-syari> ‘ah dapat dianggap selaras dengan pandangan ortodoks.

Salah satu gagasan al-Sya> t} ibi> yang dianggap kontroversial adalah

konsepsinya tentang ketidakmungkinan Sunnah menambahkan sesuatu yang substansial terhadap kandungan al-Qur`an. Konsepsi ini didasari oleh asumsi tentang al-Qur`an sebagai sumber dari seluruh prinsip dasar ajaran Islam tanpa terkecuali. Dalam pengertian yang mirip, pendapat senada sebetulnya telah dikemukakan oleh, misalnya, al-Sya> fi‘i> dalam karyanya, al-Risa> lah. Al-Sya> fi‘i> menulis, “Tidaklah terjadi sesuatu kepada seseorang dari para pemeluk agama Allah kecuali [dia bisa menemukan] dalam kita> bulla> h dalil yang bisa memberinya petunjuk dalam hal tersebut” ( fa laysat tanzil bi ah} ad min ahl di> nil-La> h na> zilah

illa> 102 wa fi> kita> bil-La> h al-dali> l ‘ala> sabi> l al-huda> fi> ha> ). Tetapi, pada bagian lain dari buku yang sama, al-Sya> fi‘i> juga menyatakan, “Dan [mengenai] apa pun

yang terdapat dalam Sunnah dan tidak tercantum nas} s} -nya dalam al-Qur`an; karena Allah mewajibkan ketaatan kepada Rasul-Nya dalam segala persoalan, maka kita pun akan mematuhinya” ( wa ma> sanna mimma> laysa fi> hi nas} s} kita> bil-

La> 103 h fa bifard} il-La> h t} a> ‘atahu> ‘a> mmatan fi> amrihi> tabi‘na> hu). Pernyataan terakhir inilah yang diajukan Hallaq, selain pernyataan al-Qurt} ubi> , sebagai salah

satu bukti bahwa pendapat al-Sya> t} ibi> tentang tidak adanya sesuatu apa pun dalam Sunnah yang tidak terdapat dalam al-Qur`an adalah pendapat yang ditolak

101 Ibn Katsi> r, Tafsi> r al-Qur`a> n al-‘Az} i> m, vol. 2, hlm. 600. 102 Al-Sya> fi‘i> , Al-Risa> lah (Kairo: Maktabah Da> r al-Tura> ts, 1979), hlm. 20. 103 Al-Sya> fi‘i> , Al-Risa> lah, hlm. 212.

oleh mayoritas, jika tidak seluruh, ulama. 104 Tetapi apa yang dimaksud al-Sya> fi‘i> dengan “mimma> laysa fi> hi nas} s} kita> bil-La> h” itu barangkali adalah penjelasan

atau perincian Sunnah terhadap prinsip-prinsip general al-Qur`an. Apalagi al- Sya> fi‘i> dikenal sebagai orang yang pernah berkata, “Tanyakanlah kepadaku apa

pun, maka pasti kujawab pertanyaan itu berdasarkan al-Qur`an”. 105 Bantahan yang lebih eksplisit dikemukakan oleh al-Qurt} ubi> . Dalam salah

satu bagian dari kitab tafsirnya, al-Qurt} ubi> menyatakan bahwa kita tidak boleh menentang Sunnah yang tidak tercantum dalam al-Qur`an ( mukha> lafah al-sunan al-lati> sannaha> mimma> laysa lahu> dzikr fi> al-Qur`a> n). Tetapi, sebagaimana terlihat dalam lanjutan pernyataan tersebut, al-Qurt} ubi> sebetulnya menunjuk

kepada praktik yang dilakukan oleh kelompok Ra> fid} ah dan Khawa> rij yang “hanya berpegang kepada lafaz lahiriah al-Qur`an dan mengabaikan Sunnah yang

mengandung penjelasan tentangnya”. 106 Sementara pada bagian lain, al-Qurt} ubi juga menyatakan bahwa Sunnah bisa menambahkan hal-hal tertentu yang tidak

terdapat dalam al-Qur`an ( ziya> dah ‘ala> h} ukm al-kita> b) seperti larangan menikahi seorang wanita bersama bibinya, larangan memakan daging binatang yang

bertaring, dan lain-lain. 107 Tetapi al-Sya> t} ibi> sendiri telah mengemukakan argumen-argumennya untuk menjawab hal-hal seperti apa yang diungkapkan oleh

al-Qurt} 108 ubi> tersebut. Di atas semua itu, pandangan tentang status primer al-Qur`an

dibandingkan Sunnah rasanya tidak bisa dengan mudah dibawa ke arah kesimpulan bahwa al-Sya> t} ibi> mengingkari status Sunnah sebagai salah satu

104 Hallaq, “The Primacy of the Qur`a> n”, hlm. 77 (catatan kaki nomer 37). 105 Al-Ra> zi> , Mafa> ti> h} al-Gayb, vol. 12, hlm. 226. 106 Al-Qurt} ubi> , Al-Ja> mi‘ li Ah} ka> m al-Qur`a> n, vol. 1, hlm. 29. 107 Al-Qurt} ubi> , Al-Ja> mi‘ li Ah}ka> m al-Qur`a> n, vol. 1, hlm. 30. Wahbah al-Zuh}ayli> juga

menyatakan bahwa Sunnah bisa “menambahkan hukum baru yang tidak dimuat ( sakata ‘anhu) al- Qur`an”. Lihat Wahbah al-Zuh} ayli> , Al-Qur`a> n al-Kari> m: Bunyatuhu> al-Tasyri> ‘iyyah wa Khas} a> `is}uhu> al-H{ ad} a> riyyah (Beirut: Da> r al-Fikr al-Mu‘a> s} ir, 1993), hlm. 49-50.

108 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 4, hlm. 18-40. Dan al-Sya> t} ibi> sendiri sebetulnya menyatakan bahwa Sunnah bisa menambahkan hal-hal baru yang tidak terdapat dalam al-Qur`an.

Hanya saja, hal-hal baru itu tidak mungkin ada sangkut pautnya dengan hukum takli> fi> dan sekedar berfungsi sebagai mukammila> t bagi al-Qur`an. Lihat catatan kaki nomer 29 pada bab 3.

sumber ajaran Islam yang paling penting. 109 Dan meski dianggap agak menyimpang dari paradigma yang dominan dalam kajian us} 110 ul fiqh, pendapat

tersebut sebetulnya tidak membawa konsekuensi yang bertentangan dengan kriteria ortodoksi tafsir karena al-Sya> t} ibi> sendiri dengan tegas menyatakan bahwa tafsir al-Qur`an yang dilakukan tanpa merujuk kepada Sunnah bisa sangat menyesatkan. Berbeda dengan Hallaq yang menyimpulkan bahwa al-Sya> t} ibi>

menganggap al-Qur`an sebagai sesuatu yang 111 self-sufficient, penelitian ini justru meyakini bahwa yang diinginkan al-Sya> t} ibi> sebetulnya adalah penegasan

tentang status Sunnah sebagai penjelas, sesuatu yang meski sekunder tetapi tetap dibutuhkan, bagi al-Qur`an—sebuah pandangan yang justru mengimplikasikan

pentingnya rujukan kepada Sunnah dalam setiap upaya penafsiran al-Qur`an. Bahwa al-Qur`an terjaga dari perubahan dan penyimpangan serta tidak mungkin mengandung kontradiksi adalah sesuatu yang sentral dalam pandangan ortodoksi Sunni. Begitu pula dengan prinsip yang diajukan al-Sya> t} ibi> bahwa al- Qur`an mesti terbuka bagi pemahaman manusia. Selain al-Biqa> ‘i> yang telah

dikutip pada bagian terdahulu, 112 Ibn Katsi> r juga menyatakan, dalam tafsirnya terhadap ayat 17 dari surah al-Qamar [54] ( wa laqad yassarnal-qur`a> na lidz-

dzikr), bahwa makna ayat tersebut adalah “Kami sederhanakan lafaznya ( sahhalna> lafz} ahu> ) dan Kami mudahkan maknanya bagi orang yang hendak mempelajarinya ( wa yassarna> ma‘na> hu liman ara> dahu> ) agar manusia bisa

mengambil peringatan.” 113 Telah pula diuraikan bahwa prinsip keterbukaan al-Qur`an untuk

dipahami manusia itu diarahkan oleh al-Sya> t} ibi> guna membatasi aktivitas tafsir

109 Kita bisa menganalogikan pendapat al-Sya> t} ibi> itu dengan pendapat yang terkesan berlawanan dari al-Gaza> li> . Al-Gaza> li> menyatakan bahwa, dari sisi sampainya sebuah hukum

kepada kita ( z}uhu> r al-h}ukm fi h} aqqina> ), sumber-sumber hukum Islam sebetulnya bisa dirujukkan hanya kepada satu hal, yakni pernyataan Rasulullah saw., karena bahkan al-Qur`an pun sampai kepada kita melalui sabda beliau. Lihat al-Gaza> li> , Al-Mustas} fa> , vol. 1, hlm. 100. Dengan menyatakan hal itu, al-Gaza> li> tentu saja tidak bisa disebut mengingkari otoritas al-Qur`an.

110 Hallaq, “The Primacy of the Qur`a> n”, hlm. 77. 111 Hallaq, “The Primacy of the Qur`a> n”, hlm. 77. 112 Lihat Bab III, catatan kaki nomer 38. 113 Ibn Katsi> r, Tafsi> r al-Qur`a> n al-‘Az} i> m., vol. 4, hlm. 264.

pada tujuan pemahaman terhadap mura> d al-Qur`an melalui makna sintaksisnya ( al-ma‘na> al-tarki> bi> ) serta berdasarkan kadar kebersamaan mayoritas ( ‘ala> wiza> n

al-isytira> 114 k al-jumhu> ri> ). Lebih dari itu, al-Sya> t} ibi> juga menolak setiap tafsir yang berlebihan, baik yang terlalu asyik dengan analisa linguistik sehingga

mengabaikan maksud sebuah ayat maupun yang melampaui status ke- ummi> -an bangsa Arab sebagai para penerima pertama al-Qur`an. 115 Watak ortodoksi tafsir

yang moderat, longgar dan akuisitif tentu menolak pembatasan yang terlampau ekstrem seperti ini sebagaimana terlihat dalam kritik-kritik yang diajukan oleh Ibn ‘A< syu> r. Tetapi, pada saat yang sama, pembatasan yang dilakukan al-Sya> t} ibi> itu juga tidak bisa dibawa untuk menyatakan bahwa dia menolak prinsip

tekstualisme serta pendekatan linguistik para mufassir . Yang dia kehendaki sebetulnya adalah penegasan bahwa kemampuan linguistik merupakan sarana untuk memahami al-Qur`an. Tetapi ia hanyalah sarana yang, meski sangat penting, tetap tidak boleh mengorbankan tujuan asasi dari pemahaman terhadap al-Qur`an: hidup dalam keselarasan ( al-muwa> faqa> t) dengan aturan-aturan Allah dan menghindar dari pelanggaran ( al-mukha> lafa> t) terhadap aturan-aturan-Nya

itu. 117

114 Lihat bab III, hlm. 58 dan 80-81. 115 Lihat bab III, hlm. 79-82. 116 Al-Sya> t} ibi> memang menyatakan secara tersirat bahwa pendekatan linguistik murni

memiliki keterbatasan, setidaknya, dalam dua hal. Pertama, pendekatan linguistik tidak bisa mengelevasi status sebuah dalil partikular dari z} anni> menjadi qat}‘i> . Lihat al-Muwa> faqa> t, vol. 1, hlm. 24 dan vol. 2, hlm. 38. Kedua, kemampuan linguistik saja tidak bisa menjamin seseorang mampu memahami makna-makna yang berhubungan dengan mas} lah} ah dan mafsadah dari ditetapkannya sebuah aturan dalam Islam. Dalam hal yang terakhir ini, seseorang membutuhkan pengetahuan yang mendalam tentang maqa> s}id al-syari> ‘ah. Lihat al-Muwa> faqa> t, vol. 4, hlm. 117- 119. Tetapi dua hal di atas sebetulnya harus diletakkan dalam konteksnya masing-masing. Keterbatasan pertama dikemukakan al-Sya> t} ibi> dalam upayanya untuk menegaskan pentingnya prinsip intertekstualitas antara dalil-dalil syariat serta ketidakmungkinan mengabaikan proses induksi terhadap seluruh dalil tersebut. Sedangkan keterbatasan kedua diajukan al-Sya> t} ibi> dalam konteks penerapan dalil-dalil syariat ke dalam situasi konkret. Proses istinba> t} dari teks-teks al- Qur`an dan hadits, menurut al-Sya> t} ibi> , mutlak memerlukan kemampuan linguistik. Tetapi penerapan kandungan teks-teks tersebut ke dalam situasi-situasi konkret membutuhkan lebih dari sekedar kemampuan berbahasa Arab. Dengan demikian, argumen-argumen al-Sya> t} ibi> di atas tidak bisa dibawa untuk menolak pendekatan linguistik dalam penafsiran al-Qur`an.

117 Lihat bab III, hlm. 89-90.

Ketidakmungkinan menganggap al-Sya> t} ibi> menolak pendekatan linguistik dalam tafsir terlihat dalam aksentuasinya yang sangat kuat terhadap status al-Qur`an sebagai sebuah teks berbahasa Arab yang tidak mungkin didekati melalui bahasa non-Arab. Bahwa al-Qur`an bersifat ‘arabi> dalam bahasa, makna, maupun stilistikanya; bahwa al-Qur`an tidak mengandung kata- kata non-Arab; bahwa penafsiran makna maja> zi> dan makna ba> t} in al-Qur`an hanya bisa diterima jika keduanya sesuai dengan konvensi bahasa Arab; bahwa al- Qur`an hanya mungkin diterjemahkan pada level maknanya yang primer dan tidak yang sekunder; bahwa dasar bagi keharusan mengetahui asba> b al-nuzu> l adalah konsep muqtad} a> al-h} a> l dalam kajian-kajian ilmu Bala> gah; bahwa ilmu

bahasa Arab adalah hal yang harus dipelajari pertama kali oleh setiap orang yang hendak memperdalam pengetahuan di bidang syariat; juga bahwa salah satu kriteria al-ra> sikhu> n fi al-‘ilm adalah penguasaan atas bahasa Arab—semua itu menegaskan bahwa al-Sya> t} ibi> memandang penting bagi seorang mufassir untuk melibatkan diri dalam tradisi tafsir yang terentang beberapa abad lamanya, sebuah tradisi yang menjadikan penguasaan terhadap bahasa Arab sebagai syarat utama untuk masuk ke dalamnya, sebuah tradisi yang kemudian menjadi ortodoks.

Persoalan terjemahan al-Qur`an barangkali perlu disinggung secara lebih terperinci. Teori al-Sya> t} ibi> tentang dua level makna (primer dan sekunder) dipahami dan dikutip oleh beberapa pemikir belakangan untuk dua tujuan yang bertolak belakang. Muh} ammad al-Khid} r H{ usayn dan Muh} ammad Mus} t} afa> al- Mara> gi> membolehkan penerjemahan al-Qur`an dengan mengutip pendapat al- Sya> t} ibi> tentang mungkinnya melakukan penerjemahan tersebut pada level

maknanya yang primer. 118 Sebaliknya, pendapat al-Sya> t} ibi> tentang ketidakmungkinan menerjemahkan al-Qur`an pada level maknanya yang

sekunder digunakan oleh al-Zarqa> ni> sebagai argumen untuk mengharamkan

118 Ah} mad Ibra> hi> m Mahna, Dira> sah H{ awla Tarjamah al-Qur`a> n al-Kari> m, hlm. 35 dan 60.

upaya tersebut. 119 Perbedaan pendapat ini menunjukkan bahwa al-Sya> t} ibi> memang tidak dengan tegas mendefinisikan posisinya dalam persoalan boleh atau

tidaknya menerjemahkan al-Qur`an ke dalam bahasa non-Arab. Tetapi kesan bahwa al-Sya> t} ibi> lebih mementingkan pemahaman al-Qur`an pada level maknanya yang primer, sekaligus pernyataannya bahwa kebolehan melakukan tafsir adalah “ h}ujjah untuk membenarkan upaya penerjemahan [al-Qur`an] pada

level maknanya yang primer”, 120 mengindikasikan bahwa agaknya dia membolehkan terjemahan interpretatif ( al-tarjamah al-tafsi> riyyah) terhadap al-

Qur`an. Di luar itu semua, dari sudut pandang ortodoksi, perdebatan tentang boleh atau tidaknya melakukan penerjemahan al-Qur`an sebetulnya

dilatarbelakangi oleh sebuah persoalan yang lebih mendasar, yaitu status istimewa yang dimiliki oleh al-Qur`an dan bahasa Arab. Keberatan utama al- Zarqa> ni> , untuk menyebut satu contoh, terhadap upaya penerjemahan al-Qur`an adalah asumsi yang diyakininya bahwa tidak ada bahasa non-Arab mana pun yang bisa mengemban makna-makna al-Qur`an secara memadai serta kekhawatiran bahwa umat Islam akan menempatkan terjemahan tersebut pada

posisi yang setara dengan al-Qur`an sendiri. 121 Dalam hal tersebut, meski al- Sya> t} ibi> meyakini bahwa penguasaan atas bahasa Arab adalah modal terpenting

untuk memahami al-Qur`an, namun dia juga menekankan pentingnya pesan dasar al-Qur`an itu disampaikan kepada seluruh umat manusia tanpa terkecuali.

Akan tetapi al-Sya> t} ibi> tidak hanya membatasi status kearaban al-Qur`an pada persoalan-persoalan bahasa; dia juga memberian perhatian yang besar kepada kondisi bangsa Arab abad 7 Masehi, sebuah bangsa yang ummi> . Bangsa Arab, para penerima pesan al-Qur`an pertama kali, menurut al-Sya> t} ibi> , adalah faktor yang sangat menentukan dalam pemahaman atas al-Qur`an. Ketika menyatakan bahwa al-Qur`an harus dipahami melalui bahasa Arab, yang ada

119 Al-Zarqa> ni> , Manahil al-‘Irfa> n, vol. 2, hlm. 179-182. Bandingkan juga dengan Muh} ammad Ibra> hi> m al-H{ afana> wi> , Dira> sa> t fi> al-Qur`a> n al-Kari> m, hlm. 73-85. 120 Lihat bab III, hlm. 70, catatan kaki nomer 74.

121 Al-Zarqa> ni> , Manahil al-‘Irfa> n, vol. 2, hlm. 155-165.

dalam benak al-Sya> t} ibi> adalah bahasa Arab sebagaimana dikonsepsikan dan digunakan oleh bangsa Arab saat al-Qur`an diturunkan: bahasa yang lebih mementingkan makna daripada lafaz, bahasa yang didasarkan pada, sekaligus dibatasi oleh, tradisi yang ummi> . Secara ekstrem, al-Sya> t} ibi> bahkan menolak setiap penafsiran yang mencoba melampaui batas-batas pengetahuan bangsa Arab yang ummi> itu. Pada konteks inilah al-Sya> t} ibi> seringkali dikutip untuk menolak tafsir saintifik ( al-tafsi> r al-‘ilmi> ) terhadap al-Qur`an.

Telah kita lihat pada bagian terdahulu bahwa, jika dibawa ke titik yang sangat ekstrem, pendapat al-Sya> t} ibi> di atas bisa mengimplikasikan pandangan tentang petunjuk al-Qur`an yang hanya diperuntukkan bagi bangsa Arab abad 7

Masehi. Tetapi barangkali bukan ekstremitas semacam ini yang dikehendaki al-Sya> t} ibi> . Sebaliknya, dengan mengembalikan setiap penafsiran al-Qur`an kepada batas-batas pengetahuan, bahasa, dan tradisi bangsa Arab yang ummi> , al- Sya> t} ibi> justru hendak memperlihatkan bahwa pesan-pesan dasar al-Qur`an sebetulnya sederhana, tidak rumit, bisa dipahami oleh orang kebanyakan, serta berorientasi pada kesalehan. Tidak ada bukti apa pun yang menunjukkan bahwa terdapat bagian dari al-Qur`an yang ditujukan hanya kepada kelompok tertentu dan tidak kepada kelompok yang lain. Selain itu, prinsip ke- ummi> -an bangsa Arab, oleh al-Sya> t} ibi> , juga dihubungkan dengan pentingnya memberikan otoritas dalam tafsir kepada generasi-generasi salaf. Itu sebabnya mengapa, ketika menolak anggapan bahwa al-Qur`an mengandung segala bentuk ilmu pengetahuan—sebuah anggapan yang dianggapnya bertentangan dengan status ke- ummi> -an bangsa Arab, al-Sya> t} ibi> berargumen bahwa ilmu-ilmu seperti matematika, fisika, logika, dan lain sebagainya tidak pernah dikenal oleh generasi al-salaf al-s} a> lih} , generasi yang paling tahu tentang kandungan al-

Qur`an. 123 Secara umum, penekanan terhadap otoritas generasi salaf dalam ilmu

tafsir, juga dalam ilmu-ilmu keislaman secara umum, adalah sesuatu yang sentral

122 Lihat bab III, hlm. 82. 123 Lihat bab III, hlm. 79.

dalam pemikiran al-Sya> t} ibi> . Itu adalah dasar untuk menyatakan bahwa pandangan al-Sya> t} ibi> tentang tafsir bi al-ma`tsu> r cenderung positif. Dia mengecam pemahaman dan praktik apa pun yang bertentangan dengan ajaran

generasi terdahulu, sesuatu yang disebutnya dengan 124 mukha> lafah al-awwali> n. Bahkan untuk mencari pembenaran serta menetapkan syarat dan batasan bagi

tafsir bi al-ra`y, al-Sya> t} ibi> pun menggunakan otoritas generasi salaf sebagai rujukan. 125 Al-Sya> t} ibi> memang sempat menyatakan bahwa ketika para sahabat

tidak sepakat dalam penafsiran ayat-ayat tertentu, maka pendapat mereka adalah ijtihad yang sama saja dengan ijtihad para generasi belakangan. 126 Tetapi tidak

jelas apakah, dalam kondisi semacam itu, al-Sya> t} ibi> membolehkan ijtihad yang

sama sekali bertentangan dengan pendapat para sahabat tersebut. Berdasarkan kecamannya yang keras terhadap apa yang dia sebut dengan mukha> lafah al- awwali> n itu, tampaknya kita bisa menduga bahwa al-Sya> t} ibi> tidak akan membolehkan penafsiran apa pun yang bertentangan dengan penafsiran generasi

salaf. Yang tersisa tinggallah tarji> h} atas keragaman pendapat mereka atau penafsiran baru yang tidak bertentangan dengan apa yang mereka kemukakan— dua hal yang juga dianut oleh para ulama Sunni ortodoks.

Prinsip intertekstualitas al-Qur`an yang dirumuskan al-Sya> t} ibi> bertumpu pada konsepsinya tentang al-Qur`an sebagai kala> m wa> h} id. Dalam kerangka itulah setiap bagian dari al-Qur`an berhubungan dengan bagian yang lain dalam mekanisme yang tidak memungkinkan terjadinya kontradiksi antar masing- masing bagiannya. Dan sebagaimana telah ditunjukkan pada uraian terdahulu, pola intertekstualitas itu bersifat hirarkis melalui perumusan konsep kulli> dan juz`i> , dalam pengertian bahwa ada bagian tertentu dalam al-Qur`an yang bersifat lebih general dan mendasar daripada bagian-bagian yang lain. Karena itu, bagian yang juz`i> harus dirujukkan kepada yang kulli> , yang madani> harus dirujukkan kepada yang makki> , dan yang mutasya> bih harus dirujukkan kepada yang

124 Lihat bab III, hlm. 130. 125 Lihat bab III, hlm. 131-133. 126 Lihat bab III, hlm. 129-130.

muh} kam. Hanya saja, harus pula diakui bahwa prinsip intertekstualitas yang bersifat hirarkis dan kronologis itu masih membutuhkan pengujian ke dalam praktik tafsir yang nyata tentang tema tertentu dalam al-Qur`an. Apa yang dicontohkan sendiri oleh al-Sya> t} ibi> dalam penafsirannya terhadap ayat-ayat al-

Qur`an yang berbicara tentang kehidupan duniawi 127 belum memperlihatkan bagaimana sebetulnya konsep hirarki dan kronologi itu harus diberlakukan.

Barangkali tidak ada ulama sebelum al-Sya> t} ibi> yang merumuskan pola relasi dialektis antara kulli> -juz`i> secara sedemikian mendasar dan komprehensif. Pola relasi tersebut disusun sedemikian rupa sehingga masing-masing dari kulli> dan juz`i> itu tidak boleh diabaikan demi yang lain. Dengan cara semacam itu,

konsep kulli> -juz`i> al-Sya> t} ibi> juga tidak bisa dibawa untuk menggugat ortodoksi. Meski menyatakan bahwa ayat-ayat makkiyyah lebih general dan lebih mendasar daripada ayat-ayat madaniyyah, al-Sya> t} ibi> tetap bersikeras bahwa keduanya mesti sama-sama dipertimbangkan untuk memahami al-Qur`an. Itu berbeda

dengan, misalnya, Mah} 128 mu> d Muh} ammad T{ a> ha> , yang menyimpulkan bahwa karena ayat-ayat makkiyyah lebih fundamental daripada ayat-ayat madaniyyah,

maka yang terakhir bisa dibatalkan (di- naskh) jika bertentangan dengan yang pertama.

Sebagai seorang ulama yang proyek teoretisnya adalah pendasaran ilmu us} ul fiqh ( ta`s}i> l al-us} u> l), tentu saja wajar apabila al-Sya> t} ibi> membangun metode tafsirnya di atas perhatian yang lebih besar kepada prinsip-prinsip general ( kulliyya> t) daripada hal-hal partikular (juz`iyya> t). Pandangan al-Sya> t} ibi> tentang tidak adanya satu pun dalil partikular dalam al-Qur`an yang bersifat qat} ‘i> pada

127 Lihat bab III, hlm. 111-116. 128 Mah} mu> d Muh} ammad T{ a> ha> adalah seorang pemikir kelahiran Sudan yang sangat

kontroversial. Dia mati dieksekusi oleh pemerintah Sudan pada tahun 1985 lantaran dituduh murtad. Gagasannya tentang konsep naskh berbeda secara diametris dengan pendapat ortodoksi. Dia menyatakan bahwa ayat-ayat makkiyyah mengandung prinsip-prinsip dasar ajaran Islam sehingga, karenanya, berlaku abadi sepanjang masa. Sedangkan ayat-ayat madaniyyah hanyalah aplikasi yang bersifat temporal dari prinsip-prinsip dasar tersebut; ia berlaku hanya untuk konteks semenanjung Arab abad 7 Masehi. Melalui prinsip tersebut, Mah} mu> d membalik proses naskh — ayat-ayat madaniyyah yang bersifat temporal itulah yang seharusnya di-naskh oleh ayat-ayat makkiyyah, bukan sebaliknya. Lihat Annette Oevermann, “T{a> ha> , Mah} mu> d Muh} ammad”, dalam

C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition..

dirinya sendiri 129 harus dipandang dalam kerangka tersebut. Dengan menyatakan hal itu, al-Sya> t} ibi> sebetulnya tidak hendak menganjurkan sikap yang relativistik

terhadap teks-teks keagamaan. Dia tetap mengakui bahwa, misalnya, kewajiban melaksanakan shalat adalah sesuatu yang qat} ‘i> . Hanya saja, status qat} ‘i> itu diperoleh melalui induksi terhadap seluruh dalil yang ada, bukan diinferensikan hanya berdasarkan sebuah dalil tertentu dari al-Qur`an maupun Sunnah.

Demikian pula anggapan bahwa al-Sya> t} ibi> menempatkan konsep naskh pada posisi yang tidak penting. Karena naskh tidak mungkin terjadi pada kulliyya> t dan hanya terjadi pada juz`iyya> t, maka al-Sya> t} ibi> menganggap naskh sebetulnya jarang terjadi pada ayat-ayat makkiyyah. Tetapi pengakuan bahwa

naskh terjadi dalam al-Qur`an serta bahwa penetapan kategori na> sikh dan mansu> kh dilakukan berdasarkan urutan kronologis turunnya ayat —bahwa naskh hanya mungkin terjadi oleh ayat-ayat yang turun belakangan kepada ayat-ayat yang turun lebih awal (bukan berdasarkan tingkat generalitas ayat seperti apa yang diajukan oleh Mah} mu> d Muh} ammad T{ a> ha> )— menunjukkan bahwa al-Sya> t} ibi> tetap setia pada garis ortodoksi.

Hal yang sama juga bisa dinyatakan dalam persoalan relasi antara maslahat ( maqa> s} id al-syari> ‘ah) dan teks al-Qur`an. Adalah hal yang tidak mungkin untuk membayangkan al-Sya> t} ibi> menyetujui pembatalan ayat tertentu dalam al-Qur`an demi maslahat non-tekstual. Al-Sya> t} ibi> memang menyatakan bahwa fokus perhatian dalam persoalan-persoalan non-ritual ( ‘a> da> t) adalah

makna di balik ketetapan-ketetapan syariat. 130 Tetapi, jika terdapat hal-hal yang bersifat ta‘abbudi> dalam persoalan-persoalan non-ritual tersebut, maka yang

harus dilakukan adalah berserah diri dan mematuhi apa yang termaktub dalam dalil-dalil syariat ( al-tasli> m wa al-wuqu> f ma‘a al-mans} u> s} ). Itu sebabnya, menurut al-Sya> t} ibi> , aturan-aturan tentang pemberian mahar dalam pernikahan, penentuan bagian dari harta warisan, jumlah bulan dalam ‘iddah seorang istri, hukum-

129 Lihat Bab II, hlm. 35. 130 Dalam ungkapan al-Sya> t} ibi> sendiri, “al-as} l fi> al-‘iba> da> t al-ta‘abbud, wa al-as} l fi> al-

‘a> > da> t al-iltifa> t ila> al-ma‘a> ni> ”. Lihat al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 228.

hukum h} udu> d, dan lain sebagainya adalah sesuatu yang harus kita patuhi tanpa reservasi, sesuatu yang “tidak ada kemungkinan bagi akal untuk mengetahui maslahat-maslahatnya secara spesifik sehingga tidak mungkin dianalogikan

dengan hal-hal lainnya.” 131 Bahkan, menurut al-Sya> t} ibi> , tidak ada maslahat yang sepenuhnya bersifat

rasional. 132 Dalam pernyataannya sendiri, “Apa yang kita maksud dengan mas} lah} ah adalah pemeliharaan terhadap

hak makhluk, baik berupa pemerolehan maslahat maupun penghindaran mafsadat ( jalb al-mas} a> lih} wa dar` al-mafa> sid). Akal tidak bisa sepenuhnya memahami [ mas} lah} ah] itu secara otonom dalam keadaan apa pun (la> yastaqill al-‘aql bi darkihi> ‘ala> h} a> l). Jika syariat tidak mempertimbangkan makna [ mas} lah} ah] tersebut, atau bahkan menolaknya, maka ia pun tertolak 133 berdasarkan kesepakatan umat Islam.”

Dalam al-I‘tis} a> m, al-Sya> t} ibi> membahas perbedaan antara bid‘ah dan mas} lah} ah mursalah. Menurutnya, perbedaan itu terletak pada ada atau tidaknya

dukungan tekstual dari dalil-dalil syariat. Sebuah perbuatan atau tindakan dihubungkan dengan dalil-dalil syariat melalui kesesuaian maknanya. Kesesuaian ( al-ma‘na> al-muna> sib) itu dihukumi berdasarkan tiga kategori berikut. Pertama, jika ada dalil syariat yang dengan tegas menerimanya ( an yasyhad al-syar‘ biqabu> lihi> ), maka perbuatan tersebut jelas-jelas boleh dilakukan. Kedua, jika syariat menolaknya ( ma> syahida al-syar‘ bi raddihi> ), maka ia jelas-jelas tidak boleh dilakukan. Ketiga, jika tidak ada dalil spesifik yang menerima atau menolaknya ( ma sakatat ‘anhu al-syawa> hid al-kha> s} s} ah), maka status hukumnya tergantung kepada dua pertimbangan. Jika ia tidak sesuai dengan apa yang digariskan oleh syariat ( tas} arrufa> t al-syar‘), maka ia tidak bisa diterima karena, pada hakikatnya, hal itu merupakan “penetapan hukum syariat oleh orang yang menyatakannya” ( tasyri> ‘ min al-qa`il bihi> ). Sebaliknya, jika ia selaras dengan apa yang digariskan oleh syariat, dalam arti bahwa perbuatan tersebut memiliki

131 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 234-235. 132 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 37. 133 Al-Sya> t} ibi> , Al-I‘tis} a> m, hlm. 352.

landasan yang bersifat umum dan tidak spesifik dalam syariat, maka ia pun boleh dilakukan. Kategori terakhir inilah yang disebut dengan 134 mas} lah} ah mursalah.

Kategorisasi di atas menunjukkan bahwa, bagi al-Sya> t} ibi> , maslahat harus memiliki landasan tekstual, segeneral apa pun. Oleh karena setiap maslahat pasti didasarkan pada teks, dan rujukan tekstual tertinggi dalam Islam adalah al- Qur`an (atau, lebih tepatnya, ayat-ayat makkiyyah), sementara tidak mungkin ada kontradiksi antar bagian dalam al-Qur`an, maka kontradiksi antara maslahat dan ayat al-Qur`an, di mata al-Sya> t} ibi> , sebetulnya juga tidak mungkin terjadi.

Salah satu karakteristik paling menonjol dari ortodoksi tafsir adalah kecenderungan untuk membatasi dan menetapkan syarat-syarat yang ketat bagi

tafsir bi al-ra`y. Demikian pula yang dilakukan oleh al-Sya> t} ibi> . Kesan bahwa al- Sya> t} ibi> memberikan otoritas yang relatif besar kepada penalaran rasional dalam penafsiran al-Qur`an menjadi problematis jika dipandang dari bagaimana ia memposisikan tafsir bi al-ra`y. Dua syarat yang ditetapkannya untuk menerima tafsir bi al-ra`y (kesesuaian dengan bahasa Arab serta keselarasan dengan al- Qur`an dan hadits) justru mengisyaratkan sebuah orientasi yang bersifat tekstualis dalam tafsir. Bahkan ketika al-Sya> t} ibi> berusaha memaklumi orang- orang yang menolak melakukan tafsir bi al-ra`y dan menganggap sikap mereka itu sebagai sebuah bentuk kehati-hatian; yang dia tunjukkan sebetulnya adalah preferensi terhadap penafsiran generasi-generasi terdahulu daripada tafsir bi al- ra`y yang dilakukan secara liberal dan tanpa batas. Apalagi al-Sya> t} ibi> sendiri menganggap bahwa dua syarat penerimaan tafsir bi al-ra`y di atas adalah dua hal

yang secara umum telah terpenuhi pada penafsiran generasi-generasi 135 salaf itu. Kehati-hatian dalam menerima tafsir bi al-ra`y itu juga terlihat dalam

ketidaksetujuan al-Sya> 136 t} ibi> terhadap upaya takwil ayat-ayat mutasya> biha> t.

134 Al-Sya> t} ibi> , Al-I‘tis} a> m, hlm. 352-354. 135 Lihat bab III, hlm. 129-130 dan 132-133. 136 Termasuk dalam hal ini adalah persoalan fawa> tih} al-suwar. Telah diungkapkan pada

bagian terdahulu bahwa pendapat yang paling benar, menurut al-Sya> t} ibi> , adalah yang menyerahkan takwil fawa> tih} al-suwar itu kepada Allah semata. Para ulama sendiri memiliki beragam pendapat tentang persoalan tersebut; sebagian mendiamkannya dan sebagian yang lain

Dengan menolak takwil terhadap ayat-ayat mutasya> biha> t yang tidak ditemukan penjelasannya dalam al-Qur`an, hadits dan ijma> ‘, al-Sya> t} ibi> sebetulnya hendak membatasi takwil pada sumber-sumber tekstual. Bahkan ketika al-Sya> t} ibi> “terpaksa” memberikan toleransi terhadap upaya para ulama lain yang mencoba melakukan takwil terhadap ayat-ayat mutasya> bihat, dia menetapkan tiga

syarat; 137 salah satu di antaranya merujuk kepada prinsip tekstualisme (yaitu syarat kesesuaian dengan lafaz ayat yang ditakwil), dan satu lagi kepada

pengakuan terhadap pengalaman komunitas mufassir (yaitu syarat kesepakatan para penakwil).

Penilaian-penilaian di atas memperlihatkan bahwa prinsip-prinsip tafsir

yang dirumuskan al-Sya> t} ibi tidak bisa dibawa untuk menggugat ortodoksi. Kita akan melihat pada bagian berikut ini bahwa mereka yang “menggunakan” al- Sya> t} ibi> , baik untuk mendukung maupun menggugat ortodoksi tafsir, sebetulnya berangkat dari kepentingan yang sama: mencari basis legitimasi dari “masa lalu”.

C. Al-Sya> t} ibi> Sebagai Basis Legitimasi Sejak lama al-Sya> t} ibi> dipersepsi dengan cara yang berbeda-beda. Dia adalah sosok yang kontroversial bahkan pada masa ketika dia masih hidup. Telah kita uraikan pada bagian terdahulu bahwa al-Sya> t} ibi> pernah dituding melakukan bid‘ah ketika dia justru mencurahkan perhatian yang besar untuk memeranginya. Tingkat orisinalitas karya-karyanya juga dipertanyakan. Tetapi, pada masa modern ini, al-Sya> t} ibi> menjadi bagian dari proses tarik-menarik antara keinginan untuk menggugat ortodoksi, di satu sisi, dan hasrat untuk mempertahankannya di sisi yang lain.

mencoba menakwilkannya. Untuk detail yang lebih rinci tentang pendapat para ulama itu, lihat, misalnya, al-Suyu> t} i> , Al-Itqa> n, vol. 2, hlm. 15-22. Agak sulit untuk menentukan yang mana yang lebih ortodoks di antara kedua pandangan di atas. Tetapi patut dicatat bahwa ortodoksi tafsir dibangun di atas keyakinan bahwa huruf-huruf tersebut merupakan bagian dari wahyu Allah yang diturunkan demi hikmah-hikmah tertentu, bukan merupakan bagian dari “kerja-kerja editorial” di masa kodifikasi sebagaimana diyakini oleh beberapa orientalis. Lihat, misalnya, Irfan Shahîd, “ Fawa> tih} al-Suwar: The Mysterious Letters of the Qur’a> n”, dalam Issa J. Boullata [ed.], Literary Structures of Religious Meaning in the Qur’a> n (Surrey: Curzon Press, 2000), hlm. 125-126.

137 Lihat bab III, hlm. 125-126.

Al-Ja> biri> dan T{ a> ha> Ibra> hi> m barangkali adalah dua contoh yang bagus dari perspektif pertama. Dalam Wijhah al-Naz} ar, al-Ja> biri> menegaskan bahwa, dalam sejarah Islam, pintu ijtihad sebetulnya tidak pernah “ditutup”, melainkan “tertutup” dengan sendirinya ( ingila> q ba> b al-ijtiha> d wa laysa igla> quhu> ). Pintu ijtihad tertutup karena metode ijtihad yang dirumuskan oleh ulama klasik —yang bertumpu pada pendekatan linguistik-tekstual serta qiya> s— memang tidak memungkinkan dilangsungkannya ijtihad secara terus-menerus dengan tanpa batas; ia akan sampai kepada “sebuah titik di mana tidak ada lagi sesuatu yang

mungkin untuk ditambahkan”. 138 Karena itu, yang dibutuhkan sebetulnya bukanlah membuka kembali pintu ijtihad (karena ia memang tidak pernah

“ditutup”), melainkan merumuskan metode baru yang memungkinkan ijtihad terus dilakukan seiring perubahan zaman. Pada poin inilah al-Ja> biri> mengajukan konsep kulliyya> t dan maqa> s} id al-syari> ‘ah yang dirumuskan al-Sya> t} ibi> sebagai tawaran.

Hingga di sini, belum terlalu jelas tawaran apa yang diajukan al-Ja> biri> melalui al-Sya> t} ibi> . Barulah ketika melakukan komparasi antara dua metode ijtihad di atas (metode istitsma> r al-alfa> z} dan metode maqa> s} id), al-Ja> biri> menyatakan bahwa metode maqa> s} id dirumuskan tidak melalui perhatian kepada lafaz, melainkan kepada asba> b al-nuzu> l. Metode istitsma> r al-alfa> z} tidak akan pernah bisa menjawab pertanyaan mengapa al-Qur`an memerintahkan hukuman potong tangan, bukan penjara, bagi pencuri. Sebaliknya, metode maqa> s} id akan menjawabnya dengan menyatakan bahwa ayat al-Qur`an tersebut memiliki asba> b al-nuzu> l—bukan asba> b al-nuzu> l dalam pengertiannya yang klasik, melainkan asba> b al-nuzu> l dalam pengertian “kondisi sosial yang menuntut terwujudnya maslahat tertentu serta dirumuskannya cara untuk mencapai maslahat

tersebut”. 139 Melalui metode maqa> s} id yang bertumpu pada asba> b al-nuzu> l itu, menurut

al-Ja> biri> , akan diketahui bahwa ayat tentang hukuman potong tangan diturunkan

138 Al-Ja> biri> , Wijhah al-Naz} ar, hlm. 54. 139 Al-Ja> biri> , Wijhah al-Naz} ar, hlm. 60.

pada sebuah masa ketika praktik pemotongan tangan pencuri adalah sesuatu yang lazim. Selain itu, kondisi sebagian bangsa Arab yang nomaden dan tidak pernah menetap di sebuah tempat secara permanen juga membuat hukuman penjara tidak mungkin diberlakukan secara efektif tanpa biaya yang luar biasa mahal. Dalam situasi semacam itu, hukum potong tangan tentu mendatangkan maslahat

yang jauh lebih besar daripada penjara. 140 Al-Ja> biri> praktis berhenti di sini. Dia hanya menyatakan kemudian bahwa

metode maqa> s} id yang memberikan perhatian kepada aspek maslahat akan mampu memperluas kemungkinan untuk membangun “rasionalitas-rasionalitas baru

ketika ia dihadapkan kepada 141 asba> b al-nuzu> l yang baru pula”. Tampaknya, al-

Ja> biri> menyadari bahwa gagasan al-Sya> t} ibi> tidak bisa digunakan terlalu jauh untuk melakukan pembatalan atas kandungan ayat al-Qur`an demi sebuah maslahat atau asba> b al-nuzu> l yang bersifat non-tekstual.

T{ a> ha> Ibra> hi> m juga berangkat dari kritik yang sama terhadap pendekatan tekstual-linguistik terhadap al-Qur`an. Menurutnya, jika ada sebuah disiplin keilmuan yang memengaruhi pola penalaran hampir seluruh ilmu-ilmu keislaman,

maka ia adalah ilmu us} 142 ul fiqh. Persoalannya, ilmu us} ul fiqh telah sejak awal terjerat dalam logika bahasa—logika yang dibangun berdasarkan pengutamaan

naql di atas ‘aql. 143 Standar “kebenaran” bagi suatu bahasa adalah konvensi, yaitu konvensi yang diwariskan dari generasi ke generasi dan diterima secara apa

adanya; bahasa yang “benar” adalah bahasa yang ditransmisikan dengan cara

140 Al-Ja> biri> , Wijhah al-Naz} ar, hlm. 60-61. Salah satu respons terhadap pandangan al- Ja> biri> ini datang dari al-Raysu> ni> . Menurutnya, apa yang dikemukakan al-Ja> biri> itu tidak benar

karena ayat al-Qur`an tidak mungkin bertentangan dengan maslahat. Untuk uraian yang lebih detail, lihat Ah} mad al-Raysu> ni> dan Muh} ammad Jama> l Ba> ru> t, Al-Ijtiha> d: al-Nas} s} , al-Wa> qi‘, al- Mas} lah} ah (Damaskus: Da> r al-Fikr, cet.2, 2002), hlm. 45-49. Al-Raysu> ni> sendiri menulis sebuah karya lain, yaitu Naz} ariyyah al-Maqa> s} id ‘Inda al-Ima> m al-Sya> t} ibi> . Agaknya, pandangan al- Raysu> ni> tentang ketidakmungkinan ayat al-Qur`an bertentangan dengan maslahat itu sebagian didasarkannya kepada konsep maqa> s} id al-syari> ‘ah al-Sya> t} ibi> .

141 Al-Ja> biri> , Wijhah al-Naz} ar, hlm. 61. 142 T} a> ha> Ibra> hi> m, Us} u> l Badi> lah, hlm. 7. 143 T} a> ha> Ibra> hi> m, Us} u> l Badi> lah, hlm. 13-24. Bahkan T{ a> ha> Ibra> hi> m menganggap bahwa

logika us} ul fiqh merupakan salah satu cabang dari logika bahasa Arab. Lihat Us} u> l Badi> lah, hlm. 68.

yang juga benar. Itu sebabnya mengapa sanad menjadi penting karena hanya dengannya validitas transmisi bahasa bisa dijamin. 144 Sebagai sebuah tradisi

yang dipengaruhi secara kental oleh logika bahasa, ilmu-ilmu tradisional Islam juga menganut asumsi-asumsi yang sama; bahwa yang ma`tsu> r lebih baik dibandingkan yang ma‘qu> l, bahwa ukuran “kebenaran” adalah “sanad” bukan “matan”, dan sebagainya.

Logika bahasa dalam pemahaman teks-teks agama, menurut T{ a> ha> Ibra> 145 hi> m, bisa menghasilkan penafsiran yang berbahaya. Sebagai upaya untuk

menghindari bahaya-bahaya yang timbul dari logika bahasa, T{ a> ha> Ibra> hi> m kemudian mengajukan alternatif yang dia sebut dengan “logika al-Qur`an” ( al-

mant}iq/al-fikr al-qur`a> ni> ). Prinsip terpenting dari logika al-Qur`an itu adalah bahwa ia tunduk kepada pemahaman dan logika manusia ( mant} iq al-fikr al- basyari> ). Pada titik inilah T{ a> ha> Ibra> hi> m mengutip konsep tentang status ke- ummi> -an bangsa Arab yang dirumuskan al-Sya> t} ibi> untuk menegaskan bahwa al-

Qur`an tidak mungkin melampaui bingkai dan batas-batas pemikiran manusia, bahwa ia pasti selaras dengan, dan harus dipahami berdasarkan, mant} iq al-fikr al-

basyari> 146 . Demikianlah gagasan al-Sya> t} ibi> dikutip untuk menggugat ortodoksi.

Tetapi gagasan yang sama juga dikutip oleh beberapa pemikir untuk kepentingan yang berlawanan, yakni mendukung ortodoksi, sebagaimana terlihat dari tulisan- tulisan Yu> suf al-Qard} a> wi> , al-Dzahabi> , dan S{ a> lih} Qa> dir Zanki> berikut ini.

Al-Qard} a> wi> menulis sebuah karya yang secara khusus diperuntukkannya bagi pembahasan mengenai relasi antara maqa> s} id al-syari> ‘ah dan teks-teks partikular. Menurutnya, dalam memahami teks-teks al-Qur`an serta hadits dan

144 T} a> ha> Ibra> hi> m, Us} u> l Badi> lah, hlm. 64. 145 T{ a> ha> Ibra> hi> m menunjukkan bahwa penafsiran al-Qur`an berdasarkan logika bahasa

akan menghasilkan kesimpulan yang sewenang-wenang, seperti bahwa sistem perbudakan serta perang melawan orang-orang kafir harus terus dilakukan sampai hari Kiamat, bahwa wanita tidak akan pernah memiliki posisi yang setara dengan laki-laki, bahwa kesenian, estetika, serta capaian-capaian peradaban modern sama sekali terlarang, dan lain sebagainya. Lihat Us} u> l Badi> lah, hlm. 113-167.

146 T} a> ha> Ibra> hi> m, Us} u> l Badi> lah, hlm. 177-185.

mengaitkan keduanya dengan maqa> s} id al-syari> ‘ah, terdapat tiga kelompok: kelompok literalis, kelompok yang mengabaikan teks, dan kelompok moderat. Dua kelompok pertama adalah mereka yang mengambil posisi ekstrem, sedangkan kelompok terakhir adalah mereka yang dianggap oleh al-Qard} a> wi>

sebagai “representasi dari Islam yang sejati”. 147 Orang-orang yang mengabaikan teks al-Qur`an dan hadits demi maslahat

rasional ( madzhab ta‘t} i> l al-nas} s} ) kerap menyandarkan pendapat mereka pada otoritas-otoritas masa lalu, seperti ‘Umar ibn al-Khat} t} a> b dan Najm al-Di> n al- T} u> fi> . Tetapi, menurut al-Qard} a> wi> , mereka melakukan otorisasi yang salah karena tidak ada sahabat maupun ulama Islam, termasuk ‘Umar dan al-T{ u> fi> , yang berani

148 membatalkan kandungan teks-teks syariat demi maslahat rasional. Lalu di

manakah posisi al-Sya> t} ibi> ? Al-Qard} a> wi> tidak menganggap al-Sya> t} ibi> sebagai sosok yang kontroversial apalagi revolusioner. Apa yang ditulis al-Sya> t} ibi> dalam al-Muwa> faqa> t berada pada satu garis pemahaman yang sama seperti apa yang telah digagas oleh ulama-ulama moderat lain seperti Ibn Taymiyah dan Ibn Qayyim al-Jawziyyah, yakni mereka yang meyakini bahwa syariat Islam bersifat

adil dan mengandung maslahat secara keseluruhan. 149 Dengan posisi semacam itu, al-Sya> t} ibi> sama sekali tidak mungkin dikutip untuk membenarkan ta‘t} i> l al-

nas} s} . Anggapan bahwa al-Sya> t} ibi> tidak melahirkan sesuatu yang revolusioner juga tersirat dalam tulisan S{ a> lih} Qa> dir Zanki> yang berjudul “Qawa> ‘id fi> Tafsi> r al- Nas} s} al-Syar‘i> ‘inda al-Ima> m al-Sya> t} ibi> ”. Dalam pengantar untuk tulisannya itu, Zanki> menyatakan bahwa al-nas} s} al-tasyri> ‘i> (yang dimaksudnya dalam konteks tulisan ini, tampaknya, adalah al-Qur`an) memiliki keistimewaan-keistimewaan tertentu yang membuatnya berbeda dari teks-teks “biasa” lainnya, seperti teks- teks sejarah, politik, atau sastra. Perbedaan paling penting adalah bahwa teks

147 Yu> suf al-Qard} a> wi> , Dira> sah fi> Fiqh Maqa> s} id al-Syari> ‘ah, hlm. 39-42. 148 Jika dipahami dengan cara yang benar, menurut al-Qard} a> wi> , pendapat-pendapat

‘Umar dan al-T} u> fi> sama sekali tidak bisa dijadikan argumen untuk mengesahkan pembatalan teks demi maslahat. Lihat Yu> suf al-Qard} a> wi> , Dira> sah fi> Fiqh Maqa> s}id al-Syari> ‘ah, hlm. 102-115.

149 Yu> suf al-Qard} a> wi> , Dira> sah fi> Fiqh Maqa> s} id al-Syari> ‘ah, hlm. 140.

pertama bersumber dari Allah swt. dan diperuntukkan bagi seluruh lapisan umat manusia tanpa terkecuali. Lantaran sumbernya yang bersifat ilahiah ini, maka al- Qur`an harus dipahami dan ditafsirkan melalui seperangkat metode serta kaidah yang dirumuskan oleh para ulama agar pemahaman terhadapnya tidak menyimpang dari apa yang dikehendaki Allah. Setiap tafsir yang bertentangan dengan salah satu dari kaidah-kaidah tersebut, tulis Zanki> , “adalah tafsir yang

menyimpang ( 150 ja> nih} ) dan tertolak ( mardu> d), tanpa peduli dari siapa ia berasal”.

Ketaatan terhadap kaidah-kaidah tafsir yang dirumuskan para ulama itu memungkinkan pemahaman yang sama terhadap al-Qur`an. Sebaliknya, penafsiran yang tidak memedulikan kaidah-kaidah tersebut cenderung akan

151 mewariskan perpecahan serta pertikaian di antara umat Islam sendiri. Pada

titik inilah Zanki> menyebut al-Sya> t} ibi> sebagai “salah seorang ulama bijaksana yang meletakkan dasar-dasar ilmiah bagi interpretasi teks-teks 152 tasyri> ‘….”

Maka sekalipun al-Sya> t} ibi> dianggap merumuskan hal-hal baru yang tidak pernah dirumuskan oleh ulama-ulama lain sebelumnya, namun dia tetap termasuk dalam barisan para ulama yang merumuskan kaidah-kaidah tafsir agar “penggunaan teks-teks tersebut bisa menghasilkan pemahaman yang benar terhadap maksud Sang Pemilik syariat serta menghindari pemahaman yang serampangan

( 153 taqawwul) terhadapnya….” Dalam karya al-Dzahabi> , al-Sya> t} ibi> bahkan dikutip untuk menegaskan

batas ortodoksi tafsir. Ketika memberikan penjelasan tentang penafsiran menyimpang yang dilakukan para sufi, al-Dzahabi> mengutip pendapat al-Sya> t} ibi> tentang makna z} a> hir dan makna ba> t} in al-Qur`an nyaris secara harfiah; bahwa makna z} a> hir adalah “setiap makna bahasa Arab yang pemahaman al-Qur`an tidak

150 S{ a> lih} Qadi> r Zanki> , “Qawa> ‘id fi> Tafsi> r al-Nas} s} al-Syar‘i> ‘inda al-Ima> m al-Sya> t} ibi> ”, hlm. 353.

151 S{ a> lih} Qadi> r Zanki> , “Qawa> ‘id fi> Tafsi> r al-Nas} s} al-Syar‘i> ‘inda al-Ima> m al-Sya> t} ibi> ”, hlm. 353. 152 S{ a> lih} Qadi> r Zanki> , “Qawa> ‘id fi> Tafsi> r al-Nas} s} al-Syar‘i> ‘inda al-Ima> m al-Sya> t} ibi> ”, hlm. 354. 153 S{ a> lih} Qadi> r Zanki> , “Qawa> ‘id fi> Tafsi> r al-Nas} s} al-Syar‘i> ‘inda al-Ima> m al-Sya> t} ibi> ”, hlm. 354.

bisa dibangun kecuali di atasnya”, bahwa makna ba> t} in adalah “maksud dan tujuan yang dikehendaki Allah di balik lafaz ayat”, bahwa diperlukan dua syarat untuk menerima makna ba> t} in, yaitu kesesuaian dengan makna z} a> hir dan kaidah- kaidah bahasa Arab serta keselarasan dengan dalil lain yang berupa nas} s} atau

z} 154 a> hir, dan seterusnya. Rumusan teoretis yang bersumber dari al-Sya> t} ibi> itulah yang kemudian digunakan oleh al-Dzahabi> sebagai dasar untuk menyatakan,

secara normatif, bahwa beberapa penafsiran yang berasal dari para sufi menyimpang dari kebenaran.

Selain dalam hal di atas, al-Dzahabi> juga mengutip pendapat al-Sya> t} ibi> untuk menolak tafsir saintifik ( al-tafsi> r al-‘ilmi> ) terhadap al-Qur`an. Al-Dzahabi>

mengakui bahwa banyak ulama, baik di masa klasik maupun di masa modern, yang “tergoda” untuk menganggap al-Qur`an mengandung penjelasan tentang capaian-capaian saintifik dalam berbagai bidang pengetahuan. Tetapi, tulis al- Dzahabi> , “kebenaran berada di pihak al-Sya> t} ibi> ”( inna al-h} aqq ma‘a al-Sya> t} ibi> ), karena argumen-argumennya lebih kuat dibandingkan dengan argumen-argumen

penentangnya. 155 Berdasarkan argumen-argumen al-Sya> t} ibi> itulah al-Dzahabi> kemudian menguraikan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam tafsir

saintifik terhadap al-Qur`an. Uraian di atas memperlihatkan bagaimana al-Sya> t} ibi> diapresiasi dengan cara-cara yang berlawanan. Dari uraian tersebut, dapat diinferensikan beberapa poin berikut. Pertama, dalam dua model apresiasi yang berlawanan itu, al-Sya> t} ibi> digunakan sebagai basis legitimasi. Dari sudut pandang ortodoksi, kecenderungan ini tidaklah mengejutkan karena ortodoksi tafsir memang dibangun di atas peninjauan serta pemberian otoritas kepada generasi-generasi terdahulu. Tetapi kecenderungan yang mirip juga terjadi pada mereka yang mencoba menggugat ortodoksi. Tampaknya, upaya menggugat ortodoksi itu dilakukan sebagian dengan cara mencari basis legitimasi dari dalam ortodoksi sendiri atau dari orang-orang yang dipersepsikan berada pada wilayah “abu-abu”—wilayah yang tidak

154 Al-Dzahabi> , Al-Ittija> ha> t al-Munh} arifah, hlm. 82-84. 155 Al-Dzahabi> , Al-Ittija> ha> t al-Munh} arifah, hlm. 93.

sepenuhnya ortodoks dan tidak pula sepenuhnya heterodoks. Al-Sya> t} ibi> juga digunakan dengan cara yang sama, dengan persepsi bahwa dia berada pada wilayah abu-abu itu—sesuatu yang menyiratkan sebuah kesadaran bahwa gagasan-gagasan al-Sya> t} ibi> memang bisa memberikan inspirasi bagi perubahan yang revolusioner tetapi tidak bisa dibawa terlalu jauh ke wilayah heterodoksi. Sebaliknya, penggunaan al-Sya> t} ibi> untuk mendukung ortodoksi dilakukan, juga sebagian, dengan cara mengidentikkannya dengan tradisi ortodoksi sendiri; bahwa gagasan- gagasannya bukanlah sesuatu yang revolusioner (karena telah ada beberapa ulama lain yang mengemukakan hal yang sama) atau bahwa al-Sya> t} ibi> merupakan bagian dari para ulama yang tidak aneh apalagi menyimpang. Dalam perspektif pertama,

al-Sya> t} ibi> adalah seorang revolusioner dan pendobrak kemapanan; sementara dalam perspektif kedua, al-Sya> t} ibi> hanyalah seorang ulama yang mengikuti dan mengembangkan, bukan merombak secara radikal, garis tradisi.

Kedua, dari tiga basis ortodoksi tafsir yang telah dipetakan pada bagian terdahulu, terlihat bahwa gagasan al-Sya> t} ibi> sering digunakan untuk menggugat basis yang pertama, yaitu tekstualisme dalam tafsir. Barangkali pada persoalan tekstualisme inilah perhatian utama para penggugat ortodoksi terletak. Itu juga berhubungan dengan status al-Sya> t} ibi> sebagai salah satu proponen paling penting dalam perumusan konsep maqa> s}id al-syari> ‘ah—sebuah konsep yang bisa dengan mudah dipersepsikan sebagai antitesis tekstualisme. Sebaliknya, penggunaan gagasan al-Sya> t} ibi> untuk mendukung ortodoksi tafsir juga dilakukan melalui persoalan tekstualisme (sebagaimana terlihat pada al-Qard} a> wi> dan al-Dzahabi> ), selain aspek pengakuan terhadap pengalaman komunitas-penafsir Sunni (sebagaimana terlihat pada S} a> lih} Qa> dir Zanki> ). Aspek teologis nyaris tidak tersentuh; barangkali karena teologi bukanlah concern utama dari gugatan terhadap ortodoksi tafsir atau karena nuansa teologis tidak terlalu kental dalam

karya-karya al-Sya> 156 t} ibi> .

156 Hamka Haq memang menyatakan bahwa al-Sya> t} ibi> lebih dekat kepada paham Muktazilah, Ma> turi> diyyah Samarkand, dan Qadariyyah dibandingkan dengan Asy‘ariyyah. Lihat

Hamka Haq, Al-Syâthibî: Aspek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat (Jakarta: Erlangga, 2007), hlm. 264-273. Tetapi, penelitian tersebut tidak mencoba menggugat

Ketiga, apakah al-Sya> t} ibi> seorang literalis? Jika literalisme didefinisikan sebagai sebuah sikap untuk berpegang hanya kepada lafaz-lafaz lahiriah teks dengan mengabaikan konteks atau maqa> s} id di balik teks tersebut, maka al- Sya> t} ibi> jelas bukan seorang literalis. Dalam karya-karyanya, al-Sya> t} ibi> juga berulangkali mengkritik dan mengecam kelompok Z{ a> hiriyyah, sebuah kelompok yang disebutnya sebagai “membatasi ruang lingkup maqa> s} id al-sya> ri‘ pada

z} 157 awa> hir dan nus} u> s} ”. Tetapi, pada saat yang sama, al-Sya> t} ibi> juga menolak sikap “liberal” terhadap teks, sebuah sikap yang “memberikan otoritas terlampau

besar kepada makna [teks]” ( tah} ki> m al-ma‘na> ) sehingga “lafaz-lafaz syariat menjadi tunduk kepada makna-makna rasional itu” ( h} atta> taku> n al-alfa> z} al-

158 syar‘iyyah ta> bi‘ah li al-ma‘a> ni> al-naz} ariyyah). Argumen-argumen ini membuat

pandangan al-Qard} a> wi> bahwa al-Sya> t} ibi> termasuk dalam kelompok ulama yang mengambil jalan tengah antara literalisme dan ta‘t} i> l al-nas} s} memperoleh pembenarannya.

Keempat, al-Sya> t} ibi> sendiri barangkali tidak terlalu berkepentingan dengan gugatan atau dukungan terhadap ortodoksi. Hallaq merujuk kepada kenyataan ini ketika dia menulis,

“[Fakta] bahwa para pembaharu [muslim], juga para sarjana modern, salah dalam memahami motif-motif dan, karenanya, substansi dari teori yang dirumuskan al-Sya> t} ibi> membantu kita memahami tidak saja konstruksi intelektual dari reformasi hukum modern, namun juga bagaimana sejarah didistorsi (secara tanpa disengaja, tentu saja) demi kepentingan masa

kini”. 159

Oleh karena itu, adalah hal yang penting untuk menempatkan al-Sya> t} ibi> beserta seluruh gagasannya di dalam konteks sosial, politik, dan intelektual yang melingkupinya. Hallaq, sekali lagi, memberikan analisa yang berharga tentang

identifikasi teologis tafsir Sunni (prinsip ketiga dari ortodoksi tafsir) melalui al-Sya> t} ibi> . Selain itu, al-Sya> t} ibi> sendiri sebetulnya mengemukakan beberapa kritik dan kecaman terhadap pandangan-pandangan Muktazilah. Lihat, misalnya, al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 23 dan 34, serta vol. 3, hlm. 94.

157 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol 2, hlm. 297. 158 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol 2, hlm. 297-298. 159 Hallaq,

A History of Islamic Legal Theories, hlm. viii.

motif al-Sya> t} ibi> dalam karya-karyanya. Hasrat terbesar al-Sya> t} ibi> bukanlah menciptakan sebuah perangkat teoretis yang memungkinkan ajaran-ajaran Islam diaplikasikan secara fleksibel dari masa ke masa. Yang ditujunya, menurut Hallaq, adalah sebuah titik moderasi antara dua sisi ektrem: penerapan ajaran Islam secara terlalu longgar oleh para fuqaha> ` di satu sisi dan penerapan ajaran yang sama secara terlalu ketat oleh kaum sufi di sisi lain—dua hal yang

menyeruak dalam kehidupan sosial keagamaan masyarakat Granada abad 8 H.. 160 Dalam kerangka “mencari jalan tengah” inilah seluruh prinsip tafsir yang

dikemukakan al-Sya> t} ibi> barangkali bisa diletakkan.

160 Hallaq,

A History of Islamic Legal Theories, hlm. 162-164.