Asumsi dan Pra-anggapan tentang al-Qur `an Dalam disertasi yang berjudul “The Hermeneutical Theory of Nas} r H{ a> mid

A. Asumsi dan Pra-anggapan tentang al-Qur `an Dalam disertasi yang berjudul “The Hermeneutical Theory of Nas} r H{ a> mid

Abu> Zayd: The Analytical Study of His Method of Interpreting the Qur’a> n”, Yusuf Rahman menyatakan, dengan mengutip Norman Calder, 1 bahwa metode

yang digunakan oleh seorang mufassir dapat dianggap lebih penting daripada produk penafsiran yang dia hasilkan, bahwa perbedaan interpretasi lahir terutama

akibat perbedaan metode yang digunakan oleh masing-masing 2 mufassir. Tetapi, disamping persoalan metode, Yusuf Rahman juga mensinyalir bahwa perbedaan

tafsir seringkali dipengaruhi secara lebih mendasar oleh perbedaan asumsi atau pra-anggapan ( presupposition) yang dianut oleh masing-masing mufassir

terhadap teks al-Qur`an sendiri. 3 Dengan kata lain, perbedaan interpretasi al- Qur`an dipengaruhi oleh perbedaan metode tafsir, dan perbedaan metode tafsir

dipengaruhi oleh perbedaan asumsi serta pra-anggapan tentang al-Qur`an. Karena itu, adalah hal yang penting untuk terlebih dahulu memetakan bagaimana dan sebagai apa al-Qur`an diposisikan oleh al-Sya> t} ibi> dalam struktur pemikirannya.

Al-Sya> t} ibi> memberikan perhatian yang tidak terlampau besar kepada perdebatan tentang apakah al-Qur`an makhlu> q atau bukan. Di dalam al- Muwa> faqa> t, hanya terdapat setidaknya satu bagian di mana al-Sya> t} ibi> menyebut

1 Calder menulis, “Kualitas-kualitas yang membedakan seorang penafsir dari penafsir yang lain tidak terutama terletak pada kesimpulan mereka tentang makna teks al-Qur`an,

melainkan pada bagaimana mereka mengembangkan dan menunjukkan teknik-teknik yang menandai keterlibatan serta penguasaan mereka terhadap sebuah disiplin literer.” Lihat Norman Calder, “Tafsi> r from T{ abari> to Ibn Kathi> r: Problems in the description of a genre, illustrated with reference to the story of Abraham”, dalam G.R. Hawting dan Abdul-Kader A. Shareef [ed.], Approaches to the Qur’a> n (London dan New York: Routledge, 1993), hlm. 106.

2 Yusuf Rahman, “The Hermeneutical Theory of Nas} r H{ a> mid Abu> Zayd: The Analytical Study of His Method of Interpreting the Qur’a> n” (Disertasi pada Institute of Islamic Studies,

McGill University, 2001), hlm. 105-106. 3 Yusuf Rahman, “The Hermeneutical Theory of Nas} r H{ a> mid Abu> Zayd”, hlm. 106.

secara singkat tentang 4 kala> mulla> h yang bersifat qadi> m, serta satu bagian lain di mana dia menyatakan bahwa “ kala> mulla> h pada dirinya sendiri adalah kala> m yang

bersifat tunggal dan tidak berbilang…sebagaimana telah dibahas dalam ilmu Kalam.” 5

Uraian yang lebih luas terdapat dalam al-I‘tis} a> m, di mana al-Sya> t} ibi> menganggap kelompok yang menyatakan al-Qur`an adalah makhlu> q sebagai para

pelaku 6 bid‘ah. Argumen mereka, menurut al-Sya> t} ibi> , bisa dikategorikan menjadi dua: ‘aqli> dan naqli> . Penjelasannya adalah sebagai berikut. Jika kala> m merupakan

sebuah sifat, dan mengatribusikan sebuah sifat kepada sesuatu berarti menyatakan bahwa sesuatu itu tersusun dari unsur-unsur tertentu, maka kala> m

tidak bisa diatribusikan kepada Allah yang tidak mungkin tersusun dari unsur apa pun. Apalagi, kala> m pasti mengandung suara dan huruf —dua hal yang Allah tidak mungkin memilikinya. Selain itu, terdapat pula ayat yang berbunyi, “Allah adalah Pencipta segala sesuatu” (al-Ra‘d [13]: 16). Karena al-Qur`an adalah

“sesuatu” ( 7 syay`), maka ia pun pasti diciptakan. Al-Sya> t} ibi> menyangkal pendapat lawan-lawannya itu dengan menuduh

bahwa argumen-argumen mereka didasarkan pada analogi yang menyamakan antara Allah dan makhluk-Nya, padahal Allah sendiri menyatakan bahwa “tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.” (al-Syu> ra> [42]: 11). Ayat ini, menurut al-Sya> t} ibi> , merupakan dalil yang secara tegas menyatakan bahwa Allah tidak bisa disamakan dengan sesuatu apa pun sehingga, karenanya, atribusi sebuah sifat

kepada Allah tidak mengharuskan-Nya menjadi terdiri dari unsur-unsur. 8

Bantahan-bantahan al-Sya> t} ibi> di atas terlihat tidak tuntas. Selain itu, ia juga hanya diletakkan dalam sebuah bagian kecil dari pembahasan mengenai sumber pengambilan dalil kelompok-kelompok bid‘ah ( ma`khadz ahl al-bida‘ bi

4 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 31. 5 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 314. 6 Al-Sya> t} ibi> , Al-I‘tis} a> m, hlm. 175. 7 Al-Sya> t} ibi> , Al-I‘tis} a> m, hlm. 174-175. 8 Al-Sya> t} ibi> , Al-I‘tis} a> m, hlm. 175.

al-istidla> 9 l). Tampaknya, meski meyakini bahwa al-Qur`an adalah kala> mulla> h yang bersifat qadi> m serta tidak diciptakan, al-Sya> t} ibi> tidak menganggap hal itu

sebagai sesuatu yang penting dan menarik untuk dibicarakan apalagi diperdebatkan. Anggapan ini barangkali lahir dari konsepsi yang dikemukakan oleh al-Sya> t} ibi> sendiri bahwa “setiap persoalan yang tidak didasarkan kepadanya suatu amal perbuatan ( la> yanbani> ‘alayhi ‘amal), maka elaborasi terhadapnya

adalah elaborasi yang tidak dijustifikasi oleh dalil syariat mana pun.” 10 Perhatian al-Sya> t} ibi> terhadap status al-Qur`an justru terlihat dalam tiga

hal: pertama, status al-Qur`an sebagai substansi ajaran Islam (kulliyyah al- syari> ‘ah); kedua, status al-Qur`an sebagai kitab berbahasa Arab; serta ketiga,

status al-Qur`an sebagai kitab yang diturunkan kepada seorang rasul yang ummi> dan di tengah bangsa Arab yang juga ummi> .

1. Al-Qur`an Sebagai Kulliyyah al-Syari> ‘ah Dalam sebuah bagian dari al-Muwa> faqa> t, al-Sya> t} ibi> menyatakan bahwa al-Qur`an adalah “prinsip general dari syariat ( kulliyyah al-syari> ‘ah), tiang pancang agama

( ‘umdah al-millah), sumber hikmah (yanbu> ‘ al-h} ikmah), tanda kerasulan ( a> yah al-risa> lah), cahaya yang menerangi penglihatan dan hati nurani (nu> r al-bas} ar wa al-bas} a> `ir)…tidak ada jalan menuju Allah di luarnya, tidak ada keselamatan melalui sesuatu selainnya, dan tidak bisa dijadikan tempat

berpegang apa pun yang bertentangan dengannya.” 11

Pernyataan al-Sya> t} ibi> di atas pada dasarnya bersifat tipikal, dalam arti bahwa ia dianut dan diyakini oleh mayoritas —untuk tidak menyatakan

9 Bagian ma`khadz al-istidla> l ini memakan sekitar 32 halaman dalam al-I‘tis} a> m. Sementara argumen-argumen pembela status kemakhlukan al-Qur`an hanya dibahas dalam dua

halaman. 10 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 1, hlm. 31. Salah satu argumen yang digunakan oleh al-Sya> t} ibi> adalah bahwa Umar enggan mencari makna kata “abb” dalam surah ‘Abasa [80]: 31 karena menganggap bahwa upaya tersebut merupakan sesuatu yang berlebihan ( takalluf). Keengganan itu, menurut al-Sya> t} ibi> , menunjukkan bahwa kita hanya diperintahkan mempelajari dan mendalami sesuatu yang memiliki nilai praktis, bukan sesuatu yang spekulatif. Lihat al-

Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 1, hlm. 31-41. Pandangan ini juga disebut al-Sya> t} ibi> sebagai berasal dari Ma> lik ibn Anas. Lihat al-Sya> t} ibi> , Al-I‘tis} a> m, hlm. 495.

11 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 257.

seluruh— umat Islam. Tetapi, di tangan al-Sya> t} ibi> , status al-Qur`an sebagai kulliyyah al-syari‘ah memperoleh artikulasi yang membuatnya menjadi sangat sentral. Argumen-argumen al-Sya> t} ibi> berikut ini, sebagaimana ditegaskan oleh Hallaq, mengarah pada kesimpulan bahwa al-Qur`an bersifat komplet dan self- sufficient sehingga, karenanya, tidak dimungkinkan adanya tambahan apa pun

yang bersifat substantif dari sumber-sumber lain di luarnya. 12 Al-Sya> t} ibi> menyatakan bahwa al-Qur`an mengandung prinsip-prinsip

dasar ajaran Islam, seluruhnya tanpa terkecuali. Memiliki pengetahuan tentang al-Qur`an sama seperti memiliki pengetahuan tentang syariat Islam secara

general. 13 Untuk membuktikan klaimnya ini, al-Sya> t} ibi> mengemukakan

argumen-argumen dalam tiga kategori. Pertama, argumen berdasarkan ayat-ayat al-Qur`an sendiri, seperti “…Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu….” (al-Ma> `idah [5]: 3), “…Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam al-kita> b…” (al-An‘a> m [6]: 38), serta “…Dan Kami turunkan al-kita> b kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu…” (al-Nah}l [16]: 89). Dalam pemaknaan al-Sya> t} ibi> , “penyempurnaan agama” dan “penjelasan tentang segala sesuatu” dalam ayat-ayat di atas bermakna cakupan al-Qur`an terhadap “seluruh

prinsip general dan makna dasar ajaran agama”. 14 Kedua, argumen berdasarkan hadits dan atsar, seperti sabda Rasulullah saw., “Sungguh, al-Qur`an ini adalah

tali Allah ( h}ablul-la> h), cahaya yang nyata (al-nu> r al-mubi> n), kesembuhan yang bermanfaat ( al-syifa> ` al-na> fi‘), perlindungan bagi siapa pun yang berpegang

12 Wael B. Hallaq, “The Primacy of the Qur’a> n in Sha> t} ibi> ’s Legal Theory”, dalam Wael B. Hallaq dan Donald P. Little [ed.], Islamic Studies Presented to Charles J. Adams (Leiden: E.J.

Brill, 1991), hlm. 77. 13 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 276.

14 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 276; dan vol. 4, hlm. 10. Prinsip bahwa al- Qur`an mengandung prinsip-prinsip ajaran Islam dikemukakan juga oleh banyak mufassir. Dalam

penafsirannya terhadap ayat “ma> farrat} na> fil-kita> bi min syay`” , al-Ra> zi> mendukung prinsip tersebut dengan argumen-argumen yang nyaris sama dengan argumen-argumen al-Sya> t} ibi> . Lihat Fakhr al-Di> n al-Ra> zi> , Mafa> ti> h} al-Gayb (Beirut: Da> r al-Fikr, cet. 3, 1985), vol. 12, hlm. 225-228. Sedangkan Ibn ‘A< syu> r lebih menyetujui pendapat yang menyatakan bahwa makna “al-kita> b” pada ayat di atas adalah ketentuan Allah di zaman azali, bukan al-Qur`an. Dia juga menyatakan bahwa pilihannya itu berseberangan dengan pilihan al-Ra> zi> dan al-Sya> t} ibi> . Lihat Muh} ammad al- T{ a> hir ibn ‘A< syu> r, Al-Tah}ri> r wa al-Tanwi> r (Tunis: al-Da> r al-Tu> nisiyyah li al-Nasyr, 1984), vol. 7, hlm. 217.

kepadanya….”, 15 atau penegasan ‘A< isyah yang menyatakan bahwa akhlak Rasulullah saw. adalah al-Qur`an. 16 Ketiga, argumen berdasarkan pengamatan

atas kenyataan yang menunjukkan bahwa persoalan apa pun bisa ditemukan prinsip-prinsip dasarnya dalam al-Qur`an. Bahkan, tulis al-Sya> t} ibi> , para pemuka kelompok Z{ a> hiriyyah yang menyatakan menolak segala bentuk qiya> s pun tidak pernah kehabisan dalil dari al-Qur`an untuk menyelesaikan setiap persoalan yang

mereka hadapi. 17 Dengan menyatakan bahwa al-Qur`an mengandung seluruh prinsip dasar

ajaran Islam tanpa terkecuali, al-Sya> t} ibi> membuat posisi Sunnah menjadi sekunder. Dia berargumen bahwa karena al-Qur`an bersifat qat} ‘i> sementara

Sunnah bersifat z}anni> , maka yang pertama lebih tinggi statusnya daripada yang kedua. 18 Selain itu, Sunnah merupakan penjelasan ( baya> n) bagi al-Qur`an.

Sesuatu yang merupakan penjelasan tentu bersifat sekunder karena jika apa yang dijelaskan ( mubayyan) gugur, maka penjelasannya (baya> n) pun pasti gugur, dan tidak sebaliknya. Dan jika dinyatakan bahwa Sunnah menambahkan sesuatu kepada al-Qur`an, maka hal itu, di mata al-Sya> t} ibi> , justru menegaskan fungsi sekunder Sunnah terhadap al-Qur`an. Apalagi banyak hadits dan riwayat yang

15 Hadits ini diriwayatkan oleh al-Da> rimi> dalam Sunan-nya, bab Fadha> `il al-Qur`a> n, nomer 3181, melalui jalur periwayatan ‘Abdulla> h ibn Mas‘u> d.

16 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 276; dan vol. 4, hlm. 9. 17 Al-Sya> t} ibi> mengutip pernyataan Da> wu> d al-Z{ a> hiri> (w. 270 H.) bahwa setiap persoalan

fiqh dapat ditemukan prinsip dasarnya dalam al-Qur`an kecuali persoalan qira> d{ . Sebagai bantahan terhadap pernyataan Da> wu> d al-Z{ a> hiri itu, al-Sya> t} ibi> menegaskan bahwa qira> d{ termasuk bagian dari ija> rah yang bisa ditemukan prinsip dasarnya dalam al-Qur`an. Lihat al-Sya> t} ibi> , Al- Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 277.

18 Klaim tentang status al-Qur`an sebagai sesuatu yang qat}‘i> dan hadits sebagai sesuatu yang z} anni> seringkali dianggap tidak berlaku secara keseluruhan karena hadits-hadits mutawa> tir

juga bersifat qat} ‘i> . Tetapi al-Sya> t} ibi> mempersoalkan pandangan tersebut melalui argumen bahwa hadits yang diriwayatkan secara mutawa> tir sejak awal hingga akhir sanad sangat jarang atau bahkan tidak ada. Dengan kuantitas yang sangat kecil—jika hadits mutawa> tir dianggap ada, al- Sya> t} ibi> menganggapnya sama sekali tidak memiliki pengaruh signifikan. Lihat al-Sya> t} ibi> , Al- Muwa> faqa> t, vol. 4, hlm. 9.

menunjukkan bahwa Sunnah digunakan hanya ketika al-Qur`an tidak memberikan penjelasan tentang suatu persoalan. 19

Secara agak mengherankan, al-Sya> t} ibi> > mengulas persoalan ini dalam porsi yang panjang lebar. Sekian banyak argumen diajukannya untuk mempertahankan klaim tentang posisi primer al-Qur`an dan posisi sekunder Sunnah. Bagi Hallaq, itu menunjukkan bahwa al-Sya> t} ibi> menyadari sepenuhnya betapa klaim tersebut berbeda secara total dari pendapat mayoritas ulama. Dengan kesadaran semacam itu, al-Sya> t} ibi> merasa perlu untuk meruntuhkan argumen-argumen para

penentangnya “satu persatu, dan secara terperinci”. 20 Kita akan melihat beberapa argumen al-Sya> t} ibi> yang tertuang dalam dialog imajiner dengan para

penentangnya untuk menilai seberapa sentral klaim tentang status primer al- Qur`an itu dalam struktur pemikirannya.

Pertama, menurut para ulama, ketika al-Qur`an menetapkan sesuatu tanpa memberikan penjelasan yang rinci, maka perinciannya harus dicari dalam Sunnah. Ketika al-Qur`an memerintahkan untuk memotong tangan pencuri, misalnya, maka Sunnah memberikan penjelasan tentang bagian tangan mana yang harus dipotong dan harta sejumlah apa yang membuat pemotongan tangan absah untuk dilakukan. Contoh ini, beserta banyak contoh yang lain, memperlihatkan bahwa, dalam kondisi-kondisi tertentu, makna lahiriah al- Qur`an harus ditinggalkan dan Sunnah harus didahulukan. Dengan kata lain, “Sunnah memberikan putusan tentang ( qa> d} iyah ‘ala> ) [kandungan] al-Qur`an,

19 Seperti tercantum dalam hadits terkenal yang mengisahkan dialog antara Rasulullah saw. dan Mu‘a> dz ibn Jabal ketika beliau hendak mengutus sang sahabat menuju Yaman. Mu‘a> dz

menyatakan bahwa dirinya akan menetapkan putusan hukum berdasarkan al-Qur`an. Jika dasar hukum itu tidak ditemukan dalam al-Qur`an, maka dia akan menetapkannya berdasarkan Sunnah. Dan jika Sunnah pun tidak memuatnya, maka dia akan menetapkan putusan hukum berdasarkan ijtihad rasionalnya sendiri. Lihat al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 4, hlm. 6. Hadits itu sendiri diriwayatkan oleh al-Tirmidzi> dalam Sunan-nya, Kita> b al-Ah}ka> m min Rasu> lilla> h, nomer 1249; Abu> Da> wu> d dalam Sunan-nya, Kita> b al-Aqd} iyah, nomer 3119; Ahmad dalam Musnad-nya, Musnad al-Ans} a> r, nomer 21000, 21049, dan 21084; serta al-Da> rimi> dalam Sunan-nya, Kita> b al- Muqaddimah, nomer 168; seluruhnya melalui jalur periwayatan “rija> l min as} h} a> b Mu‘a> dz”.

20 Hallaq, “The Primacy of the Qur`a> n”, hlm. 78.

sementara al-Qur`an tidak bisa memberikan putusan tentang ( gayr qa> d} iyah ‘ala> ) [kandungan] Sunnah.” 21

Al-Sya> t} ibi> menjawab keberatan ini dengan menyatakan bahwa, dalam kasus-kasus tersebut, Sunnah sebetulnya hanya menjelaskan apa yang dimaksud dan dimaui oleh al-Qur`an, bukan menetapkan hukum baru yang tidak terkandung di dalamnya. Al-Sya> t} ibi> menganalogikan Sunnah dengan aktivitas seorang mufassir. Ketika seorang mufassir menjelaskan makna sebuah ayat lalu kita mengamalkannya, maka yang kita lakukan sebetulnya adalah pengamalan terhadap ayat tersebut, bukan pengamalan terhadap pendapat pribadi sang mufassir. Karena Sunnah merupakan sejenis tafsir, maka tidak benar jika ia

22 menempati posisi yang lebih primer dibandingkan al-Qur`an.

Kedua, para ulama juga berbeda pendapat tentang mana yang harus didahulukan, al-Qur`an atau Sunnah, jika terjadi pertentangan antara keduanya. Itu menunjukkan bahwa status primer al-Qur`an masih problematis. Pandangan ini ditolak oleh al-Sya> t} ibi> dengan menegaskan bahwa karena hadits merupakan tafsir atas al-Qur`an, maka sebuah hadits hanya dapat diterima jika ia merupakan bagian partikular ( juz`i> ) dari sebuah prinsip general ( kulli> ) yang dirumuskan dari al-Qur`an. Dengan demikian, pertentangan antara al-Qur`an dan Sunnah tidak mungkin terjadi karena tidak ada Sunnah yang tidak memiliki dasarnya pada al- Qur`an. Yang mungkin terjadi sebetulnya adalah pertentangan antara dua prinsip general yang sama-sama bersumber dari al-Qur`an. Al-Qur`an tetap lebih primer karena jika pertentangan terjadi antara ayat al-Qur`an dengan Sunnah yang tidak

memiliki dasarnya dalam al-Qur`an, maka al-Qur`an mutlak harus didahulukan. 23

Ketiga, banyak hadits serta atsar yang menegaskan bahwa al-Qur`an sama sekali tidak bisa berdiri sendiri dan harus ditafsirkan berdasarkan Sunnah. Rasulullah saw. pernah bersabda, “Sungguh, ada dua hal yang paling kutakutkan

21 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 4, hlm. 7. 22 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 4, hlm. 8. 23 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 4, hlm. 7-8. Pandangan senada juga bisa dilihat dalam

al-I‘tis} a> m, hlm. 164.

terhadap umatku: al-Qur`an dan susu. Aku khawatir al-Qur`an akan dipelajari oleh orang-orang munafik untuk mendebat orang-orang mukmin….” 24 Dalam

hadits lain, disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Aku khawatir salah seorang dari kalian berbaring di atas

pembaringannya, lalu ketika dia mendengar sebuah hadits yang berasal dariku, dia berkata, ‘Di antara kami dan kalian terdapat kita> bulla> h; kami menghalalkan [hanya] apa yang dihalalkannya dan mengharamkan [hanya] apa yang diharamkannya’. Sungguh, apa yang diharamkan Rasulullah

sama seperti apa yang diharamkan Allah.” 25

‘Umar ibn al-Khat} t} a> b juga pernah berkata, “Akan datang sekelompok orang yang mendebat kalian dengan hal-hal yang meragukan ( syubuha> t) dari al-

Qur`an. Lawanlah mereka dengan hadits-hadits karena, sungguh, para ahli Sunnah ( as} h} a> b al-sunan) adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan paling

mendalam tentang kita> bulla> h.” Selain itu, pernyataan ‘Umar tentang “orang yang menakwilkan al-Qur`an dengan takwil yang tidak benar” ( rajul yata`awwal al- Qur`an bi gayr ta`wi> lihi> ), menurut para ulama, menunjuk kepada orang yang menafsirkan al-Qur`an dengan pendapatnya pribadi tanpa merujuk kepada

Sunnah. 26 Berhadapan dengan pernyataan-pernyataan di atas, Al-Sya> t} ibi> mengakui

bahwa tafsir al-Qur`an yang dilakukan tanpa merujuk kepada Sunnah bisa sangat menyesatkan karena Sunnah menjelaskan banyak hal dalam al-Qur`an yang tidak bisa dipahami dengan sekedar berpedoman kepada pengetahuan bahasa Arab. Tetapi orang yang melakukan hal itu salah karena dia mengabaikan Sunnah dan mengikuti pendapatnya sendiri, bukan karena mengikuti al-Qur`an. Argumen ini,

24 Hadits ini diriwayatkan oleh Ah{ mad dalam Musnad-nya, bab Musnad al-Sya> miyyi> n, nomer 16780, melalui jalur periwayatan ‘Uqbah ibn ‘A< mir.

25 Hadits ini diriwayatkan dengan berbagai redaksi oleh al-Tirmidzi> dalam Sunan-nya, Kita> b al-‘Ilm min Rasu> lilla> h, nomer 2578 dan 2588, masing-masing melalui jalur periwayatan

Abu> Ra> fi‘ dan al-Miqda> m ibn Ma‘di> Karib; Abu Dawud dalam Sunan-nya, Kita> b al-Sunnah, nomer 3988 dan 3989, juga melalui jalur periwayatan al-Miqda> m ibn Ma‘di> Karib dan Abu> Ra> fi‘; serta Ibn Ma> jah dalam Sunan-nya, Kita> b al-Muqaddimah, nomer 12, 13, dan 21, masing-masing melalui jalur periwayatan al-Miqda> m ibn Ma‘di> Karib, Abu> Ra> fi‘, dan Abu> Hurayrah.

26 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 4, hlm. 13.

menurut al-Sya> t} ibi> , tidak bisa meruntuhkan pendapatnya tentang status al- Qur`an yang lebih primer dibandingkan Sunnah. 27

Tidak cukup dengan argumen-argumen di atas, al-Sya> t} ibi> juga menganalisis beberapa hadits yang dianggap menambahkan hal-hal baru yang

tidak tercantum dalam al-Qur`an. 28 Argumennya tegas dan konsisten: bahwa Sunnah adalah penjelasan dan tafsir atas al-Qur`an bahkan dalam persoalan-

persoalan yang tidak memiliki kaitan langsung dengan hukum 29 takli> fi> . Dalam pernyataan al-Sya> t} ibi> sendiri,

“…Setiap masalah yang ingin diketahui secara sempurna ( ‘ala> akmal al- wuju> h) harus dirujukkan kepada prinsip dasarnya dalam al-Qur`an. Jika al- Qur`an mencantumkan hakikatnya, atau menyebutkan bentuk maupun jenisnya, maka itulah [yang harus dijadikan pegangan]…Sedangkan jika yang dikehendaki dari suatu persoalan hanyalah bentuk praktisnya, maka rujukan kepada Sunnah yang tidak mutawa> tir (al-sunnah al-manqu> lah bi al-a> h} a> d) sudah cukup memadai…Rujukan kepada prinsip dasar yang tertuang dalam al-Qur`an itu [dilakukan] karena kita membutuhkannya untuk membuat Sunnah menjadi dasar yang bisa dijadikan sandaran, atau

untuk membuatnya menjadi 30 di> n yang dengannya Allah disembah….”

Apa yang ingin dicapai oleh al-Sya> t} ibi> dengan menegaskan klaimnya itu? Hallaq menyebut dua hal: pertama, pendasaran ajaran-ajaran Islam di atas fondasi tekstual yang paling solid; dan kedua, perumusan hukum Islam yang bersifat lebih humanis, yang menempatkan kemaslahatan manusia pada posisi yang

penting. 31 Tetapi kita akan lihat di bawah ini bahwa klaim tentang status primer al-Qur`an tersebut berimplikasi kepada prinsip-prinsip lain yang penting untuk

diperhatikan dalam kegiatan interpretasi al-Qur`an.

27 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 4, hlm. 15. 28 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 4, hlm. 18-40. 29 Al-Sya> t} ibi> mengakui bahwa ada bagian dari Sunnah yang tidak berfungsi sebagai

tafsir atas al-Qur`an dan tidak pula memiliki konsekuensi takli> f (perintah, larangan, atau izin), baik dalam persoalan akidah maupun amal perbuatan. Pada prinsipnya, Sunnah semacam ini tidak harus memiliki dasar dalam al-Qur`an. Tetapi jika dianalisis lebih jauh, tegas al-Sya> t} ibi> , Sunnah dalam kategori tersebut tetap berfungsi sebagai penyempurna ( mukammila> t) terhadap ajaran- ajaran al-Qur`an. Lihat al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 4, hlm. 42-43.

30 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 4, hlm. 280. 31 Hallaq, “The Primacy of the Qur`a> n”, hlm. 88-89.

Sebagaimana terungkap dalam uraian di atas, al-Qur`an dalam pandangan al-Sya> t} ibi> adalah sumber primer ajaran Islam. Dengan kata lain, tidak ada satu pun doktrin dalam Islam yang tidak memiliki rujukan kepada al-Qur`an. Maka, sebagai sumber yang kepadanya setiap ajaran Islam dirujukkan, al-Qur`an pasti terjaga dari penyimpangan dan perubahan. Argumen-argumen al-Sya> t} ibi>

didasarkan kepada ayat-ayat al-Qur`an sendiri serta pembuktian empiris. 32 Meski pandangan ini bersifat, sekali lagi, tipikal dan dianut oleh kebanyakan ulama,

namun di tangan al-Sya> t} ibi> , ia diaksentuasikan secara jauh lebih radikal terutama melalui perumusannya tentang al-Qur`an sebagai kulliyyah al-syari> ‘ah— bagaimana mungkin al-Qur`an menjadi prinsip general ajaran Islam yang bersifat

33 qat} ‘i> jika ia masih mengandung kemungkinan untuk berubah?

Al-Sya> t} ibi> juga menegaskan bahwa al-Qur`an tidak mungkin mengandung kontradiksi. 34 Seluruh ajaran Islam merujuk kepada “qawl wa> h} id” yang tidak

mungkin saling bertentangan satu sama lain. Allah berfirman, “…Sekiranya [al- Qur`an] itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya.” (al-Nisa> ` [4]: 82). Dalam ayat lain, disebutkan “…dan diturunkan-Nya, bersama mereka, kitab yang mengandung kebenaran untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan….” (al-Baqarah [2]: 213). Dalam pemaknaan al-Sya> t} ibi> , al-Qur`an tidak mungkin menjadi “pemberi keputusan di antara manusia” kecuali jika ia

32 Al-Sya> t} ibi> mengutip beberapa ayat sebagai bukti bahwa al-Qur`an terjaga dari penyimpangan dan perubahan, seperti “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur`an (al-

dzikr) , dan pasti Kami [pula] yang memeliharanya” (al-H{ijr [15]: 9) dan “…kitab yang ayat- ayatnya disusun dengan rapi (uh}kimat a> ya> tuhu> ). ” (Hu> d [11]: 1). Al-Sya> t} ibi> juga mengutip pendapat Abu> Ish} a> q Isma> ‘i> l ibn Ish} a> q untuk menjelaskan perbedaan antara al-Qur`an dan kitab suci-kitab suci sebelumnya. Menurut Ibn Ish} a> q, Taurat mengalami perubahan dan penyimpangan karena Allah menyerahkan tugas penjagaannya kepada pemeluk agama Yahudi sebagaimana tersirat dari ayat “bima> -stuh} fiz}u> min kita> bil-la> h”, sementara al-Qur`an selamanya terjaga dari perubahan karena Allah sendirilah yang berjanji akan menjaganya sebagaimana Dia berfirman, “wa inna> lahu> lah}a> fiz}u> n”. Sedangkan yang dimaksud dengan pembuktian empiris adalah al-i‘tiba> r al-wuju> di> , bahwa sejak zaman Rasulullah saw. hingga di masa al-Sya> t} ibi> , al-Qur`an tidak pernah berubah. Dan itu akan berlangsung hingga akhir zaman. Lihat al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 44-46.

33 Al-Qur`an, menurut al-Sya> t} ibi> , adalah “a‘la> mara> ji‘ al-maqt} u> ‘ bihi> ”. Lihat al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 280.

34 Al-Sya> t} ibi> , Al-I‘tis} a> m, hlm. 479.

konsisten dan tidak mengandung kontradiksi. 35 Kontradiksi antar ayat hanya mungkin terjadi dalam pikiran sang penafsir, bukan pada diri al-Qur`an sendiri. 36

Di sisi lain, klaim tentang al-Qur`an sebagai prinsip general ajaran Islam di atas tampaknya mendorong al-Sya> t} ibi> untuk mengkonsepsikan al-Qur`an sebagai sebuah teks yang terjangkau oleh pemahaman manusia karena jika tidak, tulis al-Sya> t} ibi> , “maka khit} a> b al-Qur`an kepada mereka sama dengan pemberian beban yang tidak mungkin diemban ( takli> f ma> la> yut} a> q), dan ini sama sekali tidak

mungkin terjadi pada umat [Islam].” 37 Al-Qur`an sendiri menegaskan, “Dan sungguh, telah Kami mudahkan al-Qur`an untuk menjadi peringatan, maka

adakah orang yang mau mengambil pelajaran?” (al-Qamar [54]: 17), “Maka

sungguh, telah Kami mudahkan [al-Qur`an] itu dengan bahasamu (Muhammad), agar dengan itu engkau dapat memberi kabar gembira kepada orang-orang yang

bertakwa, dan agar engkau dapat memberi peringatan kepada kaum yang membangkang.” (Maryam [19]: 97), serta “Kitab (al-Qur`an) yang Kami

turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.” (S{ a> d [38]: 29). Tentu saja, “penghayatan” dan “pengambilan pelajaran”, menurut al-Sya> t} ibi> , hanya mungkin

dilakukan apabila al-Qur`an memang terbuka untuk dipahami. 38

35 Argumen-argumen ini tertuang dalam al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 4, hlm. 85-89 dan Al-I‘tis} a> m, hlm. 479-481. 36 Untuk mendukung pernyataannya ini, al-Sya> t} ibi> mencantumkan beberapa contoh tentang ayat-ayat yang dikira saling bertentangan, padahal tidak. Di antaranya adalah

pertanyaan-pertanyaan Na> fi‘ ibn al-Azraq kepada Ibn ‘Abba> s, Jawaban Ibn ‘Abba> s terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut membuktikan bahwa al-Qur`an sama sekali tidak mengandung pertentangan antar unsur-unsurnya. Lihat al-Sya> t} ibi> , Al-I‘tis} a> m, vol. 2, hlm. 480-484. Dialog antara Ibn al-Azraq dan Ibn ‘Abbas juga tercantum dalam Sa> h} ih} al-Bukha> ri> , pada bagian pengantar untuk Kita> b Tafsi> r al-Qur`a> n. Uraian yang lebih terperinci dapat dilihat dalam ‘A< isyah ‘Abd al-Rah} ma> n, Al-I‘ja> z al-Baya> ni> li al-Qur`a> n wa Masa`il ibn al-Azraq: Dira> sah Qur`aniyyah Lugawiyyah wa Baya> niyyah (Kairo: Da> r al-Ma‘a> rif, cet. 2, tt.), hlm. 289-600.

37 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 258. 38 Al-Sya> t} ibi> juga menghubungkan prinsip ini dengan i‘ja> z. “Adalah hal yang

menakjubkan,” tulisnya, “bahwa [ada] ujaran yang sejenis dengan ujaran manusia, baik dalam segi bahasa, makna, maupun stilistikanya, juga bisa dipahami dan dimengerti, lalu ternyata manusia tidak bisa mendatangkan sebuah surah yang serupa dengannya meski mereka berkumpul dan saling bantu membantu satu sama lain.” Lihat al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 258. Bandingkan pernyataan ini dengan pernyataan al-Biqa> ‘i> ketika dia menafsirkan ayat 17 dari surah al-Qamar [54]. Berdasarkan ayat tersebut, al-Biqa> ‘i> menyatakan bahwa al-Qur`an benar-benar

Fungsi al-Qur`an sebagai teks yang terbuka bagi pemahaman manusia tidak saja menjadi konsepsi tentang watak dasar al-Qur`an—ia juga menjadi batasan bagi tafsir. Menurut al-Sya> t} ibi> , tujuan ilmu tafsir adalah untuk memahami apa yang dikehendaki ( mura> d) oleh ayat-ayat al-Qur`an, dan tidak lebih dari itu. Ketika maksud sebuah ayat telah dipahami, maka adalah hal yang

berlebihan ( 39 takalluf) untuk melacak makna lain yang lebih jauh. Dalam hal ini, al-Sya> t} ibi> membedakan antara makna parsial ( al-ma‘na> al-ifra> di> ) dan makna

sintaksis ( al-ma‘na> al-tarki> bi> ). Pemahaman yang harus dicari dalam menafsirkan al-Qur`an adalah pemahaman terhadap makna sintaksis, bukan terhadap makna parsial. Karena itu, ‘Umar enggan mencari makna kata “abb” dalam surah

‘Abasa [80]: 31 lantaran pemahaman terhadap makna kata tersebut (makna parsial) tidak bersifat menentukan bagi pemahaman atas makna keseluruhan ayat (makna sintaksis). Sementara, pada kesempatan lain, ‘Umar menanyakan makna kata “takhawwuf” (al-Nah}l [16]: 47) karena maksud ayat tersebut (makna sintaksisnya) tidak bisa dipahami tanpa mengetahui makna kata “takhawwuf”

itu. 40 Akan tetapi, sebagaimana akan terlihat pada bagian di bawah ini, fungsi

al-Qur`an sebagai teks yang terbuka bagi pemahaman manusia, selain berhubungan dengan status al-Qur`an sebagai kulliyyah al-syari> ‘ah, juga terkait sangat erat dengan status al-Qur`an sebagai sebuah teks berbahasa Arab— sesuatu yang ditekankan berulangkali oleh al-Sya> t} ibi> dalam karya-karyanya.

mu‘jiz karena ia mampu mencapai tingkat keindahan bahasa dan penyampaian makna yang sangat tinggi sembari, pada saat yang sama, tetap bisa dipahami oleh orang yang cerdas maupun yang bodoh ( yasytarik fi> as} l fahmihi> al-dzakiyy wa al-gabiyy). Lihat al-Biqa> ‘i> , Naz} m al-Durar fi> Tana> sub al-A< ya> t wa al-Suwar (Beirut: Da> r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), vol. 7, hlm. 352.

39 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 1, hlm. 36. 40 Ketidaktahuan ‘Umar terhadap makna kata “abb” dianggap tidak mengganggu

pemahaman karena konteks ayat tersebut adalah perincian jenis-jenis makanan (buah-buahan) yang dianugerahkan Allah kepada manusia. Abb adalah salah satu jenis makanan tersebut. Sementara al-Sya> t} ibi> memandang bahwa makna kata “takhawwuf” sangat menentukan pemahaman yang tepat terhadap ayat di mana kata itu tercantum. Lihat al-Sya> t} ibi> , Al- Muwa> faqa> t, vol. 1, hlm. 36-37. Bandingkan dengan S{ a> lih} Qadi> r Zanki> , “Qawa> ‘id fi> Tafsi> r al-Nas} s} al-Syar‘i> ‘inda al-Ima> m al-Sya> t} ibi> ”, hlm. 358-359.

2. Al-Qur`an sebagai Kitab Berbahasa Arab Al-Sya> t} ibi> menekankan pentingnya status al-Qur`an sebagai sebuah

kitab berbahasa Arab. Pada bagian terdahulu, telah diuraikan bahwa al-Sya> t} ibi> memandang al-Qur`an sebagai teks yang bisa dipahami. Tetapi pemahaman itu berlangsung hanya melalui kemampuan dan keterampilan ( durbah) berbahasa

Arab 41 —tidak ada kemungkinan untuk mendekatinya melalui bahasa non- Arab. 42 Al-Qur`an bersifat ‘arabi> dalam bahasa, makna, maupun gaya bahasanya.

Jika hal ini disadari, maka proses tafsir, istinba> t} dan istidla> l terhadapnya harus dilakukan berdasarkan mekanisme-mekanisme yang lazim berlaku dalam bahasa Arab. “Banyak orang,” tulis al-Sya> t} ibi> , “yang mengambil dalil-dalil al-Qur`an

berdasarkan kecenderungan pikirannya, bukan berdasarkan mekanisme konvensional ( t} ari> q al-wad} ‘) bahasa Arab. Hal inilah yang menyebabkan

kerusakan besar dan penyimpangan dari maksud Sang Penetap syariat.” 43

Argumen-argumen yang digunakan oleh al-Sya> t} ibi> bersumber dari al- Qur`an sendiri. Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Qur`an berbahasa Arab agar kamu mengerti.” (Yu> suf [12]: 2), “...dengan bahasa Arab yang jelas.” (al-Syu‘ara> ` [26]: 195), “Bahasa orang yang mereka tuduhkan [bahwa Muhammad belajar] kepadanya adalah bahasa ‘ajam, padahal ini (al-

Qur`an) adalah dalam bahasa Arab yang jelas.” (al-Nah}l [16]: 103). 44

41 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 257-258. 42 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 49. Al-Sya> t} ibi> juga beberapa kali menyatakan

bahwa pendapatnya itu paralel dengan pendapat al-Sya> fi‘i> dalam persoalan yang sama. Lihat, misalnya, al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 51 dan Al-I‘tis} a> m, hlm. 472.

43 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 1, hlm. 30. Al-Sya> t} ibi> bahkan menyatakan bahwa salah satu dari dua penyebab terbesar lahirnya bid‘ah adalah ketidaktahuan tentang maksud-

maksud dan kaidah-kaidah bahasa Arab. Lihat al-Sya> t} ibi> , Al-I‘tis} a> m, hlm. 160. 44 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 49-50. Mufassir seperti Ibn Katsi> r

menafsirkan ayat-ayat di atas untuk menegaskan keutamaan bahasa Arab di atas bahasa-bahasa yang lain, bahwa bahasa Arab adalah bahasa yang “paling fasih ( afs} ah} ), paling jelas ( abyan), paling luas ( awsa‘), serta memiliki kemampuan paling besar dalam mengungkapkan makna ( akstaruha> ta`diyatan li al-ma‘na> )”. Lihat Ibn Katsi> r, Tafsi> r al-Qur`a> n al-‘Az} i> m (ttp.: Da> r Mis} r li al-T{ iba> ‘ah, tt.), vol. 2, hlm 48. Dalam penafsirannya terhadap surah al-Syu‘ara> ` [26]: 195, Ibn Katsi> r bahkan mengutip pernyataan Sufya> n al-Tsawri> bahwa seluruh wahyu kepada para nabi diturunkan dengan bahasa Arab—mereka masing-masinglah yang kemudian menerjemahkan wahyu tersebut ke dalam bahasa kaumnya. Lihat Ibn Katsi> r, Tafsi> r al-Qur`a> n al-‘Az} i> m, vol. 3, hlm 359. Meski menganggap penting status al-Qur`an sebagai sebuah kitab berbahasa Arab, al-

Karena al-Qur`an tidak mungkin dipahami tanpa pengetahuan tentang bahasa Arab, maka seseorang, tulis al-Sya> t} ibi> , tidak boleh mengemukakan tafsirnya ( an la> yatakallam fi> syay` min al-syari> ‘ah) kecuali jika dia memiliki pengetahuan tentang bahasa Arab seperti orang-orang Arab sendiri atau seperti

para pakar bahasa Arab terdahulu ( 45 al-a`immah al-mutaqaddimu> n). Jika tidak, maka “cukuplah baginya untuk memahami makna-makna al-Qur`an melalui

orang lain ( taqli> d)”. Karena itu, jika seseorang menemukan sesuatu yang tidak dipahaminya dalam al-Qur`an (juga Sunnah), maka dia tidak boleh melakukan tafsir hingga dia menanyakan hal itu kepada orang lain yang memahaminya

sebagaimana dicontohkan sendiri oleh Ibn ‘Abba> 46 s dan ‘Umar.

Al-Sya> t} ibi> menyatakan bahwa perdebatan apakah al-Qur`an mengandung kata-kata non-Arab atau tidak bukanlah persoalan prinsipil. 47 Kalaupun ada kata-

Sya> t} ibi> tidak mengarahkan prinsip tersebut kepada kesimpulan seperti apa yang dikemukakan Ibn Katsi> r di atas.

45 Beberapa pakar bahasa Arab terdahulu yang dicantumkan namanya oleh al-Sya> t} ibi> , adalah al-Khali> l (w. 170 H.), Si> bawayh (w. 180 H.), al-Kisa> `i> (w. 189 H.), dan al-Farra> ` (w. 207

H.). Seorang mufassir memang tidak harus mengetahui dan menghafal segala detail bahasa Arab sebagaimana mereka, tetapi ia dituntut untuk memiliki pemahaman bahasa Arab secara general yang setingkat, atau setidaknya mendekati, kemampuan mereka. Lihat al-Sya> t} ibi> , Al-I‘tis} a> m, hlm. 473.

46 Al-Sya> t} ibi> , Al-I‘tis} a> m, hlm. 473-477. Pada bagian tersebut, al-Sya> t} ibi> juga mencantumkan beberapa contoh penyimpangan tafsir yang bisa terjadi akibat ketidaktahuan sang

mufassir terhadap kaidah-kaidah bahasa Arab. Salah satunya adalah penafsiran atas ayat, “kullu syay`in ha> likun illa> wajhahu> ” (al-Qas} as} [28]: 88). Ada orang-orang yang, berdasarkan ayat ini, menganggap bahwa segala sesuatu, termasuk Dzat Allah, akan musnah. Yang abadi hanyalah wajah-Nya. Orang-orang yang berpendapat semacam itu, menurut al-Sya> t} ibi> , tidak memahami

bahasa Arab dengan baik. Bangsa Arab biasa menyebut “wajah” untuk menunjuk “sang pemilik wajah”, seperti dalam ungkapan, “fa‘altu ha> dza> li wajh fula> n”. Lihat al-Sya> t} ibi> , Al-I‘tis} a> m, hlm. 476. Contoh-contoh senada bisa juga dilihat dalam al-I‘tis} a> m, hlm. 172-173.

47 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 1, hlm. 30, dan vol. 3, hlm. 50. Perdebatan tentang apakah al-Qur`an mengandung kata-kata non-Arab atau tidak sebetulnya merupakan persoalan

klasik. Titik tolaknya adalah pernyataan al-Qur`an sendiri bahwa ia merupakan kitab berbahasa Arab seperti tercantum dalam surah Yu> suf [12]: 2, al-Syu‘ara> ` [26]: 195, serta al-Nah} l [16]: 103. Berdasarkan ayat-ayat tersebut, beberapa ulama, seperti al-Syafi‘i (w. 204 H.), Abu ‘Ubaydah (w. 209 H.), al-T{ abari> (w. 310 H.), dan Ibn Fa> ris (w. 395 H.), menyatakan bahwa sama sekali tidak mungkin ada kata-kata yang berasal dari bahasa non-Arab ( al-mu‘arrab) dalam al-Qur`an. Al- Suyu> t} i> sendiri memilih pendapat yang berbeda. Menurutnya, al-Qur`an mencakup segala bahasa ( fi> al-Qur`an min kull lisa> n). Tentu saja yang dimaksudnya adalah bagian dari bahasa-bahasa lain yang telah mengalami arabisasi. Pandangan ini tampaknya bersumber dari asumsi bahwa al- Qur`an mengandung segala bentuk pengetahuan ( h} awa> ‘ulu> m al-awwali> n wa al-a> khiri> n wa naba` kull syay`). Lihat al-Suyu> t} i> , Al-Itqa> n, hlm. 271-272. Bandingkan dengan Muh} ammad Ibra> hi> m al- H{ afana> wi> , Dira> sa> t fi> al-Qur`a> n al-Kari> m (Kairo: Da> r al-H{ adi> ts, tt.), hlm. 65-72.

kata non-Arab yang tercantum dalam al-Qur`an, maka ia pasti merupakan sesuatu yang telah dikenal oleh bangsa Arab, sesuatu yang mereka pahami sepenuhnya dan biasa mereka gunakan dalam percakapan sehari-hari. Jika itu persoalannya, maka kata-kata asing tersebut sebetulnya telah menjadi bagian dari bahasa Arab; dan ketika kata-kata itu digunakan oleh al-Qur`an, maka tidak bisa dibilang bahwa al-Qur`an menggunakan kata-kata non-Arab. Apalagi bila disadari bahwa setiap proses arabisasi kata-kata asing pasti dilakukan dengan

menundukkannya ke bawah aturan-aturan bahasa Arab. 48 Dengan penekanan terhadap status al-Qur`an sebagai kitab berbahasa

Arab ini, tentu mudah dipahami jika al-Sya> t} ibi> mempersyaratkan bahwa makna

maja> zi> al-Qur`an hanya bisa diterima apabila makna tersebut memang digunakan oleh bangsa Arab. Berdasarkan syarat tersebut, al-Sya> t} ibi> menyatakan bahwa penafsiran kata “suka> ra> ” dalam surah al-Nisa> ` [4]: 43 dengan makna “tidur” dapat dibenarkan karena orang-orang Arab biasa menggunakannya. Tetapi jika kata tersebut dimaknai sebagai “kelalaian, nafsu syahwat, dan rasa cinta kepada dunia”, maka ia adalah tafsir yang tidak sah karena makna maja> zi> semacam itu

tidak dikenal oleh orang-orang Arab. 49 Demikian pula dalam persoalan makna z} a> hir dan makna ba> t} in. Al-Sya> t} ibi>

menekankan kaitan yang sangat erat antara dualisme makna ini dengan persoalan-persoalan bahasa. Dalam pengantarnya untuk persoalan ini, al-Sya> t} ibi> menyatakan bahwa, pada hakikatnya, makna z} a> hir adalah makna literal (z} a> hir al- tila> wah) atau makna linguistik (al-mafhu> m al-‘arabi> ), sementara makna ba> t} in adalah apa yang dikehendaki ( mura> d) oleh Allah. Orang-orang musyrik Arab yang mengingkari kebenaran ajaran Islam sebetulnya mampu memahami makna z} a> hir al-Qur`an. “Bagaimana tidak,” tulis al-Sya> t} ibi> , “sementara al-Qur`an diturunkan dengan bahasa mereka?”. Hanya saja, orang-orang musyrik itu tidak mampu memahami makna ba> t} in al-Qur`an, yakni kehendak Allah dalam

48 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 50. 49 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 39-40. Penafsiran kata “suka> ra> ” dengan makna

“tidur” itu berasal dari al-D{ ah} h} a> k. Lihat al-Ra> zi> , Mafa> ti> h} al-Gayb, vol. 10, hlm 112-113.

menurunkannya. Karena itu, Allah berfirman, “…Maka mengapa orang-orang itu hampir-hampir tidak memahami pembicaraan [sedikit pun] (la> yaka> du> na

yafqahu> 50 na h} adi> tsan) ?” (al-Nisa> ` [4]: 78). Melalui konsepsi tersebut, bisa dilihat bahwa, di mata al-Sya> t} ibi> , tujuan

terpenting dari penafsiran al-Qur`an adalah pemahaman atas makna ba> t} in-nya. Lebih dari itu, sebagaimana telah dinyatakan di atas, perbedaan antara orang- orang musyrik dan umat Islam terletak tepat pada pemahaman atas makna ba> t} in al-Qur`an tersebut. Ketika Allah berfirman, “Barang siapa meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik….” (al-Baqarah [2]: 245), orang-orang Yahudi segera meresponsnya dengan berkata, “Sesungguhnya Allah itu miskin dan kami kaya.”

(A< li ‘Imra> n [3]: 181). Sedangkan orang-orang mukmin, seperti Abu> al-Dah} da> h} al- Ans} a> ri> , justru berkomentar, “Allah sungguh Mahamulia; Dia meminjam apa yang

telah diberikan-Nya kepada kita.” 51 Setelah memberikan banyak contoh tentang ketidakmampuan orang-

orang musyrik memahami makna ba> t} in al-Qur`an, al-Sya> t} ibi> kemudian menyatakan,

“Jika Allah menegasikan pemahaman ( fiqh) atau pengetahuan (‘ilm) dari sebuah kaum, maka hal itu karena mereka hanya berpegang pada makna za> hir tanpa memperhatikan mura> d-nya. [Sebaliknya], jika Allah mengafirmasi kedua sifat tersebut, maka hal itu menunjukkan bahwa mereka mampu memahami apa yang dikehendaki Allah dalam khit} a> b-Nya,

yakni makna 52 ba> t} in dari khit} a> b tersebut.”

Dengan pengantar tersebut, al-Sya> t} ibi> siap menguraikan definisi serta batasan makna z} a> hir dan makna ba> t} in secara lebih terperinci. “Setiap makna bahasa Arab,” tulisnya, “yang pemahaman al-Qur`an tidak bisa dibangun kecuali

50 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 286-287. 51 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 286-287. Riwayat tentang pemyataan orang

Yahudi itu juga tercantum dalam kitab-kitab tafsir karya al-Ra> zi> , al-Zamakhsyari> , dan Ibn Katsi> r. Lihat al-Ra> zi> , Mafa> tih} al-Gayb, vol. 9, hlm. 121; al-Zamakhsyari> , Al-Kassya> f ‘an H{ aqa> `iq Gawa> mid} al-Tanzi> l wa ‘Uyu> n al-Aqa> wi> l fi> Wuju> h al-Ta`wi> l (Beirut: Da> r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), vol. 1, hlm. 437. dan Ibn Katsi> r, Tafsi> r al-Qur`a> n al-‘Az} i> m, vol. 1, hlm 433-434. Kisah lengkap Abu> al-Dah} da> h} al-Ans} a> ri> terdapat dalam Ibn Katsi> r, Tafsi> r al-Qur`a> n al-‘Az} i> m, vol. 1, hlm 299.

52 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 288.

di atasnya adalah termasuk kategori 53 z} a> hir.” Persoalan-persoalan baya> ni> dan bala> gi> —seperti perbedaan antara kata “dhayyiq” dalam surah al-An‘a> m [6]: 125

dan kata “dha> `iq” dalam surah Hu> d [11]: 12; perbedaan penggunaan bentuk- bentuk seruan ( nida> `); perbedaan ‘at}f serta i‘ra> b; dan sebagainya—adalah bagian

dari kategori makna 54 z} a> hir ini. Sedangkan “setiap makna yang membuat obyek khit} a> b (mukha> t} ab) menyadari statusnya sebagai hamba (‘ubu> diyyah) serta

mengakui Allah sebagai Rabb (rubu> biyyah) adalah [makna] ba> t} in yang dikehendaki dan dituju, sesuatu yang karenanya al-Qur`an diturunkan.” 55

Salah satu makna ba> t} in terpenting dalam al-Qur`an, menurut al-Sya> t} ibi> , adalah syukur. Karena syukur adalah lawan dari kufur, maka iman beserta seluruh

konsekuensinya adalah bagian dari syukur. Dengan konsepsi semacam ini, al- Sya> t} ibi> menyatakan bahwa orang yang beragama demi kepentingan-kepentingan duniawi—seperti memperoleh harta atau menjamin keselamatan jiwa—serta

orang yang melakukan praktik muslihat hukum ( 56 h} i> lah) tidak dapat dianggap memahami makna 57 ba> t}in al-Qur`an. Dari sana, tampak dengan jelas bahwa

makna ba> t}in al-Qur`an dalam pemikiran al-Sya> t} ibi> terhubung sangat erat dengan unsur kesalehan—semakin seseorang memahami makna ba> t} in tersebut, semakin

saleh seharusnya dia. 58 Dalam pernyataan al-Sya> t} ibi> sendiri, “Setiap orang yang tersesat dan menyimpang dari jalan kebenaran pasti

mengabaikan kadar tertentu dari pemahaman dan pengetahuan tentang makna ba> t} in al-Qur`an. Sementara orang yang menemukan dan mencapai

53 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 291. Bandingkan dengan definisi senada yang diajukan oleh al-Dzahabi> dalam al-Ittija> ha> t al-Munh} arifah, hlm. 82. 54 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 289-290. 55 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 290.

56 H{ i> lah (bentuk pluralnya: h} iyal) adalah penggunaan sarana-sarana hukum untuk mencapai tujuan-tujuan ekstra-legal yang tidak dapat dicapai secara langsung dengan mematuhi

hukum awalnya. Lihat Joseph Schacht, “H{ iyal” dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition (Leiden: Brill Academic Publishers, 2003). Al-Sya> t} ibi> sendiri menolak keras praktik h} i> lah yang didefinisikannya sebagai upaya pembatalan (isqa> t}) atau manipulasi ( qalb) hukum melalui sebuah sarana (wa> sit} ah) untuk mencapai tujuan tertentu yang sebetulnya bukan merupakan, atau bahkan bertentangan dengan, tujuan syar‘i> dari ditetapkannya hukum tersebut. Lihat Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 287-296.

57 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 291. 58 Hallaq, “The Primacy of the Qur`a> n”, hlm. 74.

kebenaran pasti telah mencapai kadar tertentu dari [pemahaman dan pengetahuan tentang] makna 59 ba> t} in tersebut.”

Akan tetapi al-Sya> t} ibi> juga berusaha menghilangkan hubungan antara makna ba> t}in yang dikonsepsikannya itu dengan interpretasi-interpretasi sektarian yang dianggapnya menyimpang. Karena itu, agar sebuah makna ba> t} in bisa dianggap benar, al-Sya> t} ibi> menetapkan dua syarat berikut. Pertama, makna ba> t} in itu sesuai dengan makna z} a> hir-nya dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab. Status al-Qur`an sebagai kitab berbahasa Arab menjadi basis argumen al-Sya> t} ibi> pada poin ini. “Jika ada pemahaman yang absah dilakukan di luar koridor bahasa Arab,” tulis al-Sya> t} ibi> , “maka al-Qur`an tidak akan disebut

sebagai kitab berbahasa Arab.” Kedua, makna ba> t} in tersebut didukung oleh, serta tidak bertentangan dengan, dalil lain yang berupa 61 nas} s} atau z}a> hir karena

jika tidak, “maka hal itu adalah bagian dari tuduhan terhadap al-Qur`an, padahal tuduhan yang tidak didukung bukti ( al-da‘wa> al-mujarradah) tidak boleh diterima

berdasarkan kesepakatan para ulama.” 62 Melalui kriteria-kriteria di atas, al-Sya> t} ibi> menganggap salah banyak

penafsiran kaum Ba> 63 t} iniyyah, seperti bahwa t} aha> rah adalah “pembersihan diri dari keyakinan apapun selain ketaatan terhadap para imam”, bahwa tayammum

adalah “menerima ajaran para wakil imam sampai sang imam datang”, bahwa s} iya> m adalah “menahan diri dari mengungkapkan rahasia”, bahwa shalat lima

waktu menunjukkan makna empat prinsip yang mereka yakini plus kewajiban

59 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 292. 60 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 295.

61 Nas} s} dan z} a> hir di sini adalah dua terma dalam us} ul fiqh yang merupakan bagian dari mubayyan. Menurut mayoritas us} u> li> , nas} s} adalah lafaz yang tidak mengandung kemungkinan

takwil atau pemaknaan lain. Sedangkan z} a> hir adalah makna ra> jih} yang mengandung kemungkinan takwil. Lihat Wahbah al-Zuh} ayli> , Us} u> l al-Fiqh al-Isla> mi> (Beirut: Da> r al-Fikr, cet.2, 1998), vol. 1, hlm. 327.

62 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 295. 63 Al-Sya> t} ibi> menolak dengan sengit banyak penafsiran kelompok Ba> t} iniyyah. Ketika

menyatakan bahwa ilmu terbagi dua: inti ( s}ulb) dan pelengkap (mulah}), al-Sya> t} ibi> menyatakan bahwa penafsiran kelompok Ba> t} iniyyah tidak termasuk kedua-duanya karena penafsiran mereka itu tidak berdasar dan tidak pula dapat diterima akal sehat. Lihat al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol.

1, hlm. 59-60. Bandingkan pula dengan Al-I‘tis} a> m, hlm. 183-185.

menaati imam, dan sebagainya. 64 Pengalihan makna semacam itu bukanlah sesuatu yang dikenal oleh bangsa Arab dan sama sekali tidak didukung oleh dalil.

Dua syarat penerimaan makna ba> t} in tersebut juga bisa diberlakukan untuk menilai tafsir-tafsir yang berasal dari generasi-generasi terdahulu. Dalam sebuah riwayat, dikisahkan bahwa Ibn ‘Abba> s menafsirkan “alif-la> m-mi> m” —“alif” bermakna Allah, “la> m” bermakna Jibril, dan “mi> m” bermakna Muh} ammad. Jika riwayat ini sahih, tegas al-Sya> t} ibi> , maka ia sulit diterima ( musykil) karena pemaknaan semacam itu tidak dikenal oleh bangsa Arab dan tidak pula didukung oleh dalil apa pun. Demikian pula pendapat yang menyatakan bahwa huruf-huruf muqat} t} a‘ah yang terletak di fawa> tih } al-suwar itu mengandung angka-angka

tertentu yang menunjukkan berapa lama agama Islam akan bertahan. 65 Al-Sya> t} ibi> menolak penafsiran ini dengan menyatakan bahwa penggunaan huruf-huruf untuk

menunjuk angka-angka tertentu bukanlah sesuatu yang berasal dari bangsa Arab, melainkan berasal dari bangsa Yahudi. 66

Akan tetapi, al-Sya> t} ibi> tampaknya menyadari bahwa pemberlakuan dua kriteria untuk menilai tafsir makna ba> t} in al-Qur`an itu mesti dilakukan secara hati-hati. Kehati-hatian ini terlihat ketika al-Sya> t} ibi> mengulas penafsiran Sahl al- Tustari> (w. 283 H.) terhadap ayat 22 dari surah al-Baqarah [2], “…Karena itu, janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan (anda> d) bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” Al-Tustari> menyatakan bahwa tandingan terbesar ( akbar al- anda> d) bagi Allah adalah hawa nafsu manusia (al-nafs al-amma> rah). Pemaknaan ini bertentangan dengan makna z} a> hir ayat tersebut—bahwa yang dimaksud dengan anda> d (bentuk tunggalnya: nidd) adalah patung-patung yang disembah

64 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 295-296. 65 Pendapat bahwa h} uru> f muqat} t} a‘ah mengandung angka-angka tertentu yang

menunjukkan berapa lama agama Islam akan bertahan di atas tercantum dalam sebuah riwayat yang berasal dari Ibn ‘Abba> s dan dinisbatkan kepada tiga orang pemeluk agama Yahudi, yakni Abu> Ya> sir ibn Akht} ab, H{ ayy ibn Akht} ab, dan Ka‘b ibn al-Asyraf. Lihat al-Suyu> t} i> , Al-Itqa> n, vol.

2, hlm. 18, al-Zarqa> ni> , Mana> hil al-‘Irfa> n, vol. 1, hlm. 232, atau ‘A< isyah ‘Abd al-Rah} ma> n, Al-I‘ja> z al-Baya> ni> li al-Qur`a> n wa Masa`il ibn al-Azraq, hlm. 145-148. 66 Dalam persoalan fawa> tih} al-suwar itu, al-Sya> t} ibi> mencantumkan banyak penafsiran yang dianggapnya menyimpang. Pendapat yang paling benar, menurutnya, adalah yang menyerahkan takwilnya kepada Allah semata. Lihat Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 296- 297. Posisi yang senada juga dianut oleh al-Suyu> t} i> . Lihat al-Suyu> t} i> , Al-Itqa> n, vol. 2, hlm. 15.

manusia, sementara hawa nafsu bukanlah patung dan tidak pula disembah. Tetapi, sepanjang pemaknaan itu tidak dianggap sebagai tafsir, maka, menurut al-Sya> t} ibi> , ia bisa diterima berdasarkan dua alasan berikut.

Pertama, pemaknaan tersebut bisa dianggap sebagai analogi (i‘tiba> r) karena hakikat nidd adalah sesuatu yang menjadi lawan atau melakukan perlawanan. Oleh karena hawa nafsu mendorong manusia untuk mementingkan dirinya dan menolak ketaatan terhadap Tuhannya, maka ia pun tercakup dalam pengertian nidd di atas. Apalagi terdapat sebuah ayat yang mendukung pemaknaan ini, yaitu “Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi) dan rahib- rahibnya (Nasrani) sebagai tuhan selain Allah….” (al-Tawbah [9]: 31). Tentu

saja yang dimaksud dengan “menjadikan orang-orang tertentu sebagai tuhan” dalam ayat di atas bukanlah dalam arti penyembahan, melainkan dalam arti kepatuhan—menganggap halal apa yang mereka halalkan dan menganggap haram apa yang mereka haramkan. Kepatuhan terhadap hawa nafsu pun bisa membawa konsekuensi yang sama.

Kedua, meski ayat tersebut menunjuk kepada para penyembah berhala, namun umat Islam perlu pula merenungkannya. ‘Umar pernah melakukan hal yang sama ketika dia menggunakan ayat “…Kamu telah menghabiskan (rezeki) yang baik untuk kehidupan duniamu….” (al-Ah} qa> f [46]: 20)—sebuah ayat yang sebetulnya ditujukan kepada orang-orang kafir—untuk mencela umat Islam yang hidup bermewah-mewahan. Maka umat Islam juga patut menjaga diri dari dorongan hawa nafsu sebagaimana orang-orang kafir diminta untuk tidak

menyembah berhala. 67 Kehati-hatian dalam menerima atau menolak tafsir makna ba> t} in al-Qur`an

itu penting agar kita tidak terjebak dalam sikap ekstrem: menerima dan meyakini kebenarannya secara literal atau menolak seluruhnya tanpa terkecuali. 68 Maka,

untuk menentukan sikap moderat yang ideal, al-Sya> t} ibi> mencoba merumuskan

67 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 298-299. Dua alasan yang sama dikemukakan oleh al-Dzahabi> dengan redaksi yang nyaris persis secara harfiah. Lihat al-Dzahabi> , Al-Ittija> ha> t

al-Munh} arifah, hlm. 83-85. 68 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 302.

sebuah teori tentang sumber dan legitimasi makna ba> t} in al-Qur`an. Menurutnya, makna ba> t} in yang memenuhi syarat dan kriteria untuk dianggap sahih terbagi lagi menjadi dua. Pertama, makna ba> t} in yang sumbernya (as} l infija> rihi> ) adalah al-Qur`an. Kedua, makna ba> t} in yang sumbernya adalah entitas apa pun (al- mawju> da> t) di alam semesta ini lalu diikuti oleh pemaknaan (yatba‘uhu> al-i‘tiba> r)

terhadap al-Qur`an. 69 Makna ba> t} in dalam kategori pertama dapat diterima tanpa persoalan apa

pun sepanjang ia dirumuskan berdasarkan syarat-syarat yang telah dikemukakan di atas. Alasannya adalah karena al-Qur`an dipahami oleh kalbu para pendengarnya sesuai dengan kapasitas mereka masing-masing. Sedangkan makna

ba> t} in pada kategori kedua tidak boleh diterima secara mutlak, melainkan harus melalui pertimbangan-pertimbangan tertentu karena, tulis al-Sya> t} ibi> ,

“[pemaknaan tersebut] merujuk kepada i‘tiba> r yang tidak qur`a> ni> , melainkan wuju> di> . Tetapi ia pun bisa sesuai dengan makna-makna al- Qur`an karena al-Qur`an itu merupakan sesuatu yang juga wuju> di> . Dari sisi tersebut, al-Qur`an menunjukkan makna yang umum/polisemik ( musytarak) dan tidak spesifik (kha> s} s} ). Maka orang yang melakukan pemaknaan [berdasarkan i‘tiba> r wuju> di> ] itu tidak perlu diminta untuk menunjukkan dalil yang mendukungnya kecuali atas permintaan seorang murabbi> . Hal ini adalah sebuah perkara khusus dan suatu ilmu tersendiri yang tidak berhubungan secara spesifik dengan pembahasan kita. Karena itu, [pemaknaan tersebut] harus diletakkan pada tempatnya. Maka penafsiran al-ja> r dzi> al-qurba> dengan ‘kalbu’, atau al-ja> r al-junub dengan ‘diri natural’ ( al-nafs al-t} abi> ‘i> ), dan sebagainya, dapat dibenarkan berdasarkan i‘tiba> r yang bersifat lepas (mut}laq) karena perbandingan antara satu wujud dengan wujud yang lain melalui model [pemaknaan] semacam itu adalah sahih dan mudah dilakukan oleh orang-orang yang memiliki keahlian. [Sebaliknya], ia bisa menipu bagi orang yang belum mendalam ilmunya ( laysa bi ra> sikh) atau orang yang tidak berada di bawah pengawasan guru yang berpengetahuan mendalam. Selain itu, orang-orang yang melakukan pemaknaan [berdasarkan i‘tiba> r wuju> di> ] tersebut tidak dengan tegas menyatakan bahwa apa yang mereka kemukakan itu merupakan makna atau tujuan yang dengannya manusia secara umum

diseru [oleh al-Qur`an]….” 70

69 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 302-303. 70 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 303.

Kutipan panjang di atas memperlihatkan kecenderungan al-Sya> t} ibi> untuk mendamaikan antara pemaknaan lahiriah yang berorientasi teks dan bahasa dengan pemaknaan batiniah yang cenderung melampaui teks. Kecenderungan itu menimbulkan kesan ambiguitas, apalagi, pada bagian sebelumnya, al-Sya> t} ibi> sendiri menolak penafsiran al-ja> r dzi> al-qurba> dengan “kalbu” atau al-ja> r al-junub dengan “diri natural” dan menganggap penafsiran tersebut “lebih dekat kepada penafsiran kelompok Ba> t} iniyyah, atau kelompok lain yang memiliki pendapat

senada, yang mesti ditolak.” 71 Ambiguitas tersebut memang coba diselesaikan oleh al-Sya> t} ibi> dengan menyatakan, sebagaimana tersirat dari kutipan di atas,

bahwa pemaknaan ba> t}in yang berdasarkan i‘tiba> r wuju> di> itu tidak bisa

dikategorikan sebagai tafsir dalam pengertiannya yang teknis. Tetapi model penyelesaian al-Sya> t} ibi> itu pun masih problematis. Jika pemaknaan ba> t} in yang berdasarkan i‘tiba> r wuju> di> bisa diterima sepanjang ia tidak dianggap sebagai sebuah tafsir, maka kriteria apa yang mesti digunakan untuk menilainya? Bukankah setiap pemaknaan ba> t} in yang dianggap menyimpang oleh al-Sya> t} ibi> sendiri sebetulnya bisa diterima jika ia dikategorikan sebagai bukan tafsir? Tampaknya, hasrat al-Sya> t} ibi> untuk menemukan jalan tengah antara makna lahiriah dan makna batiniah al-Qur`an justru menempatkannya pada posisi yang dilematis.

Selanjutnya, dalam hubungannya dengan status al-Qur`an sebagai sebuah kitab berbahasa Arab, al-Sya> t} ibi> juga mengajukan sebuah teori yang sangat berharga tentang makna. Menurutnya, ada dua level makna: primer dan sekunder. Makna primer adalah makna yang bisa diungkapkan dengan bahasa apa pun, Arab maupun non-Arab. Ia adalah makna dasar yang dipahami serta dituju pertama kali oleh setiap pengguna bahasa. Ditinjau dari level makna primer ini, kalimat-kalimat “qa> ma Zayd”, “Zayd qa> ma”, “inna Zaydan qa> ma”, “qad qa> ma Zayd”, atau “innama> qa> ma Zayd” mengungkapkan makna yang sama: bahwa ada seseorang yang bernama Zayd dan dia berdiri. Makna semacam ini bisa diungkapkan oleh sebagian besar bahasa dengan sama-sama memadainya. Karena

71 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 301.

itu, pada level primer inilah perkataan orang-orang yang tidak berbahasa Arab bisa dituturkan kembali dengan menggunakan bahasa Arab, dan demikian pula sebaliknya.

Sedangkan pada level sekunder, setiap bahasa memiliki karakteristik maknanya sendiri-sendiri yang tidak mudah, atau bahkan tidak mungkin, untuk diterjemahkan ke dalam bahasa yang lain. Tetapi perbedaan antara masing- masing bahasa itu bersifat sekunder karena ia mengabdi ( kha> dim) pada kepentingan makna di levelnya yang primer. Dalam hal ini, bahasa Arab pun memiliki karakteristik yang tidak dimiliki oleh bahasa lain seperti terlihat, misalnya, dalam ungkapan yang digunakan untuk memberikan informasi tentang

aktivitas berdiri yang dilakukan oleh Zayd. Intensi penutur menjadi faktor yang sangat penting. Jika yang ditekankan adalah aktivitas berdiri, maka penutur akan menggunakan kalimat “qa> ma Zayd”. Jika yang diberi penekanan adalah siapa yang berdiri, maka penutur akan menggunakan kalimat “Zayd qa> ma”. Jika informasi itu merupakan jawaban atas sebuah pertanyaan, maka penutur akan berkata, “inna Zaydan qa> ma”. Terhadap lawan bicara yang meragukan informasi tersebut, penutur akan berkata, “qad qa> ma Zayd” atau “Zayd qad qa> ma”. Sedangkan terhadap orang yang mengingkari kebenaran informasi itu, penutur akan berkata, “Innama> qa> ma Zayd”. Perhatian terhadap intensi-intensi penutur inilah yang merupakan salah satu keistimewaan bahasa Arab pada level

maknanya yang sekunder. 72 Dalam hubungannya dengan al-Qur`an, pembedaan dua level makna di

atas memiliki beberapa implikasi. Pertama, al-Qur`an seringkali mengulang kisah yang sama di beberapa tempat dengan ungkapan yang berbeda-beda. Perbedaan itu, menurut al-Sya> t} ibi> , terletak pada makna sekundernya, bukan pada makna primernya. Itu menunjukkan bahwa kisah-kisah tersebut dituturkan dengan intensi yang berbeda-beda—satu intensi di sebuah tempat dan intensi lain di

tempat yang berbeda. 73

72 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 51. 73 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 52.

Kedua, persoalan terjemahan al-Qur`an. Al-Sya> t} ibi> menyatakan bahwa pada level makna yang sekunder, sebuah pernyataan berbahasa Arab tidak mungkin diterjemahkan ke dalam bahasa lain kecuali jika kedua bahasa itu sama persis dalam segala detailnya—sesuatu yang, menurut al-Sya> t} ibi> sendiri, sangat sulit terjadi. Berdasarkan prinsip tersebut, penerjemahan al-Qur`an hanya dimungkinkan pada level makna primer. Hal itu absah dilakukan karena ia, menurut al-Sya> t} ibi> , sama dengan upaya tafsir al-Qur`an yang diperuntukkan bagi orang awam yang tidak memiliki kemampuan untuk memahaminya sendiri. Karena kebolehan melakukan tafsir al-Qur`an disepakati oleh seluruh umat Islam, maka al-Sya> t} ibi> memandang bahwa kesepakatan tersebut juga bisa dijadikan

“ h}ujjah untuk membenarkan upaya penerjemahan [al-Qur`an] pada level maknanya yang primer ( 74 ‘ala> al-ma‘na> al-as} li> ).”

Ketiga, hukum syariat tidak bisa ditarik dari makna ayat al-Qur`an pada levelnya yang sekunder karena ia sekedar merupakan penguat dan penjelas bagi makna primer. Sebuah kata kerja imperatif ( fi‘l al-amr) dalam bahasa Arab bisa mengandung makna sekunder ancaman ( tahdi> d), seperti pada ayat “i‘malu> ma> syi`tum” (Fus}s}ilat [41]: 40), atau celaan (tawbi> kh), seperti pada ayat “dzuq, innaka anta al-‘azi> z al-kari> m” (al-Dukha> n [44]: 49). Makna sekunder yang terkandung dalam kedua ayat di atas, menurut al-Sya> t} ibi> , sama sekali tidak bisa

dijadikan dalil hukum. 75 Dari uraian di atas, muncul kesan bahwa al-Sya> t} ibi> lebih mementingkan

pemahaman al-Qur`an pada level maknanya yang primer. Pandangan ini tampak sesuai dengan kecenderungan al-Sya> t} ibi> dalam bidang yurisprudensi Islam serta selaras dengan prinsip yang dianutnya bahwa al-Qur`an adalah kulliyyah al-

74 Ibn Qutaybah (w. 276 H.) tercatat menegaskan ketidakmungkinan penerjemahan al- Qur`an. Tetapi, menurut al-Sya> t} ibi> , pernyataan Ibn Qutaybah tersebut hanya berlaku bagi

penerjemahan al-Qur`an pada level maknanya yang sekunder. Lihat al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 52. Pandangan al-Sya> t} ibi> tentang dua level makna ini dijadikan argumen utama oleh beberapa ulama modern, seperti Muh} ammad al-Khid} r H{ usayn dan Muh} ammad Mus} t} afa> al-Mara> gi> (w. 1945), untuk membolehkan penerjemahan al-Qur`an ke dalam bahasa-bahasa non-Arab. Lihat Ah} mad Ibra> hi> m Mahna, Dira> sah H{ awla Tarjamah al-Qur`a> n al-Kari> m (ttp.: Mat} bu> ‘a> t al-Sya‘b, tt.), hlm. 35 dan 60.

75 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 72-78.

syari> ‘ah yang mesti terbuka bagi pemahaman manusia secara keseluruhan. Tetapi pemahaman al-Qur`an pada level maknanya yang sekunder bukan sesuatu yang sama sekali tidak penting. Al-Sya> t} ibi> mengajukan beberapa contoh untuk membuktikan bahwa pemahaman terhadap makna sekunder ayat-ayat al-Qur`an juga penting untuk diperhatikan, terutama dalam persoalan adab dan akhlak. Hanya saja, bagi al-Sya> t} ibi> , pemahaman itu tidak digali melalui sisi signifikasi lafaz al-Qur`an terhadap maknanya ( min jihah wad‘ al-alfa> z} li al-ma‘a> ni> ), melainkan melalui upaya meneladani perbuatan Tuhan ( al-iqtida> ` bi al-af‘a> l). Karena itu, menurut al-Sya> t} ibi> , tidak tepat jika dikatakan bahwa tujuh contoh berikut ini membuktikan kemungkinan menarik hukum syariat dari makna

sekunder ayat-ayat al-Qur`an. Pertama, seruan Allah terhadap manusia dalam al-Qur`an biasanya diungkapkan dengan huruf nida> `, seperti frasa “ya> ‘ibadi> ”, “ya> ayyuha> al-na> s”, “ya> ayyuha> al-ladzi> na a> manu> ”, dan sebagainya. Sebaliknya, karena huruf nida> ` berfungsi untuk memberi peringatan atau menarik perhatian, sementara Allah tidak memerlukan peringatan dan tidak pernah lalai, maka seruan manusia kepada Allah biasanya tidak menggunakan huruf nida> `, melainkan dengan langsung menyebut “Rabbi”, “Rabbana> ”, “Alla> humma”, dan sebagainya.

Kedua, karena seruan manusia kepada Allah biasanya berisi permohonan akan sesuatu, maka sebagian besar doa dalam al-Qur`an diungkapkan dengan kata “Rabb” yang, secara linguistik, bermakna “Tuhan yang melakukan apa yang mendatangkan maslahat bagi hamba-Nya”. Dengan demikian, untuk menyebut Allah sebagai Rabb, seseorang harus terlebih dahulu beriman kepada-Nya. Karena itu, ketika mengisahkan pernyataan orang-orang musyrik, “Ya Allah, jika [al-Qur`an] ini benar-benar dari Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih.” (al-Anfa> l [8]: 32), al- Qur`an menggunakan kata “Alla> humma”, bukan “Rabbana> ”.

Ketiga, al-Qur`an menggunakan metafor dan metonim (kina> yah) untuk menyebut sesuatu yang tidak layak diungkapkan secara terbuka. Hubungan

76 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 82.

seksual disebutnya dengan “liba> s” atau “muba> syarah”, sementara buang air besar disebutnya dengan “al-maji> ` min al-gayt}”, dan sebagainya. Dengan cara itulah, ujar al-Sya> t} ibi> , al-Qur`an mengajarkan etiket kepada kita.

Keempat, al-Qur`an juga menggunakan iltifa> 77 t —sebuah pengalihan cara bertutur dari bentuk pasif ( al-gaybah) ke bentuk aktif (al-hud} u> r) atau sebaliknya.

Surah al-Fa> tih} ah, misalnya, dimulai dengan pujian kepada Allah dalam bentuk kata benda abstrak ( al-h}amdu lil-la> h). Lalu, pada ayat kelima, al-Qur`an beralih menggunakan kata kerja ( na’budu dan nasta‘i> n). Salah satu efek dari iltifa> t ini terlihat dalam celaan Allah kepada Rasulullah saw. di surah ‘Abasa yang dimulai dengan penuturan orang ketiga ( ‘abasa, tawalla> , dan ja> `ahu> ), lalu diikuti dengan

penuturan orang pertama kepada orang kedua ( wa ma> yudri> ka). Kelima, sesuatu yang buruk tidak layak dinisbatkan kepada Allah, meski Dia adalah Pencipta segala sesuatu. Karena itu, dalam surah al-Syu‘ara> ` [26]: 78-

80, Nabi Ibrahim menisbatkan penciptaan ( khalaqani> ), petunjuk ( yahdi> ni), pemberian makan dan minum ( yut} ‘imuni> wa yasqi> ni), serta penyembuhan ( yasyfi> ni) kepada Allah. Sementara ketika menyinggung penyakit, Ibrahim tidak menisbatkannya kepada Allah ( wa idza> marid} tu).

Keenam, dalam berdebat, dianjurkan agar seseorang tidak melontarkan bantahan dengan cara yang kasar sebagaimana dicontohkan dalam ayat-ayat,

“…dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata.” (Saba` [34]: 24), “Katakanlah (Muhammad), ‘Jika benar Tuhan Yang Maha Pengasih mempunyai anak, maka akulah orang yang mula-mula memuliakan [anak itu]’.” (al-Zukhruf [43]: 81), serta “…Katakanlah (Muhammad), ‘Jika aku mengada-ada, akulah yang akan memikul dosanya’….” (Hu> d [11]: 35).

Ketujuh, perhatian kepada proses dan kausalitas. Meski Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, al-Qur`an tetap saja menggunakan bentuk tarajji> — ‘asa> , la‘alla, dan sebagainya—dalam ayat-ayat seperti “…‘asa> an yab‘atsaka

77 Untuk pembahasan yang lebih terperinci tentang iltifa> t dalam al-Qur`an, lihat, misalnya, H{ asan T{ abl, Uslu> b al-Iltifa> t fi> al-Bala> gah al-Qur`a> niyyah (Kairo: Da> r al-Fikr al-‘Arabi> ,

rabbuka maqa> man mah} mu> dan.” (al-Isra> ` [17]: 79), “…fa ‘asa> -lla> hu an ya`tiya bi- l-fath} i aw amrin min ‘indihi> fa yus} bih} u> ‘ala> ma> asarru> fi> anfusihim na> dimi> n.” (al- Ma> `idah [5]: 52), serta “…wa ‘asa> an takrahu> syay`an wa huwa khayrun lakum,

wa ‘asa> 78 an tuh} ibbu> syay`an wa huwa syarrun lakum….” (al-Baqarah [2]: 216). Maka, tulis al-Sya> t} ibi> ,

“orang yang mengetahui akhir ( ‘a> qibah) dari suatu persoalan—dengan modus apapun yang berada di luar pengetahuan kebanyakan orang— selayaknya bersikap seakan-akan dia tidak tahu…Rasulullah saw. sendiri mengetahui hal-ihwal sebagian besar orang-orang munafik berkat pengetahuan yang Allah berikan tentang rahasia-rahasia mereka. Tetapi, secara lahiriah, beliau tetap bergaul dengan mereka sebagaimana kaum

mukminin umumnya menyikapi mereka….” 79

Demikianlah pandangan al-Sya> t} ibi> tentang status al-Qur`an sebagai kitab berbahasa Arab berikut implikasi-implikasinya. Bahasa Arab yang dimaksudnya tentu saja adalah bahasa Arab pada saat al-Qur`an diturunkan, bahasa yang digunakan oleh bangsa Arab yang ummi> . Pada bagian berikut, akan diuraikan pandangan al-Sya> t} ibi> tentang faktor ke- ummi> -an bangsa Arab dan pengaruhnya bagi tafsir al-Qur`an.

3. Al-Qur`an Diturunkan kepada Bangsa Arab yang Ummi> Status al-Qur`an sebagai sebuah kitab yang diturunkan kepada seorang rasul yang ummi> dan di tengah-tengah bangsa Arab yang juga ummi> ditegaskan sendiri oleh al-Qur`an dalam ayat-ayat, “…maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, [yaitu] Nabi yang ummi> , yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya). Ikutilah dia, agar kamu mendapat petunjuk.” (al-A‘ra> f [7]: 158) serta “Dialah yang mengutus seorang rasul kepada kaum yang ummi> dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada

78 Contoh-contoh ini terdapat dalam al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 78-82; dan vol. 3, hlm. 282-284. 79 al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 81.

mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan [jiwa] mereka, dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah….” (al-Jumu‘ah [62]: 2). 80

Tetapi apa yang sesungguhnya dimaksud dengan kata “ummi> ” dan bagaimana terma itu didefinisikan? Menurut al-Sya> t} ibi> , terma “ummi> ” adalah nisbat kepada kata “umm” yang bermakna “ibu”. Dengan demikian, “ummi> ” menunjuk kepada kondisi asal manusia ketika dilahirkan oleh ibunya ( ‘ala> as}l wila> dah al-umm), sebuah kondisi ketika ia belum mempelajari apa-apa. Ketika mengulas hadits Rasulullah saw. yang berbunyi “bu‘itstu ila> ummah

ummiyyah”, 81 al-Sya> t} ibi> menyatakan bahwa kata “ummiyyah” dalam hadits tersebut memiliki arti bahwa bangsa Arab saat itu tidak mengetahui ilmu-ilmu

para umat terdahulu ( ‘ulu> m al-aqdami> n). Makna kata “ummi> ” itu kemudian diperjelas oleh hadits Rasulullah saw. yang lain, “nah} nu ummah ummiyyah, la>

nah} 82 sub wa la> naktub….”, yang memperlihatkan bahwa makna “ummi> ” adalah “tidak berhitung dan tidak menulis”. Makna ini juga didukung oleh sebuah

pernyataan dalam al-Qur`an, “Dan engkau (Muhammad) tidak pernah membaca sesuatu kitab sebelum [al-Qur`an] dan engkau tidak pernah menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; sekiranya [engkau pernah membaca dan menulis],

niscaya ragu orang-orang yang mengingkarinya.” (al-‘Ankabu> 83 t [29]: 48).

Al-Sya> t} ibi> menganggap penting kenyataan bahwa al-Qur`an diturunkan kepada seorang nabi yang ummi> dan di tengah-tengah bangsa Arab yang juga ummi> . Baginya, prinsip itu juga mencakup pengertian bahwa al-Qur`an diturunkan sesuai dengan apa yang diketahui bangsa Arab ( ‘ala> ma‘hu> d al-‘arab) saat itu, sebab jika tidak demikian, maka al-Qur`an tidak akan dikenal dan

80 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 53. 81 Hadits ini diriwayatkan dengan redaksi “ursiltu ila> ummah ummiyyah….” oleh Ah}mad

dalam Musnad-nya, bab Ba> qi> Musnad al-Ans} a> r, nomer 22308 dan 22350; keduanya melalui jalur periwayatan H{ udzayfah ibn al-Yama> n.

82 Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukha> ri> dalam S} ah} ih}-nya, Kita> b al-S} awm, nomer 1780; Muslim dalam S} ah} ih}-nya, Kita> b al-S} iya> m, nomer 1806; al-Nasa> `i> dalam Sunan-nya, Kita> b

al-S} iya> m, nomer 2111 dan 2112; Abu> Da> wu> d dalam Sunan-nya, Kita> b al-S} awm, nomer 1975; serta Ah} mad dalam Musnad-nya, bab Musnad al-Muktsiri> n min al-S} ah} a> bah, nomer 4775, 4891, dan 5855; seluruhnya melalui jalur periwayatan ‘Abdulla> h ibn ‘Umar.

83 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 53.

dipahami serta sama sekali tidak akan menjadi mukjizat bagi orang-orang Arab tersebut. Karena itu, al-Qur`an dalam pandangan al-Sya> t} ibi> tidak akan menyinggung persoalan apa pun yang sama sekali tidak dikenal oleh bangsa Arab

saat ia diturunkan. 84 Untuk mendukung argumentasi di atas, al-Sya> t} ibi> merasa perlu mendaftar beberapa pengetahuan yang telah dikenal oleh bangsa Arab saat

itu serta bahwa al-Qur`an menyikapinya dengan membenarkan dan menambahkan apa yang benar, membatalkan apa yang salah, serta menjelaskan apa yang mendatangkan manfaat dan apa yang mendatangkan bahaya. Daftar itu tersusun sebagai berikut.

Pertama, bangsa Arab telah mengenal ilmu perbintangan yang mereka

gunakan untuk memberi petunjuk arah dalam perjalanan di darat dan di laut serta untuk menentukan waktu dan perjalanan hari. Al-Qur`an mengakui hal ini dalam ayat-ayat: “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, ‘Itu adalah [petunjuk] waktu bagi manusia dan [ibadah] haji’….” (al-Baqarah [2]: 189), “Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut….” (al- An‘a> m [6]: 97), “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan [waktu]….” (Yu> nus [10]: 5), “…Dan dengan bintang-bintang mereka mendapatkan petunjuk.” (al-Nah}l [16]: 16), “Dan telah Kami tetapkan tempat peredaran bagi bulan, sehingga, [setelah ia sampai ke tempat peredaran yang terakhir], kembalilah ia seperti bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya.” (Ya> si> n [36]: 39-

40), dan sebagainya. 85 Kedua, bangsa Arab juga telah mengenal ilmu pengetahuan alam dalam

bentuknya yang sederhana, seperti tentang memperhitungkan waktu hujan serta pergerakan angin dan awan. Karena itu, banyak ayat-ayat al-Qur`an yang

84 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 54. 85 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 54-55.

bersinggungan dengan persoalan tersebut, seperti, “Dialah yang memperlihatkan kilat kepadamu yang menimbulkan ketakutan dan harapan, dan Dia menjadikan mendung. Dan guruh bertasbih memuji-Nya….” (al-Ra‘d [13]: 12-13), “Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan [air] itu, dan bukanlah kamu yang menyimpannya.” (al-H{ ijr [15]: 22), “Dan Allahlah yang mengirimkan angin; lalu [angin itu] menggerakkan awan, maka Kami arahkan awan itu ke suatu negeri yang mati (tandus), lalu dengan hujan itu Kami hidupkan bumi setelah mati (kering). Seperti itulah kebangkitan [terjadi].” (Fa> t} ir [35]: 9), “Pernahkah kamu memperhatikan air yang kamu minum? Kamukah yang menurunkannya dari

awan ataukah Kami yang menurunkan?” (al-Wa> qi‘ah [56]: 68-69), “Dan Kami turunkan, dari awan, air hujan yang tercurah dengan hebatnya.” (al-Naba` [78]:

14), dan sebagainya. 86 Ketiga, bangsa Arab juga telah mengenal ilmu sejarah dan kisah bangsa-

bangsa terdahulu. Al-Qur`an pun mencurahkan perhatiannya untuk menceritakan kisah-kisah tersebut. Sebagian besar kisah-kisah yang tercantum dalam al-Qur`an memang tidak dikenal oleh bangsa Arab saat itu, seperti pernyataan al-Qur`an sendiri, “Itulah sebagian dari berita-berita gaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), padahal engkau tidak bersama mereka ketika mereka melemparkan pena mereka [untuk mengundi] siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam. Dan engkau pun tidak bersama mereka ketika mereka bertengkar.” (A< l ‘Imra> n [3]: 44) atau “Itulah sebagian dari berita-berita gaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah engkau mengetahuinya dan tidak [pula] kaummu sebelum ini….” (Hu> d [11]: 49). Meski demikian, model pengisahan dalam al-Qur`an tersebut, menurut al-Sya> t} ibi> , tidak berada di luar apa yang dikenal oleh bangsa Arab ( min jins ma> ka> nu> yantah}ilu> n). Karena itu, tidak benar jika dinyatakan bahwa al-Qur`an mengisahkan sesuatu yang

bertentangan dengan status ke- 87 ummi> -an bangsa Arab.

86 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 55. 87 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 56.

Keempat, salah satu pencapaian intelektual tertinggi bangsa Arab terletak di bidang retorika ( bala> gah), fas} ah} ah, dan stilistika (as> ali> b al-kala> m). Maka al- Qur`an pun mendatangkan sesuatu yang melebihi pencapaian mereka itu. “Katakanlah, ‘Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa [dengan] al-Qur`an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekali pun mereka saling membantu satu sama lain’.” (al-Isra> ` [17]: 88). Bangsa Arab juga terkenal dengan kemampuan menciptakan perumpamaan dan metafor ( d} arb al-amtsa> l). Al-Qur`an pun mendatangkan hal yang sama, sebagaimana terungkap dalam ayat, “Dan sesungguhnya telah Kami jelaskan kepada manusia dalam al-Qur`an ini segala macam perumpamaan….”

(al-Ru> m [30]: 58). Tetapi, menurut al-Sya> t} ibi> , tidak semua matsal tercantum dalam al-Qur`an. Al-Qur`an sama sekali tidak mengandung syi‘r berdasarkan ayat-ayat, “Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah pantas baginya. Al-Qur`an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang jelas.” (Ya> si> n [36]: 69), “Dan mereka berkata, ‘Apakah kami harus meninggalkan sesembahan kami karena seorang penyair gila?’. Padahal dia (Muhammad) datang dengan membawa kebenaran dan membenarkan rasul-rasul [sebelumnya].” (al-S} a> ffa> t [37]: 36-37), serta “Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah engkau melihat bahwa mereka mengembara di setiap lembah, dan bahwa mereka mengatakan apa yang tidak

mereka kerjakan?” (al-Syu‘ara> 88 ` [26]: 224-226). Tidak cukup dengan itu, al-Sya> t} ibi> juga menegaskan bahwa ketika

hukum-hukum syariat dalam al-Qur`an ditetapkan secara bertahap dan berangsur- angsur, itu merupakan bukti bahwa al-Qur`an tidak mengajarkan sesuatu yang

sama sekali tidak dikenal oleh bangsa Arab. 89 Penjelasannya adalah sebagai berikut.

88 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 57-58. 89 Dalam pernyataan al-Sya> t} ibi> sendiri, “al-syari> ‘ah ummiyyah lam takhruj ‘amma>

alifathu al-‘arab”. Lihat al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 60.

Al-Sya> t} ibi> mengembalikan seluruh ajaran Islam kepada konsep maka> rim al-akhla> q. Konsep ini dibaginya lagi menjadi dua: pertama, konsep-konsep akhlak yang akrab ( ma`lu> f) dan bisa diterima oleh akal sehat; dan kedua, konsep-konsep akhlak yang abstrak, yang pada mulanya sulit dipahami secara rasional ( ma> la>

yu‘qal ma‘na> 90 hu min awwal wihlah). Al-Qur`an terlebih dahulu mengenalkan dan mengajarkan konsep-konsep akhlak pada kategori pertama, sesuatu yang

bangsa Arab tidak merasa asing dengannya. Konsep-konsep tersebut banyak termuat dalam ayat-ayat makkiyyah, seperti “Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran

kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (al-Nah} l [16]: 90), “Katakanlah [Muhammad], ‘Marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu. Jangan mempersekutukan-Nya dengan apa pun, berbuat baik kepada ibu bapak, janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; janganlah kamu mendekati perbuatan keji, baik yang terlihat ataupun yang tersembunyi, janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar’….” (al-An‘a> m [6]: 151), atau “Katakanlah [Muhammad], ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah disediakan untuk hamba-hamba- Nya dan rezeki yang baik-baik?’...Katakanlah [Muhammad], ‘Tuhanku hanya mengharamkan segala perbuatan keji yang terlihat dan yang tersembunyi, perbuatan dosa, perbuatan zalim tanpa alasan yang benar, dan [melarang] kamu mempersekutukan Allah dengan sesuatu sedangkan Dia tidak menurunkan alasan untuk itu, dan [melarang] kamu membicarakan tentang Allah apa yang tidak

kamu ketahui’.” (al-A‘ra> 91 f [7]: 32-33). Konsep-konsep akhlak pada kategori kedua, yang abstrak dan sulit dipahami, baru dijelaskan belakangan oleh al-

Qur`an dengan didasarkan pada konsep-konsep akhlak pada kategori pertama. 92

90 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 59. 91 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 58. 92 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 59-60.

Bahkan konsep tauhid pun diajarkan oleh al-Qur`an melalui fenomena- fenomena alam yang mereka kenal, seperti langit, bumi, gunung, awan, dan

tumbuh-tumbuhan. 93 Demikian pula deskripsi al-Qur`an tentang kenikmatan yang diperoleh kaum mukminin di surga nanti—al-Qur`an hanya menyebut air,

susu, madu, khamr, kurma (nakhi> l), anggur (a‘na> b), dan tidak menyebut buah kenari ( jawz), badam (lawz), apel (tuffa> h} ), serta pir ( kummatsra> ) yang tidak

dikenal oleh bangsa Arab saat itu. 94 Prinsip tentang ajaran-ajaran al-Qur`an yang bersifat ummi> itu juga

membawa implikasi-implikasi berikut. Pertama, anggapan bahwa al-Qur`an mengandung segala bentuk ilmu pengetahuan adalah anggapan yang tidak

berdasar dan melampaui batas. Al-Sya> t} ibi> berargumen bahwa ilmu-ilmu seperti matematika, fisika, logika, dan lain sebagainya tidak pernah dikenal oleh generasi al-salaf al-s} a> lih} —yakni para sahabat, ta> bi‘i> n, dan generasi setelah mereka, padahal generasi tersebut adalah orang-orang yang paling mengetahui kandungan al-Qur`an. Itu menunjukkan bahwa al-Qur`an memang tidak diturunkan untuk menjelaskan seluruh ilmu pengetahuan. Terhadap orang yang menggunakan ayat “ma> farrat} na> fi> al-kita> b min syay`” (al-An‘a> m [6]: 38) sebagai argumen, al-Sya> t} ibi> menyatakan bahwa segala sesuatu yang tercakup dalam al- kita> b itu adalah hal-hal yang berkenaan dengan ibadah dan ajaran-ajaran agama ( al-takli> f wa al-ta‘abbud), atau bahwa al-kita> b yang dimaksud dalam ayat di atas adalah al-lawh} al-mah} fu> z} . Dengan demikian, ilmu-ilmu yang bisa kita gunakan untuk membantu memahami al-Qur`an, menurut al-Sya> t} ibi> , hanyalah ilmu-ilmu yang disandarkan kepada bangsa Arab semata ( ma> yud} a> f ‘ilmuhu> ila> al-‘arab kha> s} s} ah) yang sebagiannya telah dikemukakan di atas. Siapa pun yang mencoba memahami al-Qur`an melalui hal-hal di luar itu, tulis al-Sya> t} ibi> , “telah menyimpang dari pemahaman [yang benar] terhadapnya dan telah mengada-ada

( 95 taqawwala) kepada Allah dan Rasul-Nya”.

93 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 58. 94 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 60. 95 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 60-62.

Kedua, penafsiran al-Qur`an hanya boleh dilakukan dalam batas-batas pengetahuan dan tradisi kebahasaan bangsa Arab yang ummi> . Jika bangsa Arab memiliki tradisi yang berkelanjutan ( ‘urf mustamirr) dalam penggunaan bahasa mereka, maka pemahaman atas syariat Islam tidak boleh menyimpang dari tradisi tersebut. Jika bangsa Arab tidak memiliki tradisi tertentu dalam hal itu, maka tidak sah pemahaman apa pun yang tidak didasarkan pada apa yang mereka

ketahui. 96 Al-Sya> t} ibi> menyatakan, “Setiap orang yang berbicara tentang kita> bulla> h atau Sunnah Rasulullah

tidak boleh memaksakan [pemahaman] di luar apa yang mungkin dikandung oleh bahasa Arab. Dia harus memusatkan perhatiannya kepada

apa yang biasanya diperhatikan oleh bangsa Arab. Dan dia juga harus berhenti pada batas yang ditetapkan oleh bangsa Arab tersebut.” 97

Ketiga, al-Qur`an harus dipandang sebagai sebuah kitab yang makna- maknanya dapat dipahami oleh semua orang Arab. Artinya, pemahaman terhadapnya harus dilakukan dalam kadar kebersamaan mayoritas ( ‘ala> wiza> n al- isytira> k al-jumhu> ri> ). Itulah hikmah di balik diturunkannya al-Qur`an dengan “tujuh huruf” sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadits yang mengisahkan dialog antara Rasulullah saw. dan malaikat Jibril. Dalam hadits tersebut, dikisahkan bahwa,

“Suatu hari, Rasulullah bertemu Jibril. Beliau pun mengadu, ‘Wahai Jibril, aku diutus kepada bangsa yang ummi> . Di antara mereka, terdapat orang yang lemah, orang yang lanjut usia, lelaki dan wanita, serta orang yang sama sekali belum pernah membaca kitab apa pun.’ Mendengar itu, Jibril

menjawab, ‘Sungguh, al-Qur`an diturunkan dengan tujuh huruf’.” 98

Tidak jelas benar sebetulnya apa yang dimaksud oleh al-Sya> t} ibi> tentang wiza> n al-isytira> k al-jumhu> ri> di atas. Tetapi, pada bagian lain dari al-Muwa> faqa> t,

al-Sya> t} ibi> menulis bahwa ada dua cara dalam mendefinisikan sesuatu: cara

96 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 62. 97 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 64. 98 Hadits ini diriwayatkan oleh al-Tirmidzi> dalam Sunan-nya, Kita> b al-Qira> `a> t ‘ala>

Rasu> lilla> h, nomer 2868, melalui jalur periwayatan Ubayy ibn Ka‘b. Selain itu, ia juga diriwayatkan oleh Ah} mad dengan redaksi yang sedikit berbeda. Lihat catatan kaki nomer 80 di atas. Bandingkan dengan al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 65-66.

taqri> bi> yang sesuai dengan pemahaman orang kebanyakan ( jumhu> r) serta cara teknis yang tidak sesuai dengan pemahaman mereka. 99 Kedua cara ini bisa

digunakan untuk mendefinisikan, misalnya, malaikat. Mendefinisikan malaikat dengan cara pertama akan menghasilkan pengertian bahwa malaikat adalah

“salah satu makhluk Allah yang selalu mematuhi perintah-Nya”. 100 Sebaliknya, cara kedua akan menghasilkan definisi malaikat sebagai “esensi yang sama sekali

terlepas dari materi” ( ma> hiyah mujarradah ‘an al-ma> ddah as} lan) atau “substansi sederhana yang berbatas dan memiliki [kemampuan untuk] berbicara secara

rasional” ( 101 jawhar basi> t} dzu> niha> yah wa nut} q ‘aqli> ). Cara pertama lebih dekat kepada pemahaman manusia dan lebih sesuai untuk digunakan dalam memahami

konsep-konsep al-Qur`an. Sementara cara kedua tidak lazim digunakan dalam menjelaskan ajaran-ajaran agama karena ia membuat pemahaman menjadi

sulit. 102 Dari penjelasan tersebut, layak diduga bahwa konsep wiza> n al-isytira> k al-jumhu> ri> yang dikemukakan al-Sya> t} ibi> mengandung arti sesuatu yang bisa

diterima oleh orang kebanyakan tanpa kesulitan berarti. Tampaknya, konsepsi ini diajukan al-Sya> t} ibi> untuk menentang pendapat bahwa ada makna-makna tertentu dari al-Qur`an yang secara khusus ditujukan kepada sekelompok orang dan tidak kepada kelompok yang lain.

Keempat, dalam pemahaman terhadap al-Qur`an, perhatian kepada makna harus lebih diutamakan daripada perhatian kepada lafaz. Alasannya, menurut al- Sya> t} ibi> , karena fokus perhatian bangsa Arab dalam berbahasa adalah makna, bukan lafaz. Makna adalah tujuan, sementara lafaz hanya sarana ( wasi> lah) untuk menghasilkan makna yang dikehendaki ( tah} s} i> l al-ma‘na> al-mura> d). Dan bukan

99 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 1, hlm. 38. 100 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 1, hlm. 38. 101 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 1, hlm. 39. 102 Dalam hal inilah al-Sya> t} ibi> menolak pendekatan ilmu filsafat —sebuah ilmu yang

disebutnya sebagai “tidak dikenal oleh bangsa Arab serta tidak sesuai dengan kondisi ke- ummi> -an mereka”— dalam memahami al-Qur`an. Kalaupun filsafat boleh dipelajari, maka ilmu yang sulit dipahami itu tidak layak digunakan untuk “memahami ayat-ayat Allah dan dalil-dalil tauhid yang diperuntukkan bagi bangsa Arab yang ummi> ”. Lihat al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 1, hlm. 38- 39.

sekedar makna, yang harus dituju adalah makna sintaksis ( al-ma‘na> al-tarki> bi> ) sebagai lawan dari makna parsial ( 103 al-ma‘na> al-ifra> di> ). Pembedaan dua kategori

makna tersebut, berikut contoh-contohnya, telah diuraikan pada bagian sebelum ini. Tetapi perlu diperhatikan bahwa, dengan mengajukan konsepsi di atas, al- Sya> t} ibi> sebetulnya ingin menolak tafsir yang berasyik-masyuk dengan perincian makna dan rahasia linguistik pada tingkat lafaz—sesuatu yang dianggapnya membuat makna al-Qur`an “menjadi tidak jelas ( tastabhim) bagi para pengkajinya serta menjadi sulit dimengerti ( tasta‘jim) bagi orang-orang yang

tidak memahami kaidah-kaidah bahasa Arab.” 104 Dalam bagian lain dari al- Muwa> faqa> t, al-Sya> t} ibi> menyatakan,

“Setiap orang yang berakal pasti mengetahui bahwa maksud dari khit} a> b [al-Qur`an] bukanlah pemahaman terhadap ungkapannya ( ‘iba> rah), melainkan pemahaman atas makna ( al-mu‘abbar bihi> ) serta maksud ( al- mura> d) di balik ungkapan tersebut…Tidak benar jika [mereka berargumen] bahwa kemampuan memahami lafaz dan ungkapan linguistik [al-Qur`an] merupakan sarana untuk memahami maknanya…Argumen tersebut kita akui kebenarannya secara mutlak. Bagaimana tidak? Bukankah dengan bahasa Arab itulah kita bisa memahami apa yang dikehendaki Allah dalam kitab-Nya? Yang kita tolak adalah [analisa linguistik] yang melebihi batas dan berlebihan…karena tidak ada bukti bahwa bangsa Arab melakukan hal seperti itu, dan tidak pernah tercatat bahwa generasi terdahulu dari umat Islam menyibukkan diri mereka untuk

memahami [al-Qur`an] dengan cara tersebut.” 105

Uraian-uraian di atas memperlihatkan bahwa status ke- ummi> -an ajaran- ajaran al-Qur`an adalah sebuah prinsip yang tidak bisa ditawar-tawar dalam pemikiran al-Sya> t} ibi> . Prinsip ini, sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu, belakangan kerap dijadikan argumen untuk menentang tafsir saintifik

( 106 al-tafsi> r al-‘ilmi> ) terhadap al-Qur`an. Tetapi prinsip tersebut juga menuai kritik, terutama karena ia bisa dibawa ke titik ekstrem untuk menyatakan bahwa

petunjuk al-Qur`an diperuntukkan hanya kepada bangsa Arab abad 7 Masehi.

103 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 61-62. 104 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 2, hlm. 62. 105 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 307-308. 106 Lihat bab II, hlm. 44.

Salah satu ulama yang melontarkan kritik tersebut secara sistematis adalah al- T} a> hir ibn ‘A< syu> r dalam bagian mukaddimah dari kitab tafsir yang ditulisnya, al- Tah} ri> r wa al-Tanwi> r. Berikut ini, akan diuraikan argumen-argumen al-T} a> hir ibn ‘A< syu> r secara lengkap guna memperoleh gambaran memadai tentang bagaimana prinsip yang diajukan al-Sya> t} ibi> itu menuai reaksi akademis dari ulama lain.

Sebagai pengantar untuk kitab tafsirnya, Ibn ‘A< syu> r menulis sebuah mukaddimah panjang (sekitar 125 halaman) yang dia bagi menjadi 10 bagian. Bagian keempat secara khusus ditulisnya untuk mengkaji tujuan seorang mufassir dalam menafsirkan al-Qur`an (fi> ma> yah} iqqu an yaku> na garad} al- mufassir). Ibn ‘A< syu> r menyatakan bahwa ada hikmah-hikmah tertentu di balik

pilihan Allah untuk menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur`an. Namun demikian, kenyataan bahwa al-Qur`an diturunkan kepada bangsa Arab itu tidak berarti, tulisnya,

“bahwa hukum-hukum syariat hanya diperuntukkan bagi mereka atau bahwa ia ditetapkan demi kepentingan-kepentingan mereka belaka. Kenyataan bahwa syariat bersifat umum dan abadi, serta bahwa al-Qur`an adalah mukjizat yang berlaku terus-menerus sepanjang masa, menolak

[kebenaran anggapan] itu.” 107

Ibn ‘A< syu> r kemudian merumuskan delapan tujuan dasar ( al-maqa> s} id al- as} liyyah) dari diturunkannya al-Qur`an, yaitu pertama, memperbaiki dan mengajarkan akidah; kedua, mengajarkan nilai-nilai akhlak yang mulia; ketiga, menetapkan hukum-hukum syariat; keempat, menunjukkan jalan kebaikan kepada umat Islam ( siya> sah al-ummah); kelima, memberikan pelajaran dan hikmah dari kisah bangsa-bangsa terdahulu; keenam, menyiapkan umat Islam untuk menerima dan menyebarkan ajaran-ajaran agamanya; ketujuh, al-targi> b wa al-tarhi> 108 b; kedelapan, membuktikan kebenaran risalah Nabi Muhammad saw..

Maka tujuan seorang mufassir adalah “menjelaskan apa yang mampu dipahaminya dari kehendak Allah dalam

al-Qur`an dengan penjelasan sesempurna mungkin ( bi atamm baya> n), selaras dengan apa yang dikandung oleh maknanya ( yah} tamiluhu> al-

107 Ibn ‘A< syu> r, Al-Tah} ri> r wa al-Tanwi> r, vol. 1, hlm. 39. 108 Ibn ‘A< syu> r, \Al-Tah} ri> r wa al-Tanwi> r, vol. 1, hlm. 39-41.

ma‘na> ) dan tidak bertentangan dengan lafaznya ( wa la> ya`ba> hu al-lafz} ). [Penjelasan itu bisa berupa] segala sesuatu yang dapat menjelaskan maksud dari maqa> s} id al-Qur`an, atau segala sesuatu yang menjadi dasar bagi pemahaman yang sempurna terhadapnya, atau apa pun yang bisa

memerinci dan menjabarkan 109 maqa> s} id tersebut….”

Tafsir saintifik, atau tafsir yang menghimpun persoalan-persoalan keilmuan dari berbagai disiplin yang berhubungan dengan tujuan-tujuan al- Qur`an, menurut Ibn ‘A< syu> r, adalah salah satu dari tiga cara dalam melakukan

tafsir atas al-Qur`an. 110 Ibn ‘A< syu> r mengakui bahwa al-Sya> t} ibi> termasuk salah satu penentang paling keras dari tafsir semacam itu, dan bahwa seluruh argumen

al-Sya> t} ibi> berpusat pada satu prinsip: status al-Qur`an sebagai sebuah kitab yang

diturunkan kepada bangsa yang ummi> sehingga pemaknaan apa pun terhadapnya tidak boleh keluar dari batas-batas ke- 111 umm> i-an itu. Tetapi, tulis Ibn ‘A< syu> r,

“prinsip ini lemah karena enam alasan. Pertama, ia didasarkan pada anggapan bahwa al-Qur`an tidak bermaksud melakukan transformasi bangsa Arab dari satu kondisi ke kondisi yang lain. Anggapan ini batal berdasarkan apa yang telah kami kemukakan pada bagian sebelumnya. Allah sendiri berfirman, “Itulah sebagian dari berita-berita gaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah engkau mengetahuinya dan tidak [pula] kaummu sebelum ini….” (Hu> d [11]: 49). Kedua, maqa> s} id al-Qur`an merujuk kepada [prinsip] keumuman dakwah serta bahwa ia merupakan mukjizat yang abadi. Karena itu, al-Qur`an mesti mengandung hal-hal yang bisa dipahami oleh orang-orang yang hidup di masa penyebaran ilmu pengetahuan. Ketiga, ketika generasi terdahulu (salaf) menyatakan bahwa keajaiban-keajaiban al-Qur`an tidak ada habis- habisnya ( al-Qur`a> n la> tanqad}i> ‘aja> `ibuhu> ), maka yang mereka maksud adalah makna-maknanya. Jika pendapat al-Sya> t} ibi> benar, maka keajaiban al-Qur`an akan berakhir karena jenis-jenis maknanya juga terbatas. Keempat, salah satu mukjizat al-Qur`an adalah bahwa ia, dengan lafaznya yang singkat ( ma‘a i> ja> z lafz} ihi> ), mampu memuat makna-makna yang tidak mampu dicakup oleh sangat banyak buku. Kelima, kadar pemahaman orang-orang [Arab] yang menjadi objek pertama dari khit} a> b al-Qur`an memang hanya terbatas pada makna-makna dasarnya. [Tetapi] di luar

109 Ibn ‘A< syu> r, Al-Tah} ri> r wa al-Tanwi> r, vol. 1, hlm. 42. 110 Dua cara lainnya adalah, pertama, penafsiran yang membatasi diri pada makna-makna

dasar ( al-z} a> hir min al-ma‘na> al-as} li> ) dan, kedua, penafsiran yang menguraikan persoalan- persoalan hukum, akhlak, teologi, dan sebagainya. Lihat Ibn ‘A< syu> r, Al-Tah}ri> r wa al-Tanwi> r, vol.

1, hlm. 42. 111 Ibn ‘A< syu> r, Al-Tah} ri> r wa al-Tanwi> r, vol. 1, hlm. 44.

makna-makna dasar tersebut, terdapat makna-makna lain yang bisa dipahami oleh orang-orang tertentu dan tidak bisa dipahami oleh orang- orang yang lain… Keenam, tentang anggapan bahwa generasi salaf sama sekali tidak membicarakan hal-hal [di luar batas-batas ke- ummi> -an] itu; jika [yang dimaksud dengan hal tersebut adalah] apa pun yang tidak merujuk kepada maqa> s} id al-Qur`an, maka kami sepakat dengan al-Sya> t} ibi> . Tetapi, menyangkut hal-hal yang merujuk kepada maqa> s} id al-Qur`an, kami tidak sepakat bahwa generasi salaf itu hanya berhenti pada makna-makna z} a> hir ayat al-Qur`an. Mereka justru memberikan penjelasan, perincian, dan penjabaran tentang ilmu-ilmu yang mereka geluti. Maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mengikuti jejak mereka dalam disiplin-disiplin ilmu lain yang bertujuan untuk mengabdi pada maqa> s} id al-Qur`an atau untuk menunjukkan luasnya ilmu-ilmu keislaman ( al-‘ulu> m al-Isla> miyyah). Apa yang berada di luar tujuan tersebut, jika digunakan untuk menjelaskan makna al-Qur`an, maka ia pun termasuk tafsir ( ta> bi‘ li al-tafsi> r) dengan alasan bahwa ilmu-ilmu rasional ( al-‘ulu> m al-‘aqliyyah) mengkaji hal- ihwal sesuatu sebagaimana adanya ( ‘ala> ma> hiya ‘alayhi). Sedangkan sesuatu yang melebihi hal itu [yakni yang tidak digunakan untuk menjelaskan makna al-Qur`an] tidak dapat dianggap sebagai tafsir, namun ia [bisa menjadi] pelengkap bagi pembahasan-pembahasan akademis serta menjadi pembelokan ( istit} ra> d) ilmu pengetahuan demi kepentingan- kepentingan tafsir dengan tujuan agar sumber-sumber pengambilan ( muta‘a> t} a> ) tafsir menjadi lebih luas dan mencakup berbagai disiplin ilmu

pengetahuan.” 112

Pernyataan Ibn ‘A< syu> r di atas sengaja dikutip secara panjang lebar untuk menunjukkan bahwa al-Sya> t} ibi> mengambil posisi yang ekstrem dalam mengaitkan pemahaman al-Qur`an dengan konteks di mana, kapan, dan kepada

siapa ia diturunkan. 113 Pada titik inilah persinggungan antara konsep ummi> dengan konsep asba> b al-nuzu> l terjadi.

Asba> b al-nuzu> l (al-Sya> t} ibi> menyebutnya asba> b al-tanzi> l) adalah sesuatu yang harus diketahui oleh setiap orang yang ingin memahami al-Qur`an ( man ara> da ‘ilm al-Qur`a> n). Argumentasi al-Sya> t} ibi> dalam hal ini dibangun berdasarkan konsep muqtad} a> al-h} a> l (secara harfiah, bermakna “tuntutan

112 Ibn ‘A< syu> r, Al-Tah} ri> r wa al-Tanwi> r, vol. 1, hlm. 44-45. 113 Quraish Shihab juga menyatakan bahwa penolakan al-Sya> t} ibi> terhadap tafsir saintifik

merupakan antitesis dari pandangan al-Gaza> li> tentang al-Qur`an yang mencakup seluruh jenis ilmu pengetahuan. Kedua pandangan tersebut, menurut Quraish Shihab, sama-sama berlebihan dan “sukar dipahami”. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, cet. 19, 1999), hlm. 102.

keadaan”) 114 yang lazim dikenal dalam dalam kajian-kajian ilmu bala> gah. Al- Sya> t} ibi> menulis,

Ilmu ma‘a> ni> dan baya> n yang dengannya kemukjizatan susunan al-Qur`an bisa diketahui…berporos pada pengetahuan tentang tuntutan-tuntutan keadaan ( muqtad} aya> t al-ah} wa> l), yakni keadaan khit} a> b pada dirinya sendiri, keadaan penutur ( mukha> t} ib), keadaan lawan bicara (mukha> t} ab), atau keadaan keduanya. Sebuah pembicaraan bisa dipahami secara berbeda dalam dua kondisi yang berlainan atau menurut dua lawan bicara yang tidak sama…Sebuah pertanyaan, misalnya, [meski] menggunakan satu lafaz yang sama, [tetapi] ia bisa dimasuki oleh makna-makna lain seperti persetujuan ( taqri> r), celaan (tawbi> kh), dan lain sebagainya. Demikian pula sebuah lafaz perintah; ia bisa menunjukkan kebolehan ( iba> h} ah), ancaman ( tahdi> d), atau ketidakmampuan lawan bicara (ta‘ji> z), dan lain sebagainya. Makna yang dikehendaki [oleh penutur] hanya bisa diketahui melalui hal- hal eksternal. Intinya adalah tuntutan-tuntutan keadaan ( muqtad} aya> t al- ah} wa> l). [Tetapi] tidak semua keadaan dan indikasi yang berhubungan dengan sebuah pembicaraan bisa ditransmisikan ( yunqal). Jika indikasi- indikasi ( qara`in) yang menunjukkan [maksud penutur] itu tidak bisa ditransmisikan, maka pemahaman terhadap keseluruhan atau sebagian pembicaraan juga tidak akan bisa dicapai. Pengetahuan tentang asba> b bisa menghilangkan problem-problem semacam itu. Maka [mengetahui asba> b al-nuzu> l ] adalah salah satu syarat penting yang tidak bisa diabaikan untuk memahami al-Qur`an. Dan arti dari mengetahui sabab [ al-nuzu> l ] itu sama

dengan arti dari mengetahui 115 muqtad} a> al-h} a> l.

Pengabaian terhadap asba> b al-nuzu> l bisa mengakibatkan kesalahan dalam memahami al-Qur`an. Al-Sya> t} ibi> mengutip kisah tentang Quda> mah ibn Maz} ‘u> n yang menganggap bahwa khamar halal dikonsumsi oleh orang-orang yang beriman, bertakwa, dan beramal saleh berdasarkan pemahamannya yang salah terhadap ayat, “Tidak berdosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan tentang apa yang mereka makan, apabila mereka bertakwa dan beriman, serta mengerjakan kebajikan…” (al-Ma> `idah [5]: 93). Juga tentang Marwa> n yang merasa gundah karena al-Qur`an menyatakan bahwa setiap orang

114 Abdel Haleem menerjemahkan muqtad} a> al-h} a> l itu dengan “requirements of the situation”. Lihat M.A.S. Abdel Haleem, “Context and internal relationship: keys to quranic

exegesis; A study of Su> rat al-Rah} ma> n (Qur’a> n chapter 55)”, dalam G. R. Hawting dan Abdul- Kader A. Shareef [ed.], Approaches to the Qur’a> n (London dan New York: Routledge, 1993), hlm. 72.

115 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 258.

yang “bergembira dengan apa yang telah mereka kerjakan” dan “suka dipuji atas perbuatan yang tidak mereka lakukan” akan “mendapat azab yang pedih.” (A< l

‘Imra> 116 n [3]: 188). Al-Sya> t} ibi> berhasil membuktikan bahwa pemahaman yang salah terhadap kedua contoh ayat di atas bisa dihindari dengan pengetahuan

tentang 117 asba> b al-nuzu> l. Lebih dari itu, al-Sya> t} ibi> juga berpendapat bahwa sebagian besar

pertikaian dalam Islam disebabkan oleh minimnya pengetahuan tentang asba> b al- nuzu> l. Untuk itu, dia mengutip sebuah kisah tentang Umar yang bertanya, “Mengapa umat Islam bertikai padahal mereka memiliki nabi yang sama dan menghadap ke kiblat yang juga sama?” Mendengar pertanyaan tersebut, Ibn

‘Abba> s menjawab, “Wahai Ami> r al-mu`mini> n! Al-Qur`an telah diturunkan kepada kita, lalu

kita pun membacanya. Kita tahu dalam hal apa ayat-ayat al-Qur`an itu diturunkan. Tetapi orang-orang yang datang setelah kita; mereka membaca al-Qur`an dan tidak mengetahui dalam hal apa ia diturunkan. Masing-masing dari mereka pun memiliki pendapat sendiri-sendiri. Ketika setiap orang mengemukakan pendapatnya masing-masing, maka saat itulah terjadi perselisihan. Dan saat mereka berselisih, mereka pun saling

membunuh.” 118

Akan tetapi konsep asba> b al-nuzu> l itu, oleh al-Sya> t} ibi> , dikembangkan menjadi lebih luas dari sekedar konteks partikular ( sabab kha> s} s} ) turunnya sebuah ayat tertentu, melainkan mencakup juga tradisi dan kondisi bangsa Arab secara keseluruhan saat al-Qur`an diturunkan. Dalam hal inilah konsep asba> b al-nuzu> l berhubungan dengan konsep ma‘hu> d al-‘arab yang telah dijelaskan di atas.

116 Kisah tentang kegundahan Marwa> n ini juga tercantum dalam Ibn Katsi> r, Tafsi> r al- Qur`a> n al-‘Az} i> m, vol. 1, hlm. 436-437.

117 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 259-260. 118 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 259. Posisi penting asba> b al-nuzu> l dalam

proses penafsiran al-Qur`an juga dikuatkan oleh sebuah hadits yang menjelaskan perintah Rasulullah saw. kepada para sahabat untuk mempelajari penafsiran al-Qur`an dari empat orang, yaitu Ibn Mas‘u> d, Ubayy ibn Ka‘b, Mu‘a> dz ibn Jabal, dan Sa> lim mawla> Abi> H{ udzayfah. Salah satu sebab di balik keistimewaan empat orang tersebut, menurut al-Sya> t} ibi> , adalah pengetahuan mereka tentang asba> b al-nuzu> l. Pernyataan Ibn Mas‘u> d bahwa dirinya adalah orang yang paling tahu tentang di mana dan dalam kondisi apa setiap ayat al-Qur`an diturunkan adalah bukti bahwa ilmu asba> b al-nuzu> l adalah salah satu ilmu yang dengannya seseorang akan disebut “mengetahui al-Qur`an” ( ‘a> liman bi al-Qur`a> n). Lihat al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 261.

Pengetahuan tentang tradisi dan kondisi bangsa Arab itu membantu kita untuk memahami, misalnya, mengapa al-Qur`an menggunakan kata “atimmu> ” dalam ayat “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah” (al-Baqarah [2]: 196), bukan langsung dengan kata kerja imperatif “h} ujju> ” atau “i‘tamiru> ”. Menurut al-Sya> t} ibi> , pemilihan kata tersebut dilakukan karena bangsa Arab telah mengenal tradisi haji sejak sebelum Islam datang. Islam kemudian menambahkan beberapa hal yang selama ini mereka tinggalkan, seperti wuqu> f di ‘Arafah dan sebagainya. Itu sebabnya mengapa al-Qur`an hanya memerintahkan mereka untuk “menyempurnakan” dan melengkapi bagian ibadah haji yang sebelumnya

tidak mereka lakukan. 119 Demikian pula dengan pernyataan al-Qur`an dalam

ayat-ayat seperti “Mereka takut kepada Tuhan yang berada di atas mereka” (al- Nah} l [16]: 50), “Sudah merasa amankah kamu bahwa Dia yang di langit tidak akan membuat kamu ditelan bumi ketika tiba-tiba ia terguncang?” (al-Mulk [67]: 16), atau “Dan sesungguhnya Dialah Tuhan (yang dipatuhi oleh) bintang Syi‘ra> ” (al-Najm [53]: 49) —al-Qur`an menyebut Tuhan yang berada “di atas”, “di langit”, serta Tuhan yang dipatuhi oleh “bintang Syi‘ra> ” lantaran bangsa Arab memang mengimani Tuhan yang berada di atas dan di langit serta menyembah

bintang yang mereka namakan 120 Syi‘ra> . Demikianlah al-Sya> t} ibi> mengembangkan asumsi tentang status al-Qur`an

sebagai sebuah kitab yang diturunkan kepada rasul yang ummi> dan di tengah- tengah bangsa yang ummi> berikut relasi dan implikasinya terhadap kajian-kajian tafsir. Di atas segalanya, konsep tentang ke- ummi> -an al-Qur`an dan ajaran-ajaran Islam yang dikemukakan al-Sya> t} ibi> itu menyiratkan sebuah posisi tentang pemahaman serta penafsiran al-Qur`an secara sederhana dan tidak melampaui batas. Bagi al-Sya> t} ibi> , tafsir al-Qur`an harus dilakukan secara moderat dan berimbang ( ‘ala> al-tawassut} wa al-i‘tida> l), diletakkan tepat pada sebuah titik moderasi antara perhatian yang berlebihan kepada lafaz serta kaidah-kaidah

119 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 261. 120 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 262. Penyembahan terhadap bintang Syi‘ra>

dilakukan oleh klan Khuza> ‘ah berdasarkan ajaran salah seorang pimpinan mereka, Abu> Kabsyah. Lihat al-Zamakhsyari> , Al-Kasysya> f, vol. 4, hlm. 418.

bahasa Arab ( tafri> t} ) di satu sisi dan perhatian yang sepenuhnya terpusat kepada makna ( 121 ifra> t} ) di sisi yang lain. Lebih dari itu, tafsir yang sederhana, yang

memusatkan perhatiannya kepada apa yang dikehendaki Allah dalam al-Qur`an, seharusnya mendorong seseorang untuk menjalani kehidupan dalam orientasi

ketaatan kepada Sang Pencipta. 122 Kutipan pernyataan al-Sya> t} ibi> berikut ini melukiskan dengan bagus bagaimana tafsir terhadap al-Qur`an seharusnya

dilakukan. “Telah dijelaskan dalam Kita> b al-Maqa> s} id bahwa syariat [Islam] bersifat

ummi> sehingga apa pun yang tidak dikenal ( ma> lam yakun ma‘hu> dan) oleh bangsa Arab tidak boleh menjadi fokus perhatian. Telah pula diuraikan

bahwa syariat tidak memerintahkan kita untuk melakukan kajian yang mendetail tentang aspek-aspek linguistik darinya ( al-tadqi> qa> t fi kala> miha> ),

bahwa lafaz-lafaz syariat hanya boleh dikaji secara mendalam jika ia membantu kita dalam memahami makna-makna sintaksis ( al-ma‘a> ni> al- murakkabah). Apa yang berada di luar itu, jika ia pun dianjurkan untuk dikaji, maka ia hanya menjadi tujuan sekunder dalam fungsinya untuk membantu pemahaman terhadap makna yang dituju, seperti [kajian terhadap] maja> z, isti‘a> rah, atau kina> yah. Dengan demikian, [tafsir] barangkali tidak membutuhkan pemikiran [yang mendalam]. Jika seseorang masih membutuhkan pemikiran di dalamnya, maka ia bukan lagi sesuatu yang terpuji, melainkan sesuatu yang buruk dan berlebihan. Bukan demikian cara memahami bahasa Arab. Dan tentu saja al-Qur`an lebih tidak layak [untuk dipahami] dengan cara semacam itu. Ia juga menghalangi seseorang dari apa yang dimaksud oleh khit} a> b, dari pemahaman terhadap maknanya, serta dari pelaksaanaan terhadap apa yang dikandung olehnya…Berapa jauh perbedaan antara orang yang memahami makna [al-Qur`an]…lalu dia memasukinya dengan rasa takut kepada ancaman ( al-wa‘i> d) serta dengan berharap kepada apa yang dijanjikan ( al-maw‘u> d) sehingga dia berjuang sekuat tenaga untuk melakukan ketaatan ( al-muwa> faqa> t) dan menghindari pelanggaran (al-

121 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 306-307. 122 Al-Sya> t} ibi> menyatakan bahwa di antara ilmu-ilmu yang bersumber dari al-Qur`an ( al-

‘ulu> m al-mud} a> fah ila> al-Qur`a> n), terdapat hal-hal yang hanya menjadi alat (ada> h/wasi> lah) dan ada pula hal-hal lain yang menjadi tujuan ( maqs}ud). Tujuan asasi dari diturunkannya al-Qur`an adalah memberikan penjelasan tentang bagaimana menyembah Allah. Dalam hal ini, ilmu-ilmu al- Qur`an terbagi menjadi tiga: pertama, ilmu tentang Allah, Tuhan yang disembah, meliputi pengetahuan tentang dzat, sifat, dan perbuatan-Nya; kedua, ilmu tentang cara beribadah kepada- Nya yang meliputi ‘iba> da> t, ‘a> da> t, dan mu‘a> mala> t; ketiga, ilmu tentang hari akhir yang mencakup pengetahuan tentang kematian, hari Kiamat, serta surga dan neraka. Sedangkan ilmu bahasa Arab, us} ul fiqh, asba> b al-nuzu> l, qira`a> t, na> sikh-mansu> kh, makki> -madani> , dan sebagainya adalah bagian dari kategori pertama, yakni ilmu-ilmu yang sekedar menjadi alat atau sarana untuk mencapai tujuan pada kategori kedua. Lihat Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 280-285.

mukha> lafa> t)…[berapa jauh perbedaan antara orang ini] dengan orang lain yang sibuk mengkaji gaya penyampaian [al-Qur`an], sumber-sumber ‘iba> rah dan tingkatan-tingkatannya, [sibuk mempertanyakan] mengapa sebuah kata berbeda dengan sinonimnya sementara maknanya sama, [sibuk membahas] bentuk-bentuk paronomasia ( tajni> s) dan detail-detail keindahan lafaz ( mah} a> sin al-alfaz} ), padahal maksud dari khit} a> b al-Qur`an

tidak memerlukan perhatian semacam itu?” 123

Sebagai catatan akhir, patut dinyatakan bahwa kesederhanaan dan orientasi kesalehan sebetulnya merupakan kata kunci yang menghubungkan antara tiga asumsi dan pra-anggapan al-Sya> t} ibi> tentang al-Qur`an di atas. Kerangka besarnya adalah status al-Qur`an sebagai sumber primer ajaran-ajaran Islam ( kulliyyah al-syari> ‘ah)—sebuah prinsip yang membuat al-Qur`an mesti terbuka bagi pemahaman manusia. Pemahaman itu harus dilakukan di dalam koridor-koridor tekstualisme dan kaidah-kaidah bahasa Arab. Tetapi aspek-aspek linguistik tersebut bukanlah tujuan pada dirinya sendiri; ia hanyalah sarana— sebagaimana bangsa Arab yang ummi> menggunakan lafaz sebagai sarana—untuk mencapai makna. Di ujung pemahaman atas makna al-Qur`an, terdapat dorongan untuk meningkatkan kesalehan dan ketaatan kepada Allah, Sang Pencipta. Dengan itu semua, kita akan beralih ke persoalan metode tafsir.

B. Metode Tafsir al-Qur `an Menurut al-Sya> t} ibi> Metode tafsir adalah seperangkat pedoman dan aturan yang dipilih oleh seorang penafsir untuk melakukan pendekatan terhadap ayat-ayat al-Qur`an demi

tujuan-tujuan tertentu yang ingin dicapainya. 124 Dalam beberapa literatur, metode-metode tafsir yang kerap dibicarakan adalah metode ijma> li> (global),

metode tah} li> li> (analitis), metode muqa> rin (komparatif), atau metode mawd} u> ‘i> (tematik). 125 Bila ditinjau secara menyeluruh, empat metode tafsir itu sebetulnya

123 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 307-308. 124 Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2000), hlm. 2. 125 Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`an, hlm. 4. Al-Kha> lidi> menyebut

empat kategori tersebut dengan “bentuk-bentuk tafsir” ( anwa> ‘ al-tafsi> r)—sesuatu yang didefinisikannya sebagai “rancangan-rancangan ( khut}at}), rincian-rincian (tafs} i> la> t), serta gaya- empat kategori tersebut dengan “bentuk-bentuk tafsir” ( anwa> ‘ al-tafsi> r)—sesuatu yang didefinisikannya sebagai “rancangan-rancangan ( khut}at}), rincian-rincian (tafs} i> la> t), serta gaya-

Beberapa pedoman dan aturan tafsir al-Qur`an yang dirumuskan oleh al- Sya> t} ibi> dan telah diuraikan pada pembahasan terdahulu adalah bagian dari metode tafsir dalam pengertiannya yang luas. Pembahasan berikut ini akan memusatkan perhatiannya kepada aspek-aspek lain dari metode tafsir al-Sya> t} ibi> , yaitu prinsip koherensi dan intertekstualitas al-Qur`an yang meliputi relasi kulli>

dan juz`i> , teknik menjembatani ayat-ayat al-Qur`an yang terkesan kontradiktif, konsep makki> -madani> , naskh, serta muh} kam-mutasya> bih.

1. Koherensi dan Intertekstualitas al-Qur`an Pada bagian terdahulu, telah dikemukakan bagaimana prinsip tentang al- Qur`an sebagai kulliyyah al-syari> ‘ah membawa al-Sya> t} ibi> untuk mengkonsepsikan al-Qur`an sebagai kala> m wa> h} id yang tidak mungkin mengandung kontradiksi. Sebagai kala> m wa> h} id, setiap bagian dari al-Qur`an berhubungan dengan bagian yang lain dalam sebuah pola yang bersifat

intertekstual. 126 Dalam pernyataan al-Sya> t} ibi> sendiri,

gaya penulisan ( asa> li> b) yang digunakan oleh para mufassir dalam tafsir mereka dan yang kepadanya mereka mengaplikasikan pendekatan ( manhaj) mereka masing-masing.” Lihat S} ala> h} ‘Abd al-Fatta> h} al-Kha> lidi> , Al-Tafsi> r al-Mawd} u> ‘i> bayna al-Naz} ariyyah wa al-Tat} bi> q, hlm. 27-28.

126 Intertekstualitas adalah konsep linguistik modern yang dibangun di atas asumsi bahwa setiap bagian dari teks berhubungan dengan bagian yang lain. Dalam kajian al-Qur`an,

konsep ini sebetulnya telah lama dikemukakan oleh para ulama, terutama melalui adagium: al- Qur`a> n yufassir ba‘d}uhu> ba‘d}an. Lihat M.A.S. Abdel Haleem, “Context and internal

relationship”, hlm. 73. Konsep intertekstualitas dalam al-Qur`an kadang-kadang juga dimaknai sebagai hubungan antara al-Qur`an dengan kitab suci-kitab suci sebelumnya. Lihat, misalnya, Jane Dammen McAuliffe, “Text and Textuality: Q. 3:7 as a Point of Intersection”, dalam Issa J. Boullata [ed.], Literary Structures of Religious Meaning in the Qur’a> n (Surrey: Curzon Press, 2000), hlm. 66. Dalam penelitian ini, kata intertekstualitas digunakan dalam makna yang pertama. Untuk uraian yang lebih terperinci tentang konsep intertekstualitas dalam ilmu linguistik dan sastra modern, lihat Graham Allen, Intertextuality (London & New York: Routledge, 2005).

“…pemahaman atas sebagian al-Qur`an bergantung kepada [pemahaman] atas bagian yang lain dengan satu dan lain cara ( bi wajhin ma> ). Artinya, satu bagian dari al-Qur`an dijelaskan oleh bagian yang lain. Bahkan banyak [bagian dari al-Qur`an] yang maknanya tidak bisa dipahami sepenuhnya kecuali dengan menafsirkan [ayat] di tempat lain [pada surah yang sama] atau [ayat yang lain] pada surah yang berbeda…Dengan pemahaman semacam ini, seluruh bagian dari al-Qur`an adalah kala> m

wa> 127 h} id.”

Akan tetapi al-Sya> t} ibi> sebetulnya berbicara tentang konsep intertekstualitas dan koherensi al-Qur`an itu dalam dua tingkat: koherensi pada

tingkat surah dan koherensi pada tingkat al-Qur`an secara keseluruhan. 128 Koherensi pada tingkat surah, menurut al-Sya> t} ibi> , bersifat tematis dan

merupakan sesuatu yang terasa lebih jelas ( huwa al-ma‘na> al-az} har) dibandingkan dengan koherensi pada tingkat al-Qur`an secara keseluruhan. Alasannya, sebuah surah dipisahkan dari surah yang lain melalui awalan ( ibtida> `) dan kandungan makna yang berbeda. Itu sebabnya mengapa al-Qur`an menggunakan basmalah untuk menjadi pemisah antar surah. Selain itu, kenyataan bahwa banyak ayat yang diturunkan sebagai respons atas sebab atau peristiwa tertentu menyiratkan bahwa al-Qur`an terdiri dari bagian-bagian yang masing-masing bisa dipahami

secara sendiri-sendiri. 129 Agak sulit untuk menentukan dengan pasti siapa yang pertama kali

merumuskan konsep tentang surah dalam al-Qur`an sebagai sebuah unit tematis. 130 El-Tahir El-Misawi menyebut nama Fakhruddi> n al-Ra> zi> sebagai salah

127 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 314-315. 128 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 315. Muh} ammad al-Gaza> li> juga

mengemukakan hal yang senada. Menurutnya, ada dua pendekatan dalam tafsir mawd} u> ‘i> : pendekatan yang melacak kesatuan tema setiap surah dalam al-Qur`an serta pendekatan yang berusaha mengidentifikasi tema-tema pokok dalam al-Qur`an secara keseluruhan. Lihat Muh} ammad al-Gaza> li> , Nah}w Tafsi> r Mawd}u> ‘i> li Suwar al-Qur`a> n al-Kari> m (Kairo: Da> r al-Syuru> q, cet. 3, 1997), hlm. 5-6. Bandingkan dengan Mohamed El-Tahir El-Misawi, “The Meaning and Scope of al-Tafsir al-Mawdu‘i: A Comparative Historical Analysis” dalam Papers of the International Conference on the Qur`an and Sunnah: Methodologies of Interpretation, hlm. 128.

129 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 315. 130 Tafsir mawd} u> ‘i> bisa dilakukan terhadap sebuah surah, atau terhadap ayat-ayat

tentang tema yang sama dari pelbagai surah, atau kepada istilah dan lafaz tertentu dalam al- tentang tema yang sama dari pelbagai surah, atau kepada istilah dan lafaz tertentu dalam al-

al-Biqa> ‘i> (w. 885 H.) dalam dua karyanya: Naz} m al-Durar fi> Tana> sub al-A< y wa al-Suwar dan Mas} 133 a> ‘id al-Naz} ar li al-Isyra> f ‘ala> Maqa> s} id al-Suwar; Sayyid

Qut} 134 b (w. 1966) dalam Fi> Z{ ila> l al-Qur`an; serta banyak pemikir modern lainnya. 135 Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: adakah perbedaan corak

antara pendekatan yang digunakan oleh mufassir klasik dengan para mufassir modern dalam memperlakukan surah al-Qur`an sebagai sebuah unit tematis?

Salah satu jawaban bagi pertanyaan di atas dikemukakan oleh Mustansir Mir. Menurutnya, ulama-ulama klasik, seperti al-Ra> zi> , Niz} a> m al-Di> n al-Ni> sa> bu> ri>

(w. 728 H.), Abu> H{ ayya> n (w. 745 H.), atau al-Syirbi> ni> (w. 977 H.), mengaplikasikan prinsip kesatuan tematis setiap surah dalam al-Qur`an itu ke dalam praktik penafsiran yang linear-atomistik; mereka hanya berupaya

Qur`an. Lihat S} ala> h} ‘Abd al-Fatta> h} al-Kha> lidi> , Al-Tafsi> r al-Mawd} u> ‘i> bayna al-Naz} ariyyah wa al- Tat} bi> q, hlm. 52-59.

131 Mohamed El-Tahir El-Misawi, “The Meaning and Scope of al-Tafsir al-Mawdu‘i”, hlm. 128-129. 132 Sonia Wafiq, “Manhaj al-Tafsi> r al-Mawd} u> ‘i> wa al-H{ a> jah ilayh”, dalam Buh} u> ts

Mu`tamar Mana> hij Tafsi> r al-Qur`a> n al-Kari> m wa Syarh} al-H{ adi> ts al-Syari> f, hlm. 654. Selain dua nama tersebut, ada pula yang menyebut nama al-Fayruzaba> di> (w. 817 H.) dengan karyanya,

Bas} a> `ir Dzawi> al-Tamyi> z fi> Lat} a> `if al-Kita> b al-‘Azi> z. Lihat ‘Abdulla> h Mah} mu> d Syah} a> tah, Ahda> f Kull Su> rah wa Maqa> s} iduha> fi> al-Qur`a> n al-Kari> m (Kairo: al-Hay`ah al-Mis}riyyah al-‘A< mmah li al-Kita> b, cet. 3, 1986), vol. 1, hlm. 4.

133 Tentang kitab Naz} m al-Durar, ‘Abd al-Fatta> h} al-Kha> lidi> berkomentar, “…di dalam kitab tafsir tersebut, [al-Biqa> ‘i> ] memusatkan perhatiannya kepada hubungan dan pertautan antara

ayat-ayat dalam satu surah yang sama. [Dengan cara tersebut], sebuah surah menjadi suatu kesatuan yang [bagian-bagiannya] saling berhubungan, saling mendukung, dan terikat satu sama lain”. Lihat al-Kha> lidi> , Ta‘ri> f al-Da> risi> n bi Mana> hij al-Mufassiri> n (Jedah: Da> r al-Basyi> r, 2002), hlm. 450.

134 Mus} t} afa> Muslim, Maba> h} its fi> al-Tafsi> r al-Mawd} u> ‘i> (Damaskus: Da> r al-Qalam, 1989), hlm. 26 dan Issa J. Boullata, “Sayyid Qut} b’s Literary Appreciation of the Qur’a> n”, dalam Issa J.

Boullata [ed.], Literary Structures of Religious Meaning in the Qur’a> n (Surrey: Curzon Press, 2000), hlm. 354-371.

135 Di antara para pemikir tersebut, terdapat nama-nama seperti Asyraf ‘Ali> Tsana> wi, H{ ami> d al-Di> n al-Fara> h} i> , serta Ami> n Ah} san Is} la> h} i> di India dan Pakistan; ‘Izzat Darwazah dan

Sayyid Qut} b di Mesir; serta Muh} ammad H{ usayn al-T{ aba> t} aba> `i> di Iran. Lihad Mustansir Mir, “The su> ra as unity: A twentieth century development in Qur’a> n exegesis”, dalam dalam G.R. Hawting dan Abdul-Kader A. Shareef [ed.], Approaches to the Qur’a> n (London dan New York: Routledge, 1993), hlm. 211-224. Menurut Quraish Shihab, ide tentang surah sebagai sebuah unit tematis baru diwujudkan pertama kali dalam sebuah kitaf tafsir oleh Mah} mu> d Syaltu> t pada tahun 1960. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an, hlm. 113.

menunjukkan hubungan kesesuaian ( muna> sabah) antara sebuah ayat dengan ayat lain sebelum atau setelahnya. 136 Itu berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para

pemikir modern terhadap prinsip yang sama. Di atas segala perbedaan dan keragaman di antara mereka, para pemikir modern itu menerjemahkan prinsip kesatuan tematis setiap surah dalam al-Qur`an ke dalam praktik penafsiran yang

organik-holistik, tidak lagi atomistik. 137 Pendekatan pertama (yang bersifat linear-atomistik) cenderung memusatkan perhatiannya kepada masing-masing

ayat dalam sebuah surah yang sama; sementara pendekatan kedua (yang bersifat organik-holistik) memusatkan perhatiannya kepada pesan dasar sebuah surah, tidak lagi ayat perayat. Tetapi Mustansir Mir tampaknya tidak sempat membaca

karya-karya al-Sya> t} ibi> . Kita akan melihat pada uraian berikut ini bahwa al- Sya> t} ibi> , salah seorang ulama klasik, justru membawa prinsip kesatuan tematis setiap surah dalam al-Qur`an itu ke dalam praktik penafsiran yang cenderung bersifat organik dan holistik atau, setidaknya, tidak lagi atomistik.

Al-Sya> t} ibi> membagi surah-surah dalam al-Qur`an ke dalam dua kategori. Pertama, surah-surah yang mengandung hanya satu tema dan diturunkan sebagai respons untuk satu persoalan. Sebagian besar surah-surah pendek ( suwar al- mufas} s} al) termasuk dalam kategori ini. Kedua, surah-surah yang mengandung beragam tema di dalamnya. 138 Menyatakan bahwa masing-masing surah dalam

kategori pertama adalah kala> m wa> h} id nyaris tidak menimbulkan kesulitan apa- apa karena ia memang hanya berisikan satu tema. Tetapi bagaimana menemukan

benang merah dalam satu surah yang memiliki beragam tema? 139

136 Mustansir Mir, “The su> ra as unity: A twentieth century development in Qur’a> n exegesis”, hlm. 212. 137 Mustansir Mir, “The su> ra as unity: A twentieth century development in Qur’a> n exegesis”, hlm. 219.

138 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 310. 139 Surah-surah madaniyyah yang panjang seringkali dianggap tidak memiliki kesatuan

tema maupun koherensi. Tetapi beberapa pemikir modern, seperti Mustansir Mir, Neal Robinson, dan Mathias Zahniser, berhasil menunjukkan bahwa setiap bagian dari dua surah terpanjang dalam al-Qur`an pun, yakni al-Baqarah dan al-Nisa> `, terhubung satu sama lain melalui sebuah tema besar yang mengikatnya. Lihat A.H. Mathias Zahniser, “Major Transitions and Thematic

Di sini, terlihat bahwa konsep kesatuan tematis setiap surah dalam al- Qur`an yang dirumuskan al-Sya> t} ibi> itu sebetulnya didasarkan kepada asumsi bahwa penyusunan dan pengurutan ayat-ayat pada sebuah surah ditetapkan berdasarkan wahyu dari Allah ( tawqi> fi> ) sehingga “sama sekali tidak ada ruang

dalam hal itu bagi pemikiran manusia”. 140 Dengan asumsi tersebut, al-Sya> t} ibi> seakan-akan hendak menyatakan bahwa penyatuan beragam tema ke dalam satu

surah bukanlah tanpa tujuan. Karena itu, sebuah surah yang mengandung beragam tema, menurut al-Sya> t} ibi> , harus dipandang melalui dua sisi: sisi keragaman temanya dan sisi keteraturan ( naz} m) yang menyatukannya. Seorang mufassir harus memandang kedua sisi tersebut secara bersama-sama karena

pemahaman terhadap kandungan sebuah surah tidak mungkin dicapai tanpa pemahaman terhadap masing-masing bagian yang memiliki temanya sendiri- sendiri, sementara perhatian terhadap masing-masing tema dalam sebuah surah juga tidak akan menghasilkan pemahaman yang menyeluruh ( gayr mufi> d ga> yah al-maqs} u> d) sebelum tema-tema tersebut dihubungkan dan disatukan satu sama

lain. 141 Setelah menguraikan bahwa setiap surah dalam al-Qur`an, pada

prinsipnya, memiliki sebuah tema dasar yang merangkum keragaman seluruh bagiannya, al-Sya> t} ibi> kemudian mencoba menafsirkan surah al-Mu`minu> n, surah ke-23 dalam al-Qur`an, berdasarkan prinsip tersebut. Surah al-Mu`minu> n itu, dinyatakannya, menjelaskan “[hanya] sebuah persoalan meski meliputi makna- makna yang beragam” ( na> zilah ‘ala> qad} iyyah wa> h} idah wa in isytamalat ‘ala>

ma‘a> 142 nin katsi> rah). Al-Sya> t} ibi> memulai penafsirannya dengan terlebih dahulu menegaskan

bahwa surah al-Mu`minu> n diturunkan di Mekah. Surah-surah makkiyyah, pada umumnya, mengandung tiga makna dasar. Pertama, penegasan tentang keesaan

Borders in Two Long Sura> s: al-Baqara and al-Nisa> ’”, dalam Issa J. Boullata [ed.], Literary Structures of Religious Meaning in the Qur’a> n (Surrey: Curzon Press, 2000), hlm. 27-30.

140 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 310. 141 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 310. 142 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 311.

Allah. Makna ini diuraikan al-Qur`an melalui berbagai cara, seperti dengan mengingkari kemungkinan adanya sekutu bagi Allah secara mutlak atau dengan membantah pendapat orang-orang musyrik yang menganggap Allah memiliki sekutu, anak, atau perantara. Kedua, penegasan tentang status kenabian Muhammad saw.; bahwa beliau adalah utusan Allah yang terpercaya dalam apa pun yang disampaikannya dari Tuhannya. Dalam hal ini, al-Qur`an juga menggunakan cara afirmasi dan negasi; afirmasi terhadap kebenaran status kenabian Muhammad, serta penyangkalan terhadap tuduhan-tuduhan bahwa beliau adalah pendusta, penyihir, orang gila, dan lain sebagainya. Ketiga, penegasan tentang kepastian datangnya kebangkitan dan eksistensi hari akhir;

bahwa ia nyata dan tidak ada keraguan tentangnya. Penyangkalan al-Qur`an terhadap orang-orang yang meragukan hari akhir ini dilakukan dengan argumen- argumen yang “bisa menjadi h} ujjah, membungkam para penentang, serta

memperjelas persoalan”. 143 Meski menyatakan bahwa tiga makna di atas hanya berlaku untuk

sebagian besar, bukan untuk seluruh, surah makkiyyah, namun al-Sya> t} ibi> juga menulis, “Apa pun yang sepintas tampak seakan-akan berada di luar [cakupan ketiga makna] itu, sesungguhnya, bisa dikembalikan kepadanya jika dipahami

secara lebih teliti.” 144 Selain itu, ketiga makna yang terkandung dalam surah- surah makkiyyah di atas sebetulnya bisa dikembalikan kepada satu makna dasar,

yaitu seruan untuk menyembah Allah semata, dan bisa pula dikembangkan untuk mencakup hal-hal lain, seperti targi> b dan tarhi> b, berbagai bentuk perumpamaan dan kisah, atau deskripsi tentang kenikmatan surga, siksa neraka, kondisi hari

Kiamat, dan lain sebagainya. 145 Sebagai sebuah surah yang diturunkan di Mekah, surah al-Mu`minu> n juga

mengandung tiga makna dasar tersebut. Hanya saja, makna yang paling menonjol di dalamnya adalah pengingkaran kaum kafir terhadap status kenabian. Dan lebih

143 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 311-312. 144 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 312. 145 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 311-312.

khusus dari itu, pengingkaran tersebut mereka lakukan berdasarkan atribusi sifat- sifat kemanusiaan ( was}f al-basyariyyah) kepada para nabi. Karena itu, surah al- Mu`minu> n secara umum menjelaskan sifat-sifat kemanusiaan serta bagaimana seseorang bisa mencapai kesempurnaan dalam sifat-sifat tersebut sehingga dia berhak menjadi manusia pilihan. Berdasarkan tema dasar itu, al-Sya> t} ibi>

menyatakan bahwa surah al-Mu`minu> 146 n dimulai dengan tiga hal. Pertama, penjelasan tentang sifat-sifat tertentu yang dengannya Allah akan mengangkat

dan memuliakan seorang manusia. Makna ini terangkum dalam ayat 1 hingga ayat 11. 147 Kedua, deskripsi tentang proses penciptaan dan perkembangan

manusia yang tercakup dalam ayat 12 hingga ayat 16. 148 Ketiga, uraian tentang

nikmat-nikmat yang dianugerahkan Allah kepada manusia serta penegasan bahwa hal itu menunjukkan kehormatan dan kemuliaan manusia. Makna ini

terangkum dalam ayat 17 hingga ayat 22. 149

146 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 312. 147 Terjemahan ayat 1-11 itu adalah sebagai berikut. “Sungguh beruntung orang-orang

yang beriman; [yaitu] orang yang khusyuk dalam shalatnya; dan orang yang menjauhkan diri dari [perbuatan dan perkataan] yang tidak berguna; dan orang yang menunaikan zakat; dan orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela. Tetapi barang siapa mencari di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan [sungguh beruntung] orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya; serta orang yang memelihara shalatnya. Mereka itulah orang yang akan mewarisi; [yakni] yang akan mewarisi [surga] Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.”

148 Terjemahan ayat 12-16 itu adalah sebagai berikut. “Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati [yang berasal] dari tanah. Kemudian Kami menjadikannya air

mani [yang tersimpan] dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan sesuatu yang melekat, lalu sesuatu yang melekat itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu lalu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging, kemudian Kami menjadikannya makhluk yang [berbentuk] lain. Mahasuci Allah, Pencipta yang paling baik. Kemudian setelah itu, sungguh kamu pasti mati. Kemudian, sungguh kamu akan dibangkitkan [dari kuburmu] pada hari Kiamat.”

149 Terjemahan ayat 17-22 itu adalah sebagai berikut. “Dan sungguh, kami telah menciptakan tujuh langit di atas kamu, dan Kami tidaklah lengah terhadap ciptaan [Kami]. Dan

Kami turunkan air dari langit dengan suatu ukuran, lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan pasti Kami berkuasa melenyapkannya. Lalu dengan [air] itu, Kami tumbuhkan untukmu kebun-kebun kurma dan anggur; di sana kamu memperoleh buah-buahan yang banyak dan sebagian dari [buah-buahan] itu kamu makan. Dan [Kami tumbuhkan] pohon yang tumbuh dari gunung Sinai, yang menghasilkan minyak serta [menjadi] bahan pembangkit selera bagi orang- orang yang makan. Dan sungguh pada hewan-hewan ternak terdapat suatu pelajaran bagimu. Kami memberi minum kamu dari [air susu] yang ada dalam perutnya, dan padanya juga terdapat

Bagian berikutnya dari surah al-Mu`minu> n mengisahkan para nabi terdahulu dan penentangan yang mereka terima dari umat mereka. Satu hal yang ditekankan berulangkali dalam bagian tersebut adalah bahwa penentangan orang- orang kafir itu didasarkan pada status para nabi sebagai manusia-manusia biasa. Kaum Nabi Nu> h} berkata (dalam ayat 24), “Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kalian, yang ingin menjadi orang yang lebih mulia daripada kalian. Dan seandainya Allah menghendaki, tentu Dia mengutus malaikat. Belum pernah kami mendengar [seruan yang seperti] ini pada [masa] nenek moyang kami dahulu.” Setelah mengisahkan pernyataan kaum Nabi Nu> h} , al-Qur`an kemudian menjelaskan bahwa, secara umum, orang-orang kafir memang sering

mempertanyakan mengapa nabi yang diutus kepada mereka adalah manusia biasa, yang makan dan minum sebagaimana mereka. Pernyataan ini tercantum dalam ayat 33-34, “[Orang] ini tidak lain hanyalah manusia seperti kalian, dia makan apa yang kalian makan, dan dia minum apa yang kalian minum. Dan sungguh, jika kalian menaati manusia yang seperti [diri] kalian [sendiri ini], niscaya kalian akan rugi.” Mereka kemudian juga berkata (ayat 38), “Dia tidak lain hanyalah seorang laki-laki yang mengada-adakan kebohongan terhadap

Allah, dan kita tidak akan memercayainya.” 150 Dalam sejarah pengutusan nabi dan rasul, penolakan kaum kafir itu terjadi

berulang kali; setiap kali seorang nabi diutus, setiap itu pula dia memperoleh penentangan yang sama. Dalam ayat 44, Allah menegaskan, “Kemudian Kami utus rasul-rasul Kami berturut-turut. Setiap kali seorang rasul datang kepada suatu umat, mereka pun mendustakannya….” Demikian pula yang terjadi pada Nabi Mu> sa> dan Ha> ru> n, ketika umat mereka berdua berkata (dalam ayat 47), “Apakah [pantas] kita percaya kepada dua orang manusia seperti kita, padahal

banyak manfaat untukmu, dan sebagian darinya kamu makan. Di atasnya (yakni hewan-hewan ternak itu), dan di atas kapal-kapal, kamu diangkut.”

150 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 312. Menurut sebagian mufassir, ayat 31-38 itu sebetulnya tidak mengacu kepada orang-orang kafir secara umum, melainkan merupakan kisah

tentang penentangan kaum kafir terhadap Nabi Hu> d atau Nabi S} a> lih} . Lihat Ibn Katsi> r, Tafsi> r al- Qur`a> n al-‘Az} i> m, vol. 3, hlm. 252-253 dan al-Qurt} ubi> , Al-Ja> mi‘ li Ah} ka> m al-Qur`a> n, vol. 12, hlm.

kaum mereka (Bani Israil) adalah orang-orang yang menghambakan diri kepada kita?” 151

Kisah-kisah tentang orang-orang kafir yang merendahkan para nabi hanya karena mereka adalah manusia-manusia biasa, menurut al-Sya> t} ibi> , dituturkan oleh al-Qur`an dengan tujuan menghibur Rasulullah saw.. Karena itu, pada bagian berikutnya dari surah al-Mu`minu> n, al-Qur`an menegaskan bahwa status kemanusiaan para nabi bukanlah suatu cela, bahwa “setiap rasul adalah manusia biasa yang makan dan minum sebagaimana manusia pada umumnya, sementara pengistimewaan mereka oleh Allah adalah hal lain yang tidak ada hubungannya

[dengan status mereka sebagai manusia biasa]”. 152 Dengan pengertian itulah al-

Qur`an kemudian menegaskan bahwa Nabi ‘I< sa> serta ibunya juga makan dan minum seperti halnya manusia biasa. Dalam ayat 50, tertulis, “Dan telah Kami jadikan [‘I< sa> ] putra Maryam bersama ibunya sebagai suatu bukti yang nyata [tentang kebesaran Kami], dan Kami melindungi mereka di sebuah daratan tinggi (tempat yang tenang, rindang dan banyak buah-buahan) dengan mata air yang mengalir.” Kemudian Allah berfirman (dalam ayat 51), “Wahai para rasul! Makanlah dari (makanan) yang baik-baik dan kerjakanlah kebajikan,” sebagai isyarat bahwa makanan tersebut merupakan nikmat dari Allah, bahwa amal kebajikan adalah bentuk syukur atas nikmat tersebut, serta bahwa yang menyebabkan seorang nabi memperoleh keistimewaan dari Allah adalah amal kebajikan yang dilakukannya itu. Dan pernyataan al-Qur`an (dalam ayat 52) bahwa, “Sungguh, ini adalah umat kalian; umat yang satu,” dipahami al-Sya> t} ibi> sebagai penegasan tentang keserupaan di antara para nabi, bahwa mereka sama- sama merupakan orang-orang yang terpilih dari umat manusia. Bagian ini lalu diakhiri dengan cara yang sama seperti ia dimulai, yakni dengan menegaskan

151 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 312-313. 152 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 313.

sifat-sifat yang dengannya seorang manusia akan memperoleh kemuliaan dari Allah (ayat 57-61). 153

Pada titik ini, al-Sya> t} ibi> memberikan review untuk apa yang telah diuraikannya di atas. Seluruh makna yang dikandung oleh setiap bagian dari surah al-Mu`minu> n, menurutnya, merujuk kepada sebuah tema besar: bahwa penolakan kaum kafir terhadap para nabi timbul dari rasa sombong dan tinggi hati. Karena itu, surah ini dimulai dengan penegasan tentang ibadah kepada Allah dalam berbagai bentuknya —sesuatu yang mempersyaratkan kerendahan hati dan lenyapnya kesombongan. Lalu, pada bagian berikutnya, al-Qur`an mengisahkan tentang proses penciptaan manusia dari tiada menjadi ada, disusul

dengan uraian tentang beberapa nikmat yang dianugerahkan Allah kepada manusia, yang tanpanya manusia tidak mungkin mempertahankan hidupnya. Seluruh bagian itu menyiratkan pesan bahwa seorang manusia tidak layak menyombongkan diri di hadapan Allah, Sang Pencipta, maupun di hadapan manusia-manusia lain, termasuk para rasul, yang diciptakan dengan proses, serta

membutuhkan hal-hal, yang sama sepertinya. 154 Kisah-kisah para nabi dan umat mereka dalam bagian selanjutnya memperjelas hal-hal apa yang kerap dijadikan

alasan oleh orang-orang kafir untuk menyombongkan diri. Hal-hal itu bisa berupa kemuliaan, status sosial yang tinggi, atau harta kekayaan dan keturunan yang banyak. Berhadapan dengan hal-hal tersebut, al-Qur`an menegaskan dalam ayat 57-61 bahwa yang patut dibanggakan sebetulnya adalah rasa takut kepada Allah

serta dorongan untuk melakukan ibadah dan amal saleh. 155 Penafsiran al-Sya> t} ibi> terhadap surah al-Mu`minu> n praktis berhenti di sini.

Dia hanya menyatakan kemudian bahwa,

153 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 313. Terjemahan ayat 57-61 itu adalah sebagai berikut. “Sungguh, orang-orang yang sangat berhati-hati lantaran takut kepada

Tuhannya; dan mereka yang beriman kepada tanda-tanda [kekuasaan] Tuhannya; dan mereka yang tidak mempersekutukan Tuhannya; dan mereka yang memberikan apa yang mereka berikan dengan hati penuh rasa takut [karena mereka tahu] bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhannya; mereka itu bersegera dalam kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya.”

154 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 313. 155 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 313-314.

“jika prinsip ini diberlakukan secara general terhadap [keseluruhan] surah [al-Mu`minu> n] tersebut, maka hasilnya pun akan lebih sempurna daripada apa yang telah diuraikan di atas sepanjang ia dilakukan dengan metode dan cara yang sama. Pintu terbuka bagi siapa pun yang berusaha menguji [prinsip ini] pada seluruh surah dalam al-Qur`an…[Kesimpulannya adalah bahwa] surah al-Mu`minu> n sebetulnya merupakan satu kisah tentang satu

persoalan yang sama ( 156 qis} s} ah wa> h} idah fi> syay` wa> h} id).”

Bila ditelisik secara teliti, prinsip dan metode penafsiran sebuah surah sebagai unit tematis ini sebetulnya melibatkan gerak dialektis antara kulli> (dalam hal ini, tema dasar setiap surah dalam al-Qur`an) dan juz`i> (ayat-ayat atau tema- tema yang beragam dalam setiap surah). Gerak dialektis dan bolak-balik antara kulli> dan juz`i> ini, sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu, berlangsung dalam mekanisme tertentu yang membuat keduanya sama-sama tidak dapat diabaikan. Prinsip ini menempati posisi yang sangat sentral dalam struktur pemikiran al-Sya> t} ibi> secara keseluruhan. Kita akan kembali kepada persoalan ini pada bagian mendatang.

Selanjutnya, bagaimana al-Sya> t} ibi> merumuskan konsep tentang intertekstualitas dan koherensi lintas surah pada level al-Qur`an secara keseluruhan? Pada dasarnya, al-Sya> t} ibi> tidak melakukan upaya merangkum tema-tema tertentu yang kepadanya seluruh bagian dari al-Qur`an bisa dikembalikan. Yang dia lakukan adalah membangun konsepsi tentang al-Qur`an sebagai sebuah jejaring makna yang saling berhubungan satu sama lain. Hubungan intertekstual itu tidak bersifat simetris, melainkan tersusun, sekali lagi, dalam sebuah pola hirarki kulli> dan juz`i> . Untuk itu, kita akan memasuki pembahasan mengenai konsep makki> dan madani> yang dirumuskan oleh al- Sya> t} ibi> .

2. Makki> -Madani> , Kulli> -Juz`i> , dan Naskh dalam al-Qur`an Menurut pandangan yang paling populer di kalangan para ulama tafsir, distingsi makki> -madani> lebih berhubungan dengan waktu, bukan tempat,

156 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 314.

pewahyuan. 157 Ayat-ayat makkiyyah adalah ayat-ayat yang diturunkan sebelum hijrah sementara ayat-ayat madaniyyah adalah ayat-ayat yang diturunkan selepas

hijrah. 158 Konsepsi semacam itu menegaskan bahwa konsep makki> -madani> dalam ‘ulu> m al-Qur`a> n memang sedari semula berurusan dengan kronologi pewahyuan.

Tetapi tidak ada barangkali ulama sebelum al-Sya> t} ibi> yang menempatkan konsep kronologi pewahyuan dan makki> -madani> itu ke dalam kerangka koherensi al- Qur`an serta relasi antara konsep kulli> dan juz`i> yang diaksentuasikan secara sangat elaboratif sebagaimana akan terlihat pada paragraf-paragraf berikut ini.

Al-Sya> t} ibi> sama sekali tidak tertarik untuk memasuki perdebatan tentang definisi serta pembatasan konsep makki> -madani> . Dia justru membawa konsep

tersebut untuk mendukung prinsip koherensi dan intertekstualitas al-Qur`an yang dikonstruksikan berdasarkan urutan kronologis pewahyuan. Ketika menafsirkan ayat, “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik [yaitu] al-Qur`an yang serupa [ayat-ayatnya] (ah} sanal-h} adi> tsi kita> ban mutasya> bihan) ….” (al-Zumar [39]: 23), al-Sya> t} ibi> menyatakan bahwa maksud “kita> ban mutasya> bihan” dalam ayat tersebut adalah bahwa seluruh bagian al-Qur`an serupa satu sama lain; bahwa bagian yang diturunkan lebih awal membenarkan bagian yang diturunkan

belakangan, dan demikian pula sebaliknya. 159 Lebih dari itu, sebagai sebuah kesatuan, bagian al-Qur`an yang turun belakangan harus dipahami berdasarkan

bagian lain yang terlebih dahulu diturunkan. Prinsip ini berlaku untuk keseluruhan al-Qur`an. Ayat apa pun dalam al-Qur`an, yang makki> maupun yang madani> , bisa menjadi dasar untuk memahami ayat-ayat lain yang turun

157 Para ulama tafsir mengaitkan konsep asba> b al-nuzu> l dengan persoalan-persoalan waktu ( tarti> b zama> ni> ), tempat ( tah} di> d maka> ni> ), tema ( tabwi> b mawd}u> ‘i> ), serta person ( ta‘yi> n

syakhs}i> ). Lihat S{ ubh} i> S{ a> lih} , Maba> h} its fi> ‘Ulu> m al-Qur`a> n (Beirut: Da> r al-‘Ilm li al-Mala> yi> n, cet. 17, 1988), hlm. 167-169. Karena itu, sebagian dari mereka menganggap ada ayat-ayat yang diturunkan di Madinah tetapi memiliki status makki> ma> ( nazal bi al-Madi> nah wa h}ukmuhu> makki> ), atau ayat-ayat yang diturunkan di Mekah tetapi memiliki status madani> ma> ( nazal bi Makkah wa h} ukmuhu> madani> ). Lihat, misalnya, al-Zarkasyi, Al-Burha> n fi> ‘Ulu> m al-Qur`a> n (ttp.: Da> r Ih} ya> ` al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1972), vol. 1, hlm. 195-196.

158 Dengan demikian, ayat-ayat yang turun dalam perjalanan hijrah menuju Madinah termasuk dalam kategori makki> . Lihat al-Suyu> t} i> , Al-Itqa> n fi> ‘Ulu> m al-Qur`a> n (Beirut: Da> r al-

Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), hlm. 19-20. 159 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 64-65.

setelahnya, dan harus pula dipahami berdasarkan ayat-ayat lain yang turun sebelumnya. Dengan demikian, karena ayat-ayat madaniyyah diturunkan setelah ayat-ayat makkiyyah, maka pemahaman terhadap ayat-ayat yang pertama harus

dilakukan dalam terang ayat-ayat yang kedua. 160 Al-Sya> t} ibi> mengajukan surah al-An‘a> m dan al-Baqarah sebagai contoh.

Menurutnya, Islam datang untuk menyempurnakan nilai-nilai akhlak yang mulia serta memperbaiki bagian-bagian tertentu dari agama Ibrahim yang telah menyimpang dari ajaran dasarnya. Lalu turunlah surah al-An‘a> m yang menjelaskan aturan-aturan akidah dan prinsip-prinsip dasar agama ( qawa> ‘id al- ‘aqa> `id wa us}u> l al-di> n). Berdasarkan surah yang diturunkan di Mekah ini, para

ulama berhasil merumuskan kaidah-kaidah tauhid dan pembahasan-pembahasan ilmu Kalam, dimulai dari afirmasi eksistensi Tuhan hingga persoalan ima> mah. “Jika Anda mengkaji [surah al-An‘a> m] dengan cara yang telah diuraikan dalam kitab ini,” tegas al-Sya> t} ibi> , “maka akan jelas bagi Anda [bahwa ia mengandung] kaidah-kaidah syariat yang bersifat general ( al-qawa> ‘id al-syar‘iyyah al- kulliyyah), yang jika salah satu di antara prinsip-prinsip general itu hancur, maka

keteraturan syariat ( 161 niz} a> m al-syari> ‘ah) akan hancur pula…. ” Setelah Rasulullah saw. berhijrah ke Madinah, turunlah surah al-Baqarah.

Surah ini menjelaskan kaidah-kaidah ketakwaan yang didasarkan pada prinsip- prinsip general dalam surah al-An‘a> m( qawa> ‘id al-taqwa> al-mabniyyah ‘ala> qawa> ‘id su> rah al-An‘a> m). “Kaidah-kaidah ketakwaan” yang dimaksud oleh al- Sya> t} ibi> adalah aturan-aturan teknis tentang amal perbuatan manusia ( af‘a> l al- mukallafi> n), meliputi ibadah-ibadah, ‘a> da> t (seperti tentang makanan, minuman dan sebagainya), mu‘a> mala> t (seperti tentang jual-beli, pernikahan, dan

sebagainya), serta 162 jina> ya> t. Kemudian al-Sya> t} ibi> menyatakan, “Apa yang tidak tercantum di dalamnya (yakni di dalam surah al-Baqarah)

[dan tercantum di dalam surah-surah madaniyyah yang lain] adalah sekedar pelengkap. Maka surah-surah madaniyyah lain yang diturunkan

160 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 304. 161 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 304-305. 162 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 305.

setelah [surah al-Baqarah] sebetulnya didasarkan kepadanya ( mabniyyah ‘alayha> ) sebagaimana surah-surah makkiyyah lain yang diturunkan setelah al-An‘a> m juga didasarkan kepada surah tersebut. Jika Anda memberlakukan [prinsip ini] dalam hubungan antara satu surah dengan surah yang lain, maka Anda pun akan mendapatinya demikian—setiap bagian berhubungan dengan bagian yang lain [melalui cara yang sama]. Seorang pengkaji al-Qur`an seharusnya tidak mengabaikan makna ini karena ia merupakan salah satu dari rahasia-rahasia ilmu tafsir. Tingkat pemahaman seseorang terhadap kala> mulla> h diukur melalui kadar

pengetahuannya tentang prinsip tersebut.” 163

Adalah hal yang jelas, berdasarkan uraian di atas, bahwa pandangan al- Sya> t} ibi> tentang konsep makki> dan madani> dikonstruksikan di atas konsep kulli> dan juz`i> . Prinsip-prinsip general ( kulliyya> t) ajaran Islam tercantum dalam ayat- ayat makkiyyah dan dikembangkan menjadi ketetapan-ketetapan partikular ( juz`iyya> t) dalam ayat-ayat madaniyyah. Bahkan jika pun ada ayat madaniyyah tertentu yang mengandung sebuah prinsip general ( as} l kulli> ), maka ia pasti merupakan bagian yang lebih partikular ( juz`i> ), atau sekedar penyempurnaan

( 164 takmi> l), dari prinsip general lain yang telah diturunkan sebelumnya. Prinsip general paling mendasar, dan karenanya diturunkan pertama kali

di Mekah, adalah iman kepada Allah, Rasul-Nya, serta hari Akhir. Di Mekah pulalah diturunkan perintah untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban agama yang bersifat fundamental, seperti shalat, menginfakkan harta, dan sebagainya. Demikian pula imperatif-imperatif moral yang paling mendasar, seperti perintah berbuat adil, menepati janji, memberikan maaf, bersikap sabar, bersyukur, dan sebagainya, serta larangan melakukan perbuatan keji dan munkar, berbuat zalim, berbuat curang dalam timbangan, berzina, atau membunuh; semua itu diturunkan pada periode Mekah ini. Ketika Rasulullah saw. berhijrah ke Madinah, yang tersisa dari ajaran Islam hanyalah hal-hal partikular yang bersifat komplementer

bagi prinsip-prinsip general yang telah ditetapkan sebelumnya di Mekah. 165

163 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 305. 164 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 33. 165 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 77-78.

Dengan membagi periode pewahyuan menjadi dua, al-Sya> t} ibi> siap menguraikan konsepsinya tentang naskh. Menurutnya, sebuah prinsip general ( kulli> ) sama sekali tidak dapat di- naskh. Karena sebagian besar kulliyya> t terdapat dalam ayat-ayat makkiyyah, maka naskh lebih banyak terjadi pada ayat-ayat

madaniyyah. 166 Al-Sya> t} ibi> mengemukakan argumen-argumen berikut ini untuk mendukung klaimnya tentang naskh yang jarang terjadi pada ayat-ayat

makkiyyah. Pertama, argumen berdasarkan induksi terhadap seluruh kasus naskh yang dikemukakan ulama. Proses induksi itu menegaskan bahwa yang mungkin di- naskh hanyalah hal-hal partikular (juz`iyya> t). Dan karena hanya sedikit juz`i> yang terkandung dalam ayat-ayat makkiyyah, maka hanya sedikit pula ayat-ayat

makkiyyah yang di-naskh. Kedua, ketika sebuah hukum telah ditetapkan, maka ia hanya bisa di- naskh dengan sesuatu yang bersifat pasti (amr muh}aqqaq). Karena itu, para ulama sepakat bahwa khabar al-wa> h} id tidak bisa me-naskh ayat al- Qur`an atau hadits lain yang bersifat mutawa> tir. Implikasinya, al-Sya> t} ibi> menetapkan dua syarat untuk menyatakan bahwa sebuah ayat al-Qur`an di- naskh oleh ayat lain: bahwa ayat yang di- naskh itu tidak bersifat kulli> serta bahwa kedua ayat yang bertentangan tersebut benar-benar tidak mungkin dikompromikan. Ketiga, dalam sejarahnya, naskh pernah digunakan untuk menunjuk pengertian yang lebih luas daripada apa yang diyakini oleh para ulama belakangan. Dalam pemaknaan yang sangat luas itu, naskh juga mencakup baya> n bagi mujmal, atau takhs}i> s} bagi ‘a> mm, atau taqyi> d bagi mut} laq. Karena itu, tidak setiap naskh yang dikemukakan oleh para ulama terdahulu bermakna sama seperti apa yang dikemukakan oleh para ulama belakangan. Keempat, pengharaman atas sesuatu yang sebelumnya muba> h} bukanlah termasuk naskh. Ketika Islam mengharamkan riba dan khamr yang telah lama dipraktikkan oleh masyarakat Arab, maka pengharaman itu tidak bisa dianggap sebagai naskh.

166 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 78. Bandingkan dengan S} ubh} i> S{ a> lih} , Maba> h} its fi> ‘Ulu> m al-Qur`a> n, hlm. 273-274.

Dengan demikian, menjadi gugurlah banyak hal yang oleh para ulama dimasukkan ke dalam kategori 167 na> sikh dan mansu> kh.

Upaya al-Sya> t} ibi> untuk mendasarkan konsepsinya tentang makki> -madani> dan na> sikh-mansu> kh kepada kategorisasi kulli> -juz`i> itu menandai pandangannya tentang prinsip intertekstualitas antar seluruh bagian dari al-Qur`an. Tetapi intertekstualitas itu tidak bersifat simetris. Dalam kesatuannya, masing-masing bagian dari al-Qur`an diletakkan pada posisi tertentu berdasarkan pola yang hirarkis. Ada bagian yang menjadi dasar, dan ada bagian lain yang “sekedar” menjadi cabang atau penjelasan sekunder dari dasar tersebut. Tentu saja hal ini tidak berarti bahwa yang sekunder kurang penting dibandingkan dengan yang

fundamental. Sebagaimana telah berulangkali dinyatakan, relasi antara kulli> dan juz`i> dalam struktur pemikiran al-Sya> t} ibi> dilangsungkan melalui sebuah pola dan mekanisme dialektis di mana tidak ada salah satu yang dikorbankan demi sesuatu

yang lain. 168 Menarik juga untuk diamati bahwa al-Sya> t} ibi> memberlakukan dua model

pemahaman yang berbeda untuk masing-masing tingkatan intertekstualitas al- Qur`an. Pada tingkat surah, kesatuan tema dilacak melalui urutan ayat-ayat dalam mus} h} af. Tetapi, pada tingkat al-Qur`an secara keseluruhan, hubungan antar ayat diurai melalui urutan kronologis pewahyuan: ayat yang turun lebih awal bersifat lebih umum dan lebih mendasar daripada ayat yang turun belakangan. Tampaknya, konsep koherensi al-Qur`an yang dirumuskan al-Sya> t} ibi> dilatarbelakangi oleh minat dan tujuan, serta dirumuskan melalui pola, yang sedikit berbeda dari apa yang lazim dalam pendekatan tematis ( tafsi> r mawd} u> ‘i> ) terhadap al-Qur`an. Jika pada bagian terdahulu, telah dicantumkan pendapat beberapa peneliti tentang konvergensi antara tujuan serta pendekatan yang digunakan oleh para pendukung tafsir mawd} u> ‘i> dengan apa yang sebelumnya

167 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 79-81. 168 Sebuah kulli> dirumuskan melalui pengamatan terhadap seluruh aspek-aspek

partikularnya ( juz`iyya> t), dan setiap juz`i> hanya bisa bermakna apabila ia diletakkan dalam kerangka general kulli> yang mendasarinya. Dengan demikian pemahaman terhadap kulli> dan juz`i berlangsung dalam dua arah sekaligus. Lihat al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 5-11.

telah digagas oleh al-Sya> 169 t} ibi> , maka pada bagian berikut ini, kita akan menguji sejauh mana pertautan itu terjadi.

3. Al-Sya> t}ibi> dan Tafsir Mawd} u> ‘i> Ada beragam definisi tafsir mawd} u> ‘i> yang dikemukakan oleh banyak

ulama dan penulis. 170 Berdasarkan eksposisi terhadap beberapa definisi tersebut, El-Tahir El-Misawi merumuskan dua ciri utama dari pendekatan mawd}u> ‘i> dalam

tafsir. Pertama, perhatian kepada tema sebagai titik fokus dari kegiatan interpretasi al-Qur`an. Kedua, gagasan tentang al-Qur`an sebagai sebuah

kesatuan koheren yang terbentuk dari bagian-bagiannya. 171 Selain itu, meski

sebagian besar literatur tafsir yang menggunakan metode mawd} u> ‘i> tidak mengemukakan kerangka epistemologis dan teoretis yang dibutuhkan untuk melakukan tafsir dengan cara tersebut, namun semua literatur itu berangkat dari keprihatinan yang sama: bahwa tafsir tradisional yang bersifat atomistik, yang

menafsirkan al-Qur`an ayat perayat, dianggap tidak lagi memuaskan. 172

Dari dua ciri utama tafsir mawd} u> ‘i> di atas, pemikiran al-Sya> t} ibi> tampak lebih berhubungan dengan ciri kedua, yaitu gagasan tentang al-Qur`an sebagai sebuah kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan.

169 Lihat bab II, hlm. 42-44. 170 Salah satu definisi tafsir mawd} u> ‘i> yang diajukan oleh Mus} t} afa> Muslim adalah

“Sebuah ilmu yang mengkaji persoalan-persoalan tertentu sesuai dengan al-maqa> s} id al- Qur`a> niyyah, baik yang dirumuskan dari sebuah surah atau lebih.” Lihat Mus} t} afa> Muslim,

Maba> h} its fi> al-Tafsi> r al-Mawd} u> ‘i> (Damaskus: Da> r al-Qalam, 1989), hlm. 15-16. Sementara itu, Sonia Wafiq mendefinisikannya sebagai “Sebuah metode ( manhaj) dalam penafsiran al-Qur`an yang bertujuan untuk memperlihatkan kesesuaian ( muna> sabah) antara teks-teks al-Qur`an (al- nus} u> s} al-Qur`a> niyyah) dalam sebuah surah atau lebih berdasarkan kesatuan tematis yang jelas rambu-rambunya guna menghasilkan sebuah teori, atau paling tidak sebuah pandangan qur`ani, yang membantu tercapainya salah satu atau lebih dari maqa> s} id al-Qur`a> n serta (digunakan untuk) menyelesaikan problem-problem nyata ( masya> kil wa> qi‘iyyah).” Lihat, Sonia Wafiq, “Manhaj al- Tafsi> r al-Mawd} u> ‘i> wa al-H{ a> jah ilayh”, dalam Buh} u> ts Mu`tamar Mana> hij Tafsi> r al-Qur`a> n al- Kari> m wa Syarh} al-H{ adi> ts al-Syari> f, hlm. 653-654.

171 Mohamed El-Tahir El-Misawi, “The Meaning and Scope of al-Tafsir al-Mawdu‘i”, hlm. 128-129.

172 Mohamed El-Tahir El-Misawi, “The Meaning and Scope of al-Tafsir al-Mawdu‘i”, hlm. 125-126. Secara tersirat, hal senada juga diungkapkan oleh al-Kha> lidi> . Lihat S} ala> h} ‘Abd al-

Fatta> h} al-Kha> lidi> , Al-Tafsi> r al-Mawd} u> ‘i> bayna al-Naz} ariyyah wa al-Tat} bi> q, hlm. 42-48.

Perumusan sebuah teori atau pandangan-dunia al-Qur`an tentang tema-tema tertentu barangkali bukan merupakan pusat perhatian al-Sya> t} ibi> . Dengan itu, bisa dinyatakan bahwa kecenderungan al-Sya> t} ibi> untuk menemukan tema dasar dari setiap surah dalam al-Qur`an tidak dia lakukan demi kepentingan tema itu sendiri, melainkan demi mendukung konsepsinya tentang intertekstualitas dan koherensi al-Qur`an, tentang al-Qur`an sebagai kala> m wa> h} id. Dengan kata lain, al-Sya> t} ibi> tidak berangkat dari sebuah tema untuk kemudian mencari pandangan al-Qur`an tentangnya. Selain itu, tidak ditemukan data apa pun yang menunjukkan ketidakpuasan al-Sya> t} ibi> terhadap metode tafsir tradisional yang bersifat atomistik—sesuatu yang, sebagaimana diungkapkan di atas, menjadi

keprihatinan bersama para penggagas metode tafsir mawd} u> ‘i> . Pada bagian terdahulu, telah ditegaskan bahwa proyek besar al-Sya> t} ibi>

adalah peletakan dasar-dasar ilmu syariat ( 173 ta`s}i> l us}u> l ‘ilm al-syari> ‘ah). Dalam kerangka ta`si> l itu, seluruh ajaran Islam harus bertumpu di atas dasar-dasar yang

pasti serta tidak terbantahkan ( qat} ‘iyya> t). Cara yang digunakan al-Sya> t} ibi> untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan menyusun sebuah skala yang dengannya sumber-sumber ajaran Islam diklasifikasi dan dikategorikan. Dalam skala tersebut, Sunnah memperoleh pendasarannya dari al-Qur`an, dan seluruh bagian al-Qur`an memperoleh pendasarannya dari ayat-ayat makkiyyah. Skala semacam itu membuat seluruh ajaran Islam, juga seluruh bagian al-Qur`an, menjadi koheren dan terhubungkan satu sama lain dengan pola relasi yang, sekali lagi, hirarkis.

Metode tafsir mawd} u> ‘i> tidak secara sistematis menyusun pola hirarki semacam itu. Setiap ayat dalam tema tertentu cenderung diposisikan setara. Pola relasi antar ayat bersifat simetris, tidak ada yang menjadi kulli> dan tidak ada pula yang menjadi juz`i> ; seluruhnya berfungsi sama dalam kepentingan merumuskan pandangan atau teori al-Qur`an tentang tema tertentu. Jika dalam proyek al- Sya> t} ibi> , prinsip koherensi al-Qur`an ditempatkan pada kerangka ta`s}i> l al-us} u> l, maka dalam struktur tafsir mawd} u> ‘i> , prinsip yang sama diletakkan pada kerangka

173 Lihat bab II, hlm. 34 dan 36.

perumusan pandangan-dunia al-Qur`an. Itu sebabnya mengapa al-Sya> t} ibi> merumuskan koherensi dan intertekstualitas al-Qur`an dalam pola yang hirarkis, sementara para penggagas metode tafsir mawd} u‘i> merumuskan koherensi tersebut dalam pola yang simetris.

Salah satu asumsi yang dibangun berdasarkan prinsip koherensi dan intertekstualitas al-Qur`an adalah bahwa tidak mungkin ada pertentangan antara bagian-bagian al-Qur`an. Tafsir mawd} u‘i> juga dibangun di atas asumsi ini. Tetapi al-Sya> t} ibi> , sebagaimana akan diuraikan di bawah ini, mengembangkan sebuah metode untuk menjembatani ayat-ayat yang terkesan kontradiktif dalam al- Qur`an melalui, lagi-lagi, perspektif kulli> dan juz`i> .

4. Kontradiksi Antar Ayat: Apakah al-Qur`an Ambigu? Al-Sya> t} ibi> berulang kali menyatakan bahwa syariat Islam tidak mungkin

mengandung kontradiksi. 174 Seorang pengkaji ilmu-ilmu syariat harus “meyakini bahwa tidak ada pertentangan antara satu ayat al-Qur`an

dengan ayat yang lain, antara satu hadits dengan hadits yang lain, atau antara al-Qur`an dan hadits. Semuanya berjalan di atas satu jalan ( mahya‘ wa> h} id) dan disatukan oleh satu makna. Jika sepintas dia melihat adanya pertentangan [di antara hal-hal tersebut], maka dia wajib meyakini bahwa pertentangan itu sebetulnya tidak ada karena Allah sendiri telah bersaksi tentang ketidakmungkinan terjadinya kontradiksi dalam semua hal di atas. Dia mesti bersikap seperti orang yang membutuhkan dan mencari jalan untuk mengkompromikan [pertentangan itu], atau seperti orang yang

berserah diri tanpa perlawanan….” 175

Dengan konsepsi semacam itu, wajar bila al-Sya> t} ibi> menyatakan bahwa pertentangan dalam syariat Islam hanya mungkin terjadi dalam pikiran sang

mujtahid atau mufassir, bukan pada syariat itu sendiri. 176 Dalam al-I‘tis} a> m, al- Sya> t} ibi> mencantumkan banyak contoh ayat dan hadits yang, oleh beberapa orang,

dikira mengandung kontradiksi, padahal tidak. 177 Sebagai kulliyyah al-syari> ‘ah,

174 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 4, hlm. 85. 175 Al-Sya> t} ibi> , Al-I‘tis} a> m, hlm. 481. 176 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 4, hlm. 217. 177 Al-Sya> t} ibi> , Al-I‘tis} a> m, hlm. 482-485.

al-Qur`an tentu berada pada posisi paling tinggi dalam hal ketidakmungkinan terjadi kontradiksi antar ayat-ayatnya. Anggapan bahwa al-Qur`an ambigu dan mengandung kontradiksi lahir karena kurangnya penghayatan ( tadabbur) terhadapnya. Karena itu, tulis al-Sya> t} ibi> , al-Qur`an sendiri menyatakan, “Maka tidakkah mereka menghayati al-Qur`an —afala> yatadabbaru> nal-qur`a> n ?” karena orang-orang yang menghayati al-Qur`an tentu akan tahu bahwa, “sekiranya [al- Qur`an] itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya —lawajadu> fi> hi-khtila> fan katsi> ran ” (al-Nisa> ` [4]:

82). 178 Setelah menegaskan bahwa syariat Islam, juga al-Qur`an, tidak mungkin

mengandung kontradiksi, al-Sya> t} ibi> kemudian mengelaborasi, dalam pembahasan mengenai al-ta‘a> rud} wa al-tarji> h}, teknik-teknik untuk menjembatani bagian- bagian syariat yang menimbulkan kesan kontradiktif. Pembahasan tersebut tampaknya memang diarahkan kepada dalil-dalil hukum yurisprudensial yang mencakup tidak hanya ayat-ayat al-Qur`an, melainkan juga hadits-hadits Rasulullah saw.. Tetapi, sebagaimana akan terlihat nanti, al-Sya> t} ibi> membawa pembahasan itu untuk mengkaji pandangan al-Qur`an tentang kehidupan duniawi dalam kerangka interpretasi yang mirip dengan tafsir mawd} u‘i plus contoh penerapan kriteria kulli> -juz`i> dalam tafsir al-Qur`an.

Al-Sya> t} ibi> menyatakan bahwa dalil-dalil yang terkesan bertentangan namun sebetulnya bisa dikompromikan ( yumkin fi> hi al-jam‘) terbagi menjadi

empat kategori. 179 Pertama, kontradiksi —atau lebih tepatnya, kesan kontradiksi— antara sebuah prinsip general ( kulli> ) dengan hal partikular ( juz`i)

yang menjadi bagiannya. Di satu sisi, misalnya, al-Qur`an melarang kita membunuh manusia, tetapi, di sisi lain, ia juga memerintahkan diberlakukannya hukum qis} a> s} . Larangan membunuh dan perintah melakukan qis} a> s} adalah dua hal yang sebetulnya tidak bertentangan sehingga bisa sama-sama diamalkan tanpa problem yang berarti.

178 Al-Sya> t} ibi> , Al-I‘tis} a> m, hlm. 486. 179 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 4, hlm. 221-224.

Kedua, kontradiksi antara dua hal partikular yang berada di bawah sebuah prinsip general yang sama. Kategori ini dibagi lagi menjadi dua: kontradiksi yang terjadi dari sisi yang sama ( min wajh wa> h{ id) serta kontradiksi yang terjadi dari sisi yang berbeda. Kontradiksi dua dalil dari sisi yang sama tidak mungkin terjadi dalam al-Qur`an kecuali jika salah satu di antara kedua dalil tersebut di- naskh oleh dalil yang lain. Sedangkan kontradiksi yang terjadi dari sisi yang berbeda sebetulnya bukanlah kontradiksi sehingga, karenanya, kedua dalil tersebut bisa sama-sama diberlakukan.

Ketiga, kontradiksi antara dua hal partikular yang tidak menjadi bagian dari satu prinsip general yang sama. Al-Qur`an mewajibkan shalat, tetapi ia juga

mempersyaratkan agar seseorang berwudhu` atau bertayammum sebelum melakukannya. Bagi seseorang yang tidak menemukan air wudhu` dan tidak pula menemukan debu untuk bertayammum, kedua dalil di atas bisa terasa bertentangan. Dia memiliki pilihan untuk tidak melaksanakan shalat lantaran tidak bisa bersuci atau meninggalkan wudhu` dan tayammum sembari tetap mengerjakan shalat. Yang perlu diperhatikan dalam hal ini, menurut al-Sya> t} ibi> , adalah bahwa shalat termasuk bagian dari d} aru> riyya> t, sementara wudhu` dan tayammum termasuk bagian dari tah} si> niyya> t atau mukammila> t. Karena shalat merujuk kepada prinsip general yang lebih tinggi statusnya daripada prinsip general yang membawahi wudhu` dan tayammum, maka shalat tetap harus dilaksanakan meski seseorang tidak menemukan air untuk berwudhu` dan debu untuk bertayammum.

Keempat, kontradiksi antara dua prinsip general dalam jenis yang sama. Al-Sya> t} ibi> sendiri mengakui bahwa kategori ini aneh ( syani> ‘) karena dua prinsip general yang bersifat qat} ‘i> sama sekali tidak mungkin bertentangan satu sama lain. Tetapi (kesan adanya) kontradiksi itu dimungkinkan jika kedua prinsip general tersebut dipandang dari dua sisi yang berbeda ( idza> ka> na al-mawd} u> ‘ lahu> i‘tiba> ra> ni). Al-Qur`an, misalnya, mengembangkan pandangan yang terkesan ambigu tentang kehidupan duniawi. Ambiguitas itu menyangkut dua prinsip general karena, di satu sisi, al-Qur`an seakan-akan menyatakan bahwa seluruh Keempat, kontradiksi antara dua prinsip general dalam jenis yang sama. Al-Sya> t} ibi> sendiri mengakui bahwa kategori ini aneh ( syani> ‘) karena dua prinsip general yang bersifat qat} ‘i> sama sekali tidak mungkin bertentangan satu sama lain. Tetapi (kesan adanya) kontradiksi itu dimungkinkan jika kedua prinsip general tersebut dipandang dari dua sisi yang berbeda ( idza> ka> na al-mawd} u> ‘ lahu> i‘tiba> ra> ni). Al-Qur`an, misalnya, mengembangkan pandangan yang terkesan ambigu tentang kehidupan duniawi. Ambiguitas itu menyangkut dua prinsip general karena, di satu sisi, al-Qur`an seakan-akan menyatakan bahwa seluruh

Menurut al-Sya> t} ibi> , pandangan negatif al-Qur`an tentang kehidupan duniawi bisa dilihat dalam dua hal. Pertama, al-Qur`an memandang kehidupan duniawi sebagai sesuatu yang tidak mendatangkan faedah dan manfaat apa-apa ( la> jadwa> laha> wa la> mah} s} ul ‘indaha> ) sebagaimana tercantum dalam ayat-ayat, “Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan (lahw),

senda gurau (la‘ib), perhiasan (zi> nah) , dan saling berbangga di antara kamu (tafa> khurun baynakum) ….” (al-H{ adi> d [57: 20), “…Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya (mata> ‘ul-guru> r) .” (A< l ‘Imra> n [3]: 185), “Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia rasa cinta kepada apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia (mata> ‘ul-h} aya> tid-dunya> ) ….” (A< l ‘Imra> n [3]: 14), dan

lain sebagainya. 180 Kedua, al-Qur`an juga memandang kehidupan duniawi sebagai “bayangan

yang mudah hilang dan mimpi yang mudah sirna” ( al-z} ill al-za> `il wa al-h}ulm al- munqat} i‘). Beberapa ayat al-Qur`an yang menegaskan makna ini, antara lain, adalah “Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu hanyalah seperti air [hujan] yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah tanaman-tanaman bumi dengan subur [karena air itu], di antaranya ada yang dimakan manusia dan hewan ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya dan berhias, dan pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya (memetik hasilnya), datanglah kepadanya azab Kami pada waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan [tanaman]-nya seperti tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin….” (Yu> nus [10]: 24), “Jangan sekali-kali kamu

180 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 4, hlm. 224.

terpedaya oleh kegiatan orang-orang kafir [yang bergerak] di seluruh negeri. Itu hanyalah kesenangan [yang bersifat] sementara (mata> ‘un qali> lun) ….” (A< l ‘Imra> n

[3]: 185), dan lain sebagainya. 181 Di sisi lain, al-Qur`an juga memandang kehidupan duniawi secara positif,

terutama dalam dua hal berikut. Pertama, dunia bisa menjadi tanda yang menunjukkan eksistensi dan sifat-sifat Tuhan. Al-Qur`an menyatakan, “Maka tidakkah mereka memperhatikan langit yang ada di atas mereka, bagaimana cara Kami membangunnya dan menghiasinya, dan tidak terdapat retak-retak sedikit pun? Dan bumi yang Kami hamparkan dan Kami pancangkan di atasnya gunung- gunung yang kokoh, dan Kami tumbuhkan di atasnya tanaman-tanaman yang

indah; untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi setiap hamba yang kembali (tunduk kepada Allah). Dan dari langit Kami turunkan air yang memberi berkah, lalu Kami tumbuhkan dengan [air] itu pepohonan yang rindang dan biji-bijian yang dapat dipanen; dan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun; [sebagai] rezeki bagi hamba-hamba [Kami], dan Kami hidupkan dengan [air] itu negeri yang mati (tandus). Seperti itulah terjadinya kebangkitan [dari kubur].” (Qa> f [50]: 6-11), “Katakanlah (Muhammad), ‘Milik siapakah bumi, dan semua yang ada di dalamnya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab, ‘Milik Allah’….” (al-Mu`minu> n [23]: 84),

dan lain sebagainya. 182 Kedua, dunia juga merupakan nikmat dan anugerah Allah kepada

manusia. Al-Qur`an menjelaskan, “Allahlah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air [hujan] dari langit, kemudian dengan [air hujan] itu Dia mengeluarkan berbagai buah-buahan sebagai rezeki untukmu; dan Dia telah menundukkan kapal bagimu agar berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan sungai-sungai bagimu. Dan Dia telah menundukkan matahari dan bulan bagimu yang terus menerus beredar [dalam orbitnya]; dan telah menundukkan malam dan siang bagimu. Dan Dia telah memberikan

181 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 4, hlm. 225. 182 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 4, hlm. 225-6.

kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan dapat menghitungnya….” (Ibra> hi> m [14]: 32-34), serta “Dan hewan ternak telah diciptakan-Nya untukmu, padanya ada [bulu] yang menghangatkan dan berbagai manfaat, dan sebagiannya kamu makan. Dan kamu memperoleh keindahan padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya [ke tempat penggembalaan]… dan [Dia telah menciptakan] kuda, bagal, dan keledai, untuk kamu tunggangi dan [menjadi] perhiasan….” (al-Nah}l [16]: 5,6, dan 8). Bahkan kenikmatan akhirat dideskripsikan oleh al-Qur`an dalam bentuk yang mirip dengan kenikmatan duniawi sebagaimana tercantum dalam, misalnya, “(Mereka)

berada di antara pohon bidara yang tidak berduri, dan pohon pisang yang bersusun-susun [buahnya], dan naungan yang terbentang luas….” (al-Wa> qi‘ah [56]: 28-30), atau “Perumpamaan taman surga yang dijanjikan kepada orang- orang yang bertakwa; di sana ada sungai-sungai yang airnya tidak payau, dan sungai-sungai air susu yang tidak berubah rasanya, dan sungai-sungai khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya, dan sungai-sungai madu yang murni….”

(Muh} 183 ammad [47]: 15), dan banyak lagi. Perbedaan dua pola penyikapan al-Qur`an terhadap kehidupan duniawi di

atas menimbulkan kesan ambiguitas dan kontradiksi. Pandangan tentang kehidupan duniawi sebagai sesuatu yang tidak mendatangkan faedah dan manfaat apa-apa, misalnya, bertentangan secara diametris dengan pandangan tentang dunia sebagai nikmat dan anugerah Allah kepada manusia. Demikian pula pandangan tentang dunia sebagai “bayangan yang mudah hilang dan mimpi yang mudah sirna” bertentangan dengan pandangan tentang dunia sebagai tanda

yang menunjukkan eksistensi dan sifat-sifat Tuhan. 184 Lalu, bagaimana cara menghilangkan kesan kontradiksi antara dua sikap yang bertentangan itu?

Al-Sya> t} ibi> menyatakan bahwa, karena al-Qur`an sama sekali tidak mengandung pertentangan, maka masing-masing dari dua sikap al-Qur`an yang

183 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 4, hlm. 226-227. 184 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 4, hlm. 227.

terkesan kontradiktif itu harus dipandang melalui dua perspektif yang berbeda. Maksudnya, seseorang bisa memandang dunia ini melalui salah satu dari dua cara berikut. Pertama, dia bisa memandang dunia dengan pandangan yang sama sekali tidak menghiraukan hikmah ( naz} ar mujarrad min al-h} ikmah) di balik penciptaan dunia, yaitu bahwa ia diciptakan sebagai jalan untuk mengetahui kebenaran atau untuk mensyukuri Sang Pencipta. Dunia semata-mata dipandang sebagai ajang pemerolehan kenikmatan dan pemuasan hawa nafsu. Pusat perhatian orang semacam ini hanyalah makanan, minuman, pakaian, atau hal-hal lain yang bersifat lahiriah. Tentu saja, dunia dalam perspektif ini hanyalah “kulit tanpa isi ( qisyr bila> lubb), permainan yang tidak berarti (la‘b bila> jidd), atau kebatilan

yang tidak mengandung kebenaran ( ba> t} il bila> h} aqq).” Dunia yang sirna dengan cepat ini adalah dunia orang-orang kafir, orang-orang yang amal perbuatan mereka tidak nyata laksana “fatamorgana di tanah datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi apabila didatangi, tidak ada apa pun [di sana].” (al-Nu> r [24]: 39), atau tidak berarti apa-apa bagaikan “debu yang beterbangan —

haba> 185 `an mantsu> ran ” (al-Furqa> n [25]: 23). Kedua, dia juga bisa memilih untuk mengambil hikmah di balik

penciptaan dunia dengan merenungkan kekuasaan Sang Pencipta dan mensyukuri segala nikmat-Nya. Dengan cara demikian, dunia menjadi “kulit yang dipenuhi isi, atau bahkan kulit itu pun menjadi isi ( bal s} a> ra al-qisyr nafsuhu> lubban).” Dalam perspektif inilah al-Qur`an berbicara tentang dunia sebagai sesuatu yang “serius”, sebagai sesuatu yang benar dan nyata, sebagaimana tercantum dalam ayat-ayat seperti “Maka apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu secara main-main?” (al-Mu`minu> n [23]: 115), “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan sia-sia….” (S} a> d [38]: 27), atau “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan segala apa yang ada di antara keduanya dengan main-main.” (al-Anbiya> ` [21]: 16]. Inilah dunia orang-orang mukmin yang oleh Allah dijanjikan “pahala yang tidak ada

185 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 4, hlm. 227-228.

putus-putusnya —ajr gayr mamnu> n ” (al-Ti> n [95]: 6) serta “kehidupan yang baik —h} 186 aya> h t} ayyibah ” (al-Nah} l [16]: 97).

Dalam perspektif pertama, perspektif orang-orang kafir, kehidupan duniawi adalah sesuatu yang buruk dan tercela. Sementara dalam perspektif kedua, perspektif orang-orang mukmin, kehidupan duniawi adalah sesuatu yang baik dan terpuji. Perspektif pertama melahirkan rasa cinta kepada dunia dan kehidupan material, sementara perspektif kedua melahirkan sikap zuhud. Dengan demikian, perbedaan dua sikap al-Qur`an terhadap kehidupan duniawi bukanlah sesuatu yang kontradiktif pada dirinya sendiri—ia hanya menggambarkan bahwa baik atau buruknya dunia tergantung kepada perspektif kita dalam

187 memandangnya.

Tafsir yang dilakukan al-Sya> t} ibi> ini jelas merupakan tafsir mawd} u> ‘i dalam hal bahwa ia memadukan beberapa ayat dari surah-surah yang berbeda dalam satu tema, yakni kehidupan duniawi. Tetapi adalah hal yang jelas pula bahwa pusat perhatian al-Sya> t} ibi> bukanlah tema itu sendiri; dia mengemukakan tafsirnya itu dalam kerangka pembuktian bahwa al-Qur`an bersifat koheren dan tidak mengandung kontradiksi. Dalam kerangka itu pula kita bisa memahami mengapa al-Sya> t} ibi> mencoba menjembatani kontradiksi dalam al-Qur`an melalui perumusan konsep kulli> dan juz`i> . Pemilahan ayat-ayat al-Qur`an serta bagian- bagian syariat Islam ke dalam kulliyya> t dan juz`iyya> t memudahkan al-Sya> t} ibi> , sebagaimana terlihat di atas, untuk mereduksi kesan adanya kontradiksi sebagai sekedar “kesalahan” dalam memahami yang kulli> dan yang juz`i> beserta relasi di antara keduanya. Selanjutnya, kita juga akan melihat bagaimana al-Sya> t} ibi>

186 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 4, hlm. 228. 187 Pandangan yang benar tentang koherensi al-Qur`an dalam persoalan kehidupan

duniawi ini, lanjut al-Sya> t} ibi> , bisa membantu kita memahami dua hal. Pertama, batasan-batasan antara sikap zuhud dan rasa cinta kepada dunia. Kedua, persoalan mana yang lebih baik: menjadi orang kaya atau menjadi orang miskin. Kekayaan tidak otomatis lebih baik daripada kemiskinan sebagaimana kemiskinan juga tidak otomatis lebih baik daripada kekayaan. “Jika kekayaan”, tulis al-Sya> t} ibi> , “mendorong seseorang untuk mementingkan kehidupan duniawi, maka ia menjadi sesuatu yang tercela bagi pemiliknya, dan miskin lebih baik daripada kaya. [Sebaliknya], jika kekayaan mendorong seseorang untuk mencintai kehidupan akhirat dengan jalan menginfakkannya di jalan yang benar atau menggunakannya sebagai bekal menuju akhirat, maka ia lebih baik daripada kemiskinan.” Lihat Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 4, hlm. 228-229.

mengaitkan prinsip koherensi serta intertekstualitas al-Qur`an ini dengan persoalan muh} kam dan mutasya> bih.

5. Muh}kam-Mutasya> bih dan Takwil Landasan tekstual dari seluruh perdebatan tentang muh} kam dan mutasya> bih dalam al-Qur`an adalah ayat, “Dialah yang menurunkan Kitab (al- Qur`an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muh}kama> t, itulah pokok-pokok Kitab (ummul-kita> b) dan yang lain [adalah] mutasya> biha> t. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasya> biha> t untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari

takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, ‘Kami beriman kepadanya (al- Qur`an), semuanya dari sisi Tuhan kami’. Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal.” (A< l ‘Imra> n [3]: 7). Dengan mengutip Ibn Ish} a> q, al-Sya> t} ibi> menyatakan bahwa ayat ini turun ketika para utusan dari Najra> n mendatangi Rasulullah saw.. Mereka adalah pemeluk-pemeluk agama Nasrani. Meski demikian, mereka memiliki pendapat yang berbeda-beda tentang status Nabi ‘I< sa> . Sebagian dari mereka menganggap ‘I< sa> sebagai tuhan karena dia bisa menghidupkan orang mati, menyembuhkan orang sakit, mengabarkan hal-hal gaib, serta menciptakan makhluk sejenis burung dari tanah liat. Sebagian yang lain menganggap ‘I< sa> sebagai anak tuhan lantaran dia lahir tanpa ayah dan mampu berbicara saat dia masih bayi—dua hal yang tidak mungkin dimiliki dan dilakukan oleh manusia biasa. Sebagian lainnya menganggap ‘I< sa> sebagai salah satu dari trinitas ( ts> alits tsala> tsah) karena Allah sendiri sering menggunakan kata ganti plural ( fa‘alna> , amarna> , khalaqna> , qad} ayna> , dan lain sebagainya) untuk menunjuk diri-Nya. Hal itu menunjukkan bahwa Allah tidak sendirian, melainkan bersama Maryam dan ‘I< sa> . Maka, untuk menyangkal argumen-argumen mereka

itu, Allah pun menurunkan ayat 1 hingga ayat 64 dari surah A< 188 l ‘Imra> n.

188 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 68.

Kategori muh} kam, menurut al-Sya> t} ibi> , digunakan dalam dua pengertian: khusus dan umum. Dalam pengertiannya yang khusus, muh} kam adalah ayat al- Qur`an yang tidak di- naskh. Sedangkan dalam pengertiannya yang umum, muh} kam adalah ayat al-Qur`an yang terang dan jelas (al-bayyin al-wa> d} ih} ) sehingga tidak lagi memerlukan penjelasan dari sesuatu selainnya. Secara berlawanan, dua pengertian umum dan khusus di atas biasa juga digunakan untuk mendefinisikan mutasya> bih. Dalam pengertiannya yang khusus, mutasya> bih adalah ayat yang di- naskh; sementara dalam pengertiannya yang umum, mutasya> bih adalah ayat yang maksudnya tidak dapat dipahami melalui lafaznya, baik yang kemudian bisa dipahami melalui pengkajian dan perenungan maupun

yang sama sekali tidak mungkin dipahami. Para mufassir, menurut al-Sya> t} ibi> , memahami muh} kam dan mutasya> bih dalam pengertiannya yang umum. Pengertian itu pula yang tersirat dalam sabda Rasulullah saw., “al-h} ala> l bayyin, wa al-h} ara> m bayyin, wa baynahuma> umu> r

musytabiha> 190 t”. Yang “bayyin” itu adalah muh} kam, sementara yang “musytabiha> 191 t” itu adalah mutasya> bih. Tetapi al-Sya> t} ibi> membagi lagi

mutasya> bih dalam pengertiannya yang umum ke dalam dua kategori: tasya> buh yang bersifat h} aqi> qi> dan tasya> buh yang bersifat id} a> fi> . Sebuah ayat disebut

189 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 63. McAuliffe mengemukakan analisis menarik tentang pola identifikasi muh} kam-mutasya> bih di kalangan para mufassir. Menurutnya,

para mufassir hingga masa al-T{ abari> cenderung mengidentifikasi konsep muh}kam-mutasya> bih dalam pola yang bersifat taksonomis, yakni sekedar sebagai sarana untuk melakukan klasifikasi atas jenis ayat-ayat al-Qur`an. Setelah al-T{ abari> , pergeseran terjadi ke arah yang lebih hermeneutis. Konsep muh} kam-mutasya> bih mulai dikaitkan dengan kemungkinan penafsiran ( interpretability) ayat-ayat al-Qur`an. Lihat Jane Dammen McAuliffe, “Text and Textuality: Q. 3:7 as a Point of Intersection”, hlm. 58-59. Dari perspektif ini, al-Sya> t} ibi> dapat dianggap mengidentifikasi konsep muh} kam-mutasya> bih melalui dua pola di atas, meski pusat perhatiannya lebih pada pola yang kedua. Muh} kam-mutasya> bih dalam pengertiannya yang khusus menunjukkan pola identifikasi yang bersifat taksonomis; sementara dalam pengertiannya yang umum, ia merujuk kepada pola identifikasi yang bersifat hermeneutis.

190 Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukha> ri> dalam S} ah} ih}-nya, Kita> b al-I< ma> n, nomer 50 dan Kita> b al-Buyu> ‘, nomer 1910; Muslim dalam S} ah} ih}-nya, Kita> b al-Musa> qa> h, nomer 2996; al-

Tirmidzi> dalam Sunan-nya, Kita> b al-Buyu> ‘, nomer 1126; al-Nasa> `i> dalam Sunan-nya, Kita> b al- Buyu> ‘, nomer 4377 dan Kita> b al-Asyribah, nomer 5614; Abu> Da> wu> d dalam Sunan-nya, Kita> b al- Buyu> ‘, nomer 2892; Ibn Ma> jah dalam Sunan-nya, Kita> b al-Fitan, nomer 3974; Ah} mad dalam Musnad-nya, bab Awwal Musnad al-Ku> fiyyi> n, nomer 17624, 17645, 17649, 17658, dan 17692; seluruhnya melalui jalur periwayatan al-Nu‘ma> n ibn Basyi> r.

191 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 63.

mengandung tasya> buh h} aqi> qi> apabila ia memang sama sekali tidak mungkin dipahami maknanya. Tetapi jika ketidakjelasan ayat tersebut tidak terletak pada dirinya sendiri, melainkan pada diri sang mufassir, baik karena kurangnya kapasitas keilmuan maupun karena dorongan hawa nafsu, maka tasya> buh itu bersifat id} a> fi> . Menurut al-Sya> t} ibi> , maksud “mutasya> biha> t” dalam ayat 7 dari surah A< l ‘Imra> n di atas, pada dasarnya, adalah ayat-ayat yang mengandung tasya> buh h} aqi> qi> . Tetapi ia bisa juga mencakup pengertian tasya> buh id} a> fi> lantaran tasya> buh id} a> fi> itu kerap muncul dari kalangan “orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan,” yang mengikuti ayat-ayat mutasya> biha> t demi tujuan

“mencari-cari fitnah dan mencari-cari takwilnya”. 192

“Orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan—alladzi> na fi> qulu> bihim zayg” itu adalah salah satu dari dua kelompok yang disebut oleh al- Qur`an dalam hubungannya dengan ayat-ayat mutasya> biha> t. Kelompok lainnya adalah “orang-orang yang ilmunya mendalam—al-ra> sikhu> n fil-‘ilm”. Kelompok pertama, menurut al-Sya> t} ibi> , memiliki dua ciri: pertama, memiliki hati yang “condong kepada kesesatan” dan cenderung mengikuti ayat-ayat mutasya> biha> t bukan demi tujuan mencari kebenaran ( istirsya> d), melainkan untuk menimbulkan fitnah; kedua, tidak memiliki ilmu yang mendalam. Sedangkan kelompok kedua juga ditandai oleh dua ciri: pertama, tidak mengikuti ayat-ayat mutasya> biha> t;

dan 193 kedua, memiliki ilmu yang mendalam. “Ilmu yang mendalam” ( al-rusu> kh fi> al-‘ilm) itu, menurut al-Sya> t} ibi> , mencakup dua hal: pengetahuan tentang

bahasa Arab dan seluk beluknya serta pengetahuan tentang prinsip-prinsip

192 Al-Sya> t} ibi> sebetulnya menambahkan satu kategori lagi, yaitu tasya> buh yang berhubungan dengan aplikasi dalil ( mana> t} al-h} ukm). Contohnya adalah larangan memakan

bangkai dan kebolehan memakan hewan sembelihan; tasya> buh terjadi dalam kondisi ketika bangkai dan hewan sembelihan bercampur menjadi satu dan sulit dibedakan. Tasya> buh dalam kategori ini tentu saja, sebagaimana ditegaskan al-Sya> t} ibi> sendiri, tidak termasuk cakupan pengertian mutasya> biha> t dalam ayat 7 dari surah A< l ‘Imra> n di atas. Lihat al-Sya> t} ibi> , Al- Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 68-69. Bandingkan dengan al-I‘tis} a> m, hlm. 430.

193 Al-Sya> t} ibi> , Al-I‘tis} a> m, hlm. 160-162.

general dan tujuan-tujuan syariat Islam ( al-‘ilm bi kulliyya> t al-syari> ‘ah wa maqa> 194 s} idiha> ).

Tampak jelas dari pengertian al-rusu> kh fi> al-‘ilm yang dirumuskan al- Sya> t} ibi> di atas bahwa landasan intelektual paling penting bagi seorang mufassir adalah pengetahuan tentang bahasa Arab dan prinsip-prinsip general syariat Islam. Tetapi sikap yang salah terhadap ayat-ayat mutasya> biha> t, oleh al-Sya> t} ibi> , juga seringkali dihubungkan dengan dorongan hawa nafsu dan kepentingan pribadi ( ittiba> ‘ al-hawa> ). Ittiba> ‘ al-hawa> , di mata al-Sya> t} ibi> , adalah dasar dari segala bentuk kesesatan ( as} l al-zayg ‘an al-s} ira> t} al-mustaqi> m). Karena itu, tidak

ada kata 195 hawa> dalam al-Qur`an yang tidak dibarengi dengan celaan. Orang-

orang yang mengikuti dorongan hawa nafsu cenderung untuk menundukkan ayat- ayat al-Qur`an di bawah kepentingan-kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan. Oleh karena salah satu tujuan terpenting dari diturunkannya syariat Islam adalah agar manusia tidak tunduk kepada dorongan hawa nafsunya dan menjadi hamba Allah secara sukarela, maka kesalahan orang-orang yang menundukkan ayat-ayat al-Qur`an di bawah kepentingan pribadinya itu, pada dasarnya, diakibatkan oleh ketidaktahuan mereka akan prinsip-prinsip general dan tujuan-tujuan syariat Islam. Itu pula sebabnya mengapa mereka tidak bisa

dimasukkan ke dalam golongan 196 al-ra> sikhu> n fi> al-‘ilm. Dalam karya-karya al-Sya> t} ibi> , kecenderungan untuk “mengikuti ayat-ayat

mutasya> biha> t ” juga dikaitkan secara sangat erat dengan persoalan bid‘ah. Seluruh pelaku bid‘ah memiliki hati yang condong kepada kesesatan 197 dan

selalu mengikuti ayat-ayat mutasya> biha> t demi tujuan menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya. 198 Ketika Rasulullah saw. menyatakan bahwa salah satu

194 Al-Sya> t} ibi> , Al-I‘tis} a> m, hlm. 160. 195 Untuk mendukung pendapatnya ini, al-Sya> t} ibi> mengutip pernyataan T{ a> wu> s, Ibra> hi> m

al-Nakha‘i> , dan Ibn ‘Abba> s tentang tidak adanya kebaikan pada hawa> . Lihat al-Sya> t} ibi> , Al- I‘tis} a> m, hlm. 401.

196 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 57. 197 Al-Sya> t} ibi> , Al-I‘tis} a> m, hlm. 42. 198 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 53; al-I‘tis} a> m, hlm. 401.

ciri orang yang mengikuti ayat-ayat mutasya> biha> t adalah kegemaran mereka untuk memperdebatkan kandungan al-Qur`an ( al-jida> l fi> al-Qur`a> n), al-Sya> t} ibi> dengan tegas menyatakan bahwa ciri tersebut juga terdapat pada para pelaku

bid‘ah. 199 Al-Sya> t} ibi> juga mengutip pernyataan Ibn ‘Abba> s tentang kelompok Khawa> rij, sebuah kelompok yang oleh al-Sya> t} ibi> dianggap sebagai salah satu

pelaku bid‘ah pertama dalam Islam; bahwa mereka “beriman terhadap [bagian yang] muh} kam dari al-Qur`an dan celaka dalam [hal-hal yang] mutasya> bih

darinya— 200 yu`minu> n bi muh} kamihi> wa yahliku> n ‘inda mutasya> bihihi> .” Selain itu, bid‘ah bisa disebabkan oleh kecenderungan untuk berpegang hanya kepada

makna lahiriah al-Qur`an—sesuatu yang juga merupakan penyebab lahirnya

tasya> buh dan kesan kontradiksi antara ayat-ayat al-Qur`an. Lalu, bagaimana sebetulnya pola relasi antara muh} kam dan mutasya> bih dalam al-Qur`an? Al-Sya> t} ibi> menegaskan bahwa pemahaman terhadap ayat-ayat

mutasya> biha> t harus dirujukkan kepada, dan dilakukan secara kongruen dengan, ayat-ayat muh} kama> t. Kesalahan kelompok seperti Khawa> rij dan Muktazilah di mata al-Sya> t} ibi> adalah karena mereka hanya mengambil ayat-ayat mutasya> biha> t dan meninggalkan ayat-ayat muh}kama> t. Khawa> rij menolak tah} ki> m dengan mengutip ayat, “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah—inil-h} ukmu illa>

lilla> h ” (al-An‘a> m [6]: 57), tanpa merujukkannya ke ayat lain, seperti “…menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu—yah} kumu bihi> dzawa> ‘adlin minkum ” (al-Ma> `idah [5]: 95) atau “…maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan—h} akaman min ahlihi> 202 wa h} akaman min ahliha> . ” (al-Nisa> ` [4]: 35). Demikian pula

Muktazilah; mereka hanya mengutip ayat-ayat seperti “i‘malu> ma> syi`tum” (Fus} s} ilat [41]: 40) atau “faman sya> `a fal-yu`min wa man sya> `a fal-yakfur” (al- Kahf [18]: 29), tanpa merujukkannya kepada ayat-ayat lain, seperti “walla> hu

199 Al-Sya> t} ibi> , Al-I‘tis} a> m, hlm. 41. 200 Al-Sya> t} ibi> , Al-I‘tis} a> m, hlm. 401. 201 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 4, hlm. 129. 202 Al-Sya> t} ibi> , Al-I‘tis} a> m, hlm. 430; dan al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 67 199 Al-Sya> t} ibi> , Al-I‘tis} a> m, hlm. 41. 200 Al-Sya> t} ibi> , Al-I‘tis} a> m, hlm. 401. 201 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 4, hlm. 129. 202 Al-Sya> t} ibi> , Al-I‘tis} a> m, hlm. 430; dan al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 67

Oleh karena ayat-ayat muh} kama> t adalah rujukan ayat-ayat mutasya> biha> t, maka al-Qur`an menyebut yang pertama sebagai “umm al-kita> b”. Bagi al- Sya> t} ibi> , umm al-kita> b itu mencakup seluruh prinsip-prinsip dasar ajaran Islam, baik yang menyangkut keyakinan teologis maupun yang menyangkut amal

praktis ( 204 ya‘umm ma> huwa min al-us} u> l al-i‘tiqa> diyyah aw al-‘amaliyyah). Karena itu, kulliyya> t dalam al-Qur`an pasti merupakan bagian dari muh} kama> t,

dan orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasya> biha> t tanpa merujukkannya kepada ayat-ayat muh} kama> t cenderung akan mengemukakan pandangan yang

bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam ( al-qawa> ‘id al-syar‘iyyah al-kulliyyah). 205

Dengan konsepsi semacam itu, adalah hal yang wajar apabila al-Sya> t} ibi> menyatakan bahwa tasya> buh tidak mungkin terjadi pada prinsip-prinsip general ( kulliyya> t); ia hanya terdapat dalam hal-hal sekunder dan partikular

( 206 juz`iyya> t). Al-Sya> t} ibi> mendasarkan pernyataannya itu pada dua argumen. Pertama, induksi terhadap seluruh bagian syariat membuktikan kebenaran hal itu.

Kedua, jika tasya> buh terjadi dalam prinsip-prinsip general ajaran Islam, maka sebagian besar ajaran Islam akan termasuk ke dalam kategori mutasya> bih. Penjelasannya sebagai berikut. Setiap bagian partikular ( far‘) dari ajaran Islam pasti merujuk kepada prinsip generalnya ( as} l) masing-masing; keabsahan, ketidakabsahan, kejelasan, serta kesamaran bagian partikular diukur berdasarkan keabsahan, ketidakabsahan, kejelasan, serta kesamaran prinsip general. Karena itu, jika sebuah bagian partikular didasarkan kepada prinsip general yang

mutasya> bih, maka ia pun akan menjadi mutasya> bih. Bisa dibayangkan betapa banyak bagian dari ajaran Islam yang akan termasuk ke dalam kategori

203 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 67. 204 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 4, hlm. 127. 205 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 4, hlm. 130. 206 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 71.

mutasya> bih jika tasya> buh bisa masuk ke dalam prinsip-prinsip general syariat. Dan hal ini, menurut al-Sya> 207 t} ibi> , tentu saja tidak mungkin terjadi.

Selain itu, konsep muh} kam-mutasya> bih dalam pemikiran al-Sya> t} ibi> berhubungan dengan konsepsinya tentang status al-Qur`an sebagai sebuah kitab yang terbuka bagi pemahaman manusia. Jika ada bagian tertentu dari al-Qur`an yang tidak bisa dipahami oleh manusia ( mutasya> bih), maka bagian tersebut pasti tidak memiliki implikasi hukum apa-apa ( la> yas} ih} h} an yukallafa bi muqtad} a> hu). Ketika al-Qur`an menyatakan bahwa di dalam dirinya terdapat ayat-ayat mutasya> biha> t, ia juga menegaskan bahwa sikap yang benar adalah sikap orang- orang yang berilmu mendalam ( al-ra> sikhu> n fi al-‘ilm), yaitu mereka yang

berkata, “Kami beriman kepadanya (al-Qur`an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Pemahaman inilah yang membawa al-Sya> t} ibi> untuk menyatakan bahwa satu- satunya kewajiban kita terhadap ayat-ayat mutasya> biha> t adalah mengimaninya dalam makna yang dikehendaki Allah, bukan dalam makna yang kita pahami

( 208 ‘ala> al-ma‘na> al-mura> d minhu, la> ‘ala> ma> yafham al-mukallaf minhu).

Melalui seluruh konsepsinya tentang muh} kam dan mutasya> bih di atas, al- Sya> t} ibi> kemudian menegaskan bahwa ayat-ayat mutasya> biha> t hanya menempati porsi yang sedikit dalam al-Qur`an. Untuk mendukung pernyataannya itu, al- Sya> t} ibi> mengemukakan tiga argumen. Pertama, ayat al-Qur`an sendiri menegaskan bahwa ayat-ayat mutasya> biha> t berjumlah lebih sedikit daripada ayat-ayat muh} kama> t. Karena itu, ayat 7 dari surah A< l ‘Imra> n menyebut “wa ukharu mutasyabiha> t”, sementara ayat-ayat muh}kama> t disebut dengan “ummul- kita> b”. Kata umm dalam bahasa Arab, menurut al-Sya> t} ibi> , bermakna “bagian terbesar dan terbanyak dari sesuatu” ( mu‘z}am al-syay` wa ‘a> mmatuhu> ). Kedua,

207 Salah satu contoh tasya> buh yang dikutip al-Sya> t} ibi> adalah huruf-huruf muqat} t} a‘ah dalam beberapa fawa> tih} al-suwar. Menurutnya, huruf-huruf tersebut hanya merupakan bagian

partikular ( juz`i> ) dari prinsip-prinsip general ( kulliyya> t) yang mendasari ‘ulu> m al-Qur`a> n. Tetapi al-Sya> t} ibi> juga menyatakan bahwa tasya> buh yang tidak mungkin terjadi pada kulliyya> t adalah tasya> buh h} aqi> qi> . Sedangkan tasya> buh yang bersumber dari kesalahan atau ketidakmampuan seseorang dalam memahami al-Qur`an ( tasya> buh id}a> fi> ) mungkin terjadi dalam kulliyya> t sebagaimana ia juga mungkin terjadi dalam juz`iyya> t. Lihat al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 72-73.

208 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 255-256.

jika al-Qur`an mengandung ayat-ayat mutasya> biha> t dalam jumlah besar, maka ia menjadi sulit dipahami. Sebuah teks yang sulit dipahami tentu saja tidak bisa mengklaim dirinya sebagai “penjelasan” ( baya> n) dan “petunjuk” (huda> ) sebagaimana seringkali ditegaskan oleh al-Qur`an sendiri. Bahkan, menurut al- Sya> t} ibi> , jika saja al-Qur`an tidak menyebut bahwa dirinya mengandung ayat-ayat mutasya> biha> t, maka keberadaan ayat-ayat semacam itu sama sekali tidak boleh kita yakini. Ketiga, induksi terhadap seluruh bagian al-Qur`an membuktikan bahwa ia tidak mengandung kontradiksi. Ketiadaan kontradiksi itu hanya bisa terwujud apabila jumlah ayat-ayat mutasya> biha> t di dalam al-Qur`an memang

tidak banyak. 209

Setelah mengemukakan argumen-argumen tentang sedikitnya jumlah ayat-ayat mutasya> biha> t, al-Sya> t} ibi> kemudian masuk ke dalam persoalan takwil. Konsep takwil al-Sya> t} ibi> didasarkan pada pembagian mutasya> bih menjadi h} aqi> qi> dan id} a> fi> . Takwil terhadap mutasya> bih id} a> fi> , menurut al-Sya> t} ibi> , wajib dilakukan apabila memang ada dalil atau penjelasan yang bisa membuatnya keluar dari kondisi tasya> buh, seperti takwil terhadap ‘a> mm dengan menggunakan kha> s} s} , mut} laq dengan muqayyad, atau d}aru> ri> dengan h} a> ji> , dan sebagainya. Takwil dengan menggabungkan dua hal di atas ( ‘a> mm dengan kha> s} s} , mut}laq dengan muqayyad, atau d} aru> ri> dengan h} a> ji> ) bisa membuat hal-hal yang sebelumnya termasuk ke dalam kategori mutasya> bih (id} a> fi> ) menjadi bagian dari kategori

muh} 210 kam. Sebaliknya, takwil terhadap mutasya> bih h} aqi> qi> , menurut al-Sya> t} ibi> , sama sekali tidak dianjurkan. Ketika menemukan ayat-ayat yang dianggap

mutasya> biha> t, seorang mufassir harus mencari penjelasannya dalam ayat-ayat lain, dalam hadits-hadits sahih, atau dalam ijma> ‘ yang bersifat pasti. Jika penjelasan itu ditemukan dalam salah satu dari tiga sumber tersebut, maka ayat

209 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 64-65. Pernyataan al-Sya> t} ibi> tersebut kerap dipertentangkan dengan kenyataan bahwa banyak sekali persoalan yang memicu perdebatan dan

perbedaan di kalangan ulama—sesuatu yang menyiratkan banyaknya bagian-bagian mutasya> biha> t dalam syariat Islam. Terhadap keberatan ini, al-Sya> t} ibi> berargumen bahwa masalah-masalah yang diperdebatkan ulama ( masa`il al-khila> f) bukan disebabkan oleh tasya> buh dalam dalil, melainkan oleh perbedaan perspektif para mujtahid itu sendiri dalam memahami dalil-dalil yang bersangkutan. Lihat al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 70.

210 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 73.

tadi tentu tidak lagi termasuk dalam kategori mutasya> bih h} aqi> qi> . Tetapi jika penjelasan tersebut tidak ditemukan, maka ayat itu termasuk dalam kategori mutasya> bih h} aqi> qi> , sehingga takwil terhadapnya, di mata al-Sya> t} ibi> , sama seperti upaya menerka-nerka kehendak Allah tanpa didasari oleh pengetahuan ( tasawwur ‘ala> ma> la> yu‘lam)—sesuatu yang tercela dan tidak layak dilakukan. Selain itu, takwil terhadap ayat-ayat yang mengandung tasya> buh h} aqi> qi> juga tidak pernah dilakukan oleh generasi al-salaf al-s} a> lih} , yaitu mereka yang disebut al-Sya> t} ibi>

sebagai “teladan dan panutan” ( 211 al-uswah wa al-qudwah). Akan tetapi, di sisi lain, al-Sya> t} ibi> juga mengakui bahwa banyak upaya

dilakukan oleh para ulama belakangan ( muta`akhkhiri> al-ummah) untuk

menakwilkan beberapa ayat al-Qur`an yang termasuk dalam kategori mutasya> bih h} aqi> qi> . Meski menyatakan dirinya tidak menyetujui upaya tersebut, al-Sya> t} ibi> juga menyadari bahwa perbedaan sikap itu merupakan perbedaan ijtihad yang dibenarkan karena bagian akhir dari ayat 7 dari surah A< l ‘Imra> n di atas bisa juga dibaca “… tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang

yang ilmunya mendalam….” 212 Apalagi takwil yang dilakukan oleh para ulama belakangan itu didasarkan pada prinsip keluasan bahasa Arab ( ittisa> ‘ al-‘arab fi>

kala> 213 miha> ) dari sudut pandang kina> yah, isti‘a> rah, tamtsi> l, dan lain sebagainya. Bertolak dari perbedaan tersebut, al-Sya> t} ibi> menyatakan bahwa jika

takwil terhadap ayat-ayat mutasya> biha> t terpaksa dilakukan, maka takwil itu harus memenuhi tiga syarat: pertama, makna yang dihasilkannya merupakan hasil dari pemahaman yang benar ( s} ah} i> h} fi> al-i‘tiba> r); kedua, makna itu disepakati secara umum oleh orang-orang yang melakukan takwil ( muttafaq

211 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 73. Lihat juga al-I‘tis} a> m, hlm. 498-499. 212 Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang bagian “wa ma> ya‘lamu

ta`wi> lahu> illal-La> hu war-ra> sikhu> na fil-‘ilmi yaqu> lu> na a> manna bihi> ” dari surah A< l ‘Imra> n, ayat 7, tersebut. Sebagian membacanya dengan waqf pada frasa “illal-La> h”, sementara sebagian yang

lain membacanya dengan was} l. Al-Suyu> t} i> menganggap pendapat pertama lebih benar dan dianut oleh mayoritas umat Islam, baik dari kalangan “sahabat, ta> bi‘i> n, ta> bi‘i> al-ta> bi‘in, maupun generasi-generasi setelah mereka.” Lihat al-Suyu> t} i> , Al-Itqa> n, vol.2, hlm. 4-5.

213 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 73-74.

‘alayhi fi> 214 al-jumlah bayna al-mukhtalifi> n); dan ketiga, tidak bertentangan dengan lafaz ayat yang ditakwil ( 215 yaku> n al-lafz} al-mu`awwal qa> bilan lahu> ).

Melalui tiga syarat tersebut, al-Sya> t} ibi> kemudian merumuskan langkah-langkah operasional untuk melakukan dan menilai sebuah takwil terhadap ayat al-Qur`an. Pertama-tama, makna yang dihasilkan melalui proses takwil tersebut harus diperiksa apakah ia bertentangan dengan lafaz ayat yang ditakwil atau tidak. Jika terdapat pertentangan, maka takwil itu harus ditolak. Jika tidak, langkah berikutnya adalah memeriksa apakah makna tersebut sesuai dengan kenyataan ( yajri> ‘ala> muqtad} a> al-‘ilm) atau tidak. Jika sesuai, maka takwil tersebut tidak boleh ditolak karena ia selaras dengan lafaz ayat dan tidak bertentangan dengan

makna yang dikehendakinya ( li anna al-lafz} qa> bil lahu> wa al-ma‘na> al-maqs} u> d min al-lafz} la> ya`ba> hu). Sebaliknya, jika makna tersebut tidak sesuai dengan

kenyataan ( 216 la> yajri> ‘ala> muqtad} a> al-‘ilm), maka ia harus ditolak. Secara umum, konsep muh} kam-mutasya> bih dan takwil yang dibangun

oleh al-Sya> t} ibi> itu juga didasarkan kepada prinsip koherensi dan intertekstualitas

214 ‘Abdullah> Darra> z menyatakan bahwa syarat kedua ini sebetulnya telah tercakup dalam pengertian syarat pertama. Alasannya, sebuah makna tidak dapat dinyatakan telah

dipahami dengan benar kecuali jika ia disepakati secara umum oleh para ulama. Dengan demikian, menurutnya, tiga syarat yang dikemukakan al-Sya> t} ibi> di atas sebetulnya bisa diringkas menjadi hanya dua syarat. Lihat al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 74, catatan kaki nomer 2. Penjelasan al-Sya> t} ibi> sendiri pada bagian berikutnya tampak membenarkan pendapat ‘Abdullah> Darra> z di atas.

215 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 74. 216 Contoh takwil yang ditolak karena makna yang dihasilkannya bertentangan dengan

lafaz ayat yang ditakwil adalah penafsiran kata “gawa> ” dalam ayat “wa ‘as} a> a> damu rabbahu> fagawa> ” (T}a> ha> [20]: 121) dengan “gawiya” yang bermakna “mengalami gangguan pencernaan”.

Kata “gawiya” tentu tidak sama dengan “gawa> ” . Sedangkan contoh takwil yang ditolak karena ia bertentangan dengan muqtad} a> al-‘ilm adalah penafsiran kata “khali> l” dalam ayat “wat-takhadzal- la> hu ibra> hi> ma khali> lan” (al-Nisa> ` [4]: 125) dengan makna “fakir”. Meski kata “khali> l” memang bisa dimaknai dengan “fakir”, tetapi dalam konteks ayat tersebut, ia bertentangan dengan kenyataan bahwa Ibra> hi> m bukanlah seorang fakir. Di luar dua ayat di atas, terdapat contoh lain dari takwil yang bertentangan dengan lafaz ayat sekaligus dengan muqtad} a> al-‘ilm, yaitu penafsiran Baya> n ibn Sam‘a> n yang menyatakan bahwa kata “baya> n” dalam ayat “ha> dza> baya> nun lin-na> si” menunjuk kepada dirinya. Kata “baya> n” dalam ayat tersebut tentu saja tidak bisa dimaknai dengan nama person dan tidak ada pula bukti yang bisa membenarkan pemaknaan semacam itu. Lihat al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 74 dan 293. Baya> n ibn Sam‘a> n adalah seorang pemuka Syi‘ah di Kufah yang tewas dieksekusi oleh pemerintah pada tahun 119 H.. Para pengikutnya kemudian mendirikan sekte tersendiri yang disebut Baya> niyyah (dikenal juga dengan Bana> niyyah atau Sam‘a> niyyah). Lihat M.G.S. Hodgson, “Baya> n b. Sam‘a> n al-Tami> mi> ”, dalam

C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam,WebCD Edition.

al-Qur`an. Bahwa bagian-bagian yang mutasya> bih dalam al-Qur`an harus dirujukkan kepada bagian-bagian yang muh} kam, bahwa takwil terhadap tasya> buh id} a> fi> harus dilakukan dengan mencari takhs} i> s} bagi ‘a> mm, taqyi> d bagi mut} laq, atau baya> n bagi mujmal; serta bahwa tasya> buh tidak mungkin ada pada kulliyya> t; semua itu menyiratkan sebuah prinsip bahwa pemahaman al-Qur`an tidak bisa dilakukan secara parsial dan sepotong-potong.

Pada dasarnya, prinsip koherensi al-Qur`an yang dirumuskan al-Sya> t} ibi> memiliki kaitan erat dengan tiga pra-anggapannya tentang al-Qur`an. Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu, status al-Qur`an sebagai kulliyyah al-syari> ‘ah membuatnya harus bisa dipahami. Kalaupun ada bagian al-

Qur`an yang tidak bisa dipahami, maka ia pasti berjumlah sedikit, tidak termasuk dalam kulliyya> t, serta tidak berhubungan dengan persoalan-persoalan takli> fi> . Anggapan bahwa al-Qur`an mengandung banyak ayat yang sulit dipahami atau saling bertentangan satu sama lain timbul akibat kesalahan interpretasi sang

mufassir, bukan merupakan sesuatu yang inheren dalam al-Qur`an sendiri. Prinsip koherensi dan intertekstualitas al-Qur`an —yang oleh al-Sya> t} ibi diterjemahkan ke dalam kaidah-kaidah memahami kulli> -juz`i> , makki> -madani> , serta muh}kam- mutasya> bih— merupakan salah satu cara, selain bahasa dan tradisi bangsa Arab, untuk memahami ayat-ayat yang terkesan sulit dimengerti atau bersifat kontradiktif itu. Selanjutnya, kita akan beralih ke persoalan sumber penafsiran al- Qur`an.

C. Sumber Penafsiran al-Qur `an Sumber pengetahuan dalam tafsir al-Qur`an biasanya dipetakan menjadi tiga: riwayat, rasio, dan intuisi. Yang pertama melahirkan tafsi> r bi al-ma`tsu> r, yang kedua melahirkan tafsi> r bi al-ra`y, dan yang ketiga melahirkan tafsi> r isya> ri> . Pembahasan tentang sumber penafsiran al-Qur`an menurut al-Sya> t} ibi> akan dipusatkan terutama kepada dua kategori yang pertama. Pendirian al-Sya> t} ibi> dalam persoalan tafsi> r isya> ri> bisa dilihat dalam konsepsinya mengenai makna z} a> hir dan makna ba> t} in al-Qur`an pada bagian sebelum ini.

1. Tafsir bi al-Ma`tsu> r dan Otoritas Generasi-generasi Terdahulu Tafsir bi al-ma`tsu> r dipahami sebagai upaya penafsiran al-Qur`an yang

didasarkan kepada hadits Rasulullah saw., riwayat para sahabat, atau pendapat para ta> bi‘i> n. Sejauh yang dapat diamati dari dua karyanya, al-Muwa> faqa> t dan al- I‘tis} a> m, al-Sya> t} ibi> memang tidak menggunakan istilah “tafsir bi al-ma`tsu> r”. Tetapi, sebagaimana akan diuraikan pada paragraf-paragraf berikut ini, al-Sya> t} ibi> menjelaskan secara cukup eksplisit pendapatnya tentang penafsiran al-Qur`an berdasarkan riwayat-riwayat dalam tiga kategori di atas.

Penafsiran al-Qur`an yang dilakukan oleh Rasulullah saw., menurut al-

Sya> t} ibi> , adalah penafsiran yang “sahih dan tidak mungkin dipersoalkan kebenarannya” ( s} ah} i> h} la> isyka> l fi> s} ih} h} atihi> ) dan “tidak ada perbedaan pendapat tentang hal itu” ( la> khila> f fi> dza> lika). Untuk tujuan “menjelaskan kandungan al- Qur`an” itulah Rasulullah saw. diutus oleh Allah sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur`an, “Dan Kami turunkan al-dzikr (al-Qur`an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (al-

Nah} 217 l [16]: 44). Selain itu, sebagaimana telah diuraikan dalam pembahasan terdahulu, ketika al-Sya> t} ibi> menegaskan bahwa Sunnah memiliki status yang

lebih sekunder dibandingkan al-Qur`an, dia juga secara bersamaan menekankan fungsi Sunnah sebagai sumber yang tidak mungkin diabaikan dalam penafsiran al-Qur`an.

Para ulama berdebat mengenai persoalan berapa banyak ayat al-Qur`an yang ditafsirkan Rasulullah saw. kepada para sahabat. 218 Sebagian di antara

mereka, seperti Ibn Taymiyah (w. 728 H.), 219 berpendapat bahwa Rasulullah saw. menafsirkan seluruh ayat al-Qur`an. Sementara beberapa ulama lain, seperti al-

217 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 251. 218 Al-Dzahabi> , Al-Ittija> ha> t al-Munh} arifah, hlm. 11-12. 219 Ibn Taymiyah, Muqaddimah fi> Us} u> l al-Tafsi> r (Beirut: Da> r Ibn H{ azm, cet.2, 1997),

hlm. 6.

Suyu> 220 t} i> (w. 911 H.), menyatakan bahwa Rasulullah saw. hanya menafsirkan sebagian kecil dari ayat-ayat al-Qur`an. Al-Sya> t} ibi> sendiri tampaknya lebih

menyetujui pendapat kedua. Menurutnya, Rasulullah saw. hanya menjelaskan apa yang tanpanya al-Qur`an tidak mungkin dipahami ( ma> la> yu> s} al ila> ‘ilmihi> illa> bihi> ) dan menyerahkan pemahaman atas hal-hal lainnya kepada ijtihad para

ulama. 221 Setelah Rasulullah saw. wafat, otoritas tafsir al-Qur`an beralih kepada

para sahabat. Menurut al-Sya> t} ibi> , jika seluruh sahabat sepakat dalam penafsiran sebuah ayat, maka penafsiran tersebut dapat dianggap sahih dan layak dijadikan

pegangan. 222 Alasannya ada dua. Pertama, para sahabat adalah orang-orang Arab

yang paling fasih dan memiliki pengetahuan paling mendalam tentang seluk- beluk bahasa mereka. Dari sudut pandang linguistik ini, tidak ada alasan untuk meragukan pemahaman mereka terhadap al-Qur`an dan seluruh aspek syariat

Islam. 223 Kedua, mereka juga hidup di masa pewahyuan dan menjadi saksi atas peristiwa-peristiwa yang menyebabkan ayat-ayat al-Qur`an diturunkan. Dalam

hal itu, mereka dapat dianggap mengetahui apa yang tidak bisa diketahui oleh generasi-generasi setelah mereka. 224 Karena itu, tulis al-Sya> t} ibi> ,

“jika mereka memberikan penjelasan yang berfungsi sebagai tafsir bagi bagian-bagian tertentu dari al-Qur`an atau Sunnah, yakni penjelasan yang tanpanya teks [al-Qur`an atau Sunnah] itu tidak mungkin dipahami secara benar ( lam yakun tanzi> l al-nas} s} ‘alayhi ‘ala> wajhihi> ), maka menerima dan

220 Pendapat ini dikutip al-Suyu> t} i> dari al-Khuwayyi> . Lihat al-Suyu> t} i> , Al-Itqa> n, vol. 2, hlm. 349. 221 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 315-316. 222 Para sahabat bersepakat, misalnya, bahwa penyebab perintah bersuci dalam ayat “wa

in kuntum junuban fa-t}t}ahharu> ” (al-Ma`idah [5]: 6) mencakup juga persentuhan dua alat kelamin laki-laki dan wanita ( iltiqa> ` al-khita> nayn). Lihat al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 251.

223 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 251. Dalam al-I‘tis} a> m, al-Sya> t} ibi> juga menyatakan, “Setiap orang yang berusaha meneladani mereka [yakni para sahabat] dalam

memahami al-Qur`an dan Sunnah berdasarkan bahasa Arab; jika ia benar-benar menginginkan dirinya termasuk ke dalam kelompok orang-orang yang berhak melakukan ijtihad, maka, dengan kehendak Allah, dia akan termasuk dalam kelompok tersebut.” Lihat al-Sya> t} ibi> , Al-I‘tis} a> m, hlm. 477.

224 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 251.

mengamalkan penjelasan tersebut adalah sesuatu yang harus dilakukan”. 225

Sedangkan dalam hal ketika sebuah penafsiran tidak disepakati oleh seluruh sahabat, al-Sya> t} ibi> cenderung memilih untuk menganggapnya sebagai persoalan ijtiha> diyyah sehingga para sahabat maupun orang-orang lain yang hidup setelah mereka pun memiliki posisi yang setara ( hum wa man siwa> hum fi> hi

syara‘ sawa`). 226 Meski demikian, uraian di bawah ini akan memperlihatkan bahwa al-Sya> t} ibi> tetap menganggap para sahabat, dan generasi al-salaf al-s} a> lih}

secara umum, sebagai generasi yang memiliki otoritas lebih besar daripada generasi-generasi setelah mereka. 227

Al-Sya> t} ibi> mengecam keras praktik apa pun yang bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh generasi terdahulu ( mukha> lafah al-awwali> n). “Jika keutamaan itu ada,” tulisnya, “maka generasi-generasi awal lebih berhak untuk memilikinya” ( laka> na al-awwalu> n ah} aqqa bihi> ). Karena itu, “siapa pun yang berbeda pendapat dengan generasi salaf terdahulu ( man kha> lafa al-salaf al-

awwali> 228 n), maka ia pasti berada dalam kesalahan (fa huwa ‘ala> khat} a`)”. Kesan kontradiksi antar ayat al-Qur`an juga bisa timbul ketika ia dipahami tanpa

“berpedoman kepada generasi-generasi terdahulu” ( min gayr i‘tima> d ‘ala> al- awwali> 229 n). Ketika menolak beberapa tafsir yang salah terhadap makna ba> t} in al-

Qur`an, al-Sya> t} ibi> berargumen bahwa, “tidak pernah ada catatan bahwa generasi al-salaf al-s} a> lih} , yakni para

sahabat dan ta> bi‘i> n, menafsirkan al-Qur`an dengan cara seperti itu. Jika tafsir [dengan cara semacam itu] telah mereka kenal, maka penafsiran

225 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 252. 226 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 253. 227 Secara umum, al-Sya> t} ibi> memang menempatkan para sahabat pada posisi yang sangat

tinggi dalam pemahaman terhadap seluruh ajaran Islam. Sunnah para sahabat adalah sunnah yang harus diikuti, diamalkan, dan dirujuk. Al-Sya> t} ibi> mendasarkan pendapatnya ini pada argumen- argumen yang bersumber dari al-Qur`an, hadits Rasulullah saw., serta pandangan para ulama. Lihat al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 4, hlm. 54-59 dan al-I‘tis} a> m, hlm. 498-499.

228 Atas dasar klaim itulah al-Sya> t} ibi> menganggap salah tafsir-tafsir al-Qur`an yang dilakukan oleh beberapa kelompok yang menyimpang, seperti Ba> t}iniyyah dan Tana> sukhiyyah.

Lihat al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 52-53. 229 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 56.

mereka tentu akan sampai kepada kita karena semua ulama sepakat bahwa mereka adalah orang-orang yang paling tahu tentang makna z}a> hir dan makna ba> t} in al-Qur`an. Generasi umat Islam yang datang belakangan tentu tidak lebih mendapat petunjuk serta tidak pula lebih memahami

syariat Islam dibandingkan generasi-generasi terdahulu itu.” 230

Kutipan di atas memperlihatkan bahwa al-Sya> t} ibi> menempatkan tafsir yang dilakukan oleh generasi salaf (tafsir bi al-ma`tsu> r) sebagai salah satu sumber yang tidak bisa diabaikan untuk memahami al-Qur`an. Meski demikian, al-Sya> t} ibi> tidak menganggap penafsiran generasi salaf itu sebagai satu-satunya sumber dalam penafsiran al-Qur`an. Kita akan melihat pada bagian berikut ini bagaimana al-Sya> t} ibi> membolehkan praktik tafsir bi al-ra`y dengan persyaratan-

persyaratan tertentu serta bahwa, dalam dalam upayanya untuk melegitimasi tafsir bi al-ra`y itu, al-Sya> t} ibi> pun menggunakan otoritas generasi salaf sebagai sandaran.

2. Tafsir bi al-Ra`y dan Batasan-batasannya Al-Sya> t} ibi> menegaskan bahwa dalil-dalil syariat ( al-adillah al-syar‘iyah), termasuk al-Qur`an, tidak mungkin bertentangan dengan hal-hal rasional ( la> tuna> 231 fi> qad} a> ya> al-‘uqu> l). Memang ada bagian-bagian tertentu dalam al-Qur`an,

seperti fawa> tih} al-suwar dan lain sebagainya, yang sulit atau tidak mungkin dipahami. Tetapi hal-hal itu, menurut al-Sya> t} ibi> , tidak bisa membantah klaimnya tentang al-Qur`an yang tidak mungkin bertentangan dengan qad} a> ya> al-‘uqu> l. Bahwa ada bagian-bagian tertentu dalam al-Qur`an yang tidak bisa dipahami, itu tidak berarti bahwa bagian-bagian tersebut tidak rasional karena “kita bisa memastikan bahwa jika makna bagian-bagian itu dijelaskan kepada kita, niscaya

ia akan sesuai dengan penalaran rasional ( 232 muqtad} a> al-‘uqu> l)”.

230 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 301. Bahkan al-Sya> t} ibi> menyatakan bahwa bid‘ah bisa lahir dari pengabaian terhadap cara generasi salaf dalam memahami dalil-dalil al-

Qur`an dan Sunnah. Lihat Al-I‘tis} a> m`, hlm. 181-182. 231 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 19.

232 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 21.

Lalu bagaimana dengan tafsir bi al-ra`y? Al-Sya> t} ibi> bertolak dari persoalan: apakah tafsir bi al-ra`y pernah dipraktikkan oleh generasi salaf terdahulu? Menurutnya, ada banyak riwayat yang mengisahkan bahwa generasi salaf mencela tafsir bi al-ra`y (al-Sya> t} ibi> menyebutnya “i‘ma> l al-ra`y fi> al- Qur`a> n”). Namun, pada saat yang sama, ada beberapa riwayat lain yang menyebutkan bahwa mereka pun melakukan tafsir bi al-ra`y. Ketika Abu> Bakr al- S{ iddi> q ditanya tentang makna ayat “wa fa> kihatan wa abban”, dia menjawab, “Langit apakah yang akan menaungiku dan bumi apakah yang akan menopangku jika aku menyatakan tentang kita> bulla> h sesuatu yang tidak kuketahui?” Tetapi, pada saat yang berbeda, ketika Abu> Bakr ditanya tentang makna kala> lah, dia

menjawab, “Aku akan menjawabnya dengan pendapatku pribadi ( aqu> l fi> ha> bi ra`yi> ).

Jika [pendapatku] benar, maka ia berasal dari Allah. Tetapi jika [pendapatku] salah, maka ia bersumber dari diriku dan dari setan —Allah serta Rasul-Nya terbebas sama sekali dari [kesalahan pendapatku] ini. Kala> lah adalah orang yang tidak memiliki anak dan tidak pula memiliki

orang tua.” 233

Perbedaan riwayat tersebut, menurut al-Sya> t} ibi> , adalah sebuah dilema yang sulit dikompromikan ( la> yajtami‘a> ni). Bagaimana dilema itu diselesaikan? Al-Sya> t} ibi> memilih untuk membolehkan tafsir bi al-ra`y dengan syarat ia sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab ( muwa> faqah kala> m al-‘arab) serta selaras dengan al-Qur`an dan Sunnah ( muwa> faqah al-kita> b wa al-sunnah). Tafsir bi al- ra`y yang memenuhi dua syarat di atas tidak mungkin diabaikan karena beberapa

alasan berikut ini. 234 Pertama, upaya pemahaman, penafsiran, serta penarikan hukum dari al-Qur`an harus terus menerus dilakukan karena hal-hal itu tidak

pernah dilakukan secara tuntas oleh generasi-generasi terdahulu. Jika upaya penafsiran al-Qur`an dihentikan, maka sebagian besar, atau bahkan seluruh,

233 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 315. Pada contoh tentang pendapat Abu> Bakr mengenai kala> lah, tampaknya terdapat kesalahan tulis yang cukup mengganggu dalam al-

Muwa> faqa> t, di mana tertulis “la> aqu> l fi> ha> bi ra`yi> ”. Karena itu, apa yang tertulis di atas merupakan terjemahan dari kutipan yang tercantum dalam Muh} ammad ‘Ali> al-S{ a> bu> ni> , Mukhtas} ar Tafsi> r Ibn Katsi> r (Beirut: Da> r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), vol. 1, hlm. 291.

234 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 315-316.

ajaran Islam akan kehilangan maknanya. Kedua, jika tafsir bi al-ra`y sama sekali dilarang, maka itu harus didasarkan pada asumsi bahwa Rasulullah saw. telah menjelaskan makna seluruh bagian dari al-Qur`an tanpa terkecuali. Asumsi ini, sebagaimana telah dijelaskan pada bagian terdahulu, ditolak oleh al-Sya> t} ibi> . Ketiga, jika tafsir bi al-ra`y sama sekali dilarang, maka para sahabat pasti tidak akan melakukannya. Kenyataan bahwa sebagian sahabat mempraktikkan tafsir bi al-ra`y membuktikan bahwa tidak semua bagian al-Qur`an harus dipahami secara tawqi> fi> . Keempat, pengkajian terhadap al-Qur`an bisa dilakukan dari dua sisi: dari sisi syariat ( al-umu> r al-syar‘iyyah) atau dari sisi bahasa Arab (al-ma`a> khidz al-‘arabiyyah). Dari sisi yang pertama, makna al-Qur`an barangkali memang

235 tidak boleh didekati melalui pemikiran rasional. Tetapi dalam persoalan-

persoalan kebahasaan, tafsir bi al-ra`y boleh dilakukan karena memang demikianlah contoh yang diberikan oleh generasi salaf terdahulu.

Berdasarkan dua syarat di atas, al-Sya> t} ibi> kemudian menyatakan bahwa tafsir bi al-ra`y yang tidak selaras dengan kaidah-kaidah bahasa Arab serta bertentangan dengan al-Qur`an dan Sunnah harus dianggap sebagai bagian dari “penalaran yang tercela” ( al-ra`y al-madzmu> m). Tafsir semacam itu bahkan dianggap al-Sya> t} ibi> sebagai perbuatan mengada-ada ( taqawwul) atau dusta

kepada Allah. 236 Pada poin inilah al-Sya> t} ibi> menyelesaikan dilema antara riwayat yang melarang tafsir bi al-ra`y, di satu sisi, dan riwayat lain yang

membolehkannya, di sisi lain, dengan menyatakan bahwa yang dilarang hanyalah tafsir bi al-ra`y yang tidak memenuhi dua syarat yang telah dikemukakan di

atas. 237 Setelah menetapkan batasan-batasan bagi tafsir bi al-ra`y, al-Sya> t} ibi>

kemudian menggariskan beberapa pedoman penting yang harus diperhatikan oleh

235 Al-Sya> t} ibi> memang berulangkali menyatakan bahwa akal sama sekali tidak boleh menjadi penetap ajaran-ajaran syariat ( al-‘aql laysa bi sya> ri‘). Lihat, misalnya, Al-Muwa> faqa> t,

vol. 1, hlm. 61-64; vol. 2, hlm. 37-8, 231, 239, dan 253; vol. 3, hlm. 29; serta Al-I‘tis} a> m, hlm. 486-491.

236 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 316. 237 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 316-317.

para penafsir al-Qur`an. Pertama, seorang penafsir harus berusaha untuk tidak mengemukakan pendapat apa pun tentang al-Qur`an kecuali jika pendapat tersebut didasarkan pada bukti-bukti yang jelas ( illa> ‘ala> bayyinah). Maksud dari “bukti-bukti yang jelas” itu tampaknya dirumuskan melalui penilaian terhadap kemampuan diri sendiri dalam penguasaan atas ilmu-ilmu yang menjadi alat untuk menafsirkan al-Qur`an ( al-‘ilm bi al-adawa> t al-muh} ta> j ilayha> fi al-tafsi> r). Hanya seseorang yang telah mencapai derajat al-ra> sikhu> n fi al-‘ilm yang boleh mengemukakan penafsirannya terhadap al-Qur`an. Jika masih terdapat keraguan dalam diri seseorang tentang kapasitas keilmuannya sendiri, maka dia tidak boleh melakukan tafsir. Kesalahan dalam menafsirkan al-Qur`an serta pertikaian di

antara kelompok-kelompok dalam umat Islam, menurut al-Sya> t} ibi> , disebabkan oleh munculnya orang-orang yang terlalu yakin terhadap diri mereka sendiri sehingga, dengan kapasitas keilmuan yang sebetulnya terbatas, mereka merasa

layak menafsirkan al-Qur`an. 238 Kedua, orang yang sama sekali menolak melakukan tafsir bi al-ra`y dan

merasa cukup dengan penafsiran-penafsiran generasi terdahulu tidak boleh dicela. Itu merupakan sebentuk kehati-hatian. Al-Sya> t} ibi> juga menghubungkan hal ini dengan persoalan qiya> s. Banyak bukti, menurutnya, yang menunjukkan bahwa generasi salaf enggan melakukan qiya> s dalam hal-hal yang al-Qur`an dan Sunnah tidak memuat penjelasan tentangnya. Apa yang mereka takutkan dari tafsir bi al- ra`y dan dari praktik qiya> s sebetulnya sama: menyatakan sesuatu yang tidak dikehendaki oleh Allah ( al-taqawwul ‘alal-La> h). Jika dibandingkan, tafsir bi al- ra`y bahkan memiliki konsekuensi yang jauh lebih berat daripada qiya> s. Yang dipertaruhkan dalam qiya> s hanyalah pendapat pribadi. Sedangkan orang yang melakukan tafsir bi al-ra`y seakan-akan mewakili Allah dalam ayat-ayat yang ditafsirkannya—sesuatu yang, di mata al-Sya> t} ibi> , mengisyaratkan tanggung

jawab yang luar biasa berat. 239

238 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 317. 239 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 317-318.

Ketiga, karena al-Qur`an adalah kala> mulla> h, maka setiap penafsir harus menyadari bahwa ia tengah mewakili Allah dalam menjelaskan firman-Nya. Al- Sya> t} ibi> menulis,

“hendaklah dia merasa khawatir bahwa Allah, suatu hari nanti, akan bertanya kepadanya, ‘Atas dasar apa engkau menyatakan bahwa ini bersumber dari-Ku?’. Karena itu, seseorang harus mencantumkan bukti- bukti ( al-syawa> hid) yang mendukung penafsirannya. Jika tidak, maka dia harus meyakini bahwa penafsirannya hanyalah salah satu kemungkinan ( mujarrad al-ih} tima> l) [dari sekian banyak kemungkinan-kemungkinan lainnya] dengan menyatakan, ‘Barangkali maknanya adalah begini dan begitu’. [Tetapi apa yang dia sebut sebagai] kemungkinan-kemungkinan sebetulnya juga bisa diukur kebenarannya. Kemungkinan-kemungkinan ( al-ih} tima> la> t) yang tidak memiliki dasar tidak boleh dijadikan pegangan

( gayr mu‘tabarah). Maka berdasarkan kriteria apa pun, setiap penafsiran, baik yang dianggap pasti ( yujzam bihi> ) maupun yang dianggap hanya

sebagai salah satu kemungkinan ( yuh} ammal), harus mendatangkan bukti yang bisa menunjukkan bahwa ia memiliki dasar [dalam ajaran Islam]. Jika tidak, maka penafsiran itu menjadi batal dan pelakunya termasuk ke dalam kelompok orang-orang yang melakukan penalaran yang tercela ( ahl al-ra`y

al-madzmu> 240 m).”

Uraian di atas memperlihatkan bahwa al-Sya> t} ibi> memandang tafsir bi al- ra`y harus dilakukan secara sangat hati-hati. Selain itu, terdapat pula indikasi bahwa tafsir bi al-ra`y, di mata al-Sya> t} ibi> , hanya berfungsi sebagai perluasan dari apa yang tidak dibahas oleh generasi-generasi salaf terdahulu. Karena itu, dapat dipahami bahwa dua syarat yang ditetapkan al-Sya> t} ibi> untuk menerima tafsir bi al-ra`y (kesesuaian dengan bahasa Arab dan dengan dalil-dalil syariat) adalah dua hal yang secara umum dianggapnya terpenuhi pada penafsiran yang dikemukakan oleh generasi salaf tersebut.

Sebagai penutup, sebuah kutipan pernyataan al-Sya> t} ibi> berikut ini menggambarkan dengan baik bagaimana dia mengklasifikasikan sumber-sumber penafsiran al-Qur`an serta bahwa dia sebetulnya menganggap tafsir bi al-ra`y sebagai tafsir dalam koridor-koridor bahasa Arab.

“ Istinba> t} dari al-Qur`an tidak boleh dilakukan…dengan mengabaikan keterangan dan penjelasannya, yaitu Sunnah…Kemudian, jika Sunnah

240 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 318.

tidak memberikan penjelasan ( in a‘wazathu al-sunnah), [seorang penafsir] harus merujuk kepada tafsir generasi al-salaf al-s}a> lih} karena mereka lebih tahu tentang hal itu daripada generasi-generasi lain [setelah mereka]. Jika penjelasan itu tidak ditemukan [dalam tafsir generasi salaf], maka cukuplah baginya pemahaman berdasarkan kaidah-kaidah bahasa Arab

( 241 mut}laq al-fahm al-‘arabi> ).”

241 Al-Sya> t} ibi> , Al-Muwa> faqa> t, vol. 3, hlm. 276.