Kaitan Bilingualisme dan Diglosia

57

2. Kaitan Bilingualisme dan Diglosia

Mackey, seperti yang dikutip oleh Fishman 1968, memberikan gambaran tentang bilingualisme sebagai gejala pertuturan. Bilingualisme, menurutnya, tidak dapat dianggap sebagai sistem. Macnamara 1967 mengusulkan batasan bilingualisme sebagai pemilikan penguasaan atas paling sedikit bahasa pertama dan bahasa kedua, kendatipun tingkat penguasaan bahasa yang kedua itu hanyalah pada batas yang paling rendah. Batasan yang demikian tampaknya cukup realitis karena dalam kenyataanya tingkat penguasaan bahasa pertama dengan kedua tidak pernah akan sama. Pada kondisi tingkat penguasan bahasa kedua yang paling rendah pun, dalam kacamata Macnamara, dapat dikatakan sebagai bilingual. Hal demikian agaknya sejalan dengan batasan yang dikemukakan oleh Haugen 1972 yang menyatakan bahwa bilingualisme dapat diartikan sebagai sekadar mengenal bahasa kedua cf. Sumarsono, 1993. Fishman 1977 menyatakan bahwa kajian atas masyarakat bilingual tidaklah dapat dipisahkan dari kemungkinan ada atau tidaknya gejala diglosia. Diglosia adalah sebuah istilah yang pertama kali dimunculkan Ferguson 1959, yang menunjuk pada ragam bahasa yang masing –masing mempunyai peran dan fungsi yang berbeda-beda dalam suatu masyarakat tutur. Dalam kacamata Fishman, diglosia tidak hanya semata-mata merupakan gejala yang terdapat dalam masyarakat monolingual melainkan lebih dari itu diglosia juga mengacu kepada pemakaian dua bahasa yang berbeda dengan fungsi dan peran yang tidak sama pula. Kedwibahasaan individual seseorang itu tentu berbeda-beda derajatnya, setidaknya jika dikaitkan dengan diglosia itu. Fishman meminta kita memahami perbedaan antara kedwibahasaan dan diglosia. Kedwibahasaan bilingualisme mengacu kepada “penguasaan atas H dan L yang ada dalam masyarakat”; sedangkan diglosia mengacu kepada 58 persebaran distribusi fungsi H dan L dalam ranah-ranah tertentu. Tidak selamanya kedwibahsaan itu dibarengi dengan diglosia, sebagaimana tampak pada matriks berikut. Diglosia + - 1. Diglosia dengan Bilingualisme 2.Bilingualisme tanpa diglosia Bilingualisme + - 3.Diglosia tanpa bilingualisme 4.Tanpa diglosia maupun bilingualisme Keterangan : 1. Diglosia dengan bilingualisme 3. Diglosia tanpa bilingualisme 2. Bilingualisme tanpa diglosia 4. Tanpa diglosia maupun bilingualisme Dalam masyarakat bahasa atau guyup tutur yang mengenal kedwibahasaan dan diglosia kotak 1, hampir tiap orang seharusnya tahu H dan L, dan kedua “ragam” itu seharusnya didistribusikan menurut kaidah diglosia. Dalam masyarakat Paraguay, misalnya, Guarani adalah L dan bahasa Spanyol adalah H. Tetapi, tidak selamanya bilingualisme itu sejajar dengan diglosia. Untuk bisa mempunyai diglosia tanpa bilingualisme kotak 3 diperlukan adanya dua kelompok tanpa hubungan di dalam satu perangkat politik, agama, dan atau ekonomi. Kelompok pertama adalah kelompok penguasa dan hanya memakai H. Kelompok lainnya biasanya kelompok yang jauh lebih besar, tidak mempunyai kekuasaan dan memakai L. Situasi begini cukup banyak di Eropa pada jaman sebelum perang. Pada jaman Czar di Rusia, kelompok bangsawan memakai bahasa Prancis dan rakyat jelata memakai bahasa Rusia. Di Yogyakarta, kelompok bangsawan di Keratin memakai ragam bagongan dan rakyat biasa memakai ragam ngoko atau krama. Bilingualisme tanpa diglosia kotak 2 terjadi jika di dalam sebuah guyup terdapat banyak sekali individu-dwibahasawan tetapi mereka tidak membatasi bahasa ini untuk situasi ini dan bahasa itu untuk 59 situasi lain. Tiap bahasa bisa dipakai untuk situasi atau fungsi apa saja. Ini terjadi pada guyup yang mengalami perubahan besar dalam hubungan- hubungan diglosik dan sangat tidak stabil atau dalam transisi peralihan. Bilingualisme tanpa diglosia ini terjadi kalau diglosianya “bocor”, sehingga fungsi-fungsi bisa saling ditembus. Diglosia yang bocor mengacu kepada keadaan di mana satu ragam bahasa “menerobos” ke dalam fungsi -fungsi yang semula disediakan untuk ragam lain. Salah satu akibat dari situasi ini ialah munculnya ragam “baru”, campuran antara H dan L terutama kalau struktur H dan L sama, atau penggantian yang satu oleh yang lain terutama kalau struktur keduanya tidak sama. Suatu contoh bilingualisme tanpa diglosia terdapat di wilayah tutur bahasa Jerman di Belgia. Di sana pergeseran dari bahasa Jerman ke bahasa Prancis didahului oleh bilingualisme yang meluas, dan tiap bahasa dapat digunakan untuk tujuan apa saja, tanpa pembagian fungsi. Di beberapa daerah di Indonesia saat ini terjadi juga diglosia yang bocor itu. Di Bali, misalnya, beberapa ranah adat yang biasanya memakai bahasa Bali sekarang sudah diganti dengan bahasa Indonesia. Kalaupun tidak sepenuhnya, bahasa Balinya disusupi kalimat atau kata-kata bahasa Indonesia. Sebaliknya, ranah kerja, seperti di kantor, yang seharusnya memakai bahasa Indonesia, bahasa Bali tidak jarang dipakai jua. Pola yang terakhir yang bisa terjadi ialah tidak ada kedwibahasaan maupun diglosia kotak 4. Untuk situasi semacam ini dituntut adanya guyup tutur yang primitif, terisolasi, dan penuh kesamaan egalitarian, yang dewasa ini tentunya sangat sukar ditemukan. Di situ hanya ada satu ragam linguistik saja dan tidak ada pemilahan peran-peran yang memerlukan paling tidak perbedaan gaya dalam tutur, setidak- tidaknya perbedaan gaya yang menimbulkan gaya ragam H dan L. Masyarakat yang tidak diglosia maupun bilingual ini akan mencair self- liquidating apabila telah bersentuhan dengan masyarakat lain Fishman 1972:106. 60 Dari keempat pola masyarakat kebahasaan di atas yang paling stabil hanya dua, yaitu 1 diglosia dengan bilingulisme, dan 2 diglosia tanpa bilingualisme. Keduanya berkarakter diglosia, sehingga perbedaannya adalah terletak pada bilingualismenya.

3. Diglosia dalam Bahasa Arab