Diglosia dalam Bahasa Arab

60 Dari keempat pola masyarakat kebahasaan di atas yang paling stabil hanya dua, yaitu 1 diglosia dengan bilingulisme, dan 2 diglosia tanpa bilingualisme. Keduanya berkarakter diglosia, sehingga perbedaannya adalah terletak pada bilingualismenya.

3. Diglosia dalam Bahasa Arab

Penutur bahasa Arab mengenal lapis–lapis penggunaan bahasa, ditinjau dari segi latar belakang penutur, budaya, tingkat pendidikan, dan situasi-kondisi bahasa Arab ketika dituturkan. Bahasa Arab memiliki karakteristik unik karena memiliki dua ragam baku yang sama–sama diakui dan dihormati. Hanya saja fungsi dan pemakaiannya berbeda. Menurut Ferguson 1959 pembakuan bahasa yang khusus pada dua ragam bahasa yang berdampingan di dalam keseluruhan masyarakat bahasa, dan masing–masing ragam bahasa itu diberi fungsi sosial tertentu. Yaitu bahasa klasik HAl-Fusha dan bahasa ragam cakapan LAmmiyah. Ciri suatu diglosia yang paling penting ialah pengkhususan fungsi masing–masing ragam bahasa. Ragam bahasa tinggi khusus digunakan dalam khotbah, doa, surat–surat resmi, pidato-pidato politik, bahasa pengantar dalam pendidikan, buku pelajaran, kuliah, siaran berita, tajuk rencana dalam surat kabar, penulisan puisi bermutu tinggi. Ragam bahasa tinggi harus dipelajari melalui pendidikan formal di sekolah- sekolah. Sebaliknya, ragam bahasa rendah digunakan dalam percakapan anggota keluarga, antara teman, cerita bersambung radio, sastra rakyat, film kartun, di rumah, di warung, di jalan, di pasar. Ragam bahasa rendah ini dipelajari secara langsung di dalam masyarakat umum dan tidak pernah dalam pendidikan formal. Dalam situasi diglosia bahasa tingkat tinggi dipakai untuk suatu fungsi tertentu. Ini berarti, fungsi sosial itu diartikan untuk menjawab pertanyaan “di bidang apa” ragam itu dipakai. Di dalam bahasa Arab bahasa tinggi HFusha umum dipakai untuk bidang sastra puisi, syair, 61 prosa sedang untuk percakapan sehari–hari dipakai bahasa rendah Lammiyah. Pemakaian suatu ragam bahasa dalam bahasa Arab bukan didasarkan, misalnya pada “topik” pembicaraan, melainkan pada “kapan” dan dalam kondisi bagaimana bahasa Arab dituturkan. Fishman 1967 mengembangkan gagasan peran atau fungsi itu ke wilayah yang lebih luas. Menurut Fishman, diglosia adalah objek sosiolinguistik yang mengacu kepada pendistribusian lebih dari satu ragam bahasa atau bahasa yang melayani tugas-tugas komunikasi yang berbeda dalam suatu masyarakat. Ia mengacu kepada perbedaan linguistik, bagaimana pun bentuk dan wujudnya, mulai dari perbedaan gaya dalam satu bahasa sampai kepada penggunaan dua bahasa yang sangat berbeda. Yang penting dalam hal ini adalah masing-masing ragam itu mempunyai fungsi yang berbeda, dan selanjutnya juga dalam ranah yang berbeda. Di dalam bahasa Arab fungsi bahasa Fusha H berbeda dengan fungsi bahasa ammiyah L, dan masing–masing mempunyai ranah yang berbeda pula. Bahasa ammiyah mencitrakan suasana kekeluargaan, keakraban, kesantaian, dan dipakai dalam ranah kerumahtanggaan family, ketetanggaan neighborhood, kekariban friendship; sedangkan bahasa Fusha mencitrakan suasana formal, keresmian, kenasionalan, dan dipakai misalnya dalam ranah persekolahan sebagai bahasa pengantar, ranah kerja sebagai bahasa resmi dalam rapat, konferensi, ranah keagamaan dalam khotbah, do’a. William Labov 1966 dalam hasil penelitiannya yang berjudul The Social Stratification of English in New York City, menyatakan bahwa seseorang individu tertentu dari kelas sosial tertentu, umur tertentu, jenis kelamin tertentu akan menggunakan variasi bentuk tertentu. Dari paparan tersebut dapat diketahui adanya korelasi antara ciri-ciri linguistik kebahasaan dengan kelas sosial. 62

BAB III METODE PENELITIAN