Karakteristik Sosial Ekonomi Petani Desa Duren dan Regunung

B. Karakteristik Sosial Ekonomi Petani Desa Duren dan Regunung

Petani dalam menanggapi suatu ide atau informasi yang baru berbeda- beda menurut ciri-ciri kepribadian yang dimiliki dari masing-masing individu (Bakuwita (1985) dalam Faridha (2005)). Faktor-faktor personal oleh Rakhmad (1998) digambarkan sebagai faktor sosiopsikologis antara lain yaitu karakteristik sosial ekonomi, begitu pula tanggapan dan pemahaman petani masyarakat miskin desa tertinggal terhadap suatu program pembangunan baru yang diterima. Pengambilan keputusan baik buruknya terhadap suatu program baru dapat dipengaruhi karakteristik sosial ekonomi dari masing-masing individu yang meliputi umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, pendapatan, luas usahatani, dan kekosmopolitan. Agar distribusi dari karakteristik sosial ekonomi petani yang mempengaruhi penilaian petani Petani dalam menanggapi suatu ide atau informasi yang baru berbeda- beda menurut ciri-ciri kepribadian yang dimiliki dari masing-masing individu (Bakuwita (1985) dalam Faridha (2005)). Faktor-faktor personal oleh Rakhmad (1998) digambarkan sebagai faktor sosiopsikologis antara lain yaitu karakteristik sosial ekonomi, begitu pula tanggapan dan pemahaman petani masyarakat miskin desa tertinggal terhadap suatu program pembangunan baru yang diterima. Pengambilan keputusan baik buruknya terhadap suatu program baru dapat dipengaruhi karakteristik sosial ekonomi dari masing-masing individu yang meliputi umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, pendapatan, luas usahatani, dan kekosmopolitan. Agar distribusi dari karakteristik sosial ekonomi petani yang mempengaruhi penilaian petani

1. Umur

Umur merupakan usia petani responden pada saat penelitian dilakukan yang dinyatakan dalam tahun. Tabel 5.1 Usia Petani Responden Saat Penelitian Dilakukan

Jumlah (orang)

2 41- 50 Tahun

3 36- 40Tahun

4 31 - 35 Tahun

5 20 - 30Tahun

Sumber : Analisis Data Primer 2011. Berdasarkan tabel 5.1, umur petani tergolong dalam kategori 40- 50 tahun yaitu sebesar 43,9%. Menurut Hernanto (1984), umur petani akan mempengaruhi kemampuan fisik dan respon terhadap hal-hal baru dalam menjalankan usahataninya. Lion Berger dalam Mardikanto (2007), memberikan penjelasan semakin tua (diatas 50 tahun) biasanya semakin lamban mengadopsi inovasi dan cenderung hanya melaksanakan kegiatan- kegiatan yang sudah biasa diterapkan oleh warga masyarakat setempat. Kartasapoetra (1991), menjelaskan pula bahwa petani yang berusia lanjut yaitu berumur 50 tahun keatas biasanya fanatik, cenderung bersikap apatis terhadap adanya teknologi baru.

Berdasarkan teori tersebut, usia petani akan mempengaruhi cara berfikir, cara kerja, dan cara hidup petani dalam menanggapi sesuatu hal yang baru serta dalam mengambil keputusan terkait dengan adanya inovasi. Semakin tua usia petani, semakin lamban dan apatis didalam menerima dan menilai suatu program yang baru dikenalkan.

Pendidikan formal adalah tingkat pendidikan terakhir yang dicapai petani responden di bangku sekolah atau lembaga pendidikan formal, berdasarkan ijazah terakhir yang dimiliki. Tabel 5.2 Tingkat Pendidikan Formal Petani

Jumlah (orang)

1 Tidak Tamat SD

2 Tamat SD

3 Tamat SLTP

4 Tamat SLTA

5 Tamat D3, S1

Sumber : Analisis Data Primer, 2011. Tabel diatas memberikan gambaran bahwa pendidikan formal petani tergolong dalam kategori rendah tamat SD yaitu sebesar 51,2%. Menurut Hanafi 1987 ciri-ciri sosial ekonomi anggota sistem yang lebih inovatif, yaitu mampu menerima dan menanggapi hal-hal yang baru) salah satunya adalah lebih berpendidikan, termasuk lebih menguasai kemampuan baca tulis. Menurut Soekartawi (1988), mereka yang berpendidikan tinggi adalah relatif lebih cepat dalam menerima hal baru, begitu pula sebaliknya mereka yang berpendidikan rendah akan lebih lambat menerima hal baru.

Berdasarkan teori tersebut, maka tingkat pendidikan formal petani yang sebagian besar tergolong rendah akan mempengaruhi pola pikirnya dalam menerima hal baru, meskipun ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat, termasuk dalam kegiatan pembangunan. Pola pikir yang dimilki petani tersebut akan berpengaruh terhadap pandangan serta pengambilan keputusan baik buruknya penyelenggaraan program yang akan dilaksanakan di daerah yang ditempati. Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memiliki penilaian yang lebih baik terhadap program untuk pembaharuan dibandingkan seseorang yang memiliki tingkat pendidikan lebih rendah.

Pendidikan non formal merupakan pendidikan yang diperoleh petani di luar bangku sekolah atau pendidikan formal, dapat berupa keikutsertaan dalam kegiatan penyuluhan dan pelatihan. Kegiatan penyuluhan berupa kegiatan pembelajaran atau penyampaian materi berupa budidaya tanaman pangan, hortikultura, perkebunan yang disampaikan penyuluh pertanian melalui metode ceramah, diskusi, kunjungan secara rutin sebulan sekali, sedangkan pelatihan berupa kegiatan pembekalan keterampilan bagi petani berupa sekolah lapang, training budidaya tanaman hortikultura, training pascapanen, dan seminar di kecamatan atau lain daerah. Tabel 5.3 Keaktifan Petani Mengikuti Kegiatan Penyuluhan dan Pelatihan

Jumlah (orang)

1 Sangat rendah

2 Antara sangat rendah dan Rendah

4 Antara rendah dan sedang

6 Antara sedang dan tinggi

8 Antara tinggi dan sangat tinggi

9 Sangat tinggi

Sumber : Analisis Data Primer, 2011. Berdasarkan tabel diatas, keaktifan petani dalam mengikuti kegiatan penyuluhan dan pelatihan tergolong rendah yaitu sebesar 12,2%. Hal ini dikarenakan masih kurangnya kesadaran dan kemauan petani menambah informasi baru terkait peningkatan kegiatan usahatani melalui penyuluhan, serta berbagai alasan kesibukan dari beberapa petani, meskipun kegiatan penyuluhan sudah dilakukan secara rutin oleh petugas penyuluhan di masing-masing desa selama satu bulan sekali. Kegiatan pelatihan hanya diikuti beberapa petani saja yang berkeinginan untuk menambah keterampilan dan kemampuan dalam bidang pertanian melalui Sumber : Analisis Data Primer, 2011. Berdasarkan tabel diatas, keaktifan petani dalam mengikuti kegiatan penyuluhan dan pelatihan tergolong rendah yaitu sebesar 12,2%. Hal ini dikarenakan masih kurangnya kesadaran dan kemauan petani menambah informasi baru terkait peningkatan kegiatan usahatani melalui penyuluhan, serta berbagai alasan kesibukan dari beberapa petani, meskipun kegiatan penyuluhan sudah dilakukan secara rutin oleh petugas penyuluhan di masing-masing desa selama satu bulan sekali. Kegiatan pelatihan hanya diikuti beberapa petani saja yang berkeinginan untuk menambah keterampilan dan kemampuan dalam bidang pertanian melalui

Keaktifan petani dalam mengikuti penyuluhan dan pelatihan akan menentukan pemahaman dan pengambilan keputusan petani terhadap hal baru yang dapat mendukung kegiatan usahataninya. Semakin aktif petani dalam mengikuti penyuluhan, maka akan semakin baik tingkat pemahaman dan kemampuan mengambil keputusan atau menilai program baru yang dapat mendukung peningkatan kesejahteraan hidupnya. Hal karena menurut Mardikanto (1993) pendidikan non formal merupakan pendidikan terorganisir diluar sistem pendidikan sekolah dengan isi pendidikan yang terprogram

4. Pendapatan

Pendapatan adalah seluruh penghasilan dari kegiatan usahatani dan nonusahatani yang menyatatakan kecukupan memenuhi kebutuhan keluarga. Tabel 5.4 Tingkat Pendapatan Petani

Jumlah (orang)

Persentase (%)

Median

1 Selalu kekurangan

2 Kadang-kadang kekurangan

4 Cukup, kadang menabung

5 Cukup, selalu menabung

Sumber : Analisis Data Primer, 2011. Berdasarkan tabel 5.4, tingkat pendapatan petani tergolong dalam kategori kadang-kadang kekurangan yaitu sebesar 53,7%. Hal ini dikarenakan sebagian besar petani hanya menggantungkan kemampuan mencukupi kebutuhan hidup pada hasil pertanian sawah, padahal seringkali produktivitas panen disawah mengalami penurunan karena pengaruh musim serta hama, sehingga terkadang mengalami kekurangan dan karena Menurut Hernanto (1984) secara umum pendapatan petani memang rendah. Jumlah pendapatan sebagian besar petani dalam satu bulan antara Rp 300.000,00 sampai dengan Rp 500.000,00, hal ini Sumber : Analisis Data Primer, 2011. Berdasarkan tabel 5.4, tingkat pendapatan petani tergolong dalam kategori kadang-kadang kekurangan yaitu sebesar 53,7%. Hal ini dikarenakan sebagian besar petani hanya menggantungkan kemampuan mencukupi kebutuhan hidup pada hasil pertanian sawah, padahal seringkali produktivitas panen disawah mengalami penurunan karena pengaruh musim serta hama, sehingga terkadang mengalami kekurangan dan karena Menurut Hernanto (1984) secara umum pendapatan petani memang rendah. Jumlah pendapatan sebagian besar petani dalam satu bulan antara Rp 300.000,00 sampai dengan Rp 500.000,00, hal ini

Menurut Soekartawi (1988), petani dengan tingkat pendapatan tinggi juga ada hubungannya dengan penggunaan suatu inovasi. Petani dengan tingkat pendapatan tinggi akan lebih mudah melakukan sesuatu yang diinginkan, sehingga akan lebih cepat mengadopsi inovasi, dan kemampuan untuk melakukan percobaan perubahan. Berdasarkan teori tersebut maka petani dengan pendapatan rendah akan lebih sulit memahami dengan baik dan melakukan penilaian terhadap program pembangunan baru untuk perubahan

5. Luas Usahatani

Luas usahatani merupakan luas lahan yang diusahakan petani untuk kegiatan usahatani, termasuk milik sendiri, sewa, dan menyakap. Tabel 5.5 Luas Usahatani Petani

Jumlah (orang)

Persentase (%)

Median

1 Sangat sempit ( < 0,25 Ha )

2 Sempit ( 0,25-0,50 Ha)

3 Sedang ( > 0,50-0,75 Ha )

4 Luas ( > 0,75-1 Ha )

5 Sangat luas ( > 1 Ha )

Sumber : Analisis Data Primer, 2011. Berdasarkan tabel 5.5, luas usahatani petani tergolong sangat sempit yaitu sebesar 56,1%. Hal ini dikarenakan sebagian besar petani maupun buruh tani yang ada masih tergolong miskin hanya memiliki lahan usahatani < 0,25 Ha. Menurut Mubyarto (1979), hasil bruto produksi pertanian dihitung dengan mengalikan luas lahan tanah dan hasil persatuan luas. Semakin luas tanah garapan, hasil produksi pertanian pun semakin tinggi. Penguasaan lahan akan mempengaruhi petani dalam pengelolaan dan mengoptimalkan produktivitas usahatani dengan lahan yang tersedia, Sumber : Analisis Data Primer, 2011. Berdasarkan tabel 5.5, luas usahatani petani tergolong sangat sempit yaitu sebesar 56,1%. Hal ini dikarenakan sebagian besar petani maupun buruh tani yang ada masih tergolong miskin hanya memiliki lahan usahatani < 0,25 Ha. Menurut Mubyarto (1979), hasil bruto produksi pertanian dihitung dengan mengalikan luas lahan tanah dan hasil persatuan luas. Semakin luas tanah garapan, hasil produksi pertanian pun semakin tinggi. Penguasaan lahan akan mempengaruhi petani dalam pengelolaan dan mengoptimalkan produktivitas usahatani dengan lahan yang tersedia,

6. Kekosmopolitan

Kekosmopolitan merupakan tingkat hubungannya dengan dunia luar diluar sistem sosialnya, melalui perjalanan keluar kabupaten untuk mencari informasi maupun kemampuan untuk mengakses media massa. Perjalanan keluar untuk mencari informasi dapat berupa informasi usahatani maupun pembangunan, sedang akses media massa dapat meliputi media televisi, radio, majalah pertanian, serta tabloid dan koran. Tabel 5.6. Tingkat Kekosmopolitan Petani

Jumlah (orang)

Persentase (%)

Median

1 Sangat rendah

2 Antara sangat rendah dan rendah

4 Antara rendah dan sedang

Sumber : Analisis Data Primer, 2011. Berdasarkan tabel 5.6, tingkat kekosmopolitan petani tergolong antara sangat rendah dan rendah yaitu sebesar 12,2 %. Hal ini dikarenakan petani jarang melakukan perjalanan keluar untuk mencari informasi terkait pembangunan maupun kegiatan usahatani, hanya mengandalkan informasi dari dalam sistem sosial seperti perangkat desa maupun ketua kelompok tani, serta sebagian besar hanya bisa mengakses media televisi sedangkan untuk media lain belum mampu digunakan dan sulit untuk diakses.

Perolehan informasi tentang pertanian maupun kegiatan pembangunan sangat penting karena dapat mempengaruhi pola pikir petani yang nantinya dapat berpengaruh terhadap pemahaman dan pengambilan keputusan terhadap suatu program baru yang dilaksanakan Perolehan informasi tentang pertanian maupun kegiatan pembangunan sangat penting karena dapat mempengaruhi pola pikir petani yang nantinya dapat berpengaruh terhadap pemahaman dan pengambilan keputusan terhadap suatu program baru yang dilaksanakan