DISKRESI DALAM PROGRAM RSBI DI SMA 1 SALATIGA

C. DISKRESI DALAM PROGRAM RSBI DI SMA 1 SALATIGA

Diskresi merupakan suatu langkah keleluasaan yang ditempuh administrator dalam pengimplementasian program dengan membuat suatu keputusan yang belum terdapat dalam aturan sebelumnya. Dalam kaitannya dengan implementasi program RSBI di SMA 1 Salatiga, dapat dilihat bagaimana pihak sekolah mempunyai keleluasaan / kelonggaran dalam menerapkan aturan yang telah ada agar implementasi tersebut dapat berjalan dengan lancar. Hal yang perlu diperhatikan dalam Implementasi RSBI di SMA N 1 Salatiga adalah terkait dengan terbatasnya berbagai sumber daya yang ada dan belum terpenuhinya lingkungan dan sarana prasarana yang berstandar sekolah internasional. Program RSBI ini adalah Standar Nasional Pendidikan (SNP)+ X (indikator kunci tambahan). Untuk mencapai hal/ standar tersebut perlu suatu adanya kekuatan dari seluruh warga sekolah dan stake holder, terutama kepala sekolah. Perbaikan dan peningkatan kualitas sumber daya memang diperlukan, mengingat tantangan masa depan SMA N 1 Salatiga sebagai sekolah bertaraf internasional.

Dalam penelitian ini, diskresi muncul dalam hal pembiayaan sekolah. Di dalam aturan sekolah di SMA 1 Salatiga, ada kriteria yang harus dipenuhi oleh para siswa terkait pembayaran SPP, untuk siswa kelas XII setiap bulannya diwajibkan membayar Rp.150.000,00. dan untuk siswa kelas XI membayar Rp.175.000,00. per bulannya, sedangkan untuk siswa kelas X yang baru saja masuk sekolah, diwajibkan membayar Rp.185.000,00. ditambah membayar sumbangan pembangunan institusi (SPI) sebesar minimal Rp.4.000.000,00.

Terkait dengan tujuan dan hakekat penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, maka pendidikan tersebut harus berprinsip pada asas pemerataan keadilan bagi seluruh warga negara. Begitu pula dengan pihak SMAN 1 Salatiga yang dalam penyelenggaraan program RSBI ini juga menerapkan asas pemerataan keadilan dan persamaan hak seluruh masyarakat. Sehingga semua kalangan masyarakat, baik yang mampu/ kaya atau pun kurang mampu/ miskin tetap bisa merasakan/ mengakses program yang diselenggarakan, tetapi dengan syarat harus berprestasi dengan baik. Semua kalangan tidak dibedakan dan semuanya berpeluang/ mempunyai kesempatan yang sama. Sehubungan dengan pembiayaan sekolah, pihak sekolah juga memberikan keringanan biaya dan beasiswa bagi kalangan yang tidak mampu secara materi, namun berprestasi secara akademis. Atas kebijakan sekolah, siswa yang tidak mampu boleh tidak membayar SPP secara penuh/ sesuai dengan kemampuan, bahkan ada yang dibebaskan sama sekali bagi mereka yang benar-benar membutuhkan. Hal tersebut sesuai yang dikatakan oleh Bapak Drs. Sutikno selaku Wakasek Kesiswaan :

“ ya SMA 1 ini selalu tidak membeda-bedakan mana anak yang mampu dan tidak, semuanya boleh bersekolah disini dan berpeluang atau berkesempatan yang sama, asalkan mempunyai NEM yang tinggi atau berprestasi lo ya…, kami memberikan beasiswa bagi mereka yang membutuhkan, dana tersebut berasal 10% dari blockgrant RSBI, dana tersebut kami alokasikan buat yang tidak mampu, tentunya ada seleksi dari kami, kami menawari kepada mereka semampunya…bahkan seperti kasusnya Joko anak XI tersebut kami bebaskan semuanya, karena kondisinya yang memprihatinkan bagi seorang anak tukang becak,..jadi sekolah sendiri bijaksana dan insiatif sendiri lah mengenai hal ini….untuk pembayaran SPI kami juga menawarkan kepada orang tua mereka masing-masing dengan pola subsidi silang, bagi yang mampu diharapkan membayar lebih daripada yang lain, dan lagi bagi siswa yang tidak mampu pembayarannya pun boleh diangsur.. ”

(wawancara, 10-8-2009)

Hal yang sama juga dikatakan oleh Bapak Drs.Jaka Agus, M.Si selaku Wakasek RSBI sebagai berikut: “ Jadi begini…., RSBI ini sudah memprogramkan beasiswa bagi yang tidak

mampu, seperti kemarin dari blockgrant , masyarkat miskin terbantu, mampunya bayar berapa, sisanya sekolah yang membantu, dari pihak sekolah juga meneliti terlebih dahulu jangan sampai jatuhkepada mereka yang tidak berhak..”

(wawancara, 10-8-2009)

Diskresi dalam hal pembiayaan terlihat ketika ada iuran SPP yang wajib dibayar oleh setiap siswa perbulannya, tetapi ada keringanan bagi mereka yang dinilai pihak sekolah kurang mampu. Pihak sekolah menargetkan sendiri dana 10% dari Blockgrant RSBI diperuntukkan bagi yang kurang mampu, jika ternyata masih sisa diperuntukkan bagi yang berprestasi. Bagi siswa yang tidak mampu diberikan keringanan, bahkan ada kasus yang dibebaskan semuanya. Untuk pembiayaan Sumbangan pendidikan ada semacam subsidi silang, jadi bagi siswa yang lebih mampu secara materi membayar lebih daripada siswa yang kurang mampu. Kelonggaran aturan semacam ini memang diperlukan dalam rangka menjaga kelancaran program. Tindakan ini juga masih dalam kerangka pencapain tujuan organisasi itu sendiri.

Dalam program RSBI, untuk mencapai sekolah yang berstandar internasional, hal yang perlu diperhatikan lagi adalah terkait pemanfaatan teknologi dalam setiap proses pembelajaran. Untuk mencapai standar proses pembelajaran, guru dituntut untuk bisa memanfaatkan IT. Berdasarkan pengamatan yang diperoleh peneliti, belum semua guru dapat memanfaatkan IT dalam setiap proses pembelajaran, karena melihat kondisi lapangan yang tidak Dalam program RSBI, untuk mencapai sekolah yang berstandar internasional, hal yang perlu diperhatikan lagi adalah terkait pemanfaatan teknologi dalam setiap proses pembelajaran. Untuk mencapai standar proses pembelajaran, guru dituntut untuk bisa memanfaatkan IT. Berdasarkan pengamatan yang diperoleh peneliti, belum semua guru dapat memanfaatkan IT dalam setiap proses pembelajaran, karena melihat kondisi lapangan yang tidak

" ..kadang saya lihat materialnya …topicnya…kapan kita harus menggunakan pembelajaran dengan IT…tidak harus selalu dispend condition……, kadang juga manual.." (wawancara, 20-6-2009)

Program RSBI di SMA 1 Salatiga memang sedikit memberikan kelonggaran aturan mengenai tuntutan pamanfaatan teknologi dalam proses pembelajaran. Meskipun sekolah sudah mencoba menerapkan e-learning dalam pembelajaran. Hal ini dilakukan karena keterbatasan ketrampilan guru itu sendiri yang belum secara baik menguasai dan memahami penggunaan TI. Tetapi, terkadang ada juga ditemukan hal-hal khusus yang memang lebih baik dibuat lebih longgar dari aturan yang telah ada. Seperti yang dikatakan oleh Ibu Wahyu selaku guru Matematika diatas, beliau menjelaskan tidak selalu dalam proses pembelajaran menggunakan teknologi, menurutnya malah dengan penggunaan tersebut akan mengganggu konsentrasi para siswa. Sebagai contoh dalam menjelaskan logaritma, tidak perlu menggunakan program power point melalui LCD, tetapi cukup dengan metode konvensional yang dinilai lebih menjamin konsentrasinya. Meskipun ada tuntuatan penggunaan teknologi apada setiap proses pembelajaran, tetapi ada beberapa guru yang melakukan tindakan yang sedikit menyimpang dari aturan, tetapi hal tersebut masih dalam kerangka pencapaian tujuan organisasi. Di samping itu, terbatasnya fasilitas terkait TI yang disediakan sekolah pada masing-masing kelas juga sangat mempengaruhi dalam rangka mencapai kesuksesan implementasi program. Hal ini juga dikatakan oleh Martha P, siswa kelas X-7 SMA 1 Salatiga :

“…guru ada yang sudah dan ada yang belum memanfaatkan teknologi , fasilitas kelas pun kadang tidak bisa digunakan atau gak ada, maka kami harus ke Lab dulu…atau bawa laptop sendiri kalau mau presentasi kelas” “…kadang juga mau hot spotan juga gak bisa.. mau ngakses materi ja kudu antre” ( wawancara, 27-5-2009)

Meskipun fasilitas IT belum sepenuhnya mencukupi, tetapi usaha untuk memanfaatkan IT dalam pembelajaran memang sudah kelihatan di SMA 1 Salatiga. Berbagai upaya / pelatihan juga telah dilakukan bagi para guru. Penggunaan IT pada sesudah jam pelajaran sekolah untuk browsing materi juga sering dilakukan baik para guru maupun siswa itu sendiri. Tindakan diskresi juga muncul dari proses pembelajaran kelas terkait pemanfaatan IT. Sebagai contoh para siswa terkadang harus memakai/ membawa laptop sendiri jika menginginkan presentasi di depan kelas, hal tersebut juga dipengaruhi terbatasnya peralatan/ media yang disediakan di sekolah. Padahal, idealnya masing-masing kelas sudah harus tersedia multimedia yang mendukung pembelajaran. Bapak Khamim selaku guru Teknologi dan Informasi (TIK) juga menambahkan hal tersebut dalam cuplikan wawancara berikut ini :

“..pemanfaatan saya kira sudah maksimal, sebagai contoh layanan internet setelah jam pelajaran banyak digunakan oleh para guru dan siswa untuk mengakses materi ajar, adaptasi kurikulum dengan luar….kemampuan guru dan siswa saya kira sudah melebihi dari fasilitas yang ada….Trainning berkaitan dengan teknologi juga dilakukan…tapi ada juga kendalanya yaitu fasilitas di sekolah masih terbatas dan perlu ditingkatkan lagi” (wawancara, 27-5-2009)

Pada dasarnya, keterbatasan fasilitas terkait IT di SMA 1 Salatiga ini dikarenakan masalah pendanaan yang terbatas. Diharapkan Pemerintah Kota Salatiga pun juga bisa lebih memperhatikan masalah ini. Bapak Khamim selaku guru Teknologi dan Informasi (TIK) juga menambahkan terkait hal tersebut :

“…pemanfaatan ICT ini sebenarnya sudah dilakukan, fasilitas perlu ditambah dan ditingkatkan, kami sudah mengagendakan pengajuan bantuan,..pokoknya ketika semua terpenuhi, sebenarnya semua sudah ‘ready’…” (wawancara, 27-5-2009)

Diskresi lain pada program RSBI ini adalah terkait adaptasi/adopsi kurikulum, dalam hal ini adalah dengan IIS Malaysia dan BPHS Queensland. Mengenai adaptasi/adopsi kurikulum memang belum ada aturan secara khusus mengenai berapa persen banyaknya muatan kurikulum yang dari luar dan dari dalam sekolah itu sendiri. Dalam aturan penjaminan mutu RSBI, kurikulum sekolah yang menerapkan program RSBI menggunakan adaptasi kurikulum dari negara OECD yang ditunjuk sekolah. Yang menjadi masalah adalah belum ada kejelasan tentang prosentase muatan kurikulum antara kurikulum lokal maupun internasional. Sehubungan dengan hal tersebut, SMA 1 Salatiga memberikan kewenangan sepenuhnya kepada MGMP sekolah dan guru mata pelajaran itu sendiri yang disesuaikan dengan kapasitas dan kemampuan sekolah sebagai bentuk diskresi aturan. Pertimbangan untuk melakukan diskresi adalah adanya realitas bahwa aturan sebelumnya hanya menyebutkan sekolah RSBI diharuskan mengadaptasi kurikulum Cambridge dari negara-negara OECD, tetapi belum ada kerangka muatan dari kurikulum tersebut secara jelas. Kenyataan yang terjadi di lapangan adalah para guru sains sudah berusaha menerapkan adaptasi kurikulum sesuai dengan kapasitas dan kemampuan sekolah. Ada beberapa guru yang sudah mencoba membuat soal-soal/ pertanyaan ujian dengan memasukkan kurikulum luar negeri yang diberi tanda khusus. Dengan begitu para siswa akan mulai berlatih atau beradaptasi dengan kurikulum pembelajaran internasional. Tindakan ini didasarkan atas inisiatif dan kreativitas para guru pengampu yang tidak terlalu Diskresi lain pada program RSBI ini adalah terkait adaptasi/adopsi kurikulum, dalam hal ini adalah dengan IIS Malaysia dan BPHS Queensland. Mengenai adaptasi/adopsi kurikulum memang belum ada aturan secara khusus mengenai berapa persen banyaknya muatan kurikulum yang dari luar dan dari dalam sekolah itu sendiri. Dalam aturan penjaminan mutu RSBI, kurikulum sekolah yang menerapkan program RSBI menggunakan adaptasi kurikulum dari negara OECD yang ditunjuk sekolah. Yang menjadi masalah adalah belum ada kejelasan tentang prosentase muatan kurikulum antara kurikulum lokal maupun internasional. Sehubungan dengan hal tersebut, SMA 1 Salatiga memberikan kewenangan sepenuhnya kepada MGMP sekolah dan guru mata pelajaran itu sendiri yang disesuaikan dengan kapasitas dan kemampuan sekolah sebagai bentuk diskresi aturan. Pertimbangan untuk melakukan diskresi adalah adanya realitas bahwa aturan sebelumnya hanya menyebutkan sekolah RSBI diharuskan mengadaptasi kurikulum Cambridge dari negara-negara OECD, tetapi belum ada kerangka muatan dari kurikulum tersebut secara jelas. Kenyataan yang terjadi di lapangan adalah para guru sains sudah berusaha menerapkan adaptasi kurikulum sesuai dengan kapasitas dan kemampuan sekolah. Ada beberapa guru yang sudah mencoba membuat soal-soal/ pertanyaan ujian dengan memasukkan kurikulum luar negeri yang diberi tanda khusus. Dengan begitu para siswa akan mulai berlatih atau beradaptasi dengan kurikulum pembelajaran internasional. Tindakan ini didasarkan atas inisiatif dan kreativitas para guru pengampu yang tidak terlalu

“…Usaha adaptasi kurikulum sudah kami lakukan, dan kami berpesan pada bapak ibu guru agar dalam memberikan soal itu ditandai, tapi berapa persen itu, kami belum ada gambaran…yang jelas kami sudah lakukan dengan sister school dengan IIS Malaysia dan BPHS Queensland, teman-teman cuplik sana-sini, yang paling tahu guru mapel itu sendiri….Kami cuma memfasilitasi saja..” (wawancara, 3-6-2009)

Bestha Andre , siswa kelas XI Anggota OSIS SMA 1 Salatiga menyatakan pendapat yang sama sebagai berikut : “…mulai tahun ajaran baru udah lah selalu diberi motivasi seperti itu, bahwa ini

adalah program RSBI, seneng lah mas…bangga punya pengalaman yang berbeda, yang saya tahu juga soalnya pun berbeda dengan sekolah lain yang belum RSBI, mereka masih terlalu baku, kalau disini kan banyak modifikasinya…dengan luar negeri” (wawancara, 3-6-2009)

Dalam proses pembelajaran RSBI, hal yang belum diatur secara khusus dalam aturan, memang membutuhkan kemandirian seorang guru. Seperti halnya dengan para guru SMA 1 Salatiga juga menerapkan sistem remedial bagi siswa yang belum memenuhi kriteria ketuntasan standar penilaian. Siswa diberikan haknya secara penuh oleh guru dengan mengulang test mata pelajaran yang belum terpenuhi tersebut. Jika masih belum juga terpenuhi lagi, maka guru akan memberikan tambahan pelajaran khusus, atau diganti dengan penambahan tugas lainnya. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Bestha Andre, Anggota OSIS SMA 1 Salatiga :

"…memang ada remedial kaya gitu, biasanya setelah test/UHT kalo nilainya kurang mencukupi standar, maka dikasih remedial atau tambahan pelajaran/ tugas…" (wawancara, 3-6-2009)

Dari berbagai uraian diatas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa diskresi sebagai suatu langkah kelonggaran aturan atau keleluasaan/ kewenangan para administrator sekolah untuk melakukan kegiatan yang belum ada aturan sebelumnya. Hal ini dapat dilihat pada proses pembelajaran di SMA 1 Salatiga berkaitan dengan penggunaan IT dalam pembelajaran yang seharusnya pihak sekolah menyediakan, tetapi karena keterbatasan para siswa harus membawa laptop sendiri atau memakai fasilitas diluar sekolah. Diskresi juga tampak dalam masalah pembiayaan sekolah yang memberi kelonggaran pada siswa yang kurang mampu sehingga tujuan pemerataan pendidikan dapat tercapai. Diskresi memang kadang diperlukan dengan melihat keterbatasan sumber daya yang ada. Sehingga aturan yang ada akan bersifat 'luwes' atau menyesuaikan dengan kondisi di lapangan dengan tetap tidak menyimpang dari tujuan yang direncanakan.