Pendapatan Keluarga Status Gizi Balita

untuk suatu keluarga besar, mungkin hanya cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut. Keadaan yang demikian tidak cukup untuk mencegah timbulnya gangguan gizi pada keluarga besar. Seperti juga yang dikemukakan Berg 1986 bahwa jumlah anak yang menderita kelaparan pada keluarga besar, empat kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga kecil. Anak-anak yang mengalami gizi kurang pada keluarga beranggota banyak, lima kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga beranggota sedikit. Dalam hubungannya dengan pengeluaran rumah tangga, Sanjur 1992 menyatakan bahwa besar keluarga yaitu banyaknya anggota suatu keluarga, akan mempengaruhi pengeluaran rumah tangga. Harper 1988, mencoba menghubungkan antara besar keluarga dan konsumsi pangan, diketahui bahwa keluarga miskin dengan jumlah anak yang banyak akan lebih sulit untuk memenuhi kebutuhan pangannya, jika dibandingkan keluarga dengan jumlah anak sedikit. Lebih lanjut dikatakan bahwa keluarga dengan konsumsi pangan yang kurang, anak balitanya lebih sering menderita gizi kurang. Menurut Sukarni 1994 penelitian di suatu negara Colombia menunjukan bahwa dengan kenaikan jumlah anak, jumlah makanan per orang akan menurun sehingga terjadi pertambahan kasus kurang gizi pada anak-anak di bawah lima tahun.

2.4.5. Pendapatan Keluarga

Tingkat pendapatan adalah rata-rata pendapatan per bulan keluarga yang dihitung dari total pengeluaran makanan dan non makanan kemudian dibagi dengan jumlah anggota keluarga. Dari data pendapatan per kapita dikelompokkan lagi berdasarkan batas garis kemiskinan untuk daerah pedesaan BPS, 2009. Hasil penelitian Rosliana Kaban 1999, menunjukkan bahwa 44,4 anak balita yang berasal dari keluarga miskin di Kelurahan Ladang Bambu Kecamatan Medan Tuntungan tergolong status gizi kurang dan buruk. Dilihat dari konsumsi zat gizi, ternyata sebagian besar 88,8 anak balita mempunyai tingkat asupan energi sangat rendah 85 angka kecukupan yang dianjurkan. Sanjur 1992 menyatakan bahwa pendapatan merupakan penentu utama yang berhubungan dengan kualitas makanan. Hal ini diperkuat oleh Suhardjo 1989 bahwa apabila penghasilan keluarga meningkat, penyediaan lauk pauk akan meningkat pula mutunya Berbagai upaya perbaikan gizi biasanya berorientasi pada tingkat pendapatan. Seiring makin meningkatnya pendapatan, maka kecukupan akan makanan dapat terpenuhi. Dengan demikian pendapatan merupakan faktor utama dalam menentukan kualitas dan kuantitas bahan makanan. Besar kecilnya pendapatan keluarga tidak lepas dari jenis pekerjaan ayah dan ibu serta tingkat pendidikannya Soekirman, 1991. Pada keluarga dengan pendapatan rendah, 60-80 dari pendapatannya dibelanjakan untuk makanan. Elastisitas pendapatan untuk makanan yang digambarkan dari persentase perubahan kebutuhan akan makanan untuk tiap 1 perubahan pendapatan, lebih besar pada keluarga yang miskin dibandingkan pada keluarga kaya Soekirman, 1991. Dalam kaitannya dengan status gizi Soehardjo 1989 menyatakan bahwa pendapatan mempunyai hubungan yang erat dengan perubahan dan perbaikan konsumsi pangan, tetapi pendapatan yang tinggi belum tentu menjamin keadaan gizi yang baik. Menurut Berg 1986, pertambahan pendapatan tidak selalu membawa perbaikan pada konsumsi pangan, karena walaupun banyak pengeluaran uang untuk pangan, mungkin akan makan lebih banyak, tetapi belum tentu kualitas pangan yang dibeli lebih baik. Dari uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa antara pendapatan dan gizi, jelas ada hubungan yang menguntungkan. Berlaku hampir universal, peningkatan pendapatan akan berpengaruh terhadap perbaikan kesehatan dan kondisi keluarga dan selanjutnya berhubungan dengan status gizi. Namun peningkatan pendapatan atau daya beli seringkali tidak dapat mengalahkan pengaruh kebiasaan makan terhadap perbaikan gizi yang efektif.

2.4.6. Pengetahuan Gizi Ibu