Pola Makan Anak Balita Berdasarkan Karakteristik Keluarga

BAB V PEMBAHASAN

5.1. Pola Makan Anak Balita Berdasarkan Karakteristik Keluarga

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh sebagian besar 45,5 tingkat konsumsi energi anak balita pada kategori sedang, 22,0 pada kategori baik dan 32,5 tingkat konsumsi energi anak balita kurang. Sementara dalam hal konsumsi protein, paling banyak 50,6 tingkat konsumsi protein anak sedang, 22,1 pada kategori baik bahkan ditemukan 27,3 tingkat konsumsi protein anak kurang. Dalam hal konsumsi enegi berdasarkan jumlah anggota keluarga, diperoleh persentase terbesar konsumsi energi kurang berasal dari keluarga sedang dan keluarga besar yaitu 50,1 dan 33,3. Untuk konsumsi protein diperoleh persentase terbesar konsumsi protein kurang berasal dari keluarga kecil dan keluarga sedang yaitu 25,1 dan 42,9. Dengan kondisi seperti itu maka hal tersebut dapat mempengaruhi pendistribusian pangan dalam keluarga, ditambah lagi dengan jumlah pendapatan rendah dan jumlah anggota keluarga juga banyak, maka dapat memperburuk keadaan status gizi anak balita. Hal ini sesuai dengan pendapat Suhardjo 2003 yang menyatakan bahwa jumlah anggota keluarga juga mempunyai pengaruh terhadap timbulnya masalah gizi. Dimana anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga miskin adalah paling rawan terhadap kurang gizi diantara seluruh anggota keluarga lainnya dan anak yang kecil biasanya paling terpengaruh oleh kurang pangan. Sebab dengan bertambahnya jumlah anggota keluarga maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa anak-anak yang sangat muda perlu zat gizi yang relatif lebih banyak dari pada anak-anak yang lebih tua. Dengan demikian anak-anak yang lebih muda mungkin tidak diberi cukup makanan yang memenuhi kebutuhan gizi. Sementara berdasarkan pendapatan keluarga, diperoleh sebanyak 40,7 anak balita konsumsi energi kurang pada keluarga miskin, sedangkan konsumsi energi baik terbesar 50.0 terdapat pada keluarga tidak miskin. Untuk pendapatan keluarga, diperoleh sebanyak 34,0 anak balita konsumsi protein kurang pada keluarga miskin, sedangkan pada keluarga tidak miskin terdapat konsumsi protein yaitu 5,6. Rendahnya konsumsi energi dan protein keluarga disebakan karena lebih dari separuh 76,6 keluarga memiliki pendapatan kategori rendah, sehingga mempengaruhi keluarga dalam mengakses pangan yang cukup. Hal ini sesuai dengan pendapat Soehardjo, 2003 yang menyatakan bahwa pendapatan yang rendah menyebabkan daya beli yang rendah pula, sehingga tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan, keadaan ini sangat berbahaya untuk kesehatan keluarga dan akhirnya dapat berakibat buruk terhadap keadaan status gizi terutama bagi balita. Dalam kaitannya dengan status gizi, pendapatan mempunyai hubungan yang erat dengan perubahan dan perbaikan konsumsi pangan, tetapi pendapatan yang tinggi belum tentu menjamin keadaan gizi yang baik Pada pengetahuan gizi ibu kategori cukup dan kurang diperoleh konsumsi energi kurang sebanyak 29,8 dan 53,5. Untuk konsumsi protein pengetahuan gizi ibu kategori cukup dan kurang diperoleh konsumsi protein kurang sebanyak 24,6 dan 46,7. Rendahnya tingkat pengetahuan ibu dapat memungkinkan rendahnya tingkat konsumsi energi dan protein pada anak balita. Ibu yang memiliki pengetahuan gizi baik cenderung memilih makanan yang lebih baik dari pada ibu yang berpendidikan rendah Hardinsyah dan Suhardjo, 1987. Syarief dan Husaini 2000 menambahkan pendidikan ibu berhubungan dengan tingkat pengetahuan gizi dan kesehatan keluarga. Hal ini juga sejalan dengan pernyataan Depkes, 2004 yang menyatakan bahwa makin tinggi pendidikan, pengetahuan, keterampilan terdapat kemungkinan makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pula pengasuhan anak. Dalam hal jenis pekerjaan ibu, diperoleh persentase konsumsi energi kurang paling banyak 60,8 pada ibu yang memiliki jenis pekerjaan petani. Untuk konsumsi protein dalam hal jenis pekerjaan ibu, diperoleh persentase konsumsi protein kurang paling banyak 50,0 pada ibu yang memiliki jenis pekerjaan petani. Pada umumnya ibu bekerja di luar rumah dapat memberikan penambahan pendapatan keluarga. Namun hal ini dapat mempengaruhi pola asuh anak, karena ibu yang bekerja akan memiliki alokasi waktu yang lebih sedikit untuk keperluan anak terutama perhatian dalam konsumsi pangan anak. Oleh karena itu, walaupun ibu bekerja di luar rumah tetap tidak dapat meninggalkan perannya sebagai ibu rumah tangga, pengasuh dan perawat anaknya Dagun, 1990. Ibu yang tidak bekerja di luar rumah ibu rumah tangga akan memiliki alokasi waktu yang lebih banyak untuk keperluan keluarga. Kebiasaan makan anak dapat lebih diperhatikan oleh ibu, sehingga anak diharapkan akan mempunyai perilaku makan yang baik. Terlebih lagi jika ibu memiliki pengetahuan gizi yang baik, maka anak akan tumbuh optimal dan sehat Susanti 1999. Nasi sebagai pangan sumber karbohidrat merupakan makanan pokok yang dikonsumsi anak setiap hari. Sumber karbohidrat selain nasi yang biasa dikonsumsi anak adalah mie dan roti. Telur merupakan penyumbang terbesar untuk pangan hewani sementara daging sapi dan ikan jarang dikonsumsi anak. Rendahnya konsumsi pangan hewani diduga erat kaitannya dengan kemampuan daya beli keluarga yang relatif masih rendah. Jumlah telur yang dikonsumsi anak lebih banyak dibanding dengan daging sapi, ayam dan ikan sesuai dengan frekuensi konsumsi telur yang lebih sering dikonsumsi dibanding pangan hewani lain. Hal ini kemungkinan disebabkan harga telur yang relatif lebih murah dibanding pangan hewani lain, dan juga mudah didapat di warung-warung. Tempe sebagai sumber protein nabati yang baik, namun konsumsi tempe pada anak dalam penelitian ini masih rendah, hal ini diperoleh dari hasil wawancara dengan ibu tentang kebiasaan anak, umumnya anak tidak begitu suka tempe. Buah-buahan yang sering dikonsumsi anak adalah nenas, pepaya, jambu biji dan semangka yang mereka beli dari penjual yang pakai gerobak atau sepeda. Sementara konsumsi sayuran anak cukup bervariasi, namun jumlah yang dikonsumsi masih sangat sedikit. Sayur yang disukai umumnya bayam, kangkung, daun ubi dan sawi manis. Kesulitan makan sayur pada anak-anak usia dini sudah menjadi masalah yang sering dihadapi di masyarakat. Namun kebutuhan gizi usia prasekolah semakin besar sejalan dengan perkembangan fisiknya. Untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal dibutuhkan sejumlah zat gizi yang harus didapat dari makanan dalam jumlah yang cukup dan sesuai yang dianjurkan setiap harinya Harper et al. 1986. Oleh karena itu, ibu harus berusaha membiasakan makan sayuran pada anak, mungkin dengan upaya pengolahan yang disesuaikan dengan kondisi anak. Keadaan tingkat konsumsi yang rendah dalam penelitian ini sesuai dengan kebiasaan makan anak pada usia ini yang umumnya sulit makan, porsinya sedikit dan kurang bervariasi, bahkan sayuran sebagai sumber vitamin dan mineral masih banyak anak yang tidak menyukainya. Ibu yang tidak bekerja di luar rumah ibu rumah tangga akan memiliki alokasi waktu yang lebih banyak untuk keperluan keluarga. Kebiasaan makan anak dapat lebih diperhatikan oleh ibu, sehingga anak diharapkan akan mempunyai perilaku makan yang baik. Terlebih lagi jika ibu memiliki pengetahuan gizi yang baik, maka anak akan tumbuh optimal dan sehat Susanti 1999.

5.2. Status Gizi Anak Balita Berdasarkan Karakteristik Keluarga