Dampak Perubahan Iklim Kajian Pustaka

Tugas Mata Kuliah PTT8104 18 Raymond Valiant

2.3 Dampak Perubahan Iklim

Dampak perubahan iklim, khususnya pemanasan global sudah mulai terasa sebagai ancaman bagi umat manusia. Dampak ini merupakan masalah serius yang harus diatasi secara bersama oleh semua negara, baik negara berkembang maupun maju. Ada tiga perubahan yang akan terjadi dalam beberapa dekade ke depan Arnell, 2006 yakni: 1. Runtuhnya sirkulasi energi yang menggerakkan uap air di dunia termohaline yang menyebabkan menurunnya suhu udara di bagian utara garis subtropis – mempengaruhi Eropa dan Amerika Utara – disertai perubahan presipitasi secara global namun dengan dampak yang berbeda-beda. Peluang keruntuhan ini untuk terjadi pada 2100 bervariasi antara 30-45. 2. Kenaikan suhu udara secara sistematis yang mendorong perubahan presipitasi baik pengurangan maupun penambahan di berbagai tempat di dunia, yang tampaknya tidak dapat dibalik atau dihentikan Allison et al, 2009. 3. Perubahan rezim regime di mana pada kawasan sekitar khatulistiwa akan terjadi fenomena El-Niño yang lebih permanen, dengan variasi musim hujan yang lebih basah atau musim kemarau yang lebih kering pada sistem muson di Asia Selatan. Ketiga perubahan ini pada pokoknya disebabkan oleh meningkatnya suhu udara di dunia. Berbagai negara yang tergabung dalam Intergovernmental Panel on Climate Change IPCC sejak 1990 telah melakukan pemodelan melalui beberapa skenario untuk melihat hubungan meningkatnya GRK dengan perubahan pada cuaca, presipitasi, ketersediaan air, dan lain sebagainya. Pengamatan data meteorologi dunia misalnya, menunjukkan kenaikan suhu udara antara 0,1° sampai 0,3°C tiap dekade antara tahun 1990 sampai 2005 IPCC, 2007 yang dapat memiliki rata-rata kenaikan 0,2°C dekade -1 . Peluang kenaikan suhu rerata udara untuk melampaui 0,5°C tahun -1 adalah sebesar 20 Arnell et al, 2006. Dampak dari kenaikan suhu ini secara nyata dapat dilihat dalam mencairnya es abadi di lingkar kutub dan meningkatnya permukaan air laut. Pencairan es abadi di lingkar kutub ini juga disertai proses pencairan serupa pada sejumlah pegunungan – khususnya Gunung Himalaya di Asia. Grafik yang menggambarkan hubungan kenaikan suhu udara dengan mencairnya es dan meningkatnya muka air laut, dapat dilihat pada Gambar 6. Tentu saja, perubahan iklim ini mengancam keberlanjutan hidup manusia, maka untuk melihat akibat dari perubahan ini sejumlah skenario telah dikembangkan oleh IPCC. Tugas Mata Kuliah PTT8104 19 Raymond Valiant Sumber: IPCC 2007 Gambar 6 – Kenaikan suhu udara, peningkatan muka air dan penurunan luasan es di utara IPCC memulai prakiraan dengan beberapa pemodelan: mula-mula dengan model SA90 1990–1992, yang disempurnakan menjadi IS92 1992–2000, dan dikembangkan menjadi Special Report on Emission Scenarios SRES pada 2007. Model SRES memiliki 6 skenario: B 1 , A 1 T, B 2 , A 1 B, A 2 and A 1 F 1 yang menganggap konsentrasi aerosol dan GRK di udara dunia masing-masing sebesar: 600, 700, 800, 850, 1.250 dan 1.550 ppm. Skenario SRES ini disajikan dalam laporan IPCC ke empat. Sumber: IPCC 2007 Gambar 7 – Kenaikan suhu udara rerata dunia menurut SRES Namun, seiring makin lengkapnya data-data pelepasan GRK dan makin kuatnya sistem komputasi numerik, maka SRES disempurnakan lebih lanjut Tugas Mata Kuliah PTT8104 20 Raymond Valiant oleh IPCC menjadi skenario Rapid Climate Change Projection RCP yang diperhitungkan mulai 2012 dan memperkirakan keadaan seterusnya sampai 2025. Baik skenario SRES maupun RCP memberikan beberapa gambaran yang mengkhawatirkan bagi kehidupan umat manusia. Skenario SRES dengan opsi A 2 misalnya menganggap konsentrasi aerosol dan GRK di atmosfer akan mencapai sebesar 1.250 ppm sehingga menyebabkan suhu udara di dunia pada tahun 2100 naik 3,5°C terhadap suhu rerata dunia pada zaman pra-industri IPCC, 2007. Adapun skenario RPC yang terbaru, menunjukkan apabila pelepasan CO 2 dunia saat ini tidak berubah dan bertahan dengan kelajuan seperti saat ini maka tahun 2100 naik 3,2-5,4°C terhadap rerata dunia pada zaman pra-industri Peters et al, 2012. Baik SRES dan RPC menyatakan bahwa hanya kegiatan mitigasi secara meluas dan menyeluruh yang dapat mempertahankan kenaikan suhu udara di bawah 2°C. Sumber: Peters et al 2012 Gambar 8 – Kenaikan suhu udara rerata dunia menurut RPC Konsekuensi langsung dari kenaikan suhu sebesar itu akan mencairkan sebagian besar es di dunia dan menyebabkan kenaikan muka air laut mulai dari beberapa puluh sentimeter sampai satu atau dua meter. Selain itu masih banyak dampak lain pada pergerakan angin, presipitasi dan lain-lain unsur pembentuk iklim. 2.3.1 Ketersediaan Air Permukaan Air adalah sumberdaya pokok dan utama bagi kehidupan. Seluruh kehidupan di bumi ini terkait erat dengan air. Lebih khusus lagi, sebagian kehidupan itu bertumpu secara mutlak pada air tawar. Padahal air tawar di bumi ini hanya sekitar 2,5 dari keseluruhan air yang ada dan dua-per-tiga darinya berada dalam bentuk es, salju, beku atau tersimpan di dalam tanah Shiklomanov, 1997. Tugas Mata Kuliah PTT8104 21 Raymond Valiant Dalam kenyataan, air juga terancam oleh keberadaan manusia, baik akibat perubahan pada siklus hidrologi Vörösmarty dan Sahagian, 2000; Oki dan Kanae, 2006, limbah rumah tangga, industri dan pertanian yang dibuang ke perairan danau, waduk, rawa dan sungai-sungai di dunia Vörösmarty et al, 2010, maupun pelepasan gas rumah kaca yang mendorong perubahan iklim global Arnell et al, 2004; Kanae, 2009. Dampak dari pelepasan GRK yang menyebabkan pemanasan dapat dirasakan secara langsung di berbagai penjuru dunia. Perubahan panjang dan intensitas hujan serta pergeseran musim menyebabkan perubahan ketersediaan air terhadap waktu dan ruang Arnell, 1999; Kundzewicz et al, 2007; Kanae, 2009. Turral et al 2011 mengutip penelitian Milly et al 2002 menemukan, frekuensi dari apa yang dahulu disebut banjir dengan kala ulang 1 : 100 pada 29 daerah aliran sungai di dunia dengan luas lebih dari 200.000 km 2 telah meningkat secara nyata pada abad ke 20. Sumber: Boer 2007 Gambar 9 - Perubahan presipitasi pada musim hujan atas dan musim kemarau bawah pada derajat keyakinan 5 terhadap data Badan Meteorologi dan Geofisika BMG Berdasarkan laporan IPCC 2007 curah hujan di Indonesia diperkirakan akan mengalami penurunan pada belahan sebelah selatan khatulistiwa dan peningkatan pada belahan sebelah utara. Perkiraan ini didasarkan pada penelitian Manton et al 2001 dan Boer dan Faqih 2006 namun oleh karena penelitian lain Aldrian dan Djamil, 2006; Boer et al, 2007 dalam Boer dan Hilman, 2007 tidak secara tepat memperoleh gambaran yang sama, maka Tugas Mata Kuliah PTT8104 22 Raymond Valiant lebih tepat disimpulkan sementara ini bahwa curah hujan di Indonesia akan lebih sulit diprediksi variabilitas hujan meningkat. Adapun iklim di Indonesia yang dipengaruhi berbagai penggerak seperti sirkulasi muson, dipole mode, Madden-Julian Oscillation dan El-Niño Southern Oscillation ENSO dapat mengalami pergeseran awal dan akhir dari musim hujan serta musim kemarau sebagai akibat pemanasan global Handoko et al, 2008. Iklim Indonesia sendiri berhubungan dengan ragam oseanik maupun fluktuasi yang terjadi di atmosfer, sehingga istilah telekoneksi keikliman yang menggambarkan bagaimana peristiwa di suatu tempat yang jauh dapat mempengaruhi iklim di tempat yang lain, dapat dipergunakan di sini. Sejauh ini, penentuan musim hujan dan musim kemarau mengacu pada pendekatan statistik yang kriterianya ditetapkan Oldeman et al 1975 di mana apabila rerata curah hujan sama atau melebihi 150 mm bulan -1 maka bulan dianggap basah, sedangkan bila curah hujan rerata kurang dari 75 mm bulan -1 maka bulan dianggap kering. Apabila terjadi dua kali atau lebih bulan kering berturut-turut maka ditetapkan iklim sudah memasuki musim kering dan sebaliknya bila terjadi dua kali atau lebih bulan basah telah memasuki musim hujan. Pergeseran awal dan akhir musim hujan serta musim kemarau ini dapat disertai perubahan panjang durasi musim. Perubahan durasi musim ini berpengaruh pada pemilihan jenis tanaman, di mana musim kemarau dapat menjadi lebih panjang sehingga petani akan beralih menanam produk pertanian yang lebih sedikit memakai air. Demikian pula sebaliknya, dengan memanjang musim hujan dapat muncul surplus air yang memungkinkan petani memilih tanaman yang memerlukan air lebih banyak. 2.3.2 Ketersediaan dan Ketahanan Pangan Selain merubah sebaran air di dunia, perubahan iklim juga menimbulkan tekanan pada sektor-sektor yang secara intensif memanfaatkan air seperti halnya produksi pangan. Peningkatan intensitas hujan, perubahan waktu dalam siklus hidrologi, munculnya badai, dan variasi penguapan memiliki pengaruh yang besar terhadap produksi pangan. Secara global, FAO 2005 memperkirakan bahwa 11 dari lahan pertanian di negara-negara berkembang dipengaruhi oleh perubahan iklim – khususnya pemanasan global – yang mengakibatkan penurunan produksi pangan biji- bijian serealia di 65 negara yang pada akhirnya berdampak pada penurunan domestik produk bruto sekitar 16. Produksi pangan ini terganggu oleh karena perubahan iklim juga menyebabkan ketersediaan air berubah, baik «air biru» yang merupakan air yang mengalir dalam atau di atas permukaan tanah, maupun «air hijau» adalah air yang Tugas Mata Kuliah PTT8104 23 Raymond Valiant tersimpan dalam kelembaban tanah dan kehidupan hayati Falkenmark Lannerstad, 2005. Produksi pangan tidak saja memanfaatkan «air biru» namun juga «air hijau» bersama-sama dengan terpakainya zat hara tanah. Akibat dari perubahan iklim memunculkan tekanan kepada ketersediaan «air biru» sebagai akibat perubahan presipitasi dan juga «air hijau» akibat diserapnya kelembaban tanah melalui proses evapotranspirasi tanaman. Sejauh ini dapat diketahui kebutuhan air untuk sektor pertanian dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan di dunia meliputi air dari curah hujan efektif dan irigasi mencapai 6.390 km³ per-tahun Hoekstra dan Chapagain, 2007. Jumlah ini melampaui simpanan air dunia yang sebesar 2.000 km³ namun masih di bawah potensi aliran tahunan di sungai 45.500 km³ Oki dan Kanae, 2006. Adapun seluruh air yang diperlukan untuk menghasilkan jagung Zea mays, gandum Triticum spp dan padi Oryza sativa adalah masing-masing 900, 1.300 dan 3.000 m³ ton -1 ; sementara air maya untuk daging ayam, kambing, babi dan sapi adalah 3.900, 4.050, 4.900 dan 15.500 m³ ton -1 Hoekstra dan Chapagain, 2007. Dampak perubahan iklim pada produksi pangan telah ditelaah berbagai institusi maupun peneliti. Salahsatu hasilnya disajikan pada Gambar 10 berikut ini. Sumber: FAO 2011 Gambar 10 – Dampak perubahan iklim dalam berbagai bentuk serta pengaruhnya terhadap ketersediaan pangan secara global Untuk Indonesia, dampak perubahan iklim khususnya pemanasan global terhadap produk pangan strategis, telah dilakukan melalui simulasi oleh Handoko et al 2008. Pengaruh dari pemanasan global bervariasi, baik dari aspek kenaikan suhu udara maupun perubahan curah hujan, ternyata memberikan dampak pada luas panen serta hasil panen. Hasil simulasi dengan batas waktu skenario tahun 2050 disajikan secara ringkas pada Tabel 6. Dari Tugas Mata Kuliah PTT8104 24 Raymond Valiant hasil simulasi tampak akibat pemanasan global pada 2050 akan terjadi penurunan sebesar 3,7 luas panen sawah beririgasi dan 10,3 padi ladang terhadap luas panen tahun 2006. Tabel 6 – Simulasi pengaruh perubahan iklim pada perubahan luas panen Indonesia No Jenis Pertanian Luas Panen 2006 Bentuk Perubahan Iklim Penurunan Luas Panen Hektar Hektar 1 Padi beririgasi 10.713.014 Kenaikan suhu 1,6 o -3,2 o C 397.641 3,7 2 Padi ladang 1.073.416 Perubahan hujan mulai -5 sampai +60 mm tahun -1 110.236 10,3 Total 11.786.430 507.877 4,3 Sumber: Handoko et al 2008 Akibat logis dari kenaikan suhu udara adalah meningkatnya kebutuhan air irigasi yang diperlukan untuk mempertahankan kebutuhan air tanaman, dan perubahan curah hujan beserta sebaran musimannya mengakibatkan turunnya keandalan penyediaan air untuk keperluan pemenuhan irigasi. Bila ditinjau dari produksi pangan strategis maka hasil simulasi untuk tahun 2050 menunjukkan adanya penurunan cukup signifikan bila dampak pemanasan global dihubungkan dengan kenaikan suhu dan perubahan curah hujan. Tabel 7 - Perkiraan produksi pangan strategis akibat pemanasan global No Komoditas Produksi 2006 Simulasi Produksi 2050 Ton Ton 1 Padi sawah 51.647.490 41.173.776 80 2 Padi ladang 2.807.447 2.045.292 73 3 Jagung 11.609.463 10.034.497 86 4 Kedelai 747.611 655.108 88 5 Tebu 1.279.070 1.181.617 92 Sumber: Handoko et al 2008 Secara keseluruhan dapat dilihat, bila dibandingkan terhadap 2006 maka pada 2050 diperkirakan gabah kering giling GKG dari padi dari sawah diairi irigasi akan turun menjadi 80; untuk padi ladang yang bersifat tadah hujan menjadi 73, jagung 86, kedelai 88 dan tebu 92. Penurunan ini akan mengakibatkan Pemerintah Republik Indonesia akhirnya mendorong impor pangan untuk mencukupi pola konsumsi kebutuhan masyarakat dan menutupi kehilangan produksinya sendiri. Selain mengakibatkan penurunan produk pangan, pemanasan global juga berpengaruh pada ketahanan pangan food resilience. Ketahanan pangan adalah kondisi optimal di mana suatu masyarakat memiliki kemampuan Tugas Mata Kuliah PTT8104 25 Raymond Valiant mempertahankan asupan kalori dari makanan yang diperoleh melalui berbagai sumbercara. Perolehan bahan pangan ini dapat melalui bercocok-tanam sendiri ataupun pembelian melalui impor misalnya. Dalam situasi di mana terjadi pemanasan global maka gangguan dari iklim dapat berakibat tanaman pangan dalam suatu kawasan tidak mencapai biomassa yang diperlukan untuk dikonsumsi. Akibatnya muncul kekurangan secara sistematis yang membuat masyarakat di kawasan tersebut harus membeli bahan pangan dari tempat lain. Pada skala negara, pembelian bahan pangan dari negeri lain mengurangi devisa oleh karena transaksi menggunakan kurs yang secara keseluruhan mempengaruhi ketahanan negara secara ekonomi. Sumber: Handoko 2008, Deptan 2008, Mentan 2012 dan BPS 2013 diolah ulang Gambar 11 – Produksi dan impor beras Indonesia 1968-2012 Indonesia adalah negara produsen dan konsumen bahan pangan yang besar. Salah satu bahan pangan yang diproduksi dan dikonsumsi adalah beras; sejak tahun 1960-an hingga 1980-an Indonesia merupakan pengimpor beras terbesar di dunia. Untuk mengurangi impor beras dan mencapai swasembada pangan maka Indonesia menerapkan revolusi hijau green revolution sejak awal 1970- an. Sebelum menerapkan revolusi ini, Indonesia telah memiliki produktifitas pertanian padi yang rata-rata lebih tinggi dari negara-negara Asia lainnya; setelah menerapkan revolusi ternyata produktifitas pertanian masih lebih tinggi dari negara-negara lainnya. Walau demikian, setelah swasembada beras tercapai pada 1984 dan bertahan selama beberapa tahun lamanya, produktifitas pertanian padi di Indonesia dan Asia pada umumnya sebenarnya menurun. Hal ini menggambarkan adanya leveling off pelandaian dan stagnasi produktifitas. Fenomena ini telah diamati sejak dekade 1990-an Handoko et al, 2008. Alhasil, akibat dorongan konsumsi beras yang tinggi, pada 2002, Indonesia kembali menjadi pengimpor Tugas Mata Kuliah PTT8104 26 Raymond Valiant beras. Impor beras banyak dikaitkan dengan tingginya konsumsi beras per- kapita dan mekanisme regulasi bahan pangan serealia di Indonesia. Perkembangan produksi dan impor beras Indonesia 1968-2012 disajikan pada Gambar 11. 2.3.4 Kenaikan Muka Air Laut Kajian terhadap dampak pemanasan global menunjukkan kecenderungan naiknya muka air laut akibat pencairan es pada kutub utara dan selatan. Perubahan muka air laut sebenarnya bukan sesuatu yang aneh, 10.000 tahun silam pada akhir musim es, air laut berada hampir 120 meter di bawah kedudukan sekarang. Namun di masa kini, kenaikan air laut sebesar 1,5 meter saja akibat mencairnya es akan menenggelamkan 30 dari populasi penduduk di dunia yang memang bermukim di dataran rendah sekitar pantai. Gambar 12 – Dataran rendah berbatasan dengan pantai yang rentan terhadap kenaikan muka air laut akibat pemanasan global IPCC, 2007 Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia akan mengalami bencana besar dengan berkurangnya luas daratan akibat kenaikan permukaan air laut. Para ahli kelautan memperkirakan dengan naiknya permukaan air laut, Indonesia sampai tahun 2060 akan kehilangan sekitar 200 pulau-pulau kecil. Bahkan lebih jauh lagi, kota-kota besar yang terletak di tepi pantai atau sungai besar akan ikut tenggelam, seperti misalnya Medan, Palembang, Bandar Lampung, Anyer, Banten, Jakarta, Cirebon, Semarang, Surabaya, Pontianak, Banjarmasin, Makassar, Denpasar dan Ambon. Oleh karena kota-kota besar tersebut di atas akan tenggelam, berarti garis pantai akan bergeser ke arah daratan sehingga pulau menjadi lebih kecil atau luas daratan menjadi sempit. Pulau Jawa sebagai pulau terpadat jumlah penduduknya, akan mengalami bencana besar manakala gagal melakukan Tugas Mata Kuliah PTT8104 27 Raymond Valiant usaha penanggulangan pemanasan global. Pulau Jawa setengah abad lagi diperkirakan akan mengalami penyusutan daratan. Sumber: Boer Hilman 2007 Gambar 13 – Dampak kenaikan muka air laut di Jakarta pada luas genangan akibat banjir warna biru di Jakarta menggunakan skenario dengan kanan atau tanpa kiri penurunan permukaan tanah Kenaikan muka air laut yang dikombinasikan dengan penurunan permukaan tanah land subsidence karena pengambilan air tanah secara berlebihan akan menggeser garis pantai ke pedalaman dan dapat dihubungkan dengan risiko genangan atau banjir yang lebih besar. Kajian oleh Pusat Pengembangan Kawasan Pesisir dan Laut, Institut Teknologi Bandung dalam Boer Hilman 2007 menunjukkan kenaikan muka air laut sebesar 0,25, 0,57 dan 1,00 cm tahun -1 akan menyebabkan bagian utara Jakarta akan tergenang banjir pada 2050 dengan luasan berturut-turut 40, 45 dan 90 km 2 di mana keadaan ini akan semakin parah bila disertai penurunan permukaan tanah Gambar 13. 2.3.4 Keragaman Hayati Perubahan iklim akan berdampak pada keragaman hayati oleh karena perubahan tipologi ekosistem yang ditandai dengan berubahnya jumlah spesies dan bergantinya komposisi spesies. Sebagian besar ekosistem di dunia ini dibatasi secara iklim dan kehidupan sebagian besar spesies di bumi ini ditentukan oleh kekhususan dari kawasan di mana kehidupannya berkembang. Adapun keragaman hayati tidak hanya terancam oleh perubahan iklim namun juga perubahan tutupan lahan, urbanisasi, pencemaran, dan kegiatan manusia – sehingga memperbesar potensi kerusakan ekosistem akibat perubahan iklim. Sejumlah kajian telah dilakukan terhadap dampak regional dan global dari perubahan iklim, seperti yang berkaitan dengan produktifitas primer suatu ekosistem Leemans Eickhout, 2004; Levy et al, 2004. Perubahan iklim dalam bentuk pemanasan global akan menimbulkan pergeseran ekosistem Tugas Mata Kuliah PTT8104 28 Raymond Valiant yang berlangsung menjauh dari kutub, sehingga hutan boreal akan menggantikan tundra, dan hutan empat musim menggantikan hutan boreal. Pada kawasan di mana kenaikan suhu udara tidak secara langsung mengubah ekosistem, dampak perubahan iklim dirasakan dalam turun atau naiknya presipitasi. Meningkatnya frekuensi kekeringan dapat menyebabkan kerawanan ekosistem pada kawasan Mediterania Laut Tengah di Eropa, atau sebagaimana terjadi di Amerika Selatan, berkurangnya presipitasi akan mengurangi luas hutan hujan tropis, bahkan kematian sebagian besar hutan tersebut di kawasan Amazon dan Asia. Berbagai spesies tumbuhan maupun hewan diketahui akan mengalami pengurangan populasi secara berarti dengan kenaikan suhu udara dan berkurangnya ketersediaan air permukaan Thomas et al, 2004. Setidaknya sepertiga dari jenis tumbuhan di Eropa diperkirakan dapat punah pada 2050 akibat perubahan iklim meruntuhkan daur termohaline Bakkenes et al, 2002. Analisis terhadap keragaman hayati dan ekosistem sebagai akibat perubahan iklim diberikan Arnell 2006 pada Tabel 8 dengan mengambil asumsi perubahan iklim sesuai skenario pelepasan GRK tipe A2. Tabel 8 – Dampak perubahan iklim pada keragaman hayati dan ekosistem Kawasan Skenario A2 GRK=1.250 ppm Keruntuhan Termohaline Percepatan Perubahan Iklim RPC Perubahan Rezim Eropa Pergeseran ekosistem ke arah utara; kebakaran hutan di Eropa Tengah dan Selatan Pergeseran ekosistem ke selatan; hutan boreal bergeser ke selatan Pergeseran ekosistem ke arah utara; kebakaran hutan; hilang ekosistem pada pegunungan dengan es abadi; berkurangnya keragaman hayati Amerika Utara Pergeseran ekosistem ke arah utara; perluasan kawasan padang pasir di selatan dan barat Pergeseran hutan boreal ke selatan di sebelah timur; ekspansi spesies pepohonan di padang rumput Pergeseran ekosistem ke arah utara; kebakaran hutan; hilang ekosistem pada pegunungan dengan es abadi; perluasan kawasan padang pasir Fenomena El Niño yang lebih menetap di timur; peningkatan luasan hutan di barat Amerika Selatan Perubahan presipitasi menurunkan luasan hutan; peluang terjadi penggurunan pada kawasan yang lembab Pengurangan presipitasi menyebabkan risiko rusaknya ekosistem hutan Risiko pengurangan luas hutan akibat perubahan presipitasi; meningkatnya penggurunan pada kawasan selatan Fenomena El Niño yang lebih menetap di timur; peningkatan luasan hutan di barat; penurunan potensi perikanan di Samudera Pasifik Tugas Mata Kuliah PTT8104 29 Raymond Valiant Kawasan Skenario A2 GRK=1.250 ppm Keruntuhan Termohaline Percepatan Perubahan Iklim RPC Perubahan Rezim Asia Pergeseran hutan boreal ke utara pada elevasi tinggi; peningkatan produktifitas hutan di Asia Tengah dan Selatan; penurunan produktifitas padang rumput di Asia Tengah Pergeseran hutan boreal ke selatan di sebelah timur; sedikit peningkatan produktifitas di belahan selatan dan timur dibandingkan skenario pelepasan pada opsi A2 Pergeseran hutan boreal ke utara pada elevasi tinggi; peningkatan produktifitas hutan di Asia Tengah dan Selatan; penurunan produktifitas padang rumput di Asia Tengah Fenomena El Niño yang lebih menetap; penurunan luas hutan di Asia Tengah dan Selatan; Muson yang cenderung kering; turunnya produktifitas hutan dan padang rumput di Asia Tengah; Muson yang cenderung basah; produktifitas hutan dan padang di Asia Tengah meningkat Afrika Produktifitas hutan meningkat di bagian Tengah dan Timur; penurunan curah hujan menurunkan produktifitas ekosistem di Barat dan Selatan Sama dengan skenario pelepasan pada opsi A2 Produktifitas hutan meningkat di bagian Tengah dan Timur; penurunan curah hujan menurunkan produktifitas ekosistem di Barat dan Selatan Fenomena El Niño yang lebih menetap; penurunan produktifitas di sisi Timur dan Selatan Austraiasia Penurunan presipitasi mendorong proses penggurunan; hilangnya ekosistem pada elevasi yang lebih tinggi Sama dengan skenario pelepasan pada opsi A2 Penurunan presipitasi mendorong proses penggurunan; hilangnya ekosistem pada elevasi yang lebih tinggi Sumber: Arnell 2006

2.4 Bencana Akibat Perubahan Iklim