Uraian Ringkas tentang Perubahan Iklim s

(1)

Judul Tugas

: Uraian Ringkas tentang Perubahan Iklim serta

Proses

Mitigasi

dan

Adaptasi

terhadap

Bencana yang Ditimbulkan

Nama Mahasiswa : Raymond Valiant No. Induk Mahasiswa : 137040100111018

Mata Kuliah : Perubahan Iklim dan Mitigasi Bencana (PTT8104) Pengampu : Prof. Ir. Kurniatun Hairiah, Ph.D

Program : Program Pascasarjana Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya

Minat : Doktoral Manajemen Sumberdaya Lahan

Ringkasan

Makalah ini memberikan ikhtisar mengenai perubahan iklim, atau yang lazim disebut pemanasan global, beserta upaya mitigasi dan adaptasi yang dapat dilakukan untuk mengurangi ataupun menyesuaikan diri terhadap dampaknya. Perubahan iklim ini didorong sebagian besar oleh kegiatan manusia sendiri, yang melepaskan GRK dan aerosol ke udara melalui berbagai aktifitas, baik pembakaran bahan bakar fosil, pengurangan tutupan lahan, kegiatan industri dan transportasi, serta berbagai kegiatan lainnya. Indonesia adalah pelepas ketiga terbesar GRK setelah Amerika Serikat dan Cina, setara 3,01 Gt-CO2 tahun-1 di mana 78% gas tersebut berasal dari perubahan fungsi hutan. Ciri pokok perubahan iklim ditandai: (1) runtuhnya sirkulasi uap air di dunia (termohaline) yang menyebabkan penurunan suhu udara di bagian utara garis subtropis disertai perubahan presipitasi secara global; (2) kenaikan suhu udara secara sistematis antara 0,1° sampai 0,3°C tiap dekade yang mendorong perubahan presipitasi baik pengurangan maupun penambahan di berbagai tempat di dunia; (3) perubahan rezim (regime) pada kawasan sekitar khatulistiwa atau fenomena El-Niño yang lebih permanen dengan variasi musim hujan dan musim kemarau pada sistem muson. Perubahan-perubahan ini ditenggarai akan bersifat permanen dalam skala aeonik. Dampak perubahan iklim secara global dapat mempengaruhi manusia secara sistemik, yang berhubungan dengan ketersediaan air permukaan, ketahanan pangan, kenaikan muka air laut dan keragaman hayati, namun juga secara sporadis dalam wujud berbagai bencana yang berhubungan dengan aspek agroklimatologi, fluvial dan meteorofisika. Ikhtiar mengurangi atau bila dimungkinkan, menghentikan pemanasan global disebut mitigasi, sedangkan upaya menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim disebut adaptasi. Bentuk mitigasi yang dimungkinkan adalah penurunan pelepasan GRK, perluasan hutan atau kawasan berhutan sebagai jebakan karbon, serta perluasan layanan lingkungan dari pepohonan (tree’s environmental services). Upaya adaptasi dapat berupa tindakan penghematan energi fosil, konversi ke energi baru dan terbarukan, pemanenan air hujan, upaya memperluas kekayaan genetik untuk berbagai tanaman pangan serta biomassa, dan lain-lain kegiatan yang mendukung penyesuaian diri umat manusia terhadap perubahan iklim.


(2)

Daftar Isi

Ringkasan ... 1

 

I.

 

Pendahuluan ... 3

 

II.

 

Kajian Pustaka ... 5

 

2.1

 

Pengertian Perubahan Iklim ... 5

 

2.2

 

Penyebab Perubahan Iklim ... 6

 

2.2.1

 

Pengaruh Ekstra-Teresterial ... 6

 

2.2.2

 

Aktifitas Kebumian ... 7

 

2.2.3

 

Aktifitas Manusia ... 8

 

2.3

 

Dampak Perubahan Iklim ... 18

 

2.3.1

 

Ketersediaan Air Permukaan ... 20

 

2.3.2

 

Ketersediaan dan Ketahanan Pangan ... 22

 

2.3.4

 

Kenaikan Muka Air Laut ... 26

 

2.3.4

 

Keragaman Hayati ... 27

 

2.4

 

Bencana Akibat Perubahan Iklim ... 29

 

2.4.1

 

Gangguan Agroklimatologi (Kekeringan) ... 29

 

2.4.2

 

Banjir dan Bencana Fluvial (Longsor dan Aliran Rombak) ... 31

 

2.4.3

 

Gangguan Meteorofisika (Siklon) ... 32

 

III.

 

Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim ... 35

 

3.1

 

Kerangka Kerja Mitigasi ... 36

 

3.1.1

 

Pengendalian Pelepasan GRK ... 36

 

3.1.2

 

Penyerapan GRK ... 37

 

3.2

 

Metode Adaptasi ... 39

 

3.3

 

Pengelolaan Risiko Kebencanaan ... 40

 

IV.

 

Pembahasan ... 42

 

4.1

 

Mitigasi ... 42

 

4.1.1

 

Penurunan Pelepasan GRK ... 42

 

4.1.2

 

Perluasan Hutan dan Kawasan Berhutan ... 44

 

4.1.3

 

Layanan Lingkungan Pepohonan ... 46

 

4.2

 

Adaptasi ... 49

 

4.2.1

 

Penghematan Bahan Bakar Fosil ... 49

 

4.2.2

 

Pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) ... 51

 

4.2.3

 

Pemanfaatan Bahan Pangan Setempat ... 52

 

4.2.4

 

Pemanenan Air Hujan ... 52

 

4.2.5

 

Penyesuaian Pola Tata Tanam ... 54

 

4.2.6

 

Upaya Konservasi Lahan ... 54

 

4.2.7

 

Keragaman Hayati ... 55

 

V.

 

Kesimpulan ... 57

 


(3)

I.

Pendahuluan

Sejak terbentuk sekitar 4 atau 5 miliar tahun silam, planet bumi telah mengalami berbagai perubahan suhu. Pada awal pembentukannya, bumi diperkirakan masih sangat panas dan berangsur-angsur mendingin, sehingga dapat memunculkan interaksi yang tepat antara berbagai komponen fisika-kimiawi yang memungkinkan terbentuknya kehidupan di planet ini.

Perkembangan kehidupan yang bermula dari bakteri sel tunggal kemudian berevolusi melalui proses panjang sampai menghasilkan berbagai flora dan fauna termasuk mamalia yang lebih kompleks – melibatkan interaksi dari aspek atmosfer, hidrosfer, geosfer dan biosfer. Pada galibnya, kehidupan di bumi ini merupakan peristiwa yang kompleks dan pada puncak perkembangannya menghasilkan manusia sebagai mahluk dengan kecakapan beradaptasi dan kemampuan bernalar.

Walau kehidupan di bumi ini memiliki rentang yang relatif pendek terhadap riwayat terciptanya planet ini sendiri, namun pengaruhnya amatlah besar. Demikian pula keberadaan manusia di bumi ini memiliki rentang yang lebih pendek terhadap waktu kehidupan di planet ini, namun pengaruhnya terhadap bumi ini sangatlah besar.

Salah satu pengaruh dari keberadaan manusia adalah munculnya berbagai aktifitas yang mendorong perubahan alam dan lingkungan. Pertumbuhan manusia sebagai mahluk yang memiliki kecakapan beradaptasi dan kemampuan bernalar memang mendominasi sejarah bumi dalam rentang sekian ribu tahun terakhir.

Keunggulan manusia sebagai mahluk dengan kecakapan adaptasi dan kemampuan bernalar ini didorong antara lain oleh letusan Gunung Toba Purba di Sumatera, Indonesia, 74.000 (± 2.000) tahun silam (Chesner et al 1991; Chesner, 2011). Akibat letusan ini, partikel vulkanik memenuhi atmosfer sebagai aerosol, yang terbawa oleh angin ke mana-mana sehingga membatasi sinar matahari, menurunkan suhu udara rerata di atmosfer dan menurunkan evaporasi. Akibatnya, cuaca di berbagai belahan bumi berubah dalam proses yang disebut musim dingin vulkanis atau volcanic winter.

Peristiwa ini menimbulkan tekanan pada manusia modern saat itu, sehingga kelompok manusia modern di kawasan Afrika Utara terpaksa berimigrasi ke arah barat menuju Asia dan kemudian terpecah sebagian menuju utara ke Eropa, di mana melalui proses migrasi ini diduga terjadi seleksi gaya hidup, di mana berbagai ketrampilan dan kemampuan diuji (Rampino & Self, 1992; 1993; dan Ambrose, 1998). Walaupun pendapat ini ditolak oleh Gathorne-Hardy & Harcourt-Smith (2003) namun diyakini akibat perubahan iklim, manusia modern


(4)

ini mengubah kebudayaan meramu makanan dan berburu melalui migrasi selama hampir 40.000 tahun menjadi secara berangsur-angsur lebih menetap melalui budaya bercocok tanam (Diamond, 2005).

Perjalanan hidup manusia modern sendiri berubah dengan cepat dalam kurun beberapa ribu tahun terakhir. Melalui sejumlah proses transformasi politik, terbentuklah kesatuan-kesatuan sosial yang akhirnya mendorong proses kapitalisasi atas alam. Planet bumi pun ikut berubah di bawah campur tangan manusia yang secara ekspansif. Saat ini, pengaruh manusia mencapai tingkatan yang luar biasa besarnya terhadap alam.

Salah satu bentuk paling ekspansif dari peran manusia saat ini adalah perubahan terhadap iklim yang berupa pemanasan global. Perubahan ini tidak saja mengancam kelestarian sektor air, namun juga penyediaan pangan dan energi (Arnell, 1999; FCPP, 2007; Turral et al, 2011). Meskipun iklim telah berfluktuasi selama 15.000 tahun terakhir yang ditinjau dari berbagai bukti paleotik (Mörner, 1939; Quéré et al, 2013) namun tekanan terhadap lingkungan dalam bentuk perubahan iklim pada zaman kini bersifat paling sistemik – meningkatnya konsentrasi aerosol dan gas yang merubah sifat atmosfer berdampak pada proses konvektif udara – yang berakibat meningkatkan suhu udara sehingga menimbulkan dampak global: pencairan lapisan es, kenaikan muka air laut, dan perubahan distribusi hujan/salju.


(5)

II.

Kajian Pustaka

2.1 Pengertian Perubahan Iklim

Kondisi atmosfer di bumi lazim berubah setiap saat. Perubahan dari kondisi sesaat ini disebut juga sebagai cuaca. Apabila cuaca ini diamati secara terus menerus dalam jangka waktu yang panjang, maka kondisi rerata inilah disebut iklim.

Iklim sangat dipengaruhi oleh kesetimbangan energi di permukaan bumi yang bersumber dari matahari. Sepertiga dari energi yang berasal dari matahari dipantulkan kembali ke ruang angkasa oleh atmosfer dan permukaan bumi. Pemantulan ini disebabkan atmosfer mengandung partikel-partikel di udara yang disebut aerosol, sedangkan di permukaan bumi terdapat bidang-bidang pantul yang lain seperti salju, es dan gurun. Dua-pertiga energi dari matahari terserap oleh atmosfer dan permukaan bumi.

Untuk menjaga keseimbangan, bumi memantulkan kembali energi yang telah diserapnya dalam bentuk radiasi gelombang panjang. Sebagian dari radiasi gelombang panjang ini diserap oleh gas-gas tertentu di atmosfer yang disebut gas rumah kaca (GRK). Selanjutnya gas-gas tersebut melepaskan kembali radiasi tersebut dalam bentuk panas sehingga terjadilah efek rumah kaca (glass-house effect) yang secara alamiah memelihara suhu bumi relatif hangat pada rerata sekitar 14o Celsius.

Keseimbangan energi di dalam atmosfer dan permukaan bumi berperan besar dalam mengatur iklim. Jumlah energi yang diserap dan dipantulkan berimbang dengan pelepasan radiasi gelombang panjang dan berhubungan erat dengan GRK yang menciptakan keseimbangan lepasan panas di atmosfer. GRK yang dominan adalah uap air (H2O), karbon dioksida (CO2), metana (CH4),

dinitro-oksida (NO2), ozone (O3) dan gas lain dalam jumlah lebih kecil.

Perubahan energi netto dari radiasi matahari dapat mengakibatkan perubahan kondisi cuaca yang disebut perubahan iklim (Handoko et al, 2008). Salah satu perubahan iklim yang ditenggarai terjadi adalah pemanasan global – yakni peningkatan suhu rerata atmosfer di dekat permukaan bumi yang telah terjadi selama beberapa dekade terakhir dan diperkirakan akan meningkat di masa-masa mendatang.

IPCC (2007) melaporkan, kecenderungan 100 tahun terakhir (1906-2005) menunjukkan kenaikan suhu udara dunia adalah rerata sekitar 0,74°C (berkisar antara 0.56°C to 0.92°C). Kecenderungan linier dari kenaikan ini dalam 50 tahun terakhir bahkan mencapai 0,13°C per-dekade, yang mana hampir dua kali dari kecenderungan kenaikan 100 tahun terakhir ini. Kenaikan suhu udara dunia pada 1850-1899 terhadap 2001-2005 adalah sebesar 0,76°C (berkisar


(6)

antara 0,57°C sampai 0,95°C). Pengaruh dari zona perkotaan dalam menciptakan zona lebih hangat (urban heat islands) dapat diabadikan, karena hanya mempengaruhi sebesar 0,006°C per-dekade di atas dan mendekati nol di atas permukaan laut.

Kenaikan suhu ini dapat dipastikan berasal dari ketidakseimbangan jumlah energi yang diserap dan dipantulkan akibat pelepasan radiasi gelombang panjang yang dipastikan berhubungan erat dengan GRK.

Selain aktifitas tersebut masih ada beberapa faktor yang menyebabkan pemanasan global, seperti dampak letusan gunung berapi. Letusan gunung berapi dapat mengakibatkan peningkatkan kandungan aeorosol di udara sebagai akibat terlontarnya partikel-partikel piroklastik ke udara khususnya debu. Walau demikian, saat ini dapat dibuktikan secara ilmiah bahwa pemanasan global yang dialami dunia disebabkan hampir seluruhnya oleh aktifitas manusia.

2.2 Penyebab Perubahan Iklim

2.2.1 Pengaruh Ekstra-Teresterial

Selain radiasi dari matahari, radiasi dari sumber ekstra-teresterial seperti sinar kosmisjuga dapat meningkatkan suhu permukaan bumi. Saat ini sumber energi terbesar yang menggerakan proses konvektif di atmosfer masih berasal dari matahari. Namun, ada beberapa penyebab astronomis yang dapat meningkatkan radiasi dari matahari dan akhirnya meningkatkan suhu udara (Tjasyono, 2004):

− Perubahan orbit bumi dan sudut sumbu bumi

Orbit bumi mengelilingi matahari dari bentuk lingkaran ke elips menyebabkan perubahan radiasi matahari. Pada saat orbit matahari berbentuk lingkaran jumlah radiasi matahari 20-30% lebih besar dibandingkan yang diterima pada saat kedudukan bumi terjauh dalam orbit elips (posisi uphelion).

Semula bumi mengelilingi matahari dengan sudut sumbu bumi 22,1° terhadap bidang ekliptika namun sekarang sudah menjadi 23,5°. Hal ini menyebabkan perubahan luas permukaan bumi yang menghadap matahari dan mengubah intensitas radiasi juga.

− Noda matahari (sun-spot)

Matahari adalah bola gas yang menyala karena proses fisi atom. Suhu matahari berkisar 4.000°K dan beberapa area memiliki suhu yang lebih tinggi, sekitar 6.000°K. Dalam keadaan ini, timbul berbagai ledakan di permukaan dan di dalam matahari yang mengubah suhu. Pada


(7)

permukaan matahari terdapat bagian yang bersuhu lebih dingin dan berwarna lebih gelap, disebut noda matahari (sun-spot).

Jumlah noda matahari ini berubah-ubah, mengikuti pola 11-tahunan, 22-tahunan (daur Hale) dan 80-22-tahunan (daur Gleisberg). Perubahan noda matahari atau perubahan suhu matahari ini menimbulkan perubahan medan magnet bumi dan mempengaruhi sistem peredaran atmosfer. 2.2.2 Aktifitas Kebumian

Letusan gunung berapi adalah salah satu penyebab perubahan iklim, oleh karena lontaran produk vulkanis ke udara dalam bentuk aerosol menyebabkan perubahan sifat atmosfer yang mempengaruhi perpindahan energi. Sejumlah letusan besar di dunia ini telah dikaitkan dengan perubahan iklim di masa lalu, seperti letusan Gunung Toba Purba, Krakatau dan Tambora. Dampak dari letusan ini cukup besar namun tidak bersifat masif dan menyeluruh seperti halnya dampak GRK.

Salah satu contoh yang terdokumentasi dengan baik adalah dampak ledakan Gunung Agung (+3.031 m) pada 17 Maret dan 16 Mei 1963. Ledakan gunung api tipe strato-volcano ini menghamburkan produk piroklastik ke udara, melepas awan panas (nuées ardentes d’explosion), lahar (lava) dan akhirnya aliran lahar dingin yang menimbulkan korban harta-benda dan jiwa (Zen & Hadikusumo, 1964; Self & Rampino, 2012).

Sumber: Tjasyono (2004)

Gambar 1 – Dampak letusan Gunung Agung (1963) pada suhu udara di atmosfer

Akibat kedua letusan ini kolom asap dan produk piroklastik masing-masing setinggi 26 km dan 20 km menimbulkan halangan pada sinar matahari sehingga menurunkan suhu udara sebesar 0,5°C di permukaan bumi, namun meningkatkan suhu di troposfer maupun stratosfer sebesar 7°C selama kurang lebih 4 tahun. Penelitian Toon & Pollack (1980) tersebut menunjukkan dampak dari aerosol di udara pada perpindahan energi akibat radiasi sinar matahari (Tyasjono, 2004).


(8)

2.2.3 Aktifitas Manusia

Gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan oleh aktifitas manusia dikhawatirkan menjadi penyumbang terbesar terhadap efek rumah kaca dan pemanasan global yang menjadi konsekuensinya (IPCC, 2007) termasuk di Indonesia (PEACE, 2007).

Sumber pelepas GRK terbesar di dunia adalah Amerika Serikat, kedua Cina dan ketiga Indonesia. Adapun Indonesia melepaskan GRK setara 3,01 Gt-CO2

tahun-1 (basis survei 2005); di mana sekitar 78% gas-gas tersebut berasal sektor kehutanan yang berhubungan dengan pembukaan dan pembakaran hutan, perubahan fungsi hutan menjadi lahan monokultur (kelapa sawit) serta kegiatan perladangan lainnya (PEACE, 2007).

Sumber: PEACE (2007)

Gambar 2 – Perbandingan pelepasan GRK dari sektor energi, pertanian, kehutanan dan sampah untuk 6 negara

Sumber gas rumah kaca dari ulah-perbuatan manusia berasal dari: (1) sektor transportasi; (2) industri; (3) pembuangan sampah; dan (4) perubahan tata guna lahan.

1) Energi dan transportasi

Pada kota-kota besar, terutama lalu lintas yang padat dan memiliki kegiatan industrinya, dapat dipastikan lingkungan udaranya tercemar. Pencemaran tersebut disebabkan oleh adanya komponen pencemar udara, berupa: karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), belerang oksida (SOx), hidrokarbon

(HC) dan partikel aerosol lainnya.

Komponen tersebut di atas dapat mencemari udara secara terpisah ataupun bersama-sama. Kuantitas komponen pencemar tersebut tergantung pada intensitas aktifitas manusia. GRK yang paling dominan adalah karbon dioksida (CO2).


(9)

Kandungan CO2 di udara sebelum revolusi industri di Eropa (dekade 1860-an)

diperkirakan 283 bagian per-seribu (parts per-million atau PPM) telah meningkat pada 2005 menjadi

350 ppm. Kandungan CO2 pada

2005 ini melampaui kandungan serupa yang terjadi secara alamiah dalam rentang 650.000 tahun terakhir, sebagaimana dibuktikan dari penelitian terhadap contoh es dari kutub.

Penyebab utama dari kandungan CO2 yang tinggi ini adalah pelepasan dari

pembakaran bahan bakar fosil, pembukaan lahan dan kegiatan lainnya (IPCC, 2007).

Sumber: Quéré et al (2013)

Gambar 3 – Pelepasan CO2 (GRK) di atmosfer

Perkiraan lepasan CO2 dunia akibat pembakaran bahan bakar fosil telah

berkembang dari 6.4 giga-ton-karbon (GtC) tahun-1 pada dekade 1990-an menjadi 9,5 GtC pada 2012 (naik 55%). Pada 2013 diperkirakan lepasan CO2

akan setara dengan 9,9 GtC tahun-1 (Quéré et al, 2013). Jika 1 GtC setara dengan 3,67 giga-ton-karbon-dioksida (GtCO2) maka pelepasan pada 2013

tersebut adalah sebesar 36,27 GtCO2 tahun-1.

GRK di dunia ini utamanya berupa CO2 yang berasal dari pembakaran

batubara (43%), minyak bumi (33%), gas (18%), proses produksi semen (5%) dan lain-lain pembakaran (1%). Pelepasan terbesar saat ini dari pembakaran batubara telah mencapai 4,1 GtC tahun-1 dan pada 2004 melampaui pelepasan dari pembakaran minyak bumi.

Kotak 1 – Satuan Kandungan CO2

1 Giga-ton (Gt) = 1 miliar ton (1×109 ton) = 1015 gram = 1 Peta-gram (Pg)

1 kg karbon (C) = 3.664 kg karbon dioksida (CO2)

1 GtC = 3.664 miliar ton CO2 = 3.644 Gt-CO2 = 3.664 Pg-CO2


(10)

Sumber: Quéré et al (2013)

Gambar 4 – Pertumbuhan CO2 (GRK) di atmosfer dari bahan bakar fosil dan produksi semen

Pembakaran dari batubara, minyak bumi maupun gas, menghasilkan gas CO yang berubah menjadi gas CO2 bila bertemu dengan oksigen yang banyak

terdapat di atmosfer bumi dengan mengikuti reaksi: 2 CO + O2→ 2CO2 → gas rumah kaca

Sektor energi dan transportasi pada saat ini kebanyakan menggunakan bahan bakar fosil (batubara dan minyak bumi). Artinya, pemakaian bakar fosil merupakan sumber pencemaran udara. Pemakaian bahan bakar fosil berarti juga ikut menaikkan jumlah pelepasan gas rumah kaca. Prosentase komponen pencemar udara yang bersumber dari transportasi adalah sebagai berikut:

Tabel 1 - Komponen Pencemar di Sektor Transportasi

No. Komponen Pencemar Prosentase

1 CO 70,5

2 NOx 8,9

3 SOx 0,9

4 HC 18,3

5 Partikel 1,4

Sumber: Wardhana (2010)

Prosentase komponen pencemar udara yang tertera pada Tabel 1 tersebut di atas menggunakan asumsi bahwa pembakaran yang terjadi pada mesin penggerak transportasi (kendaraan bermotor) memenuhi persyaratan teknis yang mendekati pembakaran sempurna. Bila mesin pembakaran tadi tidak memenuhi persyaratan teknis yang baik, persentase tersebut dapat berubah. Selain dari CO2 maka GRK lain yang ikut membahayakan dunia adalah gas

metana (CH4). Penelitian konsentrasi gas tersebut menggunakan inti es dari

kutub menunjukkan peningkatan kandungan gas tersebut dari zaman pra-industri (sebelum 1860-an) yang hanya sebesar 715 bagian-per-miliar (atau


(11)

parts per-billion disingkat ppb) menjadi 1.774 ppb pada 2005. Konsentrasi gas methana pada 2005 melampaui kandungan serupa yang terjadi secara alamiah dalam rentang 650.000 tahun terakhir (IPCC, 2007).

2) Industri

Sudah terbukti bahwa aktivitas industri dapat menaikkan tingkat kesejahteraan masyarakat karena aktivitas ini menyerap banyak tenaga kerja sehingga dapat mengurangi angka pengangguran. Selain itu, aktivitas industri juga telah ikut menaikkan nilai tambah bahan (barang) mentah menjadi bahan (barang) jadi. Aktivitas industri berdampak sangat luas terhadap perekenomian suatu negara sehingga banyak negara di dunia berusaha meningkatkan keselahteraan rakyatnya melalui pengembangan industri, termasuk Indonesia.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, aktivitas industri termasuk kegiatan yang dapat menambah jumlah pelepasan gas rumah kaca. Bagian ini akan memaparkan kaftan antara aktivitas industri dengan peningkatan gas rumah kaca. Semua aktivitas industri yang melibatkan penggunaan bahan bakar fosil (batubara, minyak bumi dan gas bumi), terutama sebagai bahan bakar pembangkit tenaga listrik yang diperlukan dalam industri, dapat di-pastikan akan ikut menambah pelepasan gas rumah kaca. Pembentukan gas rumah kaca dalam proses ini sama dengan yang terjadi pada alat transportasi, yaitu:

2CxHx + (2x+0,5y) O2→ 2xCO2 + yH2O

Reaksi tersebut terjadi pada proses pembakaran sempurna. Pada pembakaran tak sempurna reaksi yang terjadi mengikuti persamaan berikut:

2CxHy + (x+0,5y)O2→ 2xCO + yH2O

Gas CO yang terbentuk akan bereaksi dengan oksigen yang ada di udara lingkungan menjadi gas CO2 dengan mengikuti reaksi berikut:

2CO + O2→ 2CO2 (gas rumah kaca)

jadi, melalui pembakaran sempurna maupun tak sempurna, bahan bakar fosil akan terbakar dan menghasilkan gas CO2 yang merupakan gas rumah kaca.

Aktivitas industri yang melibatkan pemakaian bahan bakar fosil secara nyata memang telah ikut menaikkan konsentrasi gas karbon dioksida (CO2) di

atmosfer bumi. Kenaikan tersebut sudah ditengarai sejak revolusi industri melanda Eropa, ketika pemakaian bahan bakar fosil pada saat itu meningkat tajam. Sebelum revolusi industri, selama 8.000 tahun, kenaikan konsentrasi CO2 hanyalah sebesar 10 ppm akibat hal alamiah.

Sebelum revolusi industri (sebelum 1860-an) konsentrasi CO2 di udara sekitar


(12)

meningkat menjadi 379 ppm (IPCC, 2007). Kelajuan dari peningkatan konsentrasi CO2 (1995-2005) mencapai 1,9 ppm tahun-1 jika dibandingkan

kenaikan pada 1960-2005 sebesar 1,4 ppm tahun-1.

Selain yang tersebut di atas, aktivitas industri yang banyak melibatkan penggunaan senyawa CFC (klorofluoro-karbon) juga berpotensi menimbulkan efek rumah kaca. Aktivitas industri yang banyak menggunakan senyawa CFC adalah industri refrigerasi, freezer, kulkas, pendingin ruangan (air conditioner). Selain sebagai refrigerant, CFC juga dipakai sebagai gas pendorong senyawa kimia yang akan disemprotkan tanpa menggunakan pompa. Contoh penggunaan CFC sebagai gas pendorong terlihat pada parfum semprot, pewangi ruangan, penyemprot rambut (hair spray) dan cat semprot.

Perlu diketahui bahwa gas CFC tidak mudah terurai bila terlepas ke atmosfer, sehingga bisa sampai ke lapisan stratosfer. Selain bersifat sebagai gas rumah kaca, gas CFC juga bersifat merusak lapisan ozon yang berakibat pada timbul lubang ozon atau ozone hole. Lapisan ozon adalah lapisan pelindung bumi terhadap benda–benda luar angkasa yang jatuh ke bumi dan radiasi sinar ultraviolet yang dipancarkan oleh matahari. Apabila lapisan ozon rusak, muncul lubang ozon karena lapisan ozon termakan oleh gas CFC. Fungsi lapisan ozon sebagai pelindung bumi pun hilang. Sinar ultraviolet akan menerobos atmosfer bumi dan terus sampai ke bumi sehingga menambah sirkulasi energi (meningkatkan suhu udara).

Adapun lubang ozon terbentuk karena reaksi foto dekomposisi oleh energi sinar ultraviolet sebagai berikut (Wardhana, 2010):

Cl2F2C + sinar ultraviolet → ClF2C + Cl* (radikal) (1)

O3 (ozon) + Cl* (radikal) → ClO + O2 (2)

ClO + 0,5O2 → Cl + O2 (3)

Reaksi (2) tersebut di atas adalah reaksi terjadinya lubang ozon yang meloloskan sinar ultraviolet menembus atmosfer bumi sehingga bumi menjadi panas. Selanjutnya, pada reaksi (3) tersebut di atas adalah reaksi ikutan yang menghasilkan atom Cl yang termasuk ke dalam kelompok halogen yang bersifat reaktif. Dalam kelompok halogen, reaktivitas atom Cl cukup tinggi, menempati urutan kedua setelah reaktivitas atom fluor. Ada kemungkinan bahwa atom Cl yang reaktif tersebut akan semakin reaktif saat terkena sinar ultraviolet karena atom Cl berubah menjadi radikal Cl* seperti yang terjadi pada reaksi (1). Reaksi kerusakan lapisan ozon akan berlanjut sebagai berikut:

Cl + sinar ultraviolet → Cl* (4)


(13)

Reaksi (5) tersebut di atas adalah reaksi kerusakan lapisan ozon tahap kedua, sedangkan kerusakan lapisan ozon tahap ketiga diakibatkan adanya nitrogen oksida dalam lapisan atmosfer. Reaksi kerusakan lapisan ozon tahap ketiga didahului oleh reaksi foto dekomposisi oleh energi sinar ultraviolet terhadap ozon itu sendiri. Reaksi tahap ketiga adalah sebagai berikut:

O3 + sinar ultraviolet → O2 + O (6)

Kemudian, atom O yang terbentuk pada reaksi (6) akan bereaksi lebih lanjut dengan molekul C1O, sebagai berikut:

C1O + O → Cl + O2 (8)

Cl + O2 → C1O + O2 (9)

O + O2 → 2O3 (10)

Reaksi (9) sebenarnya adalah reaksi pembentukan ozon alamiah, tetapi hanya bersifat sementara karena ozon yang baru terbentuk akan bereaksi lagi:

C1O + NO → Cl + NO2 (10)

O3 + Cl → ClO + O2 (11)

O3 + NO → NO2 + O2 (12)

Reaksi (12) adalah kerusakan lapisan ozon tahap ketiga, yaitu reaksi adanya NO di atmosfer yang dipicu oleh keberadaan CFC yang terlepas ke lapisan stratosfer bumi.

Pada saat ini lubang ozon telah tampak di atas Kutub Selatan yang menyebabkan suhu udara Kutub Selatan lebih hangat dari sebelumnya. Akibatnya, sebagian es mencair dan banyak pulau es yang hilang karena pencairan tersebut. Lubang ozon di atas Kutub Selatan pada saat ini makin besar dan mulai bergerak ke arah khatulistiwa. Bila tidak ada usaha menghentikan pergerakan lubang ozon yang makin besar dan menuju ke arah utara tersebut maka negara-negara yang berada di katulistiwa, termasuk Indonesia, akan terpapar pada risiko pemanasan global yang lebih besar.

Walaupun pada saat ini penggunaan CFC sudah dilarang namun masih banyak industri yang menggunakan dengan nama dagang yang lain untuk kepentingan sendiri. Senyawa CFC memiliki nama dagang freon. Senyawa kimia lain yang mempunyai fungsi sama dengan CFC atau CFC-12 atau(C12F2C) adalah

sebagaimana pada Tabel 2.

Pemakaian senyawa CFC dan sejenisnya di dunia cukup banyak, dapat mencapai ratusan ribu ton per tahunnya, sehingga kemungkinan terlepas ke atmosfer cukup besar. Kalau tidak dikendalikan, pemakaian CFC jelas merupakan ancaman terhadap kerusakan lapisan ozon. Waktu tinggal


(14)

senyawa-senyawa tersebut bila terlepas ke atmosfer dan perkiraan pelepasan senyawa tersebut terlepas ke atmosfer antara lain dapat dilihat pada Tabel 2 di atas.

Tabel 2 – Kombinasi senyawa CFC yang merusak ozon

No Nama Senyawa Kimia Rumus

Molekul

Waktu

Tinggal Pelepasan tahun 103 ton thn-1

1 Karbon tetra klorida CCl4 67 66

2 Klorofluoro karbon (CFC) 11 CC13F 76 238

3 Klorofluoro karbon (CFC) 12 CC12F2 139 412 4 Klorofluoro karbon (CFC) 113 C2C13F3 92 138 5 Klorofluoro karbon (CFC) 114 C2C12F4

6 Klorofluoro karbon (CFC) 115 C2ClF5

7 Halon-1211 CBrCIF2 12 3

8 Holon-1301 CBrF3 101 3

9 Holon-2401 C2Br2F4

10 Hidrokloro fluoro karbon-123 CHCl2CF3 11 Hidrokloro fluoro karbon-141b CH3CC12F 12 Hidro kloro fluoro karbon-22 CHCIF2

13 Metil kloroform CH3CCl3 8 474

Sumber: Wardhana (2010)

Adapun industri yang banyak melibatkan penggunaan CFC dan sejenisnya antara lain adalah seperti yang tercantum pada Tabel 3 berikut ini:

Tabel 3 - Produk industri dan senyawa yang digunakan No Proses Aerobik Proses Anaerobik

1 Elektronika CFC-11, CFC-12, CFC-113

2 Plastik CFC-11

3 Pendingin (AC) CFC-12 4 Pelarut kimia Metil kloroform 5 Binatu kering CFC-113 6 Karet busa CFC-11

7 Parfum CFC-11 , CFC-12

8 Pemadam api Holon-1211, Holon-1301, Metil kloroftorm 9 Cat (semprot) CFC-11, CFC-12

10 Semprot rambut CFC-1 I , CFC-12 Sumber: Wardhana (2010)

Mengingat akan hal ini, pemakaian CFC dan sejenisnya harus dihentikan dengan cara mencari senyawa pengganti yang ramah dan aman terhadap lingkungan. Kesepakatan pengurangan dan penghentian pemakaian CFC ini telah disepakati bersama oleh negara-negara industri, berdasarkan kesepakatan internasional yang diadakan di Montreal, Kanada pada tahun 1986. Dalam kesepakatan tersebut diharapkan penurunan produksi sampai 20% dicapai pada tahun 1993, kemudian penurunan produksi sampai dengan 30% dicapai pada tahun 1998.


(15)

Sejauh ini, pelepas GRK penyebab pemanasan global berasal dari kegiatan industri di negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Perancis, Ukraina, Cina, Jepang, dan India (Tabel 4) namun apabila persoalan perubahan tata guna lahan dimasukkan sebagai sumber GRK maka Indonesia dan Brazil akan masuk dalam peringkat 3 dan 4 dari pelepas GRK terbesar dunia.

Tabel 4 – Daftar 10 negara dengan peringkat pelepasan GRK di dunia No Nama Negara GRK Nisbah Per-Kapita

Mt-CO2 % t-CO2

1 Amerika Serikat 230.200,80 26,4 791,60 2 Uni Eropa (25) 187.773,90 21,5 411,60

3 Cina 83.515,60 9,6 64,80

4 Federasi Rusia 81.779,0 9,4 565,60

5 Jerman 49.946,20 5,7 605,10

6 Jepang 41.057,30 4,7 321,80

7 Inggris 31.415,70 4,7 527,30

8 India 22.098,00 2,5 20,80

9 Ukraina 21.722,20 2,5 454,30

10 Perancis 19.854,90 2,3 330,80

Sumber: Wardhana (2010)

Kesungguhan usaha pengurangan dan penghentian produksi CFC dan senyawa sejenis perlu mendapat perhatian semua negara industri. Untuk itu, salah satu badan PBB yaitu UNEP (United Nation Environment Program) melalui kesepakatan London, Inggris, tahun 1991, telah menyetujui pengurangan produksi sampai dengan 50% pada 1995 dan sampai dengan 85% pada 1997. Sangat diharapkan pada awal abad ke-21 ini, tidak ada lagi negara industri menggunakan CFC sehingga dunia benar-benar bebas CFC. 3) Pembuangan Sampah

Metoda pembuangan sampah saat ini lebih tertuju pada masalah kebersihan dan estetika lingkungan, belum memikirkan masalah dampak yang timbul akibat proses pembusukan sampah. Tanpa pengelolaan yang baik, sampah yang pada umumnya beratal dari limbah organik yang merupakan antropogenic waste akan mengalami degradasi dan terurai menjadi gas urethan (CH4). Gas

CH4 merupakan gas rumah kaca yang bisa menyebabkan timbulnya efek

rumah kaca yang berpotensi menjadi penyebab pemanasan global.

Mekanisme peruraian sampah yang berasal dari limbah organik menjadi gas CH4 mirip dengan proses pembusukan sampah secara alamiah, yaitu melalui


(16)

(dekomposisi)

sampah/limbah organik → gas CH4 + gugus NH3 (amine)

(anaerobik) (timbul bau busuk) CH4 = gas rumah kaca

Selain menghasilkan gas CH4, pembuangan sampah akhir yang hanya

memikirkan kebersihan dan estetika lingkungan, juga menghasilkan gugus amine yang menimbulkan bau busuk. Bau busuk justru akan merusak estetika dan kenyamanan lingkungan. Oleh karena itu, pembuangan sampah harus ditinjau kembali dengan menggantinya menggunakan sistem konversi agar tidak ada gas CH4 dan gugus amine yang terlepas ke atmosfer. Sampah

(limbah organik) yang beratal dari aktivitas manusia atau antropogenic waste bisa diproses dengan sistem konversi tersebut.

Apabila sampah/limbah organik terurai secara anaerobik, gas rumah kaca yang dihasilkan berupa CH4. Adapun sampah/limbah organik yang terurai secara

aerobik akan menghasilkan gas rumah kaca berupa CO2. Perbedaan antara

proses peruraian secara anaerobik dan secara aerobik adalah sebagai berikut:

Tabel 5 - Proses aerobik dan anaerobik dalam peruraian sampah No Proses Aerobik Proses Anaerobik

1 C→CO2 (gas rumah kaca) CCH4 (gas rumah kaca) 2 N→NH3 + HNO3 Ngugus NH3 (amine)

3 S→H2SO4 SH2S

4 P→H3PO4 PPH3 + komponen fosfor Sumber: Wardhana (2010)

Peruraian sampah/limbah organik, baik melalui proses aerobik maupun melalui proses anaerobik, keduanya sama-sama menghasilkan gas rumah kaca. Dari kedua proses peruraian tersebut maka proses yang relatif lebih baik adalah peruraian melalui proses aerobik, dengan alasan sebagai berikut:

− Pada proses anaerobik gas rumah kaca yang dihasilkan adalah CH4 yang

mempunyai potensi penyebab efek rumah kaca lebih kuat dari pada gas CO2 yakni hampir 21 kali lipat;

− Pada proses anaerobik timbul gugus NH3 (gugus amine) yang berbau

anyir (amis) dan gas H2S yang berbau busuk.

Atas dasar kedua alasan tersebut di atas peruraian sampah/limbah organik yang sudah terjadi melalui proses aerobik dijaga agar tidak berubah menjadi peruraian melalui proses anaerobik, dengan cara mengontrol asupan oksigen untuk untuk terjadinya proses aerobik.


(17)

4) Perubahan Tata Guna Lahan

Perubahan tata guna lahan dan pemanasan global merupakan dua persoalan yang saling berkaitan serta menimbulkan gangguan berupa ketidakpastian pada kehidupan manusia dalam jangka panjang (Wang et al, 2012). Perubahan tata guna lahan yang umumnya berlanjut kepada degradasi lahan dan kerusakan hutan, adalah bahaya terhadap kehidupan manusia secara keseluruhan (GLP, 2005; Tschakert dan Dietrich, 2010).

Secara umum, pertambahan pelepasan GRK yang dihubungkan dengan perubahan tata guna lahan terhadap dekade 1990-an, adalah setara 0,5-2,7 GtC tahun-1 dengan rerata 1,6 GtC tahun-1 (IPCC, 2007). Walau demikian, data tahun 2003-2012 menunjukkan pelepasan GRK dari perubahan tata guna lahan adalah 0,8 GtC dengan standar deviasi 0,5 GtC. Data ini juga mengindikasikan penurunan pelepasan CO2 dari perubahan tata guna lahan (Quéré et al, 2013).

Perkecualian dalam pelepasan GRK terjadi pada 1998-1999 ketika terjadi kebakaran lahan gambut di Indonesia.

Sumber: Quéré et al (2013)

Gambar 5 – Pelepasan CO2 dari pembukaan lahan

Indonesia melepas sekitar 0,347 Gt-CO2 tahun-1 dari sumber industri sehingga

menempati kedudukan nomor 16 di dunia (Baumert et al, 2005); bila ditambah GRK di luar CO2 maka lepasannya menjadi 0,505 Gt-CO2 tahun-1 namun bila

digabung dengan pelepasan GRK karena perubahan tata guna lahan dan hutan maka jumlah lepasannya menjadi 3,07 Gt-CO2 tahun-1 (PEACE, 2007).

Kementerian Kehutanan pada 2006 menghitung luas hutan di Indonesia adalah 1.879.130 km2 berdasarkan analisis terhadap citra satelit Landsat TM tahun 2005. Namun sekitar 740.000 km2 berada dalam keadaan terdegradasi atau rusak. Bank Dunia pada tahun 2000 sudah memperkirakan laju pengurangan hutan di Indonesia mencapai 2 juta ha tahun-1. Dapat dipastikan dari gambaran ini perubahan tata guna lahan dan hutan masih memberi sumbangsih yang berarti pada pemanasan global (PEACE, 2007).


(18)

2.3 Dampak Perubahan Iklim

Dampak perubahan iklim, khususnya pemanasan global sudah mulai terasa sebagai ancaman bagi umat manusia. Dampak ini merupakan masalah serius yang harus diatasi secara bersama oleh semua negara, baik negara berkembang maupun maju. Ada tiga perubahan yang akan terjadi dalam beberapa dekade ke depan (Arnell, 2006) yakni:

1. Runtuhnya sirkulasi energi yang menggerakkan uap air di dunia (termohaline) yang menyebabkan menurunnya suhu udara di bagian utara garis subtropis – mempengaruhi Eropa dan Amerika Utara – disertai perubahan presipitasi secara global namun dengan dampak yang berbeda-beda. Peluang keruntuhan ini untuk terjadi pada 2100 bervariasi antara 30-45%.

2. Kenaikan suhu udara secara sistematis yang mendorong perubahan presipitasi baik pengurangan maupun penambahan di berbagai tempat di dunia, yang tampaknya tidak dapat dibalik atau dihentikan (Allison et al, 2009).

3. Perubahan rezim (regime) di mana pada kawasan sekitar khatulistiwa akan terjadi fenomena El-Niño yang lebih permanen, dengan variasi musim hujan yang lebih basah atau musim kemarau yang lebih kering pada sistem muson di Asia Selatan.

Ketiga perubahan ini pada pokoknya disebabkan oleh meningkatnya suhu udara di dunia. Berbagai negara yang tergabung dalam Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) sejak 1990 telah melakukan pemodelan melalui beberapa skenario untuk melihat hubungan meningkatnya GRK dengan perubahan pada cuaca, presipitasi, ketersediaan air, dan lain sebagainya. Pengamatan data meteorologi dunia misalnya, menunjukkan kenaikan suhu udara antara 0,1° sampai 0,3°C tiap dekade antara tahun 1990 sampai 2005 (IPCC, 2007) yang dapat memiliki rata-rata kenaikan 0,2°C dekade-1. Peluang kenaikan suhu rerata udara untuk melampaui 0,5°C tahun-1 adalah sebesar 20% (Arnell et al, 2006).

Dampak dari kenaikan suhu ini secara nyata dapat dilihat dalam mencairnya es abadi di lingkar kutub dan meningkatnya permukaan air laut. Pencairan es abadi di lingkar kutub ini juga disertai proses pencairan serupa pada sejumlah pegunungan – khususnya Gunung Himalaya di Asia. Grafik yang menggambarkan hubungan kenaikan suhu udara dengan mencairnya es dan meningkatnya muka air laut, dapat dilihat pada Gambar 6. Tentu saja, perubahan iklim ini mengancam keberlanjutan hidup manusia, maka untuk melihat akibat dari perubahan ini sejumlah skenario telah dikembangkan oleh IPCC.


(19)

Sumber: IPCC (2007)

Gambar 6 – Kenaikan suhu udara, peningkatan muka air dan penurunan luasan es di utara

IPCC memulai prakiraan dengan beberapa pemodelan: mula-mula dengan model SA90 (1990–1992), yang disempurnakan menjadi IS92 (1992–2000), dan dikembangkan menjadi Special Report on Emission Scenarios (SRES) pada 2007. Model SRES memiliki 6 skenario: B1, A1T, B2, A1B, A2 and A1F1

yang menganggap konsentrasi aerosol dan GRK di udara dunia masing-masing sebesar: 600, 700, 800, 850, 1.250 dan 1.550 ppm. Skenario SRES ini disajikan dalam laporan IPCC ke empat.

Sumber: IPCC (2007)

Gambar 7 – Kenaikan suhu udara rerata dunia menurut SRES

Namun, seiring makin lengkapnya data-data pelepasan GRK dan makin kuatnya sistem komputasi numerik, maka SRES disempurnakan lebih lanjut


(20)

oleh IPCC menjadi skenario Rapid Climate Change Projection (RCP) yang diperhitungkan mulai 2012 dan memperkirakan keadaan seterusnya sampai 2025. Baik skenario SRES maupun RCP memberikan beberapa gambaran yang mengkhawatirkan bagi kehidupan umat manusia.

Skenario SRES dengan opsi A2 misalnya menganggap konsentrasi aerosol dan

GRK di atmosfer akan mencapai sebesar 1.250 ppm sehingga menyebabkan suhu udara di dunia pada tahun 2100 naik 3,5°C terhadap suhu rerata dunia pada zaman pra-industri (IPCC, 2007). Adapun skenario RPC yang terbaru, menunjukkan apabila pelepasan CO2 dunia saat ini tidak berubah dan bertahan

dengan kelajuan seperti saat ini maka tahun 2100 naik 3,2-5,4°C terhadap rerata dunia pada zaman pra-industri (Peters et al, 2012).

Baik SRES dan RPC menyatakan bahwa hanya kegiatan mitigasi secara meluas dan menyeluruh yang dapat mempertahankan kenaikan suhu udara di bawah 2°C.

Sumber: Peters et al (2012)

Gambar 8 – Kenaikan suhu udara rerata dunia menurut RPC

Konsekuensi langsung dari kenaikan suhu sebesar itu akan mencairkan sebagian besar es di dunia dan menyebabkan kenaikan muka air laut mulai dari beberapa puluh sentimeter sampai satu atau dua meter. Selain itu masih banyak dampak lain pada pergerakan angin, presipitasi dan lain-lain unsur pembentuk iklim.

2.3.1 Ketersediaan Air Permukaan

Air adalah sumberdaya pokok dan utama bagi kehidupan. Seluruh kehidupan di bumi ini terkait erat dengan air. Lebih khusus lagi, sebagian kehidupan itu bertumpu (secara mutlak) pada air tawar. Padahal air tawar di bumi ini hanya sekitar 2,5% dari keseluruhan air yang ada dan dua-per-tiga darinya berada dalam bentuk es, salju, beku atau tersimpan di dalam tanah (Shiklomanov, 1997).


(21)

Dalam kenyataan, air juga terancam oleh keberadaan manusia, baik akibat perubahan pada siklus hidrologi (Vörösmarty dan Sahagian, 2000; Oki dan Kanae, 2006), limbah (rumah tangga, industri dan pertanian) yang dibuang ke perairan danau, waduk, rawa dan sungai-sungai di dunia (Vörösmarty et al, 2010), maupun pelepasan gas rumah kaca yang mendorong perubahan iklim global (Arnell et al, 2004; Kanae, 2009).

Dampak dari pelepasan GRK yang menyebabkan pemanasan dapat dirasakan secara langsung di berbagai penjuru dunia. Perubahan panjang dan intensitas hujan serta pergeseran musim menyebabkan perubahan ketersediaan air terhadap waktu dan ruang (Arnell, 1999; Kundzewicz et al, 2007; Kanae, 2009). Turral et al (2011) mengutip penelitian Milly et al (2002) menemukan, frekuensi (dari apa yang dahulu disebut) banjir dengan kala ulang 1 : 100 pada 29 daerah aliran sungai di dunia dengan luas lebih dari 200.000 km2 telah meningkat secara nyata pada abad ke 20.

Sumber: Boer (2007)

Gambar 9 - Perubahan presipitasi pada musim hujan (atas) dan musim kemarau (bawah) pada derajat keyakinan 5% terhadap data Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG)

Berdasarkan laporan IPCC (2007) curah hujan di Indonesia diperkirakan akan mengalami penurunan pada belahan sebelah selatan khatulistiwa dan peningkatan pada belahan sebelah utara. Perkiraan ini didasarkan pada penelitian Manton et al (2001) dan Boer dan Faqih (2006) namun oleh karena penelitian lain (Aldrian dan Djamil, 2006; Boer et al, 2007 dalam Boer dan Hilman, 2007) tidak secara tepat memperoleh gambaran yang sama, maka


(22)

lebih tepat disimpulkan sementara ini bahwa curah hujan di Indonesia akan lebih sulit diprediksi (variabilitas hujan meningkat).

Adapun iklim di Indonesia yang dipengaruhi berbagai penggerak seperti sirkulasi muson, dipole mode, Madden-Julian Oscillation dan El-Niño Southern Oscillation (ENSO) dapat mengalami pergeseran awal dan akhir dari musim hujan serta musim kemarau sebagai akibat pemanasan global (Handoko et al, 2008). Iklim Indonesia sendiri berhubungan dengan ragam oseanik maupun fluktuasi yang terjadi di atmosfer, sehingga istilah telekoneksi keikliman yang menggambarkan bagaimana peristiwa di suatu tempat yang jauh dapat mempengaruhi iklim di tempat yang lain, dapat dipergunakan di sini.

Sejauh ini, penentuan musim hujan dan musim kemarau mengacu pada pendekatan statistik yang kriterianya ditetapkan Oldeman et al (1975) di mana apabila rerata curah hujan sama atau melebihi 150 mm bulan-1 maka bulan dianggap basah, sedangkan bila curah hujan rerata kurang dari 75 mm bulan-1 maka bulan dianggap kering. Apabila terjadi dua kali atau lebih bulan kering berturut-turut maka ditetapkan iklim sudah memasuki musim kering dan sebaliknya bila terjadi dua kali atau lebih bulan basah telah memasuki musim hujan.

Pergeseran awal dan akhir musim hujan serta musim kemarau ini dapat disertai perubahan panjang (durasi) musim. Perubahan durasi musim ini berpengaruh pada pemilihan jenis tanaman, di mana musim kemarau dapat menjadi lebih panjang sehingga petani akan beralih menanam produk pertanian yang lebih sedikit memakai air. Demikian pula sebaliknya, dengan memanjang musim hujan dapat muncul surplus air yang memungkinkan petani memilih tanaman yang memerlukan air lebih banyak.

2.3.2 Ketersediaan dan Ketahanan Pangan

Selain merubah sebaran air di dunia, perubahan iklim juga menimbulkan tekanan pada sektor-sektor yang secara intensif memanfaatkan air seperti halnya produksi pangan. Peningkatan intensitas hujan, perubahan waktu dalam siklus hidrologi, munculnya badai, dan variasi penguapan memiliki pengaruh yang besar terhadap produksi pangan.

Secara global, FAO (2005) memperkirakan bahwa 11% dari lahan pertanian di negara-negara berkembang dipengaruhi oleh perubahan iklim – khususnya pemanasan global – yang mengakibatkan penurunan produksi pangan biji-bijian (serealia) di 65 negara yang pada akhirnya berdampak pada penurunan domestik produk bruto sekitar 16%.

Produksi pangan ini terganggu oleh karena perubahan iklim juga menyebabkan ketersediaan air berubah, baik «air biru» yang merupakan air yang mengalir dalam atau di atas permukaan tanah, maupun «air hijau» adalah air yang


(23)

tersimpan dalam kelembaban tanah dan kehidupan hayati (Falkenmark & Lannerstad, 2005).

Produksi pangan tidak saja memanfaatkan «air biru» namun juga «air hijau» bersama-sama dengan terpakainya zat hara tanah. Akibat dari perubahan iklim memunculkan tekanan kepada ketersediaan «air biru» sebagai akibat perubahan presipitasi dan juga «air hijau» akibat diserapnya kelembaban tanah melalui proses evapotranspirasi tanaman.

Sejauh ini dapat diketahui kebutuhan air untuk sektor pertanian dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan di dunia (meliputi air dari curah hujan efektif dan irigasi) mencapai 6.390 km³ per-tahun (Hoekstra dan Chapagain, 2007).

Jumlah ini melampaui simpanan air dunia yang sebesar 2.000 km³ namun

masih di bawah potensi aliran tahunan di sungai 45.500 km³ (Oki dan Kanae,

2006). Adapun seluruh air yang diperlukan untuk menghasilkan jagung (Zea mays), gandum (Triticum spp) dan padi (Oryza sativa) adalah masing-masing 900, 1.300 dan 3.000 m³ ton-1; sementara air maya untuk daging ayam,

kambing, babi dan sapi adalah 3.900, 4.050, 4.900 dan 15.500 m³ ton-1

(Hoekstra dan Chapagain, 2007).

Dampak perubahan iklim pada produksi pangan telah ditelaah berbagai institusi maupun peneliti. Salahsatu hasilnya disajikan pada Gambar 10 berikut ini.

Sumber: FAO (2011)

Gambar 10 – Dampak perubahan iklim dalam berbagai bentuk serta pengaruhnya terhadap ketersediaan pangan secara global

Untuk Indonesia, dampak perubahan iklim khususnya pemanasan global terhadap produk pangan strategis, telah dilakukan melalui simulasi oleh Handoko et al (2008). Pengaruh dari pemanasan global bervariasi, baik dari aspek kenaikan suhu udara maupun perubahan curah hujan, ternyata memberikan dampak pada luas panen serta hasil panen. Hasil simulasi dengan batas waktu skenario tahun 2050 disajikan secara ringkas pada Tabel 6. Dari


(24)

hasil simulasi tampak akibat pemanasan global pada 2050 akan terjadi penurunan sebesar 3,7% luas panen sawah beririgasi dan 10,3% padi ladang terhadap luas panen tahun 2006.

Tabel 6 – Simulasi pengaruh perubahan iklim pada perubahan luas panen Indonesia

No Jenis Pertanian

Luas Panen 2006

Bentuk Perubahan Iklim Penurunan Luas Panen

Hektar Hektar %

1 Padi beririgasi 10.713.014 Kenaikan suhu 1,6o-3,2o C (397.641) (3,7) 2 Padi ladang 1.073.416 Perubahan hujan mulai -5

sampai +60 mm tahun-1

(110.236) (10,3)

Total 11.786.430 507.877 (4,3)

Sumber: Handoko et al (2008)

Akibat logis dari kenaikan suhu udara adalah meningkatnya kebutuhan air irigasi yang diperlukan untuk mempertahankan kebutuhan air tanaman, dan perubahan curah hujan beserta sebaran musimannya mengakibatkan turunnya keandalan penyediaan air untuk keperluan pemenuhan irigasi.

Bila ditinjau dari produksi pangan strategis maka hasil simulasi untuk tahun 2050 menunjukkan adanya penurunan cukup signifikan bila dampak pemanasan global dihubungkan dengan kenaikan suhu dan perubahan curah hujan.

Tabel 7 - Perkiraan produksi pangan strategis akibat pemanasan global

No Komoditas Produksi 2006

Simulasi Produksi 2050

Ton Ton %

1 Padi sawah 51.647.490 41.173.776 80 2 Padi ladang 2.807.447 2.045.292 73 3 Jagung 11.609.463 10.034.497 86

4 Kedelai 747.611 655.108 88

5 Tebu 1.279.070 1.181.617 92

Sumber: Handoko et al (2008)

Secara keseluruhan dapat dilihat, bila dibandingkan terhadap 2006 maka pada 2050 diperkirakan gabah kering giling (GKG) dari padi dari sawah diairi irigasi akan turun menjadi 80%; untuk padi ladang yang bersifat tadah hujan menjadi 73%, jagung 86%, kedelai 88% dan tebu 92%. Penurunan ini akan mengakibatkan Pemerintah Republik Indonesia akhirnya mendorong impor pangan untuk mencukupi pola konsumsi kebutuhan masyarakat dan menutupi kehilangan produksinya sendiri.

Selain mengakibatkan penurunan produk pangan, pemanasan global juga berpengaruh pada ketahanan pangan (food resilience). Ketahanan pangan adalah kondisi optimal di mana suatu masyarakat memiliki kemampuan


(25)

mempertahankan asupan kalori dari makanan yang diperoleh melalui berbagai sumber/cara. Perolehan bahan pangan ini dapat melalui bercocok-tanam sendiri ataupun pembelian (melalui impor misalnya).

Dalam situasi di mana terjadi pemanasan global maka gangguan dari iklim dapat berakibat tanaman pangan dalam suatu kawasan tidak mencapai biomassa yang diperlukan untuk dikonsumsi. Akibatnya muncul kekurangan secara sistematis yang membuat masyarakat di kawasan tersebut harus membeli bahan pangan dari tempat lain. Pada skala negara, pembelian bahan pangan dari negeri lain mengurangi devisa (oleh karena transaksi menggunakan kurs) yang secara keseluruhan mempengaruhi ketahanan negara secara ekonomi.

Sumber: Handoko (2008), Deptan (2008), Mentan (2012) dan BPS (2013) diolah ulang Gambar 11 – Produksi dan impor beras Indonesia (1968-2012)

Indonesia adalah negara produsen dan konsumen bahan pangan yang besar. Salah satu bahan pangan yang diproduksi dan dikonsumsi adalah beras; sejak tahun 1960-an hingga 1980-an Indonesia merupakan pengimpor beras terbesar di dunia. Untuk mengurangi impor beras dan mencapai swasembada pangan maka Indonesia menerapkan revolusi hijau (green revolution) sejak awal 1970-an. Sebelum menerapkan revolusi ini, Indonesia telah memiliki produktifitas pertanian padi yang rata-rata lebih tinggi dari negara-negara Asia lainnya; setelah menerapkan revolusi ternyata produktifitas pertanian masih lebih tinggi dari negara-negara lainnya.

Walau demikian, setelah swasembada beras tercapai pada 1984 dan bertahan selama beberapa tahun lamanya, produktifitas pertanian padi di Indonesia dan Asia pada umumnya sebenarnya menurun. Hal ini menggambarkan adanya leveling off (pelandaian) dan stagnasi produktifitas. Fenomena ini telah diamati sejak dekade 1990-an (Handoko et al, 2008). Alhasil, akibat dorongan konsumsi beras yang tinggi, pada 2002, Indonesia kembali menjadi pengimpor


(26)

beras. Impor beras banyak dikaitkan dengan tingginya konsumsi beras per-kapita dan mekanisme regulasi bahan pangan serealia di Indonesia. Perkembangan produksi dan impor beras Indonesia (1968-2012) disajikan pada Gambar 11.

2.3.4 Kenaikan Muka Air Laut

Kajian terhadap dampak pemanasan global menunjukkan kecenderungan naiknya muka air laut akibat pencairan es pada kutub utara dan selatan. Perubahan muka air laut sebenarnya bukan sesuatu yang aneh, 10.000 tahun silam pada akhir musim es, air laut berada hampir 120 meter di bawah kedudukan sekarang. Namun di masa kini, kenaikan air laut sebesar 1,5 meter saja akibat mencairnya es akan menenggelamkan 30% dari populasi penduduk di dunia yang memang bermukim di dataran rendah sekitar pantai.

Gambar 12 – Dataran rendah berbatasan dengan pantai yang rentan terhadap kenaikan muka air laut akibat pemanasan global (IPCC, 2007)

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia akan mengalami bencana besar dengan berkurangnya luas daratan akibat kenaikan permukaan air laut. Para ahli kelautan memperkirakan dengan naiknya permukaan air laut, Indonesia sampai tahun 2060 akan kehilangan sekitar 200 pulau-pulau kecil. Bahkan lebih jauh lagi, kota-kota besar yang terletak di tepi pantai atau sungai besar akan ikut tenggelam, seperti misalnya Medan, Palembang, Bandar Lampung, Anyer, Banten, Jakarta, Cirebon, Semarang, Surabaya, Pontianak, Banjarmasin, Makassar, Denpasar dan Ambon.

Oleh karena kota-kota besar tersebut di atas akan tenggelam, berarti garis pantai akan bergeser ke arah daratan sehingga pulau menjadi lebih kecil atau luas daratan menjadi sempit. Pulau Jawa sebagai pulau terpadat jumlah penduduknya, akan mengalami bencana besar manakala gagal melakukan


(27)

usaha penanggulangan pemanasan global. Pulau Jawa setengah abad lagi diperkirakan akan mengalami penyusutan daratan.

Sumber: Boer & Hilman (2007)

Gambar 13 – Dampak kenaikan muka air laut di Jakarta pada luas genangan akibat banjir (warna biru) di Jakarta menggunakan skenario dengan (kanan) atau tanpa (kiri) penurunan permukaan tanah

Kenaikan muka air laut yang dikombinasikan dengan penurunan permukaan tanah (land subsidence) karena pengambilan air tanah secara berlebihan akan menggeser garis pantai ke pedalaman dan dapat dihubungkan dengan risiko genangan atau banjir yang lebih besar. Kajian oleh Pusat Pengembangan Kawasan Pesisir dan Laut, Institut Teknologi Bandung dalam Boer & Hilman (2007) menunjukkan kenaikan muka air laut sebesar 0,25, 0,57 dan 1,00 cm tahun-1 akan menyebabkan bagian utara Jakarta akan tergenang banjir pada 2050 dengan luasan berturut-turut 40, 45 dan 90 km2 di mana keadaan ini akan semakin parah bila disertai penurunan permukaan tanah (Gambar 13).

2.3.4 Keragaman Hayati

Perubahan iklim akan berdampak pada keragaman hayati oleh karena perubahan tipologi ekosistem yang ditandai dengan berubahnya jumlah spesies dan bergantinya komposisi spesies. Sebagian besar ekosistem di dunia ini dibatasi secara iklim dan kehidupan sebagian besar spesies di bumi ini ditentukan oleh kekhususan dari kawasan di mana kehidupannya berkembang. Adapun keragaman hayati tidak hanya terancam oleh perubahan iklim namun juga perubahan tutupan lahan, urbanisasi, pencemaran, dan kegiatan manusia – sehingga memperbesar potensi kerusakan ekosistem akibat perubahan iklim. Sejumlah kajian telah dilakukan terhadap dampak regional dan global dari perubahan iklim, seperti yang berkaitan dengan produktifitas primer suatu ekosistem (Leemans & Eickhout, 2004; Levy et al, 2004). Perubahan iklim dalam bentuk pemanasan global akan menimbulkan pergeseran ekosistem


(28)

yang berlangsung menjauh dari kutub, sehingga hutan boreal akan menggantikan tundra, dan hutan empat musim menggantikan hutan boreal. Pada kawasan di mana kenaikan suhu udara tidak secara langsung mengubah ekosistem, dampak perubahan iklim dirasakan dalam turun atau naiknya presipitasi. Meningkatnya frekuensi kekeringan dapat menyebabkan kerawanan ekosistem pada kawasan Mediterania (Laut Tengah) di Eropa, atau sebagaimana terjadi di Amerika Selatan, berkurangnya presipitasi akan mengurangi luas hutan hujan tropis, bahkan kematian sebagian besar hutan tersebut di kawasan Amazon dan Asia.

Berbagai spesies tumbuhan maupun hewan diketahui akan mengalami pengurangan populasi secara berarti dengan kenaikan suhu udara dan berkurangnya ketersediaan air permukaan (Thomas et al, 2004). Setidaknya sepertiga dari jenis tumbuhan di Eropa diperkirakan dapat punah pada 2050 akibat perubahan iklim meruntuhkan daur termohaline (Bakkenes et al, 2002). Analisis terhadap keragaman hayati dan ekosistem sebagai akibat perubahan iklim diberikan Arnell (2006) pada Tabel 8 dengan mengambil asumsi perubahan iklim sesuai skenario pelepasan GRK tipe A2.

Tabel 8 – Dampak perubahan iklim pada keragaman hayati dan ekosistem

Kawasan Skenario A2 (GRK=1.250 ppm) Keruntuhan Termohaline Percepatan Perubahan Iklim (RPC) Perubahan Rezim Eropa Pergeseran

ekosistem ke arah utara; kebakaran hutan di Eropa Tengah dan Selatan

Pergeseran ekosistem ke selatan; hutan boreal bergeser ke selatan Pergeseran ekosistem ke arah utara; kebakaran hutan; hilang ekosistem pada pegunungan dengan es abadi; berkurangnya keragaman hayati Amerika

Utara

Pergeseran ekosistem ke arah utara; perluasan kawasan padang pasir di selatan dan barat

Pergeseran hutan boreal ke selatan di sebelah timur; ekspansi spesies pepohonan di padang rumput Pergeseran ekosistem ke arah utara; kebakaran hutan; hilang ekosistem pada pegunungan dengan es abadi; perluasan kawasan padang pasir

Fenomena El Niño yang lebih menetap di timur; peningkatan luasan hutan di barat Amerika Selatan Perubahan presipitasi menurunkan luasan hutan; peluang terjadi penggurunan pada kawasan yang lembab Pengurangan presipitasi menyebabkan risiko rusaknya ekosistem hutan Risiko pengurangan luas hutan akibat perubahan presipitasi; meningkatnya penggurunan pada kawasan selatan Fenomena El Niño yang lebih menetap di timur; peningkatan luasan hutan di barat; penurunan potensi

perikanan di Samudera Pasifik


(29)

Kawasan Skenario A2 (GRK=1.250 ppm) Keruntuhan Termohaline Percepatan Perubahan Iklim (RPC) Perubahan Rezim Asia Pergeseran hutan

boreal ke utara pada elevasi tinggi; peningkatan

produktifitas hutan di Asia Tengah dan Selatan; penurunan produktifitas padang rumput di Asia Tengah

Pergeseran hutan boreal ke selatan di sebelah timur; sedikit peningkatan produktifitas di belahan selatan dan timur dibandingkan skenario pelepasan pada opsi A2 Pergeseran hutan boreal ke utara pada elevasi tinggi; peningkatan produktifitas hutan di Asia Tengah dan Selatan; penurunan produktifitas padang rumput di Asia Tengah

Fenomena El Niño yang lebih menetap; penurunan luas hutan di Asia Tengah dan Selatan; Muson yang cenderung kering; turunnya produktifitas hutan dan padang rumput di Asia Tengah; Muson yang cenderung basah; produktifitas hutan dan padang di Asia Tengah meningkat Afrika Produktifitas hutan

meningkat di bagian Tengah dan Timur; penurunan curah hujan menurunkan produktifitas ekosistem di Barat dan Selatan Sama dengan skenario pelepasan pada opsi A2 Produktifitas hutan meningkat di bagian Tengah dan Timur; penurunan curah hujan menurunkan produktifitas ekosistem di Barat dan Selatan

Fenomena El Niño yang lebih menetap; penurunan produktifitas di sisi Timur dan Selatan

Austraiasia Penurunan presipitasi

mendorong proses penggurunan; hilangnya ekosistem pada elevasi yang lebih tinggi Sama dengan skenario pelepasan pada opsi A2 Penurunan presipitasi mendorong proses penggurunan; hilangnya ekosistem pada elevasi yang lebih tinggi

Sumber: Arnell (2006)

2.4 Bencana Akibat Perubahan Iklim

2.4.1 Gangguan Agroklimatologi (Kekeringan)

Perubahan iklim dalam wujud pemanasan global berdampak pada produksi bahan pangan secara langsung – sebagaimana telah dijelaskan di bagian lain dari laporan ini. Salah satunya adalah kecenderungan terjadinya kekeringan. Indonesia, sebagai negara yang terletak di kawasan Asia Tenggara, dipengaruhi oleh telekoneksi keikliman dunia. Untuk kawasan Asia Tenggara dan Asia Selatan, sirkulasi muson menonjol sebagai pengendali iklim dan meskipun sirkulasi ini dikendalikan oleh daur tahunan matahari namun ragam


(30)

sirkulasi muson dari tahun ke tahun tidaklah sama, sehingga dikenal tahun muson kuat dan muson lemah.

Berdasarkan penelitian pada skala meso, diketahui adanya telekoneksi antara fluktuasi atmosfer dengan ragam oseanik. Peningkatan suhu permukaan air laut di Samudera Pasifik menjadi penyebab dari berkurangnya uap air yang terbawa angin muson ke arah barat (Asia Tenggara dan Asia Selatan) sehingga presipitasi turun di belahan dunia tersebut; fenomena ini disebut El Niño (Tjasyono, 2004). Sedangkan apabila suhu permukaan air laut di Samudera Pasifik menurun (mendingin) maka terjadi peristiwa sebaliknya, di mana uap air yang terbawa ke barat semakin banyak dan meningkatkan presipitasi di belahan dunia tersebut; fenomena ini disebut La Niña.

Dampak dari fenomena El Niño dan La Niña di Samudera Pasifik amat dirasakan di Asia Tenggara, khususnya Indonesia yang dikelilingi oleh lautan sebagai sumber kelembaban di atmosfer. Meskipun masih merupakan wacana, namun telekoneksi keikliman ini telah menjadi media perambatan ancaman dari perubahan iklim global (Noordwijk et al, 2014).

Bencana kekeringan di Indonesia pada 1972, 1976, 1982, 1991, 1994 dan 1997, dapat dihubungkan dengan fenomena El Niño. Kekeringan ini mengakibatkan penurunan luas area panen. Walaupun terjadi penurunan luas panen, pengaruhnya terhadap salah satu komoditi utama pertanian yakni padi dapat diredam, oleh karena upaya peningkatan produktifitas lahan (Tabel 9).

Tabel 9 – Penurunan luas area panen akibat bencana kekeringan

Pulau 1972 1976 1982 1991 1994 1997

1.000 ha 1.000 ha 1.000 ha 1.000 ha 1.000 ha 1.000 ha Sumatera (56,458) 26,661 46,020 (17,106) (13,597) (170,958) Jawa (80,556) (187,701) (296,902) (234,877) (338,507) (107,971) Bali dan NTT (6,910) 6,359 (3,449) 2,286 3,658 (15,801) Kalimantan (18,294) 30,899 (37,345) 16,490 44,391 (13,521) Sulawesi (166,525) (8,625) (89,676) 6,350 32,046 (34,585) Indonesia (330,407) (126,337) (393,384) (220,838) (278,946) (352,756) Sumber: Kasyrno et al (2001) dalam Handoko et al (2008)

Bencana kekeringan di Indonesia akibat fenomena El-Niño khususnya yang terdeteksi pada kejadian tahun 1982 dan 1997, telah menurunkan luas area panen rata-rata sebesar 3,2% secara nasional. Dampak dari penurunan luas ini terhadap produksi padi tergantung pada perkembangan produktifitas lahan. Beberapa lokasi di Indonesia dapat mempertahankan produktifitas lahannya karena pertanian padi dilakukan pada ekosistem lahan pasang-surut atau lebak di mana air tersedia secara terus-menerus oleh karena faktor topografis, namun di lain pihak terjadi depresi pada produktifitas lahan secara meluas pada kawasan beririgasi. Kenyataan ini dapat dilihat pada dampak kekeringan di


(1)

V.

Kesimpulan

Makalah ini secara ringkas meninjau beberapa hal pokok dalam perubahan

iklim, atau yang lazim disebut pemanasan global, beserta upaya mitigasi dan

adaptasi terhadapnya.

Susunan

makalah

ini

terdiri

atas

lima

bagian.

Bagian

pertama

memperkenalkan perubahan iklim yang dalam sejarah kebumian, yang telah

beberapa kali terjadi, namun tidak sebesar dan seluas pemanasan global yang

dihadapi manusia zaman kini.

Bagian kedua

menjelaskan pengertian dari

pemanasan global, mengulas penyebab-penyebabnya dan menilai dampak

yang ditimbulkan daripada perubahan iklim dimaksud.

Bagian ketiga

makalah ini menceritakan cara mengurangi pemanasan global

atau yang disebut upaya

mitigasi dan cara menyesuaikan diri dengan

pemanasan itu sendiri yang disebut upaya

adaptasi. Secara umum bagian ini

membahas sejumlah pendekatan secara teoritik mitigasi dan adaptasi. Bagian

keempat membahas mengenai penerapan dari upaya mitigasi dan adaptasi

perubahan iklim, baik langkah yang diambil, keberhasilan dan kegagalannya

bilamana ada. Sedangkan

bagian kelima

adalah kesimpulan.

Secara umum dapat disimpulkan, pemanasan global merupakan peristiwa yang

tak dapat dihindarkan dan akan mempengaruhi kehidupan manusia secara

permanen untuk jangka waktu yang cukup lama. Beberapa perkiraan menyebut

dampak perubahan iklim ini akan dirasakan setidaknya beberapa abad, bahkan

beberapa milenia ke depan. Perubahan iklim ini didorong sebagian besar oleh

kegiatan manusia sendiri, yang melepaskan GRK dan aerosol ke udara melalui

berbagai aktifitas, baik pembakaran bahan bakar fosil, pengurangan tutupan

lahan, kegiatan industri dan transportasi, serta berbagai kegiatan lainnya.

Ikhtiar untuk mengurangi – atau bila dimungkinkan – menghentikan pemanasan

global disebut upaya mitigasi, telah dilakukan berbagai negara melalui protokol

dan konvensi yang diharapkan membuat komitmen tertentu. Sejak tahun 1992,

upaya mitigasi ini mengalami banyak dinamika, semisal dalam hal menurunkan

pelepasan GRK, agar pemanasan global tidak terdorong untuk berkembang

terus, belum dapat diterapkan sebagai kebijakan bersama masing-masing

negara. Indonesia misalnya, telah meratifikasi konvensi Rio de Janeiro, Kyoto

dan Bali, namun tetap saja menjadi pelepas GRK terbesar kedua di Asia

setelah Cina karena pembukaan hutan.

Sisi lain dalam bentuk ikhtiar untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan

iklim, yang disebut upaya adaptasi, telah berjalan pada berbagai tingkatan

dengan cakupan yang beragam, keberhasilan dan kegagalan yang juga

bermacam-macam. Sejumlah negara secara lebih cepat berhasil melakukan

adaptasi, khususnya negara-negara skandinavia, yang misalnya berusaha


(2)

menyesuaikan diri dengan melelehnya es di kutub utara. Namun pada sejumlah

negara, belum tersedia cukup kemampuan dan dana untuk menyesuaikan diri

dengan dampak perubahan iklim, semisal yang dialami negara kepulauan

dengan naiknya permukaan air laut, atau negara di anak benua Asia yang

mengalami dampak pencairan es abadi di puncak Gunung Himalaya.

Inisiatif dalam mitigasi dan adaptasi untuk menghadapi perubahan iklim di

Indonesia senantiasa perlu mendapat perhatian.

Sebagai negara di khatulistiwa dengan luasan hutan yang cenderung

berkurang dan peningkatan aktifitas ekonomi – sehingga memperbesar

pelepasan GRK – maka Indonesia berkepentingan dengan upaya mitigasi.

Peran Pemerintah Republik Indonesia untuk menekan pelepasan GRK,

mempertahankan luasan hutan, mendorong inisiatif energi bersih dan berbagai

kegiatan dalam upaya mitigasi perlu didukung oleh korporasi dan masyarakat di

negeri ini.

Kegiatan mitigasi juga dapat dilakukan dengan memperluas fungsi hutan dan

kawasan berhutan sebagai cekapan karbon, maka penambahan vegetasi

berupa pepohonan menjadi salah satu prioritas. Pepohonan dapat memberikan

jasa lingkungan (environmental services)

Selain dari upaya mitigasi, sebagai negara yang dipengaruhi iklim dan secara

topografis memiliki bentang alam yang unik, maka adaptasi terhadap berbagai

dampak perubahan iklim juga penting untuk diperhatikan. Dampak pemanasan

global berupa tekanan di sektor keairan, penyediaan kebutuhan pangan, serat,

biomassa dan energi, harus dihadapi dengan menyusun rancangan besar

(grand-design), strategi, rencana penerapan (road-map) dan program

pelaksanaan dari adaptasi terhadap perubahan iklim.

Pada akhirnya, beberapa isu penting masih menjadi kendala dalam melakukan

upaya mitigasi dan adaptasi, seperti: tingginya tingkat perubahan fungsi lahan

pada hutan tropis di Indonesia, baik untuk keperluan perkebunan (konversi ke

tanaman monokultur semacam sawit) maupun pertambangan; kebijakan

penerapan energy-mix yang memberikan tempat yang lebih banyak bagi energi

baru dan terbarukan; serta, pemahaman yang perlu dibangun mengenai

telekoneksi dari sistem iklim dunia dengan sistem meso maupun lokal di

Indonesia. Perlu didorong pemahaman terhadap sistem telekoneksi ini dan

koneksitas atmosfer-lahan-air, untuk digunakan dalam kerangka kesiapsediaan

terhadap perubahan iklim.


(3)

VI.

Pustaka

Aldrian, E., dan S. D. Djamil. 2006. Long term rainfall trend of the Brantas Catchment Area, East Java. Indonesian Journal of Geography 38: 26-40.

Allison I., N.L. Bindoff, R.A. Bindschadler, P.M. Cox, N. de Noblet, M.H. England, J.E. Francis, N. Gruber, A.M. Haywood, D.J. Karoly, G. Kaser, C. Le Quéré, T.M. Lenton, M.E. Mann, B.I. McNeil, A.J. Pitman, S. Rahmstorf, E. Rignot, H.J. Schellnhuber, S.H. Schneider, S.C. Sherwood, R.C.J. Somerville, K. Steffen, E.J. Steig, M. Visbeck, A.J. Weaver. 2009. The Copenhagen Diagnosis. Updating the World on the Latest Climate Science. Climate Change Research Centre (CCRC), University of New South Wales, Sydney, Australia.

Ambrose, S. H., 1998. Late Pleistocene human bottlenecks, volcanic winter, and differentiation of modern humans. Journal of Human Evolution 34: 623–651.

Arnell, N. W. 1999. Climate change and global water resources. Global Environmental Change 9: 31-49.

Arnell, N. W., M. J. L. Livermore, S. Kovats, P. E. Levy, R. Nicholls, M. L. Parry, dan S. R. Gaffin. 2004. Climate and socio-economic scenarios for global-scale climate change impacts assessments: characterizing the SRES storylines. Global Environmental Change 14: 3-20.

Bakkenes, M., J. Alkemade, F. Ihle, R. Leemans, dan J. Latour. 2002. Assessing effects of forecasted climate change on the diversity and distribution of European higher plants for 2050. Global Change Biology 8: 390-407.

Bjarnadottir, S., Y. Li, dan M. G. Stewart. 2011. A probabilistic-based framework for impact and adaptation assessment of climate change on hurricane damage risks and costs. Structural Safety33: 173–185. DOI: 10.1016/j.strusafe.2011.02.003.

Boer, R. and A. Faqih. 2005. Current and Future Rainfall Variability in Indonesia. Technical Report of AIACC Project Integrated Assessment of Climate Change Impacts, Adaptation and Vulnerability In Watershed Areas and Communities in Southeast Asia (AIACC AS21): Indonesia Component. Jakarta, Indonesia.

Boer, R., dan D. Hilman. 2007. Climate Variability and Climate Changes and their Implications. Indonesian Country Report. Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta, Indonesia.

Boucher, D. 2008. Out of the Woods: a Realistic Role for Tropical Forests in Curbing Global Warming. Washington D.C., Amerika Serikat. [diunduh 28 Nopember 2013 dari dokumen elektronik: http://www.ucsusa/assets/documents/global_warming/ucs-redd-boucher-report.pdf]

Chesner, C. A. 2011. The Toba Caldera Complex. Quaternary International 30. DOI: 10.1016/j.quaint. 2011.09.025

Chesner, C. A., W. I. Rose, A. Deino, R. Drake, dan J. A. Westgate. 1991. Eruptive history of earth’s largest Quartenary calder (Lake Toba) clarified. Geology 5(19): 200-204.

Departemen Pertanian Republik Indonesia (Deptan). 2009. Statistik dan Informasi 2009. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. Jakarta, Indonesia. Diamond, J. 2005. Guns, Germs and Steel. Vintage, Random House. Inggris.

Elsner, J. B., J. P. Kossin, T. H. Jagger. 2008. The increasing intensity of the strongest tropical cyclones. Nature 455: 92-95.

Falkenmark, M., dan Lannerstad, M. 2005. Consumptive water use to feed humanity – curing a blind spot. Hydrology and Earth System Sciences 9: 15–28. DOI: 607-7938/hess/2005-9-15

Food and Agriculture Organization (FAO). 2005. Impact of Climate Change and Diseases on Food Security and Poverty Reduction. Committee on World Food Security, Roma, Italia.

Gathorne-Hardy, F. J., dan W.E.H. Harcourt-Smith. 2003. The super-eruption of Toba, did it cause a human bottleneck? Journal of Human Evolution 45: 227–230.

Global Land Project (GLP). 2005. Global land project: Science plan and implementation strategy. IGBP Report No. 53/IHDP Report No. 19. IGBP, Stockholm, Swedia.


(4)

Hairiah, K., A. Ekadinata, R. R. Sari dan S. Rahayu. Pengukuran Cadangan Karbon. Edisi 2. World Agroforestry Center, ICRAF Southeast Asia Regional Office, Universitas Brawijaya, Malang, Indonesia.

Handoko, I., Y. Sugiarto, dan Y. Syaukat. 2008. Keterkaitan Perubahan Iklim dan Produksi Pangan Strategis: Telaah Kebijakan Independen dalam Bidang Perdagangan dan Pembangunan. SEAMEO BIOTROP. Kemitraan Partnership. ISBN 978-979-8275-20.3.

Hoekstra, A. Y. dan Chapagain, A. K. 2007. Water footprints of nations: water use by people as a function of their consumption pattern. Water Resources Management 21: 35-48.

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). 2007. Summary for Policymakers. Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change (penyunting: S. Solomon, D. Qin, M. Manning, Z. Chen, M. Marquis, K. B. Averyt, M. Tignor and H.L. Miller). Cambridge University Press, Cambridge, Inggris.

Kanae, S. 2009. Global warming and the water crisis. Journal of Health Science 55(6): 860-864.

Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral Republik Indonesia (ESDM). 2012. Statistik Ketenagalistrikan 2011. Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan. Jakarta, Indonesia.

Kementerian Pertanian Republik Indonesia (Mentan). 2012. Statistik Makro Sektor Pertanian 4(2). Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. Jakarta, Indonesia. Kinderman, G., M. Obersteiner, B. Sohngen, J. Sathaye, K. Andrasko, E. Rametsteiner,

B. Schlamadinger, S. Wunder, dan R. Beach. 2008. Global cost estimates of reducing carbon emissions through avoided deforestation. Proceedings of the National Academy of Sciences 105(30): 10302-10307. [diunduh dari: http://www.pnas.org/content/105/30/10302.full]

Kundzewicz, Z.W., L.J. Mata, N.W. Arnell, P. Döll, P. Kabat, B. Jiménez, K.A. Miller, T. Oki, Z. Sçen dan I.A. Shiklomanov. 2007. Freshwater resources and their management. Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Penyunting: M.L. Parry, O.F. Canziani, J.P. Palutikof, P.J. van der Linden and C.E. Hanson. Cambridge University Press, Inggris. Hlm. 173-210.

Laurentia, S. C. 2011. Pengelolaan Air Hujan untuk Pertanian pada Pulau Kecil di Kawasan Kering Indonesia. Penerbit Gita Kasih, Kupang, Nusa Tenggara Timur. ISBN 978-979-3748-89-4.

Leemans, R. dan B. Eickhout, 2004. Another reason for concern: regional and global impacts on ecosystems for different levels of climate change. Global Environmental Change 14(3): 219-228.

Levy, P.E., Cannell, M.G.R. and Friend, A.D., 2004. Modelling the impact of future changes in climate, CO2 concentration and land use on natural ecosystems and the

terrestrial carbon sink. Global Environmental Change 14: 21-30.

Manton, M. J., P. M. Della-Marta, M. R. Haylock, K. J. Hennessy, N. Nicholls, L. E. Chambers, D. A. Collins, dan G. Daw. 2001. Trends in extreme daily rainfall and temperature in Southeast Asia and the South Pacific 1961-1998. International Journal of Climatology 21: 269-284.

Martosaputro, S. 2012. Wind energy potential and development in Indonesia. Second Clean Power Asia. Bali, 14-15 Mei 2012. [diunduh 23 Oktober 2013 dari dokumen elektronik: http://energy-indonesia.com/03dge/Soeripno Martosaputro.pdf]

Musyafa’, A., I. M. Y. Negara, dan I. Robandi. 2011. Wind-electric power potential assessment for three locations in East Java-Indonesia. Institut Teknologi Sepuluh Nopember Journal for Technology and Science 22(3): 122-127.

Nguyen, T.C., J. Robinson, S. Kaneko, S. Komatsu. 2013. Estimating the value of economic benefits associated with adaptation to climate change in a developing country: a case study of improvements in tropical cyclone warning services. Ecological Economics 86: 117–128


(5)

Noordwijk, M. van, L. Onyango, A. Kalinganire, L. Joshi, M. H. Hoang, N. Ndichu dan R. Jamnadass. 2011. Rural livelihoods in changing, multifunctional landscapes. How Trees and People can Co-adapt to Climate Change. Penyunting: M. Noordwijk, M. H. Hoang, H. Neufeldt, I. Öborn dan T. Yatich. World Agroforestry Center. Hlm. 37-61. Noordwijk, M. van, S. Namirembe, D. Catacutan, D. Williamson dan A. Gebrekirstos.

2014. Pricing rainbow, green, blue and grey water: tree cover and geopolitics of climatic teleconnections. Current Opinions in Environmental Sustainability 6: 41-47. Oki, T. dan S. Kanae. 2006. Global hydrological cycles and world water resources.

Science 313: 1068-1072. DOI: 10.1126/science.1128845

Oldeman, C. R. 1975. An agroclimatic map of Java and Madura. Center of Research Institute for Agriculture 17: 1-22.

PEACE. 2007. Indonesia and Climate Charge: Current Status and Policies. Bank Dunia dan DFID.

Peters, G., R. Andrew, T. Boden, J. Canadell, P. Ciais, C. Le Quéré, G. Marland, M. Raupach, C. Wilson. 2012. The challenge to keep global warming below 2°C. Nature Climate Change. [diunduh: http://dx.doi.org/10.1038/nclimate1783 pada 3 Desember 2013] DOI: 10.1038/ nclimate1783

PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) (PLN). 2012. Statistik PLN 2011. Jakarta, Indonesia. ISSN No. 0852-8179.

Quéré, C. Le., G. Peters, R. Andres, R. Andrew, T. Boden, P. Ciais, P. Friedlingstein, R. Houghton, G. Marland, R. Moriarty, S. Sitch, P. Tans, A. Arneth, A. Arvanitis, D. Bakker, L. Bopp, J. G. Canadell, Y. Chao, L. P. Chini, S. Doney, A. Harper, I. Harris, J. House, A. Jain, S. Jones, E. Kato, R. Keeling, K. Klein Goldewijk, A. Körtzinger, C. Koven, N. Lefèvre, A. Omar, T. Ono, G. H. Park, B. Pfeil, B. Poulter, M. Raupach, P. Regnier, C. Rödenbeck, S. Saito, J. Schwinger, J. Segschneider, B. Stocker, B. Tilbrook, S. van Heuven, N. Viovy, R. Wanninkhof, A. Wiltshire, C. Yue, S. Zaehle. 2013. Global carbon budget 2013. Earth System Science Data Discussions (in review). [diunduh: http://www.earth-syst-sci-data-discuss.net/6/689/2013 pada 3 Desember 2013] DOI:10.5194/essdd-6-689-2013

Rampino, M. R., dan S. Self. 1992. Volcanic winter and accelerated glaciation following the Toba super-eruption. Nature 359: 50–52.

Rampino, M.R., dan S. Self. 1993. Climate-volcanic feedback and the Toba eruption of 74,000 years ago. Quaternary Research 40: 269–280.

Sabiham, S. 2013. Manajemen Sumberdaya Lahan dalam Usaha Pertanian Berkelanjutan. Penyelamatan Tanah, Air dan Lingkungan (penyunting: Sitanala Arsyad dan Ernan Rustiadi). Yayasan Pustaka Obor, Jakarta, Indonesia: 1-16. ISBN 978-979-461-702-1

Schmidt, S., C. Kemfert, dan P. Höppe. 2009. Tropical cyclone losses in the USA and the impact of climate change — A trend analysis based on data from a new approach to adjusting storm losses. Environmental Impact Assessment Review 29: 359–369. Self, S., dan M. R. Rampino. 2012. The 1963–1964 eruption of Agung volcano (Bali,

Indonesia). Bulletin of Volcanology74(6): 1.521-1.536

Shiklomanov, I. A. 1997. Assessment of Water Resources and Water Availability in the World. Jenewa: World Meteorological Organization dan Stockholm Environment Institute. Swis.

Susilo, J. 2012. Pertamina Initiatives for Energy Sustainability. Indonesian Climate Change Day – COP 18 UNFCC, Doha, 1-2 December 2012.

Tjasyono, B. 2004. Klimatologi. Penerbit ITB, Bandung, Indonesia. ISBN 979-3507-05.5 Thomas, C.D., A. Cameron, dan R. E, Green. 2004. Extinction risk from climate change.

Nature 427: 145-148.

Trenberth, K.E., P. D. Jones, P. Ambenje, R. Bojariu, D. Easterling, A. K. Tank, D. Parker, F. Rahimzadeh, J. A. Renwick, M. Rusticucci, B. Soden, P. Zhai. 2007. Observations: Surface and Atmospheric Climate Change. Climate Change 2007: The Physical Science Basis: Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change (penyunting: S. Solomon,


(6)

D. Qin, M. Manning, Z. Chen, M. Marquis, K. B. Averyt, M. Tignor, H. L. Miller). Cambridge University Press, Cambridge, Inggris.

Tschakert, P., dan Dietrich, K. A. 2010. Anticipatory learning for climate change adaptation and resilience. Ecology and Society 12(2): 1-11.

Turral, H., J. Burke dan J. M. Faurès. 2008. Climate Change, Water and Food Security. Food and Agriculture Organization (FAO), Report No 36. United Nations. Roma, Italia. Valiant, R., dan Harianto. 2013. Pengelolaan Sumberdaya Air di DAS Brantas dengan

Penerapan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) untuk Keandalan Layanan Air. Seminar Nasional Aplikasi TMC sebagai Alternatif Teknologi Menuju Tercapainya Ketahanan Pangan dan Energi. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta: Indonesia, 27 Juni 2013

Vörösmarty, C. J., dan D. Sahagian. 2000. Anthropogenic disturbance of the terrestrial water cycle. Biological Sciences 50(9): 753-765.

Vörösmarty. C. J., P. Mc.Intyre, M. O. Gessner, D. Dudgeon, A. Prusevich, P. Green, S. Glidden, S. E. Bunn, C. A. Sullivan, dan C. R. Liermann. 2010. Global threats to human water security and river biodiversity. Nature 467: 555-561.

Walsh, K. J. E., K. Mc.Innes, J. L. Mc.Bride. 2012. Climate change impacts on tropical cyclones and extreme sea levels in the South Pacific — a regional assessment. Global and Planetary Change 80–81: 149–164.

Wang, S., S. Huang dan W. W. Budd. 2012. Resilience analysis of the interaction of between typhoons and land use change. Landscape and Urban Planning 106: 303– 315.

World Bank Institute (WBI). 2010. Estimating the Opportunity Costs of REDD+. Training Manual.

Zen, M. T., dan J. Hadikusumo. 1964. Preliminary report on the 1963 eruption of Mount Agung in Bali (Indonesia). Bulletin Volcanologique 27(1): 269-299.