226
7.4 Model Pengembangan Perikanan Pantai
Berbeda dengan model perikanan lepas pantai yang lebih difokuskan untuk pengembangan perikanan tuna, pengembangan perikanan pantai berdasarkan pada
beberapa jenis ikan unggulan. Ikan unggulan meliputi jenis pelagis besar yaitu tongkol dan cakalang, pelagis kecil adalah teri, demersal yaitu layur, ikan cucut,
bawal putih dan lobster serta dari jenis udang. Sesuai jenis ikan unggulan, unit penangkapan yang digunakan meliputi gillnet multifilament, pancing tonda, purse
seine, gillnet monofilament, trammel net, payang dan pancing rawai. Pengembangan perikanan pantai, untuk jenis ikan tongkol dan cakalang
dapat dilakukan oleh Kabupaten Sukabumi, Cilacap, Gunung Kidul, Trenggalek dan Malang. Pengembangan perikanan pantai untuk ikan tongkol dan cakalang
dilakukan dalam usaha skala menengah, dengan unit penangkapan ikan yang digunakan adalah gillnet multifilament, pancing tonda dan purse seine.
Pengembangan perikanan pantai untuk jenis ikan layur, bawal putih, dapat menggunakan pancing rawai, dan gillnet monofilament. Kabupaten yang dapat
mengembangkan perikanan layur dan bawal putih yaitu Sukabumi, Garut, Kebumen, Gunung Kidul, Pacitan dan Trenggalek.
Pengembangan perikanan
lobster menggunakan gillnet monofilament. Kabupaten yang dapat mengembangkan perikanan lobster adalah Kebumen,
Gunung Kidul dan Pacitan. Perikanan udang hanya dapat dikembangkan oleh Kabupaten Cilacap, dengan unit penangkapan trammel net.
Ikan teri menggunakan unit payang dan purse seine, dapat dikembangkan di Trenggalek. Perikanan cucut menggunakan pancing rawai, dapat dikembangkan
oleh Kabupaten Sukabumi, Garut, Cilacap, Gunung Kidul, Pacitan dan Malang. Seperti halnya pada pengembangan perikanan lepas pantai, penyusunan
model pengembangan perikanan pantai dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan analisis terhadap sistem. Sistem yang dianalisis meliputi subsistem
USAHA, subsistem PELABUHAN, dan subsistem LEMBAGA.
7.4.1 Analisis Sistem Perikanan Pantai
Pengembangan perikanan pantai dalam kajian disertasi ini lebih difokuskan pada pengembangan perikanan tongkol, cakalang, layur, bawal putih, lobster,
227
cucut, udang, teri dan pepetek. Unit penangkapan ikan yang potensial digunakan untuk pengembangan perikanan pantai adalah gillnet multifilament, pancing
tonda, purse seine, gillnet monofilament, trammel net, payang, dan rawai. Seperti halnya pada pengembangan perikanan lepas pantai, pengembangan
perikanan pantai juga perlu dilakukan dengan terlebih dahulu membangun bisnis atau usaha perikanan. Usaha pada perikanan pantai, dilakukan pada usaha skala
menengah atau usaha skala kecil
. Usaha perikanan pantai tidak membutuhkan
modal yang besar seperti halnya pada perikanan lepas pantai.
1 Analisis subsistem USAHA
Usaha perikanan pantai dilakukan pada usaha skala menengah dan skala kecil. Usaha pada umumnya tidak menggunakan teknologi penangkapan ikan
yang canggih, dan tidak memerlukan permodalan yang besar. Usaha perikanan ini dapat dilakukan oleh semua kabupaten yang ada di Selatan Jawa, dengan fokus
usaha pada beberapa jenis ikan unggulan daerah. Usaha perikanan pantai tidak memerlukan dukungan pelabuhan perikanan besar, dengan fasilitas yang lengkap
seperti halnya pada perikanan lepas pantai. Seperti halnya pada pengembangan perikanan lepas pantai, keberhasilan usaha pada perikanan pantai juga akan
tergantung pada tiga faktor utama, yaitu potensi sumberdaya ikan, teknis usaha dan kelayakan ekonomi dari usaha.
1 Analisis potensi sumberdaya
Sebagian besar wilayah kajian telah mengembangkan perikanan pantai. Operasi penangkapan ikan, umumnya dilakukan oleh nelayan pada daerah
penangkapan ikan fishing ground yang terkonsentrasi hanya pada daerah tertentu saja di pinggir pantai, dekat dengan pusat-pusat pendaratan ikan fishing base.
Hal ini menyebabkan pada beberapa wilayah perairan, kondisi sumberdaya ikan telah mencapai kondisi tangkap penuh fully exploited.
Pada perikanan tongkol dan cakalang di PPS Cilacap dengan menggunakan
alat tangkap gillnet multifilament periode tahun 1999-2005, terlihat memiliki
kecenderungan nilai CPUE relatif datar. Effort unit penangkapan gillnet selama periode 1999-2005 berfluktuasi cenderung menurun, yaitu dari 1.858 trip tahun
228
1999 menjadi 745 trip pada tahun 2005. Produksi tongkol dan cakalang di PPS Cilacap juga berfluktuasi dan terjadi penurunan, yaitu dari 1.999 ton pada tahun
1999 menjadi 679,00 ton tahun 2005. Nilai CPUE tertinggi pada tahun 2003 yaitu 1,77 tontrip, menurun menjadi 0,91 tontrip tahun 2005 Lampiran 37a.
Nilai CPUE perikanan udang di PPS Cilacap periode tahun 1996-2005 berfluktuasi, yaitu dari 0,12 tontrip pada tahun 1996 menurun menjadi 0,09
tontrip pada tahun 2005. Penurunan effort trammel net pada periode 2002-2005, telah dapat meningkatkan nilai CPUE pada periode tersebut. Produksi udang
berfluktuasi, yaitu dari 483,32 ton tahun 1996 menurun menjadi 105,70 ton pada tahun 2005. Jumlah effort berfluktuasi, yaitu dari 4.178 trip tahun 1996 menurun
menjadi 1.141 trip tahun 2005 Lampiran 37b. Perikanan pukat cincin di PPN Prigi, dengan hasil utama adalah cakalang
dan juga ikan pelagis kecil seperti ikan teri pada periode 199-2005, memiliki nilai CPUE berfluktuasi. Fluktuasi nilai CPUE dari tahun ke tahun sangat tinggi. Pada
periode 1999-2002, nilai CPUE 0,25 tontrip tahun 1999 meningkat menjadi 26,08 tontrip pada tahun 2002. Nilai CPUE menurun secara drastis pada tahun 2003
menjadi 0,88 tontrip Lampiran 37c. Pada perikanan rawai dengan hasil tangkapan utama ikan layur di PPN Prigi
periode 1999-2005, nilai CPUE berfluktuasi. Jumlah effort berfluktuasi, yaitu dari 474 unit tahun 1999 meningkat menjadi 1.462 unit pada tahun 2005. Produksi
rawai berfluktuasi, yaitu dari 383 ton pada tahun 1999, meningkat menjadi 1.288 ton pada tahun 2005. Nilai CPUE berfluktuasi, meningkat tajam pada tahun 2003
yaitu sebesar 3,45 ton per unit. Tahun 2004 nilai CPUE menurun menjadi 0,31 ton per unit Lampiran 37d.
Perikanan bawal putih di Kebumen periode 1995-2001 menunjukkan nilai CPUE berfluktuasi. Produksi berfluktuasi, yaitu dari 35,99 ton tahun 1995
meningkat menjadi 53,57 ton pada tahun 2001, dengan peningkatan tajam terjadi pada tahun 1998. Effort berfluktuasi, yaitu dari 1.853 trip tahun 1995 menjadi
11.063 trip pada tahun 2001. Peningkatan effort yang tajam tahun 2001 telah menurunkan nilai CPUE secara drastis pada tahun tersebut Lampiran 37e.
Nilai CPUE perikanan layur di Kebumen periode 1995-2001 berfluktuasi, dari 0,03 tontrip tahun 1995 meningkat menjadi 0,14 tontrip tahun 1999 dan
229
menurun menjadi 0,02 tontrip tahun 2001. Produksi berfluktuasi, dari 63,83 ton tahun 1995 meningkat menjadi 222,98 ton tahun 2001, dengan peningkatan tajam
terjadi tahun 1999 berjumlah 540,99 ton. Effort berfluktuasi, yaitu dari 1.853 trip pada tahun 1995 meningkat menjadi 11.063 trip pada tahun 2001. Peningkatan
effort yang tajam pada tahun 2001 telah menurunkan nilai CPUE secara drastis pada tahun tersebut, yaitu dari 0,30 tontrip menjadi 0,02 tontrip Lampiran 37f.
Nilai CPUE perikanan lobster di PPP Cilautereun periode 1999-2003, berfluktuasi. Produksi berfluktuasi, yaitu dari 47,50 ton tahun 1999 menurun
menjadi 37,18 ton pada tahun 2003. Effort berfluktuasi, yaitu dari 1.960 trip pada tahun 1999 meningkat menjadi 2.640 trip pada tahun 2003. Peningkatan effort
secara terus menerus dari tahun ke tahun, telah menurunkan nilai CPUE lobster di
PPP Cilautereun, yaitu dari 0,02 tontrip menjadi 0,01 tontrip Lampiran 37g.
Perikanan gillnet dengan hasil tangkapan cakalang di PPN Palabuhanratu periode 1994-2003, menunjukkan nilai CPUE menurun. Produksi berfluktuasi,
yaitu dari 1777,70 ton pada tahun 1994 menurun menjadi 1.151,60 ton pada tahun 2003. Jumlah effort berfluktuasi, yaitu dari 427 unit pada tahun 1994 meningkat
menjadi 656 unit pada tahun 2003. Peningkatan effort terjadi pada periode tahun
2001-2003. Penurunan nilai CPUE telah terjadi sejak tahun 1998 Lampiran 37h.
Nilai CPUE perikanan rawai dengan produksi utama ikan cucut di PPN Palabuhanratu periode 1994-2003, cenderung menurun. Produksi cenderung
menurun, yaitu dari 1.296,20 ton tahun 1994 menjadi 654,40 ton tahun 2003. Jumlah effort berfluktuasi, dari 101 unit tahun 1994 menurun menjadi 56 unit
tahun 2003. Nilai CPUE berfluktuasi, meningkat tajam tahun 1996 yaitu sebesar 23,04 ton per unit. Peningkatan effort yang tajam tahun 1997, telah menurunkan
CPUE menjadi 2,15 ton per unit pada tahun tersebut Lampiran 37i.
Berdasarkan hasil analisis CPUE seperti di atas, terlihat bahwa kondisi sumberdaya ikan pada perikanan pantai sangat sensitif terhadap tekanan upaya
penangkapan yang berlebih. Peningkatan upaya, akan dapat menurunkan nilai CPUE secara drastis. Sebaliknya penurunan tingkat upaya, akan memulihkan
kembali sumberdaya yaitu terlihat dari meningkatnya nilai CPUE. Untuk itu dalam pengembangan perikanan pantai, sangat penting untuk diperhatikan jumlah
upaya penangkapan yang boleh diizinkan agar potensi sumberdaya tetap lestari.
230
2 Analisis teknis usaha perikanan
Keberhasilan usaha penangkapan ikan akan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor teknis usaha. Kegiatan usaha meliputi kegiatan dari pra produksi,
produksi, pasca produksi dan pemasaran. Kondisi sistem dari beberapa usaha perikanan, telah dideskripsikan pada Bab 5.1.2 sampai dengan Bab 5.1.7.
a Kegiatan pra poduksi
Seperti halnya pada usaha perikanan lepas pantai, ketersediaan input produksi merupakan faktor penting agar usaha dapat berjalan dengan lancar. Input
produksi pada kegiatan perikanan pantai meliputi ketersediaan unit penangkapan ikan, yang terdiri atas kapal, alat tangkap, mesin kapal, dan perlengkapan
penangkapan lainnya; ketersediaan sumberdaya manusia SDM; ketersediaan modal, baik modal investasi maupun modal operasi; serta ketersediaan perbekalan
operasi yang meliputi BBM solar, minyak tanah, air tawar, es, dan makanan. Ketersediaan unit penangkapan yang meliputi kapal perikanan, alat tangkap,
mesin kapal dan peralatan bantu penangkapan lainnya merupakan faktor yang sangat penting. Kapal secara umum memiliki umur teknis yang terbatas, yaitu
sekitar 8-15 tahun. Kebutuhan akan material kapal, khususnya material kayu semakin terbatas. Untuk itu perlu dicari alternatif lain pengganti material kayu.
Kebutuhan sumberdaya manusia yang memahami karakteristik laut, menjadi hal yang penting dalam penyediaan sumberdaya manusia. Pekerjaan sebagai
nelayan sangat berbeda dengan pekerjaan lain di darat. Umum yang terjadi saat ini di Selatan Jawa adalah, pekerjaan nelayan hanya sebagai sambilan. Sebagian
besar nelayan memiliki alternatif mata pencaharian lain, diantaranya sebagai petani sawah atau petani ladang dan juga sebagai peternak.
Ketersediaan permodalan merupakan faktor penting lainnya. Biaya investasi yang tinggi untuk pembelian kapal, mesin, alat tangkap dan perlengkapan lainnya,
serta biaya operasional yang tinggi menjadikan usaha perikanan hanya dikuasai oleh pemilik modal saja. Sebagian besar nelayan hanya berperan sebagai nelayan
buruh, dengan pendapatan yang diterima menggunakan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil pada umumnya kurang berpihak kepada nelayan.
Sebenarnya pemerintah telah berupaya memberdayakan nelayan melalui pemberian pinjaman, salah satunya adalah melalui program kredit usaha mikro,
231
kecil dan menengah UMKM. Program ini diberikan tanpa menggunakan agunan, karena pemerintah juga sudah menyertakan program penjaminan melalui Asuransi
Kredit Indonesia Askrindo dan Perusahaan Umum Sarana Penyedia Usaha Perum SPU. Pada tahun 2007 program penjaminan digulirkan oleh pemerintah
sebesar Rp 1,45 triliun. Program ini berlaku selama tiga tahun kedepan Kompas, 14 Desember 2007. Dalam pelaksanaannya di lapangan, program masih sulit
diakses oleh nelayan dengan adanya berbagai hambatan. Kebutuhan akan perbekalan melaut, merupakan salah satu faktor penting
berikutnya. Kebutuhan terutama adalah terkait dengan kebutuhan BBM. BBM merupakan komponen biaya operasi yang besar dalam usaha penangkapan, yaitu
sekitar 40-50 dari keseluruhan biaya operasi. Kenaikan harga BBM hampir 100 pada akhir tahun 2005, masih dirasakan dampaknya oleh nelayan hingga
saat ini. Dampak kenaikan BBM sangat dirasakan baik oleh nelayan skala kecil, menengah maupun besar. Pada waktu itu banyak nelayan yang tidak dapat melaut
karena kenaikan harga BBM tersebut. Pada akhir tahun 2007 ini, sebenarnya usaha perikanan sudah mulai membaik. Kondisi ini sepertinya tidak akan bertahan
lama, karena wacana akan adanya kenaikan BBM sudah mulai terdengar.
b Proses produksi
Proses produksi pada kegiatan usaha perikanan merupakan proses yang mengandung resiko tinggi, dengan hasil yang tidak dapat diprediksi dengan pasti.
Berbagai faktor akan mempengaruhi terhadap keberhasilan dari proses produksi tersebut. Sama halnya dengan perikanan lepas pantai, faktor–faktor produksi
diantaranya meliputi ukuran kapal dan mesin kapal, ukuran palkah ikan dan fasilitas penanganan ikan di atas kapal, ukuran alat tangkap, jumlah mata pancing
dan ketersediaan umpan, jumlah trip penangkapan, bahan bakar, dan ABK. Kebutuhan faktor-faktor produksi pada usaha perikanan pantai sangat
bervariasi, tergantung pada besarnya skala usaha. Penggunaan faktor produksi dapat dioptimalkan sesuai dengan kebutuhannya. Penggunaan faktor produksi
yang berlebihan, merupakan pemborosan. Peningkatan efisiensi dan efektivitas produksi, dapat dilakukan dengan penggunaan faktor produksi yang tepat.
Salah satu contoh penggunaan faktor produksi pada kegiatan usaha perikanan, adalah penggunaan ABK kapal. Kebutuhan ABK kapal bervariasi,
232
tergantung pada jenis usaha dan skala usaha. Pada perikanan gillnet multifilament, tenaga ABK yang diperlukan berjumlah sekitar 5-12 orang. Pada unit purse seine
sekitar 15-20 orang, trammel net 5-7 orang, gillnet monofilament 2-3 orang, payang 15-20 orang, pancing tonda 5-7 orang, dan pancing rawai sekitar 3-5
orang. Penggunaan ABK ini harus diperhitungkan dengan cermat. Penggunaan ABK yang berlebih, akan berdampak pada peningkatan biaya operasi. Sementara
itu dari sisi ABK, pendapatannya akan menjadi lebih kecil. Tabel 24 menyajikan gambaran faktor-faktor teknis yang perlu diperhatikan
untuk efisiensi dan efektivitas proses produksi, pada beberapa usaha perikanan pantai. Masing-masing usaha memiliki faktor-faktor teknis berbeda untuk
optimalisasi produksi. Hal ini akan disesuaikan dengan karakteristik usahanya. Umumnya faktor teknis akan terkait dengan ukuran kapal, ukuran alat tangkap,
penggunaan bahan bakar dan penggunaan tenaga kerja. Tabel 24 Faktor teknis yang perlu diperhatikan pada perikanan pantai
No. Faktor teknis
Gillnet multifilament
Pancing tonda
Gillnet monofilament
Purse seine
Payang Trammel
net Pancing
rawai 1 Ukuran
kapal dan mesin kapal
9 9
9 9
9 9
9 2 Palkah
ikan dan fasilitas
penanganan 9
9 9
9 9
9 9
3 Jumlah mata
pancing dan ketersediaan
umpan 9
9 -
- -
- 9
4 Panjang dan
lebar jaring 9
- 9
9 9
9 -
5 Jumlah trip
penangkapan 9
9 9
9 9
9 9
6 Jumlah bahan bakar
9 9
9 9
9 9
9 7 Jumlah
tenaga kerja 9
9 9
9 9
9 9
Keterangan: √ = perlu diperhatikan
c Pasca produksi
Penanganan di atas kapal merupakan rantai awal proses penanganan ikan. Kesalahan penanganan di atas kapal tidak dapat diperbaiki di tahap selanjutnya.
Secara umum penanganan ikan di atas kapal belum dilakukan dengan baik. Kesadaran nelayan tentang kualitas dan penanganan ikan masih rendah. Pada
operasi penangkapan ikan harian, kebanyakan nelayan tidak membawa es.
233
Sementara itu pada trip operasi penangkapan ikan yang memerlukan waktu lebih lama, biasanya nelayan tidak membawa es dalam jumlah yang cukup.
Ketersediaan es atau suplai es dari pabrik yang berada di sekitar PPPPI masih terbatas. Beberapa PPI tidak memiliki fasilitas pabrik es. Persediaan es
untuk kebutuhan melaut, didatangkan dari daerah lain dengan jarak yang cukup jauh. Cold storage hanya tersedia di pelabuhan perikanan berkelas PPN atau PPS.
Fasilitas penanganan ikan dan cara penanganan ikan di PPPPI, pada umumnya belum dilakukan dengan benar. Penanganan sanitasi dan higienitas di
PPPPI belum mendapatkan prioritas. Keterbatasan sumber air tawar atau air bersih, terkadang menjadi salah satu hambatan untuk dapat melakukan
penanganan ikan dengan baik. Disamping juga faktor keterbatasan sarana penanganan ikan di pelabuhan, serta kebiasaan nelayan yang sulit dirubah.
Beberapa jenis hasil tangkapan merupakan komoditi ekspor, seperti layur, bawal putih, lobster dan udang. Penanganan kualitas ikan sesuai standar kualitas
ekspor, penting diperhatikan agar produk dapat diterima pasar. Semakin banyak ikan yang memenuhi standar kualitas ekspor, diharapkan akan semakin besar
penerimaan usaha yang akan didapatkan nelayan. Penanganan kualitas dengan benar akan berdampak pada peningkatan efisiensi dan efektivitas usaha.
Produk yang akan diekspor harus dilengkapi sertifikat mutu. Sertifikat mutu dapat diperoleh dengan mengajukan permohonan pengujian mutu ke laboratorium
pengujian mutu hasil perikanan. Petugas laboratorium akan melakukan pengecekan mutu ke perusahaan, dengan mengambil beberapa contoh atau sampel
untuk dilakukan pengujian. Perusahaan akan diberikan sertifikat mutu berdasarkan hasil pengujian sampel. Produk ikan yang akan diekspor harus memenuhi standar
mutu yang telah ditetapkan pemerintah, yaitu Standar Nasional Indonesia SNI.
3 Analisis finansial usaha perikanan pantai
Analisis finansial dilakukan untuk mengetahui kelayakan usaha dari beberapa jenis usaha perikanan pantai. Analisis dilakukan dengan menggunakan
program Excel. Masukan program meliputi penerimaan usaha, biaya investasi, biaya tetap dan biaya variabel. Hasil analisis meliputi perhitungan keuntungan
usaha, NPV, BC dan IRR.
234
a Penerimaan usaha
Penerimaan pada usaha perikanan, umumnya bersifat tidak pasti. Penerimaan usaha, akan dipengaruhi oleh jumlah produksi dan harga. Produksi
ikan umumnya dipengaruhi musim. Harga selain dipengaruhi oleh jenis ikan, ukuran dan kualitas, dipengaruhi juga oleh musim ikan. Pada saat musim ikan,
biasanya harga akan turun. Sebaliknya saat musim paceklik, harga akan naik. Hasil tangkapan gillnet multifilament diantaranya terdiri atas berbagai jenis
ikan, dengan hasil utama tongkol dan cakalang. Tujuan utama hasil tangkapan adalah untuk pasar lokal atau antar daerah. Hasil tangkapan gillnet multifilament
umumnya tidak memiliki kualitas yang bagus, sehingga cakalang yang dihasilkan tidak memenuhi standar ekspor. Hasil tangkapan utama pancing tonda adalah tuna
dan cakalang. Tuna hasil tangkapan pancing tonda, pada umumnya berukuran kecil baby tuna sebagai bahan baku pabrik pengolahan tuna. Trammel net hasil
utamanya adalah udang, yang merupakan komoditi ekspor. Purse seine dan payang dapat digunakan utuk menangkap jenis ikan pelagis besar dan pelagis
kecil. Jenis ikan pelagis besar yang tertangkap seperti tongkol, cakalang, dan tenggiri, sedangkan pelagis kecil seperti teri dan pepetek. Ikan pepetek banyak
tertangkap dengan purse seine di Trenggalek. Ikan pepetek dan beberapa jenis ikan pelagis kecil lainnya, sebagian besar diolah dalam bentuk tepung ikan yang
merupakan komoditi ekspor. Gillnet monofilament dapat digunakan untuk menangkap lobster, bawal putih dan layur.
Tabel 25 memberikan gambaran perkiraan harga ikan, jumlah produksi dan retribusi yang dikenakan pada beberapa jenis usaha perikanan pantai. Nilai-nilai
yang digunakan berasal dari beberapa responden, nilai tersebut digunakan sebagai acuan dalam penghitungan kelayakan usaha perikanan.
Tabel 25 Input untuk menghitung penerimaan usaha perikanan pantai
No. Input penerimaan
usaha
Gillnet multifilament
Pancing tonda
Gillnet monofilament
Purse seine
Payang Trammel
net
1 Harga ikan Rp
5.369,20 7.890,46
7.647,29 4.500
4.387,54 42.735,28
2 Jumlah produksi kg
per trip 3.505
616 26
300 340
104 3 Retribusi
x penerimaan 5
3 5
3 5
3 Sumber: hasil olahan data
235
b Pembiayaan usaha perikanan Biaya investasi
Biaya investasi digunakan untuk pembelian kapal, alat tangkap, mesin dan perlengkapan lainnya. Biaya investasi yang diperlukan sangat bervariasi,
tergantung pada besar kecilnya skala usaha. Tabel 26 memberikan gambaran biaya investasi yang diperlukan pada beberapa usaha perikanan pantai. Biaya
investasi tersebut didasarkan pada biaya investasi yang umum digunakan nelayan. Biaya investasi untuk kapal gillnet multifilament berkisar antara Rp
150.000.000,00 sampai dengan Rp 200.000.000,00. Gillnet multifilament yang digunakan nelayan di PPS Cilacap secara umum lebih besar dibandingkan dengan
gillnet di PPN Palabuhanratu. Purse seine umum digunakan oleh nelayan di PPN Prigi, di PPP Cilautereun dengan ukuran yang lebih kecil, biasa disebut mini purse
seine. Pancing tonda digunakan oleh nelayan di Sendangbiru. Trammel net terdiri atas berbagai skala usaha, biaya investasi yang diperlukan sangat bervariasi.
Gillnet monofilament umum digunakan oleh nelayan skala kecil, dengan modal investasi berkisar antara Rp 15.000.000,00 sampai Rp 25.000.000,00. Payang
banyak digunakan nelayan di Palabuhanratu untuk menangkap tongkol dan cakalang. Biaya investasi sekitar Rp 70.000.000,00 per unit.
Tabel 26 Biaya investasi pada beberapa usaha perikanan pantai
No. U Uraian Gillnet multifilament
Rp x 1.000 Pancing
tonda Rp x 1.000
Gillnet monofilament
Rp x 1.000 Purse seine
Rp x 1.000 Payang
Rp x 1.000 Trammel Net
Rp x 1.000
1 2
3 Kapal
Alat tangkap
Mesin 60.000
100.000 12.000
35.000 4.000+3.000
8.000 8.000
3.250 10.500
80.000 60.000
50.000 30.000
21.250 17.500
78.266,667 12.550
24.125
Total 172.000
50.000 21.750
190.000 70.350
114.941,667 Sumber: hasil olahan data
Biaya tetap
Biaya tetap meliputi biaya penyusutan, biaya perawatan, biaya operasional kantor, pajak dan bunga bank. Biaya perawatan unit penangkapan, sangat
bervariasi sekali tergantung pada tingkat perawatan atau perbaikan pada kapal,
alat tangkap dan mesin. Biaya perawatan yang mahal, khususnya dikeluarkan pada saat kapal melakukan docking dan over haul mesin kapal.
236
Perhitungan biaya tetap untuk beberapa usaha perikanan pantai seperti terlihat pada Tabel 27. Biaya tetap tersebut belum memperhitungkan pajak dan
bunga bank yang harus dibayarkan perusahaan. Tabel 27 Biaya tetap pada beberapa usaha perikanan pantai
No. Uraian Gillnet
multifilament Rp x 1.000
Pancing Tonda
Rp x 1.000 Gillnet
monofilament
Rp x 1.000 Purse
seine Rp x 1.000
Payang Rp x
1.000 Trammel
net Rp x 1 .000
1 2
3 Perawatan
- kapal - mesin
- alat tangkap Penyusutan
- kapal - mesin
- alat tangkap Administrasi
1.000 2.000
1.100 5.400
1.080 10.000
240 5.000
3.000 500
3.150 720
600 -
2.000 3.000
500 720
945 500+150
20.000 7.200
4.375 12.000
360 4.200
400 1.800
2.988 1.969
4.250 99
1.387,50 3.000,00
616,67 6.723,33
1.612,50 6.275,00
215,00
Total biaya tetap
10.820 12.970 7.815 44.060
15.706 19.930,00
Sumber: hasil olahan data
Biaya variabel
Biaya variabel merupakan biaya yang hanya akan dikeluarkan perusahaan jika melakukan operasi penangkapan ikan. Biaya variabel, pada umumnya terdiri
atas biaya untuk kapal melakukan operasi penangkapan, bagi hasil, serta retribusi lelang. Biaya untuk kapal melakukan operasi penangkapan, meliputi biaya untuk
pembelian perbekalan solar, olie, es, umpan, gasminyak tanah, air tawar, biaya perjalanan, dokumen kapal, serta pembayaran gaji ABK. Perhitungan kebutuhan
biaya untuk melakukan operasi penangkapan ikan pada beberapa usaha perikanan pantai seperti terlihat pada Tabel 28.
Tabel 28 Biaya operasi per trip pada beberapa usaha perikanan pantai
No .
Biaya variabel per tahun
Gillnet multifilament
Pancing tonda
Gillnet monofilament
Purse seine
Payang Trammel
net 1 Solarminyak
tanah Rp 3.440.000 2.850.000 45.000
15,000
135.000 442.900
2 Olie Rp
200.000 13.043,48
-
200,000
60.000 90.000
3 Es Rp
1.100.000 165.217,39
-
22,000
22.000 64.040
4 Minyak tanah Rp
75.000 30.978,26
-
40,500
468.000 25.000
5 Air tawar Rp
16.000 -
- -
- -
6 Konsumsi Rp
400.000 -
15.000 -
- 454.400
7 Perizinan Rp
- -
- -
- -
Total Rp
5.231.000 2.789.239 60.000
477,500
685.000 1.080.340
Sumber: hasil olahan data
237
c Perhitungan kelayakan usaha
Hasil perhitungan kelayakan finansial dari usaha perikanan pantai meliputi kriteria nilai NPV, BC dan IRR. Perhitungan nilai NPV, BC dilakukan dengan
menggunakan discount rate 15 Tabel 29. Perhitungan kelayakan usaha seperti tertera pada Lampiran 38.
Tabel 29 Nilai kelayakan usaha pada beberapa usaha perikanan pantai
Kriteria kelayakan usaha
Gillnet multifilament
Pancing tonda
Gillnet monofilament
Purse seine
Payang Trammel
net
Penerimaan per tahun Rp
395.200.000 184.700.000 51.700.000 270.000.000 270.720.000
160.000.880 Biaya variabel
per tahun Rp 295.126.600 148.953.000 34.682.500 182.750.000
214.934.100 101.265.030
Biaya tetap per tahun Rp
10.820.000 12.970.000
7.815.000 43.735.000
15.705.750 19.930.000
Biaya total per tahun Rp
305.946.600 161.923.000 42.497.500 226.485.000 230.639.850 121.195.031
Keuntungan Rp 89.253.400
22.777.000 9.202.500
43.515.000 40.080.150
38.805.849 NPV Rp
306.909.487 70.591.339
33.692.933 121.620.891
85.898.870 130.259.354
BC 2,78
2,41 2,55
1,64 2,22
2,13 IRR
54,92 47,09
50,25 30,90
49,97 41,62
Sumber: hasil olahan data
2 Analisis subsiste, PELABUHAN Analisis subsistem PELABUHAN dimaksudkan untuk melihat peran dari
PPPPI yang ada di lokasi penelitian, dalam hal dukungannya terhadap kegiatan
usaha perikanan. Peran PPPPI penting sebagai tempat pendaratan hasil tangkapan, penyedia fasilitas perbekalan atau input produksi, fasilitas penanganan
ikan, distribusi, pemasaran dan peran administratif lainnya. Pada subsistem PELABUHAN dianalisis tiga aspek yaitu keterkaitan pelabuhan perikanan dengan
fishing ground, aspek teknis pelabuhan dan aksesibilitas pasar.
1 Analisis keterkaitan dengan fishing ground
Analisis keterkaitan dengan fishing ground forward linkages dilakukan melalui penilaian atau evaluasi terhadap lokasi PPPPI, berkaitan dengan daya
tariknya bagi kapal-kapal perikanan untuk mendaratkan hasil tangkapan di PPPPI tersebut. Daya tarik yang ada di suatu PPPPI, akan meningkatkan minat nelayan
untuk mendaratkan ikannya di PPPPI tersebut. Dalam hal ini adalah meningkatkan tarikan pergerakan barang atau orang ke suatu lokasi PPPPI.
238
Faktor-faktor yang dapat menjadi daya tarik dibedakan menjadi tiga, yaitu a fasilitas perairan, b fasilitas darat dan c potensi kemudahan pemasaran.
Fasilitas perairan meliputi kriteria lebar dan kedalaman alur masuk pelabuhan, serta kedalaman kolam pelabuhan. Fasilitas darat meliputi kriteria fasilitas
bongkar ikan dan muat perbekalan, serta ketersediaan fasilitas penanganan ikan. Potensi kemudahan pemasaran meliputi keberadaan industri pengolahan, eksportir
dan akses pasar. Input untuk analisis adalah PPPPI yang menjadi obyek kajian, dengan karakteristik kriteria sesuai yang dibutuhkan model Lampiran 39.
Keberadaan fasilitas perairan di PPN Palabuhanratu, PPS Cilacap dan PPN Prigi dan PPI Sadeng cukup baik. Keempat pelabuhan tersebut telah memiliki
kolam pelabuhan, dengan alur masuk yang dapat dilewati oleh kapal-kapal ukuran kecil sampai menengah. Pada beberapa lokasi, kolam pelabuhan yang ada tidak
dapat lagi berfungsi dikarenakan adanya proses pendangkalan. Kolam pelabuhan di PPP Pondokdadap belum berupa kolam pelabuhan. Tempat berlabuh kapal
berada di tepi pantai yang terlindung oleh sebuah pulau. Pada saat air laut surut, terlihat di beberapa tempat berubah menjadi tanah daratan. Lokasi PPP
Cilautereun berada di muara sungai, darmaga dibangun di tepi-tepi sungai. Saat ini kondisi kolam pelabuhan masih cukup baik, walaupun berada di muara suatu,
kedalaman dengan tingkat pengendapan yang tidak begitu tinggi. Pada saat air surut, nelayan masih dapat keluar masuk pelabuhan. Sementara itu kondisi kolam
pelabuhan di PPI Pasir tidak dapat difungsikan lagi. Sebenarnya lokasi PPI Pasir cukup representatif untuk pendaratan kapal, dengan lokasi yang cukup terlindung.
Tingginya aktivitas pengendapan di muara sungai yang berada dekat kolam pelabuhan dan tidak adanya biaya untuk pengerukan, mengakibatkan kolam
pelabuhan saat ini telah berubah menjadi tanah daratan. Keberadaan fasilitas darat, terkait dengan fasilitas bongkar ikan dan muat
perbekalan, serta ketersediaan fasilitas penanganan ikan di pelabuhan perikanan di Selatan Jawa yang telah berstatus PPS dan PPN, sudah sangat mendukung untuk
kegiatan perikanan pantai. Pada pelabuhan perikanan yang masih berstatus PPP dan PPI secara umum masih belum memadai. Fasilitas darmaga tempat bongkar
ikan dan muat perbekalan di PPP Pondokdadap masih belum memadai. Darmaga belum permanen, berupa darmaga terapung darmaga ponton. Kapasitas darmaga
239
sangat terbatas, sehingga terlihat sangat penuh pada saat banyak kapal melakukan bongkar ikan. Keberadaan fasilitas darat di PPP Cilautereun, PPI Pasir dan PPI
Tamperan belum memadai. Keberadaan TPI tidak difungsikan dengan baik. Fasilitas pemenuhan kebutuhan perbekalan melaut, seperti solar, es dan
perbekalan lain belum tersedia. Nelayan sebagian besar mengusahakan perbekalan sendiri, dengan membeli dari daerah lain di luar pelabuhan.
Potensi kemudahan pemasaran meliputi keberadaan industri pengolahan, eksportir dan akses pasar. Secara umum untuk pemasaran lokal dalam lingkup
pemenuhan kebutuhan konsumsi ikan di masing-masing wilayah kabupaten, lokasi PPPPI memiliki akses yang cukup baik. Untuk pemasaran lokal antar
daerah, beberapa lokasi memiliki akses yang kurang. Sementara itu untuk pemasaran ekspor, banyak lokasi PPPPI di Selatan Jawa kurang mendukung.
Industri pengolahan dan eksportir di PPS Cilacap cukup banyak, di PPN Palabuhanratu dan PPN Prigi masih terbatas. Industri pengolahan yang ada,
sebagian besar adalah industri pengolahan tradisional seperti ikan asin, pindang, kerupuk ikan dan terasi. Industri pengolahan ikan di PPP Cilautereun, PPI Pasir,
PPI Sadeng, PPI Tamperan dan PPP Pondokdadap masih sangat terbatas. Industri pengolahan juga masih berupa pengolahan ikan tradisional, dengan skala usaha
yang masih kecil. Eksportir di PPP dan PPI tersebut tidak ada, hanya pada saat musim ikan tertentu seperti musim layur, bawal putih dan lobster, eksportir yang
berada di daerah lain akan datang ke lokasi tersebut. Eksportir akan membawa produk yang dibeli ke daerah lain seperti Cilacap, Semarang dan Surabaya untuk
diekspor. Biasanya pada saat musim ikan, harga komoditas ikan yang berkualitas ekspor dapat lebih tinggi dibandingkan pada saat tidak musim ikan.
Hasil analisis terhadap keterkaitan dengan fishing ground adalah tingkat daya tarik PPPPI bagi pendaratan kapal, sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan
oleh usaha penangkapan ikan Lampiran 40. Hasil analisis menunjukkan bahwa, semua PPPPI yang ada di Selatan Jawa memenuhi kriteria 60-90 untuk
mendukung pengembangan perikanan pantai di wilayahnya masing-masing. Hasil analisis menyatakan bahwa PPS Cilacap, PPN Palabuhanratu, PPN Prigi dan PPP
Pondokdadap memiliki tingkat keterkaitan dengan fishing ground yang tinggi. PPP Cilautereun, PPI Sadeng dan PPI Tamperan memiliki keterkaitan sedang.
240
PPI Pasir memiliki keterkaitan rendah. PPI Pasir memiliki keterkaitan yang rendah disebabkan dari seluruh kriteria yang ada, hampir semuanya memiliki nilai
yang rendah. Peningkatan daya tarik PPI Pasir untuk mendaratkan kapalnya di lokasi tersebut, memerlukan upaya yang besar.
Beberapa PPI perlu peningkatan fasilitas perairan maupun fasilitas daratnya. Permasalahan pendangkalan pada kolam pelabuhan, merupakan permasalahan
yang umum terjadi pada sebagian besar lokasi PPPPI yang ada. Pendangkalan kolam pelabuhan akan menyebabkan kapal kesulitan untuk melakukan pendaratan
di PPPPI tersebut. Pembangunan fasilitas darmaga permanen, khususnya di PPP Pondokdadap akan dapat meningkatkan aktivitas kegiatan perikanan di PPP
tersebut. Penyediaan fasilitas kebutuhan melaut, seperti BBM, es dan perbekalan makanan, menjadi faktor kunci untuk meningkatkan daya tarik PPPPPI,
khususnya untuk PPP Cilautereun, PPI Pasir, PPI Sadeng dan PPI Tamperan.
2 Subsistem teknis
Analisis teknis pelabuhan dimaksudkan untuk melihat secara teknis kemungkinan pengembangan pelabuhan, dilihat dari aspek wilayah perairan dan
daratan yang dimiliki. Fasilitas perairan meliputi bentuk topografi lokasi pelabuhan. Fasilitas darat meliputi kebutuhan luasan lahan minimal dan
ketersediaan sumber air tawar. Bentuk topografi wilayah perairan yang tepat untuk dibangun sebuah
pelabuhan perikanan adalah suatu lokasi yang terlindung secara alami, baik berupa lokasi yang menjorok ke darat, sebuah teluk atau suatu lokasi yang
terlindung pulau. Lokasi yang paling baik adalah PPS Cilacap, yang terlindung secara alami oleh keberadaan P. Nusakambangan. PPN Palabuhanratu cukup
baik, yaitu berupa di daerah teluk yang luas sehingga hempasan gelombang kurang begitu terasa. PPN Prigi juga cukup baik, yaitu berada di Teluk Prigi. PPI
Sadeng, PPP Pondokdadap, PPI Pasir dan PPI Tamperan, lokasinya tidak cukup terlindung dan memerlukan biaya besar untuk pembangunan breakwater. Lokasi
PPP Cilautereun cukup terlindung, namun lokasinya yang berada di muara sungai sangat rentan dengan pengendapan.
241
Luas lahan darat di PPS Cilacap, PPN Palabuhanratu, PPN Prigi, PPP Cilautereun dan PPI Tamperan cukup tersedia untuk kegiatan industri. Sementara
itu ketersediaan lahan darat untuk kegiatan industri di PPI Pasir, PPI Sadeng dan PPP Pondokdadap sangat terbatas. Lahan berupa dataran di ketiga lokasi tersebut
sangat sempit, sebagian besar berupa perbukitan. Ketersediaan sumber air tawar di semua lokasi PPPPI cukup baik. Sumber air cukup melimpah dan tidak payau.
Hasil analisis teknis disajikan pada Lampiran 41. Hasil analisis menyatakan PPS Cilacap, PPN Palabuhanratu, PPN Prigi, PPP Cilautereun, PPP Pondokdadap,
dan PPI Sadeng memenuhi kriteria teknis tinggi sekitar 85 untuk pendaratan kapal. Lokasi PPI Tamperan memiliki kelayakan teknis sedang sekitar 60 dan
PPI Pasir memiliki kelayakan teknis rendah sekitar 15. Tingginya tingkat pengendapan di PPI Pasir dan PPI Tamperan, menjadikan fasilitas kolam
pelabuhan dan darmaga yang dibangun tidak berfungsi. Lokasi PPI dengan potensi pengendapan tinggi, luas lahan darat sempit dan beberapa keterbatasan
lainnya, menjadikan PPI Pasir memiliki tingkat kelayakan teknis yang rendah.
3 Analisis keterkaitan pasar
Analisis keterkaitan pasar dilakukan untuk menentukan tingkat aksesibilitas PPPPI dan analisis bangkitan pergerakan untuk menentukan peluang peningkatan
aksesibilitas suatu lokasi PPPPI. Model meliputi penilaian terhadap kondisi aksesibilitas saat ini, dengan input model terdiri atas jarak, waktu, biaya,
prasarana jalan, sarana transportasi dan hambatan perjalanan Lampiran 42. Tingkat aksesibilitas lokasi menuju tempat-tempat tujuan pasar, baik pasar
lokal, antar daerah maupun ekspor menunjukkan bahwa PPI Pasir dan PPI Sadeng memiliki tingkat aksesibilitas yang rendah. PPN Prigi, PPI Tamperan, PPP
Cilautereun dan PPP Pondokdadap memiliki aksesibilitas sedang. PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu memiliki tingkat aksesibilitas yang tinggi Lampiran 43.
Pemasaran lokal kabupaten, antar kota dan ekspor untuk produk perikanan dari PPS Cilacap sangat baik. Keberadaan lokasi PPS yang sangat mudah
dijangkau, ditunjang dengan jumlah penduduk yang cukup banyak di sekitar lokasi dan berkembangnya sektor lain seperti pariwisata, perdagangan dan industri
menjadikan potensi pasar untuk produk perikanan di Cilacap sangat baik.
242
Sementara itu untuk lokasi PPN Palabuhanratu dan PPN Prigi, untuk pemasaran antar daerah dan ekspor sedikit mengalami hambatan yaitu dari akses sarana dan
prasarana transportasi. Lokasi PPN Palabuhanratu dan PPN Prigi harus melewati daerah pegunungan dan perbukitan. Kondisi ini cukup menyulitkan untuk dilewati
kendaraan berjenis container, walaupun prasarana jalan sudah dibangun dan cukup memadai untuk dilewati kendaraan kecil. Lokasi PPP Cilautereun, PPI
Pasir, PPI Sadeng dan PPP Pondokdadap, untuk pemasaran antar daerah masih cukup terisolir. Lokasi PPPPPI dapat dicapai dengan terlebih dahulu melewati
daerah pegunungan dan perbukitan, sementara itu prasarana jalan yang ada cukup sempit. Lokasi PPI Tamperan, walaupun berada di pusat kota kabupaten namun
lokasi Kota Kabupaten Pacitan cukup sulit dijangkau. Ibukota Kabupaten Pacitan dapat dijangkau dari arah timur atau arah barat. Arah barat dari Kota Yogyakarta
atau Surakarta, melewati Kabupaten Wonogiri. Prasarana jalan cukup bagus dan lebar, namun pada beberapa lokasi harus melewati daerah pegunungan yang
berkelok dan terjal. Perjalanan dari arah timur, melalui Kota Trenggalek atau Ponorogo. Kondisi prasarana jalan juga cukup memadai, namun pada beberapa
lokasi juga harus melewati daerah pegunungan yang berliku-liku. Waktu tempuh baik dari arah timur maupun barat hampir sama, yaitu sekitar 3-4 jam.
Model bangkitan pergerakan digunakan untuk mengkaji kemungkinan peluang bangkitan pergerakan dari suatu zona lokasi pelabuhan perikanan di masa
datang. Faktor-faktor yang dapat menimbulkan bangkitan pergerakan yaitu tata guna lahan, jumlah penduduk, keberadaan dan perkembangan sektor perikanan,
sektor industri, sektor pariwisata, sektor perdagangan dan keberadaan pusat pemerintahan Lampiran 44.
Suatu lokasi tidak selamanya akan terisolir dari daerah lain di sekitarnya. Pembangunan prasarana jalan atau perubahan tata guna lahan, akan dapat
mengubah daerah yang dulunya terisolir menjadi daerah yang mudah diakses. Pembuatan prasarana jalan dan perubahan tata guna lahan dapat membuka
peluang bangkitan pergerakan orang maupun barang ke lokasi tersebut. Hasil analisis peluang bangkitan pergerakan menunjukkan bahwa zona
lokasi dari PPPPI yang ada di Selatan Jawa memiliki peluang bangkitan pergerakan yang tinggi di masa datang. Pembangunan prasarana jalan yaitu jalur
243
Lintas Selatan Jawa, yang menghubungkan daerah-daerah di Selatan Jawa mulai dari Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Provinsi Jawa
Timur akan dapat membuka keterisoliran daerah-daerah, khususnya pusat-pusat pendaratan ikan di Pantai Selatan Jawa Lampiran 45.
4 Analisis keseluruhan subsistem PELABUHAN
Hasil analisis keterkaitan dengan fishing ground, aspek lokasi pelabuhan dan keterkaitan dengan pasar, menunjukkan bahwa semua PPPPI yang ada di Selatan
Jawa memenuhi syarat 70-90 untuk mendukung perkembangan perikanan pantai di masing-masing wilayah kabupaten, kecuali PPI Pasir. Pelabuhan
perikanan yang berstatus PPN dan PPS, yaitu PPN Palabuhanratu, PPN Prigi dan PPS Cilacap telah cukup baik untuk mendukung pengembangan perikanan pantai.
Pada pelabuhan perikanan yang berstatus PPP dan PPI masih diperlukan penambahan fasilitas dan peningkatan pelayanannya Lampiran 46.
Kelemahan utama dari pelabuhan perikanan yang masih berstatus PPP dan PPI untuk mendukung pengembangan perikanan pantai adalah pada kualitas dan
kuantitas sumberdaya pengelola pelabuhan perikanan yang masih terbatas. Lokasi yang cukup terisolir dengan fasilitas hidup yang terbatas, menjadikan staf
pengelola yang ditugaskan di lokasi PPPPPI jarang berada di tempat. Mereka pada umumnya tinggal di daerah lain, dengan jarak yang jauh dari lokasi PPPPPI.
3 Analisis Subsistem LEMBAGA
Analisis subsistem kebijakan dan kelembagaan dimaksudkan untuk dapat melihat peran dari kebijakan dan kelembagaan yang ada, dalam mendukung
kegiatan usaha perikanan. Kebijakan terkait dengan berbagai peraturan ataupun perundang-undangan yang telah dibuat pemerintah, baik di tingkat pusat maupun
daerah. Analisis kelembagaan terkait dengan keberadaan dan peran dari lembaga atau institusi yang terlibat dalam kegiatan perikanan.
1 Analisis kebijakan
Code of Conduct for Responsible Fisheries telah menjabarkan dengan jelas prinsip-prinsip umum dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan yang
244
bertanggungjawab. Prinsip umum tersebut merupakan acuan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, baik di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten.
Kebijakan untuk pengelolaan perikanan pantai pada beberapa kabupaten belum banyak dibuat. Pada tahun-tahun lalu, sektor perikanan laut belum menjadi
prioritas pembangunan dari beberapa kabupaten. Beberapa kabupaten di Selatan Jawa, baru memberikan prioritas pembangunan di sektor perikanan laut setelah
diberlakukannya UU 221999 yang diperbaharui 312004 yaitu terkait dengan otonomi daerah. Pada tingkat nasional, peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan pengelolaan perikanan, usaha perikanan, perizinan usaha perikanan dan pungutan perikanan telah dibuat, seperti telah disebutkan pada Bab 5.3.1.
Pada Bab 5.3.1 telah dideskripsikan bahwa, Peraturan Pemerintah 382007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi dan Pemerintah Daerah KabupatenKota telah dengan jelas menjabarkan pembagian tugas dan wewenang antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah
Provinsi dan KabupatenKota dalam bidang perikanan. Tugas dan kewenangan dibedakan kedalam 6 subbidang yaitu subbidang kelautan, umum, perikanan
tangkap, pengawasan dan pengendalian, pengolahan dan pemasaran, serta subbidang penyuluhan dan pendidikan. Tugas dan kewenangan pemerintah secara
umum adalah pada penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pelaksanaan tugas dan wewenang, sementara tugas dan kewenangan pemerintah
provinsi dan kabupatenkota lebih pada pelaksanaan kebijakan. Pada subbidang kelautan, dijabarkan 30 butir urusan kewenangan. Pada subbidang perikanan
tangkap dijabarkan 24 butir urusan kewenangan. Secara umum butir-butir kewenangan tersebut telah dibuatkan peraturan
norma atau kebijakannya oleh pemerintah pusat dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau Keputusan Presiden maupun Peraturan Menteri atau Keputusan
Menteri. Namun pada level bawah, yaitu pada tingkat provinsi dan kabupatenkota belum secara terinci diatur pelaksanaannya. Provinsi dan kabupatenkota baru
membuat peraturan dalam jumlah yang terbatas. Beberapa kebijakan atau peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh provinsi dan kabupatenkota,
khususnya lebih terkait dengan pemasukan daerah yaitu seperti peraturan mengenai pelelangan ikan dan perizinan usaha perikanan.
245
Tabel 30 Analisis pendekatan kerangka hukum legal framework pada perikanan pantai
No. Kriteria Penilaian
1 Struktur hukum
legal structure
Peraturan perundang-undangan yang ada di level atas, belum sepenuhnya diterjemahkan dalam peraturan
kebijakan pelaksanaan pada level bawah yaitu di tingkat provinsi dan kabupatenkota. Berbagai kendala
menjadi faktor penghambat untuk dibuatnya peraturan atau kebijakan di bidang perikanan. Kendala tersebut
diantaranya terkait dengan keterbatasan sumberdaya manusia, banyaknya persoalan yang harus ditangani
dan mahalnya cost waktu, tenaga, pikiran dan biaya untuk membuat kebijakan.
2 Mandat hukum
legal mandate
Mandat hukum biasanya telah jelas diberikan kepada siapa, namun dalam pelaksanaannya di lapangan sering
tidak sejalan dengan apa yang seharusnya. Mandat hukum diberikan kepada seseorang berkaitan dengan
jabatannya. Dalam kenyataannya, berganti pejabat akan berganti kebijakan. Kepentingan pribadi akan lebih
mendominasi dalam pelaksanaan peraturan dan kebijakan.
3 Penegakan hukum legal
enforcement
Telah umum diketahui bahwa penegakan hukum terhadap peraturan-peraturan yang ada di Indonesia
masih sangat lemah. Peraturan atau kebijakan belum ditegakkan untuk seluruh lapisan masyarakat, sarat
dengan berbagai pengaruh kepentingan.
Sumber: olahan data
Tabel 30 memperlihatkan bahwa hasil analisis pendekatan kerangka hukum legal framework terhadap kebijakan atau peraturan perundang-undangan untuk
mengatur kegiatan perikanan pantai, belum menunjukkan hal yang positif. Kebijakan ataupun peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah
daerah provinsi maupun kabupaten, belum dapat mengakomodir wewenang yang didesentralisasikan pemerintah pusat kepada daerah di bidang perikanan.
2 Analisis kelembagaan
Analisis dilakukan melalui pendekatan kerangka kelembagaan institutional framework. Pendekatan kerangka kelembagaan adalah untuk
melihat kinerja dari kelembagaan yang ada. Mandat hukum diberikan kepada lembaga, baik lembaga pemerintah, swasta maupun masyarakat untuk
melaksanakan kegiatan berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan.
246
Kinerja dari suatu kelembagan dapat dilihat melalui beberapa indikator, yaitu berdasarkan pendekatan aspek politik, sosial budaya, ekonomi, hukum dan
teknologi. Kinerja dari kelembagaan perikanan pantai yang ada seperti terlihat pada Tabel 31.
Tabel 31 Penilaian kinerja kelembagaan perikanan pantai di Selatan Jawa
No. Kriteria Penilaian 1 Politik
Kelembagaan perikanan seharusnya memiliki bargaining yang kuat dalam penentuan kebijakan-kebijakan perikanan di
tingkat lokal maupun nasional, namun hal ini belum terjadi.
2 Sosial Budaya
Seharusnya kelembagaan perikanan dapat menumbuhkan kebanggaan pada jati diri dan budaya bangsa yang bernilai
luhur yang telah berakar kuat pada adat tradisi masyarakat. Kelembagaan perikanan diharapkan dapat menumbuhkan jiwa
sosial masyarakat yang kuat, bersinergi diantara stakeholder perikanan dan menjauhkan konflik. Namun pada saat ini,
peran tersebut belum dapat difungsikan dengan baik.
3 Ekonomi
Kelembagaan perikanan diharapkan secara nyata memberikan kontribusi ekonomi bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat nelayan khususnya, dan masyarakat sekitar secara umum. Kenyataan yang ada, seperti keberadaan KUD dan
kelembagaan ekonomi nelayan lainnya, justru lebih mementingkan kesejahteraan pengurus atau kepentingan
segelintir orang saja.
4 Hukum
kelembagaan perikanan memperoleh mandat yang jelas dari hukumperaturan yang ada , baik tata kelembagaan, kerangka kerja
maupun kapasitas kelembagaanya. Hal ini terkait dengan aspek legal serta pengaturan operasional dan teknis, dengan tugas pokok
dan fungsi tupoksi yang jelas.
5 Teknologi
kelembagaan diharapkan tanggap terhadap dinamika perubahan teknologi untuk dapat mengembangkan perikanan
secara produktif, efisien, berkualitas dan aman. Pada kenyataannya, adopsi teknologi di daerah belum begitu baik.
Keterbatasan penguasaan SDM perikanan terhadap IPTEKS perikanan masih rendah, sehingga kemampuan untuk
mengembangkan perikanan secara produktif, efisien dan aman belum optimal.
Sumber: olahan data
Kelembagaan perikanan, khususnya kelembagaan Dinas Perikanan masih belum berperan optimal dalam pengembangan perikanan daerah. Sebagian besar
Dinas Perikanan Kabupaten, bergabung dengan dinas dari sektor lain seperti sektor pertanian tanaman pangan, perkebunan dan peternakan. Kondisi ini
menjadikan porsi anggaran untuk pembangunan perikanan laut masih kecil.
247
Demikian juga dengan peran kelembagaan perikanan yang lain, seperti KUD dan HNSI, juga belum memberikan peran yang nyata bagi pengembangan perikanan.
Kelembagaan masyarakat nelayan seperti Kelompok Usaha Bersama KUB dan kelompok-kelompok nelayan lainnya, baik yang bersifat ekonomi maupun
sosial perlu dikembangkan untuk dapat memberdayakan nelayan. Kelompok- kelompok nelayan seperti Rukun Nelayan terlihat lebih efektif dalam
menggerakkan potensi masyarakat untuk pembangunan perikanan.
7.4.2 Permodelan Sistem Perikanan Pantai