319
9.2 Kebijakan Strategis Pengembangan Perikanan Berbasis Kewilayahan
Hasil penelitian merekomendasikan, untuk pengembangan perikanan di Selatan Jawa, tidak dapat dilakukan secara seragam antar wilayah yang satu
dengan wilayah lain. Kondisi karakteristik wilayah yang berbeda, menghendaki penanganan dan kebijakan pengembangan perikanan yang berbeda. Model
pengembangan perikanan lepas pantai dan pengembangan perikanan pantai, secara umum lebih banyak perbedaan dari pada persamaannya. Persamaan yang
prinsip dari kedua model adalah, melakukan perbaikan dan peningkatan dari kondisi sistem yang ada saat ini.
Perbedaan utama pada submodel USAHA, adalah pada skala usaha dan jenis usaha. Skala usaha pada pengembangan perikanan lepas pantai, adalah usaha
skala besar atau skala industri. Sementara itu, pada perikanan pantai adalah usaha skala kecil dan menengah. Jenis usaha pada perikanan lepas pantai, dikhususkan
pada perikanan tuna longline. Jenis usaha pada perikanan pantai, diperuntukkan sesuai dengan jenis ikan unggulan masing-masing kabupaten, seperti usaha
cakalang dengan gillnet multifilament, cakalang dengan pancing tonda, atau usaha perikanan udang dengan menggunakan trammel net.
Pada submodel PELABUHAN terdapat perbedaan, yaitu pelabuhan yang dapat mendukung perkembangan perikanan lepas pantai hanya PPS Cilacap dan
PPN Pelabuhanratu. Pada pengembangan perikanan pantai, secara umum semua PPPPI yang dikaji memenuhi syarat untuk mendukung pengembangan perikanan
pantai di wilayahnya. Walaupun, semua PPPPI diharuskan untuk dapat meningkatkan fasilitas kepelabuhanan dan pelayanannya.
Perbedaan utama pada submodel LEMBAGA adalah, diperlukannya pembentukan kelembagaan terpadu untuk melakukan pengelolaan perikanan lepas
pantai di Selatan Jawa. Pengembangan perikanan lepas pantai harus dikelola secara terintegrasi oleh pemerintah pusat. Pada pengembangan perikanan pantai,
wewenang pengelolaan berada di pemerintah provinsi atau kabupaten. Berkembangnya kegiatan usaha perikanan, akan membentuk pusat kegiatan
perikanan sentra industri Kuncoro 2002; Porter 1998, 2000 diacu dalam Sahubawa 2006. Pengembangan perikanan tuna termasuk dalam pola Satellite
Flat Form. Pengembangan perikanan tuna perlu mendatangkan investor bermodal
320
kuat dari luar daerah. Dalam hal ini, dapat menarik pengusaha tuna yang telah berhasil mengembangkan usahanya di PPS Nizam Zachman Jakarta atau Benoa
Bali. Perdagangan tuna, tujuan utamanya adalah untuk ekspor. Kerjasama perlu dilakukan dengan negara tujuan ekspor. Peran pemerintah sangat diperlukan
dalam menjalin kerjasama dan diplomasi perdagangan dengan negara importir, khususnya dalam mengatasi hambatan teknis dalam perdagangan ekspor tuna.
Pengembangan perikanan pantai membentuk pola Marshalian. Skala usaha yang dikembangkan adalah skala kecil dan menengah. Penguatan modal dapat
dilakukan melalui pembentukan kelompok-kelompok nelayan atau koperasi, sehingga akses terhadap permodalan akan lebih mudah dilakukan. Penjualan
produk dapat difokuskan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi lokal, dalam bentuk ikan segar maupun produk-produk olahan.
Kebijakan strategis pertama pengembangan perikanan lepas pantai adalah membangun sistem usaha perikanan untuk optimalisasi pemanfaatan sumberdaya
dan pemenuhan pasar ekspor. Sistem yang dibangun adalah usaha skala industri, dengan jaminan produk berkualitas ekspor. Tingginya biaya produksi, perlu
diatasi dengan penurunan biaya produksi dan peningkatan akses ke pasar ekspor. Kebijakan strategis pertama perlu didukung dengan kebijakan strategis
kedua dan ketiga yaitu peningkatan sarana, dan prasarana produksi bermutu tinggi, sehingga jaminan kualitas tuna berstandar ekspor dapat terpenuhi.
Penerapan good manufacturing practices GMP dan sanitation system operational procedur SSOP sebagai persyaratan awal standar kualitas produk
perikanan perlu diterapkan, baik di kapal maupun di pelabuhan perikanan. Kebijakan strategis keempat, kelima dan ketujuh pada pengembangan
perikanan lepas pantai, berkaitan dengan peran kebijakan dan kelembagaan perikanan serta koordinasi antar sektor dan antar daerah dalam pengelolaan dan
pengembangan perikanan. Model merekomendasikan untuk dibentuk lembaga pengelolaan terintegrasi. Dalam melakukan perannya, kelembagaan perikanan
tersebut harus dapat memfungsikan seluruh komponen yang ada dalam struktur kelembagaannya. Setiap masukan kebijakan yang diberikan kepada pemerintah,
haruslah didasarkan pada data dan informasi ilmiah untuk menjawab permasalahan yang ada. Masukan kebijakan diantaranya terkait dengan penentuan
321
kuota dan perizinan, pembuatan kebijakan yang mendukung usaha, penentuan pembagian share manfaat pengelolan sumberdaya, dan lain sebagainya.
Kebijakan strategis keenam dan kedelapan berkaitan dengan diplomasi luar negeri Indonesia dalam perdagangan ekspor tuna. Banyaknya permasalahan yang
dihadapi oleh pengusaha tuna, diantaranya terkait dengan hambatan ekspor, berupa hambatan teknis technical barrier, ancaman embargo, pelarangan produk
southern bluefin tuna dari Indonesia, dan lain sebagainya, menghendaki Indonesia untuk dapat bekerjasama dalam organisasi pengelolaan tuna dunia. Sesuai dengan
Pasal 64 UNCLOS 1982, Indonesia berkewajiban bekerjasama secara langsung atau melalui beberapa organisasi internasional untuk menjamin konservasi dan
melakukan promosi terhadap pemanfaatan optimum. Pada pengembangan perikanan pantai, kebijakan strategis pertama yang
diperlukan adalah membangun sistem usaha perikanan pantai, dalam rangka pemanfaatan sumberdaya secara optimal dan pemenuhan konsumsi ikan
penduduk. Usaha perikanan yang dibangun adalah dalam skala kecil atau skala menengah. Usaha bersifat multigear dan multispesies. Pengembangan perikanan
pantai lebih difokuskan untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi penduduk, baik disekitar lokasi basis penangkapan maupun ke luar daerah.
Kebijakan strategis pertama, perlu didukung dengan kebijakan strategis kedua, yaitu peningkatan teknologi penangkapan ikan dan peningkatan kualitas
SDM nelayan. Rendahnya teknologi yang digunakan, menyebabkan fishing ground yang dapat dijangkau berada terbatas di perairan dekat pantai. Keadaan
ini menyebabkan, potensi sumberdaya ikan di sekitar pantai sudah mengalami tangkap penuh fully exploited. Untuk keberlanjutan usaha, penting untuk
memperhatikan potensi sumberdaya ikan yang ada. Pengembangan perikanan pantai khususnya pada usaha skala kecil, perlu ditingkatkan pada skala usaha yang
lebih besar sehingga dapat menjangkau fishing ground yang lebih jauh dari pantai. Kebijakan strategis ketiga, meningkatkan fungsionalitas pelabuhan melalui
peningkatan fasilitas dan pelayanan. Pelabuhan perikanan yang masih berstatus PPP dan PPI, masih memerlukan pengembangan fasilitas kepelabuhanan dan
meningkatkan pelayanan. Beberapa fasilitas kepelabuhanan yang sudah dibangun di beberapa PPPPPI, ternyata tidak dapat difungsikan secara optimal. Hal ini
322
diantaranya terkait dengan terbatasnya SDM pengelola PPPPPI. Pada Bab terdahulu sudah dinyatakan bahwa, peningkatan kualitas dan kuantitas SDM
pengelola pelabuhan perikanan di PPPPPI perlu diupayakan oleh pemerintah. Sudah saatnya sebuah PPPPPI dikelola oleh SDM perikanan yang cukup, baik
dari segi jumlah maupun kualitasnya. Lulusan dari perguruan tinggi bidang perikanan, khususnya dari Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
atau Ilmu dan Teknologi Kelautan dapat dimanfaatkan untuk mengisi kekurangan kualitas dan kuantitas SDM di pelabuhan perikanan berstatus PPPPPI tersebut.
Kebijakan strategis berikutnya adalah, penanaman kesadaran akan pentingnya penanganan ikan untuk menjaga mutu ikan tetap baik. Kualitas ikan
yang baik, akan dapat terjual dengan harga cukup tinggi. Saat ini, kesadaran nelayan untuk menjaga mutu ikan masih cukup rendah. Hal ini terkait dengan
pemahaman, menjaga mutu berarti harus mengeluarkan biaya untuk pembelian es. Penyuluhan kepada nelayan akan pentingnya menjaga mutu ikan, perlu dilakukan.
Penyuluhan dilakukan dengan memberikan pengertian, biaya untuk pembelian es dapat tertutup dengan harga ikan yang tinggi, jika ikan berkualitas baik.
Pengembangan diversifikasi produk olahan ikan perlu dilakukan, dalam rangka meningkatkan minat penduduk untuk mengkonsumsi ikan. Pengembangan
diversifikasi produk juga dapat membuka kesempatan kerja baru bagi nelayan dan keluarganya, manfaat berikutnya adalah peningkatan pendapatan keluarga
nelayan. Usaha tersebut juga akan memudahkan dalam akses permodalan. Peningkatan fungsi dan peran dari kebijakan dan kelembagaan di tingkat
kabupaten, sangat diperlukan untuk dapat mendukung perkembangan perikanan. Model merekomendasikan perlunya penguatan kelembagaan perikanan.
Untuk dapat menerapkan model dengan baik, ada tujuh elemen sistem yang perlu diperhatikan, yaitu 1 sektor masyarakat yang terpengaruh, 2 kebutuhan
untuk terlaksananya program, 3 kendala utama program, 4 tujuan utama program, 5 tolok ukur keberhasilan program, 6 aktivitas yang diperlukan untuk
terselenggaranya program dan 7 lembaga yang terlibat. Keberhasilan program pengembangan, perlu lebih memprioritaskan atau menekankan pada subelemen
yang menjadi elemen kunci. Elemen kunci tersebut akan mampu menggerakkan subelemen lainnya di dalam sistem, untuk keberhasilan program.
323
Pada matriks driver power-dependence, dapat dilihat subelemen-subelemen didalam sistem yang memiliki ketergantungan kuat. Dalam hal ini dapat diartikan
bahwa subelemen-subelemen tersebut bersifat sangat labil, atau mudah terjadi perubahan oleh pengaruh perubahan pada subelemen yang lain. Subelemen-
subelemen sistem juga memiliki daya dorong yang bisa bersifat kuat atau lemah untuk mendorong keberhasilan sistem Eriyatno 2003; Marimin 2004.
Keberhasilan program, penting untuk lebih memprioritaskan subelemen- subelemen di sektor III, yaitu subelemen yang memiliki ketergantungan kuat
kedalam sistem dan memiliki daya dorong kuat untuk keberhasilan program. Perhatian juga perlu diberikan pada subelemen yang berada di sektor IV, dengan
pertimbangan subelemen di sektor ini merupakan variabel bebas yang dapat mempengaruhi subelemen lainnya, serta memiliki daya dorong yang kuat untuk
keberhasilan program. Subelemen-subelemen yang menjadi elemen kunci pada sektor masyarakat
yang terpengaruh dari program pengembangan perikanan di Selatan Jawa, berbeda untuk pengembangan perikanan lepas pantai dan pengembangan perikanan pantai.
Pada pengembangan perikanan lepas pantai, pemilik kapalpengusaha perikanan tuna merupakan elemen kunci. Sementara itu pada pengembangan perikanan
pantai, subelemen yang menjadi elemen kunci adalah nelayan. Hal di atas dapat dipahami, karena pada perikanan lepas pantai, modal yang
harus dikeluarkan untuk biaya operasional pada perikanan tuna sangatlah tinggi. Ketidakmampuan pengusaha untuk melakukan trip operasi, misalnya karena
kenaikan BBM, akan melumpuhkan subelemen-subelemen yang lain. Dalam hal ini, contohnya adalah banyak ABK yang akan menganggur, industri pengolahan
tuna kekurangan suplai bahan baku, buruh di pelabuhan akan menganggur, eksportir tuna kekurangan produk tuna untuk diekspor dan lain sebagainya.
Pada perikanan pantai, nelayan menjadi elemen kunci. Hal ini disebabkan, sebagian besar nelayan berperan juga sebagai pemilik kapal. Nelayan yang
menentukan dilakukan atau tidaknya operasi penangkapan ikan, karena faktor ketidakadaan modal atau lainnya. Ketidakberlangsungan operasi penangkapan
ikan, akan berdampak pada subelemen lain. Misalnya adalah, bakul tidak dapat membeli produk, pengolah ikan kekurangan bahan baku, dan lain sebagainya.
324
Matriks driver power-dependence untuk subelemen masyarakat yang
terpengaruh dari program pengembangan perikanan lepas pantai menyatakan, nelayan penangkap umpan, penyedia perbekalan, industri pengolahan tuna,
industri jasa transportasi, pedagangpengumpul, dan eksportir berada di sektor III. Sementara itu untuk pengembangan perikanan pantai, subelemen yang berada di
sektor III adalah penyedia perbekalan, pengusaha transportasi, buruh pelabuhan dan masyarakat sekitar pelabuhan. Pada pengembangan perikanan pantai, buruh
pelabuhan dan masyarakat sekitar pelabuhan akan lebih merasakan dampak dari pengembangan perikanan pantai dari pada pengembangan perikanan lepas pantai.
Ketersediaan sumberdaya ikan dan ketersediaan data dan informasi merupakan elemen kunci dari kebutuhan untuk terlaksananya program, baik pada
pengembangan perikanan lepas pantai maupun pada pengembangan perikanan pantai. Informasi mengenai ketersediaan atau jumlah stok ikan, merupakan
landasan dasar bagi upaya pemanfaatan sumberdaya berkelanjutan. Informasi mengenai hal tersebut saat ini belum tersedia dengan baik, diperlukan upaya
berkelanjutan untuk dapat melakukan kajian sumberdaya ikan dengan baik. Berdasarkan hasil plot subelemen dalam matriks driver power-dependence
subelemen terdistribusi sebagian besar di sektor III, baik untuk pengembangan perikanan lepas pantai maupun perikanan pantai. Hal ini menunjukkan, sebagian
besar subelemen dari kebutuhan program harus terpenuhi, jika salah satu diabaikan akan memberikan dampak yang kuat pada ketidakberhasilan program.
Harga BBM yang tinggi, prioritas dana pembangunan yang masih rendah serta kemampuan permodalan terbatas, merupakan elemen kunci dari kendala
utama program. Pada model pengembangan perikanan pantai, harga BBM yang tinggi dan modal dana pembangunan yang rendah, juga merupakan kendala utama
program. Harga BBM yang tidak memihak kepada usaha perikanan, merupakan faktor penting yang menjadi kendala bagi pengembangan perikanan. Pada
perikanan industri seperti halnya pada perikanan tuna, biaya BBM sekitar 30 dari keseluruhan kebutuhan operasional usaha. Adanya kenaikan harga BBM pada
Oktober 2005, telah meningkatkan biaya BBM menjadi sekitar 50 dari total kebutuhan usaha. Kenaikan harga BBM, menyebabkan pengusaha menghadapi
permasalahan yang berat dan kesulitan untuk beroperasi Nalendra 2007.
325
Pengembangan perikanan lepas pantai dan pengembangan perikanan pantai memiliki tujuan utama yang sama. Pengembangan perikanan ditujukan untuk
pemanfaatan sumberdaya dengan baik, serta memberikan manfaat yang besar bagi pelaku usaha dan peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor perikanan. Hal
ini searah dengan pernyataan Dahuri 2003 yang menyatakan, kebijakan dan program yang berkaitan dengan optimalisasi antara ketersediaan sumberdaya ikan
dengan tingkat penangkapan pada setiap wilayah sangat penting, untuk menjamin usaha perikanan yang efisien menguntungkan, profitable secara berkelanjutan.
Tujuan program peningkatan keuntungan usaha, pendapatan dan kesejahteraan nelayan, kesempatan kerja, fungsionalitas pelabuhan perikanan,
aksesibilitas, peningkatan PADdevisa dan peningkatan perekonomian daerah berada di sektor III. Pada perikanan pantai, juga menempatkan subelemen-
subelemen yang hampir sama, subelemen tersebut memiliki ketergantungan kuat dan daya dorong tinggi terhadap keberhasilan program.
Subelemen dari tolok ukur keberhasilan program pada pengembangan perikanan lepas pantai, hampir seluruhnya merupakan elemen kunci, kecuali
terbentuknya kelembagaan pengelolaan terpadu perikanan tuna dan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan. Pada perikanan pantai, peningkatan peran
kelembagaan merupakan elemen kunci sebagai tolok ukur keberhasilan program. Peningkatan peran dari kelembagaan yang sudah ada seperti HNSI, KUD ataupun
kelompok nelayan, penting untuk dapat memberdayakan nelayan. Wiyono dalam Sondita dan Solihin 2006 menyatakan, di negara yang perikanannya maju,
koperasi berperan sangat sentral dalam kegiatan perikanan, sehingga kehidupan nelayan bisa meningkat dan sumberdaya ikan terkendali.
Matriks driver power-dependence dari elemen tolok ukur keberhasilan program memplot semua subelemen kedalam sektor III pada pengembangan
perikanan lepas pantai, dan hampir semua subelemen kecuali meningkatnya peran kelembagaan pada pengembangan perikanan pantai. Hal ini menyatakan, semua
subelemen memiliki ketergantungan yang kuat di dalam sistem dan memiliki daya dorong tinggi untuk keberhasilan program. Tidak terpenuhinya satu subelemen
dari tolak ukur keberhasilan program, akan memiliki dampak yang besar bagi tidak terpenuhinya subelemen tolok ukur keberhasilan program yang lainnya.
326
Aktivitas pembuatan rencana kerja untuk pengelolaan sumberdaya tuna merupakan elemen kunci. Pada perikanan pantai, koordinasi antar sektor yang
terlibat dalam program pengembangan dan meningkatkan peran kelembagaan perikanan merupakan elemen kunci. Koordinasi antar sektor pembangunan sangat
penting untuk pengembangan perikanan. Dahuri 2003 menyatakan, lemahnya koordinasi antar sektor yang terlibat dalam pembangunan perikanan, menjadi
salah satu sebab bidang perikanan tidak tumbuh dan berkembang secara optimal. Pendidikan dan pelatihan SDM, pengembangan teknologi, penyediaan
sarana prasarana, penciptaan kondisi kondusif untuk berusaha, pengembangan akses pasar dan peningkatan akses informasi berada pada sektor III. Pada
pengembangan perikanan pantai, hampir semua subelemen berada di sektor III. Hal ini menyatakan, subelemen dari aktivitas yang diperlukan untuk terlaksananya
program, harus dapat dilaksanakan dengan baik. Tidak berjalannya aktivitas salah satu subelemen, akan berdampak besar bagi tidak berjalannya aktivitas yang lain.
Lembaga yang terlibat untuk keberhasilan program dalam pengembangan perikanan lepas pantai, menempatkan Departemen Kelautan dan Perikanan, Dinas
Perikanan Provinsi, Dinas Perikanan Kabupaten, Asosiasi Pengusaha Tuna dan Lembaga Permodalan sebagai elemen kunci. Subelemen-subelemen tersebut akan
mampu menggerakkan subelemen lainnya untuk keberhasilan program. Pada pengembangan perikanan pantai, Dinas Perikanan Kabupaten merupakan elemen
kunci. Dinas Perikanan Kabupaten, akan mampu menggerakkan subelemen lain untuk keberhasilan pengembangan perikanan pantai di wilayahnya.
Kebijakan strategis untuk penerapan model di atas memiliki nilai konsistensi yang cukup tinggi, sehingga model cukup valid untuk dapat diterapkan dalam
sistem. Nilai konsistensi dari setiap elemen secara berurut untuk pengembangan perikanan tuna dan pengembangan perikanan pantai yaitu: 1 sektor masyarakat
yang terpengaruh 93,5, 97,22 ; 2 kebutuhan untuk terlaksananya program 98,2, 91,71 ; 3 kendala utama pengembangan program 93,0, 93,83; 4
perubahan yang dimungkinkan atau tujuan dari program 97,0, 97,00; 5 tolok ukur keberhasilan program 96,3, 97,53; 6 aktivitas yang diperlukan
untuk terlaksananya program 97,0, 97,53 ; serta 7 lembaga yang terlibat untuk keberhasilan program 93,5, 96,80.
10 KESIMPULAN DAN SARAN
10.1 Kesimpulan 10.1.1 Implikasi Karakteristik Wilayah terhadap Kinerja Perikanan