118
1, 14
2, 3, 6, 7
4, 12, 16 5
8 9, 10
11, 13, 17, 18, 19
15
20 1
2 3
4 5
6 7
8 9
10 11
12 13
14 15
16 17
18 19
20 21
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Gambar 41. Matriks DP-D untuk elemen prioritas Perlu dicermati bahwa posisi elemen prioritas menumbuhkan kemampuan
mandiri dalam upaya hidup sehat berada di dekat sektor linkage, yang berarti faktor tersebut dapat berubah menjadi sektor linkage apabila faktor-faktor yang lain
mendukung subelemen tersebut.
5.2.3. Sistem Dinamik Pencegahan Berbasis Lingkungan terhadap
Penyebaran Penyakit DBD di Provinsi DKI Jakarta 5.2.3.1. Analisis Kebutuhan
Analisis kebutuhan merupakan tahap awal dalam pendekatan sistem, dan sangat menentukan kelayakan sistem yang dibangun. Dalam tahap ini, dilakukan
inventarisasi kebutuhan segenap pelaku stakeholder yang terlibat, sebagai masukan dalam model. Masing-masing pelaku memiliki kebutuhan dan pandangan
terhadap peningkatan kualitas lingkungan khususnya mengenai pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Provinsi DKI Jakarta,
dan dapat saling bertentangan. Pelaku yang terlibat adalah meliputi masyarakat yang tinggal di Jakarta, pengusaha yang terlibat dalam aktivitas perekonomian, dan
pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta seperti pada Tabel 38 berikut.
119 Tabel . 38. Elemen stakeholder dalam pengembangan model
pencegahan berbasis lingkungan di Provinsi DKI Jakarta
Stakeholder Kebutuhan Umum
1 Masyarakat • Mendapatkan manfaat dari pengelolaan lingkungan
• Dapat mewujudkan PHBS • Terjaganya kondisi kesehatan masyarakat
• Kondisi sanitasi lingkungan yang baik • Ketersediaan hunian yang layak.
2 SwastaLSM • Dapat memperoleh informasi dini pada pengelolaan
lingkungan • Dapat melakukan koordinasi pada pemberdayaan
masyarakat. • Peluang investasi budidaya tanaman anti nyamuk
3 Pemerintah • Derajat kesehatan masyarakat meningkat
• Angka kasus Incidence Rate Angka kematian Case Fatality Rate penyakit DBD turun.
• Adanya kemampuan masyarakat untuk melakukan pencegahan penyebaran penyakit DBD yang berbasis
lingkungan • Memberikan perlindungan kepada masyarakat dan
lingkungan. • Pemanfaatan sumberdaya lingkungan secara optimal.
• Kesejahteraan masyarakat • Lingkungan tidak rusak sehingga aman bagi mahluk
hidup lainnya. Kebutuhan dalam pengembangan sistem pencegahan berbasis lingkungan
terhadap penyebaran penyakit DBD di Provinsi DKI Jakarta dilakukan dengan metode Interpretatif Structural Modelling ISM berdasarkan tingkat kepentingan
faktor-faktor yang ada yang dipilah dari struktur elemen kunci berdasarkan pendapat pakar.
Dari metode tersebut didapatkan informasi mengenai faktor kunci dan tujuan strategis yang berperan dalam pencegahan berbasis lingkungan terhadap
penyebaran penyakit DBD di Provinsi DKI Jakartasebagai kebutuhan para pelaku stakeholder yang terlibat didalam pemanfaatan lingkungan tersebut baik secara
langsung maupun tidak langsung. Penentu faktor kunci dan tujuan strategis tersebut adalah sangat penting, dan sepenuhnya harus merupakan pendapat dari
pihak yang berkompeten sebagai pelaku dan ahli expert mengenai pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Provinsi DKI Jakarta..
120 Berdasarkan hasil responden seperti yang telah dibahas sebelumnya faktor-
faktor penting dalam pengembangan sistem pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Provinsi DKI Jakarta yaitu 1 Pengelolaan
sarana air bersih, 2 Data vektor, 3 Pemberantasan sarang nyamuk, 4 Pengelolaan limbah cairpadat, 5 Meningkatkan partispasi pengelolaan sanitasi
lingkungan, 6 Pemantauan jentik mandiri pada masyarakat, 7 Menumbuhkan sikap PHBS sebagai budaya sehat, 8 Menumbuhkan kemampuan mandiri dalam
upaya hidup sehat, 9 Membentuk tanggungjawab masyarakat dalam pengelolaan lingkungan, 10 Menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya pengelolaan
lingkungan, 11 Membentuk motivasi untuk bersikap promotif dan preventif terhadap keberadaan jentik, 12 Memberikan komitmen sosial dan konsekuensi
hukum dalam pengelolaan lingkungan, 13 Mewujudkan kondisi tertib hukum yang berwawasan lingkungan, 14 Kualitas sanitasi lingkungan, 15 Perubahan
iklim global, 16 Partisipasi masyarakat melakukan pencegahan dengan potensi pengelolaan lingkungan, 17 Pengelolaan tempat penampungan air, 18
Kemampuan untuk mandiri mewujudkan budaya hidup sehat, 19 Efektivitas pemantau jentik dan kejadian kasus, serta 20 Pengetahuan sikap dan perilaku
masyarakat pada pencegahan dini sarang nyamuk Dari hasil ISM di dapat sepuluh faktor utama pada sektor independent antara
lain meningkatkan partispasi pengelolaan sanitasi lingkungan, pengelolaan sarana air bersih, kualitas sanitasi lingkungan, perubahan iklim global, membentuk
tanggungjawab masyarakat dalam pengelolaan lingkungan, menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya pengelolaan lingkungan, data vektor, pemberantasan
sarang nyamuk, pemantauan jentik mandiri pada masyarakat, serta menumbuhkan sikap PHBS sebagai budaya sehat.
Dari sepuluh faktor tersebut yang terbagi dalam 5 level, akan diambil 6 faktor pada 4 level tertinggi yang lebih utama untuk mempermudah dalam pembuatan
skenario model dinamisnya.
121
5.2.3.2. Formulasi Masalah
Formulasi permasalahan merupakan aktivitas merumuskan permasalahan sistem yang dikaji. Dalam hubungannya dengan pencegahan dan penyebaran
penyakit DBD berbasis lingkungan, permasalahan sistem merupakan gap antara kebutuhan pelaku dengan kondisi yang ada. Dengan demikian, formulasi
permasalahan sistem merupakan kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan para pelaku sebagaimana yang dirumuskan dari teknik ISM, dan pada kondisi nyata terjadi di
wilayah DKI Jakarta. Kebutuhan pelaku terhadap keberhasilan penanganan kasus DBD khususnya
pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Provinsi DKI Jakarta adalah bersifat pemuasan terhadap masing-masing stakeholder.
Sedangkan kondisi yang ada saat ini tidak memenuhi kebutuhan para pelaku tersebut.
Terjadinya konflik kepentingan antara para stakeholders, merupakan masalah yang membutuhkan solusi agar sistem dapat bekerja secara konstruktif dalam
rangka mencapai tujuan. Adapun permasalahan dasar tersebut, secara sistematis diuraikan sebagai berikut :
1. Meningkatkan partisipasi pengelolaan sanitasi lingkungan, yang ditunjukkan dengan kesadaran masyarakat untuk mau berpartisipasi dalam pengelolaannya
2. Pengelolaan sarana air bersih, dimana semua pihak saling melaksanakan peningkatan kegiatan dalam pengelolaan sarana air bersih
3. Kualitas sanitasi lingkungan, yang ditunjukkan oleh kualitas sanitasi lingkungan yang baik
4. Perubahan iklim global, nerupakan permasalahan sangat penting dalam kasus lingkungan saat ini, tapi dalam kasus pencegahan dan penyebaran penyakit
DBD merupakan input tak terkontrol. 5. Membentuk tanggung jawab masyarakat dalam pengelolaan lingkungan, di
mana masyarakat mau membantu pemerintah dalam bertanggung jawab terwujudnya lingkungan yang baik
6. Menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya pengelolaan lingkungan, keberhasilan sosialisasi dapat membantu menumbuhkan kesadaran pengelolaan
lingkungan
122
5.2.3.3. Identifikasi Sistem
Dalam membangun sistem pencegahan dan penyebaran penyakit DBD berbasis lingkungan, komponen utama yaitu populasi, kualitas sanitasi lingkungan,
kasus DBD, dan manfaat ekonomi. Hasil inventarisasi dan identifikasi variabel lainnya adalah meliputi : populasi penduduk, kebutuhan permukiman, limbah cair
dan limbah padat, kualitas sanitasi, TPN, populasi nyamuk, host susceptible, kemungkinan gigitan nyamuk, kasus DBD, nilai ekonomi, PHBS, pengelolaan air
bersih dan pemanfaatan tanaman. Dengan demikian, dapat di bangun loop umpan balik causal loop antar dua
atau lebih variabel yang membentuk rantai tertutup. Secara ringkas diagram lingkar causal loop sistem pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran
penyakit DBD di Provinsi DKI Jakarta ditunjukkan pada Gambar 42. Pada causal loop yang terbentuk menggambarkan keterkaitan antara
pertambahan populasi dimana akan bertambah pula jumlah limbah yang dikeluarkan baik limbah padat berupa sampah dan limbah cair serta memerlukan
juga kebutuhan permukiman. Hal ini akan mempengaruhi kualitas sanitasi lingkungan sehingga akan menyebabkan pertambahan tempat perkembangbiakan
nyamuk juga, sehingga akan menyebabkan pertambahan populasi nyamuk yang dapat meningkatkan kemungkinan gigitan nyamuk pada manusia, khususnya yang
host susceptible kurang baik akan muncul menjadi kasus demam berdarah. Sosialisasi pada diagram causal loop akan memperbaiki kualitas sanitasi
lingkungan khususnya pengelolaan limbah cair dan sampah. Selain itu dapat meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat.
Dengan membiasakan dalam menjalankan perilaku hidup bersih sehat maka akan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan air bersih yang
dapat meminimalisasi jumlah tempat perkembangbiakan nyamuk serta dapat pula menambah nilai ekonomi dengan tidak terkena kasus DBD karena tidak perlu
mengeluarkan biaya rumah sakit atau obat lainnya. Nilai ekonomi didapt juga dari masyarakat yang membiasakan perilaku hidup bersih sehat yang memanfaatkan
dan mengembangkan budidaya tanaman anti nyamuk. Kasus DBD terjadi saat banyak host susceptible yang terkena gigitan nyamuk sehingga akan memberikan
dampak terhadap pengurangan populasi dengan terjadinya kematian akibat kasus
123 DBD tetapi dapat semakin sedikit juga apabila banyak yang mendapatkan nilai
ekonomi dari penerapan perilaku hidup bersih sehat. Menurut Eriyatno 2003 secara garis besar ada 3 kelompok variabel yang
mempengaruhi kinerja suatu sistem, antara lain : 1 Peubah input, 2 peubah output dan 3 parameter-parameter yang membatasi struktur sistem.
CAUSAL LOOP
+
Populasi Penduduk
Sampah PHBS
Kasus DBD
Kebutuhan Permukiman
Pengelolaan Air Bersih
Kualitas Sanitasi
Lingkungan Pemanfaatan
Tanaman Nilai
Ekonomi
TPN Kematian
Sosialisasi Populasi
Nyamuk Kemungkinan
Gigitan Host
Susceptible
+ +
-
+
+ +
+
+
- +
- +
- -
- +
+ +
+
Limbah Cair
-
Gambar 42. Diagram sebab akibat causal loop Berdasarkan interpretasi diagram sebab akibat causal loop yang dikaitkan
dengan hasil analisis kebutuhan, kemudian dibangun konsep kotak gelap black box diagram input-output IO. Input terkendali merupakan faktor yang
didapatkan dari analisis kebutuhan. Faktor yang berpengaruh kebutuhan pelaku merupakan input terkendali pada diagram IO, yang meliputi meningkatkan
partispasi pengelolaan sanitasi lingkungan, pengelolaan sarana air bersih, kualitas sanitasi lingkungan, membentuk tanggungjawab masyarakat dalam pengelolaan
lingkungan, dan menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya pengelolaan lingkungan serta pemanfaatan tanaman anti nyamuk. Input tidak terkendali
merupakan faktor di dalam sistem, tetapi tidak dapat dikendalikan secara langsung.
124 Output terdiri dari dua golongan yaitu variabel output yang dikehendaki
desirable output, yang ditentukan berdasarkan hasil dari adanya pemenuhan kebutuhan yang ditentukan secara spesifik pada waktu analisa kebutuhan, dan
variabel output yang tidak dikehendaki, merupakan hasil sampingan atau dampak yang ditimbulkan bersama-sama dengan output yang diharapkan. Output yang
dikehendaki antara lain mengurangi kasus DBD terhadap manusia dan lingkungannya, serta minimisasi biaya penanganan kasus DBD. Adapun output tak
dikehendaki merupakan negasi dari output yang dikehendaki, yang berfungsi sebagai umpan balik bagi evaluasi dan manajemen pencegahan penyebaran
penyakit DBD. Parameter rancang bangun sistem menentukan proses transformasi input menjadi output
Gambar 43. Diagram black box input-output
Input tak terkontrol
• Jumlah Penduduk • Permukiman Penduduk
• Suhukelembaban • Perubahan iklim global
Input terkontrol
• Meningkatkan partisipasi pengelolaan Lingkungan • Pengelolaan sarana air bersih
• Kualitas sanitasi lingkungan • Membentuk tanggungjawab masyarakat
• Menumbuhkan kesadaran pengelolaan lingkungan • Pemanfaatan Tanaman Anti Nyamuk
Output yang tidak diinginkan
Tingkat kasus DBD sangat tinggi
Output yang diinginkan
• Mengurangi kasus DBD terhadap manusia dan lingkungannya
• Minimisasi biaya penanganan kasus DBD
Model pencegahan dan penyebaran penyakit DBD berbasis lingkungan
Evaluasi dan Manajemen Pencegahan Dan Penyebaran Penyakit DBD
Input Lingkungan
• Kebijakan Pemerintah • Kapasitas HukumPP
125
5.2.3.4. Simulasi Model
Simulasi adalah suatu proses yang menggunakan suatu model untuk menirukan, atau menelusuri tahap demi tahap, perilaku dari suatu sistem yang kita
pelajari. Model simulasi disusun dari suatu perhitungan dan operasi logis yang secara bersama-sama menyajikan struktur keadaan dan perilaku perubahan
keadaan dari sistem yang kita pelajari. Model yang dibangun untuk kajian sistem pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Provinsi
DKI Jakartadilakukan dengan perangkat lunak software komputer powersim constructor.
Model secara umum menggambarkan interaksi antara komponen populasi, kesehatan, kualitas lingkungan dan persepsi yang merupakan faktor dalam
pencegahan dan penyebaran penyakit DBD. Masing-masing komponen saling terkait pada satu atau lebih peubah tertentu. Oleh karena itu, model disusun secara
kompleks yang tergambar pada stock flow diagram dari sistem pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Provinsi DKI Jakarta
yang disajikan pada Gambar 44. Model pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD
di Provinsi DKI Jakarta terbentuk dari tiga submodel yang saling berinteraksi. Ketiga sub model tersebut adalah sub model lingkungan, sub model sosial dan sub
model ekonomi. Model pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Provinsi DKI Jakarta dirancang berdasarkan diagram sebab
akibat.
126
Gambar 44. Stock Flow Diagram SFD
5.2.3.4.1. Sub Model Lingkungan
Dari segi lingkungan dalam pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Provinsi DKI Jakarta dan dilihat dari dampak yang
ditimbulkan dari limbah baik cair maupun padat terhadap kualitas sanitasi lingkungan. Dilihat dari penurunan kualitas lingkungan yang dipengaruhi oleh
penambahan sampah rumah tangga, apabila daya tampung sampah dan pengelolaannya dapat dikontrol serta dilihat juga dari limbah cair rumah tangga
yang dipengaruhi cara pengelolaan limbah cair. Kedua limbah tersebut akan berpengaruh terhadap kualitas sanitasi lingkungan, yang juga dipengaruhi oleh
curah hujan yang ada.
127
Gambar 44.
Diagram Lingkungan dalam pencegahan berbasis lingkungan di Provinsi DKI Jakarta
Model pencegahan penyebaran penyakit DBD berbasis lingkungan yang telah dirumuskan dapat digunakan dengan bebarapa asumsi yang akan membatasi
keberlakuan model khususnya sub model lingkungan. Asumsi-asumsi tersebut adalah :
1 Untuk jumlah limbah padat masyarakat diambil berdasarkan kajian Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan 2006 bahwa limbah padat rata-rata
per orang perhari adalah sebesar 2,5 liter, sedangkan untuk limbah cair yang tidak dikelola sebanyak 10 liter per hari.
Sehingga untuk mendapatkan jumlah pertahun dikalikan dengan 30 hari dan 12 bulan.
2 Biaya pengelolaan sampah dengan kondisi dilapangan jika dirata-ratakan umumnya membayar sebesar Rp. 20.000 per KK per bulan Kementerian
Negara Perumahan Rakyat, 2007. 3 Biaya pengelolaan limbah cair untuk saat ini belum diterapkan secara
optimal sehingga asumsi pada kondisi aktual belum ada. 4 Angka hinggap per jam rata-rata adalah 1.45 Sintorini, 2006.
Berdasarkan sub model lingkungan memperlihatkan bahwa penambahan limbah berfungsi sebagai laju masukan pada level limbah merupakan pengurangan
128 antara jumlah limbah yang tidak terkelola per orang per hari yaitu sebanyak 10 liter
selama satu tahun Populasi_Penduduk103012 dengan pengelolaan limbah yang dihitung berdasarkan angka rupiah yang dikeluarkan dalam mengelola limbah
cair sehingga diperoleh angka pengelolaan limbah per rupiah sebanyak 900.586,28 liter selama setahun sehingga Pengelolaan_Limbah_Cair900586,28, pengelolaan
limbah berfungsi sebagai constanta yang menunjukkan jumlah rupiah yang dikeluarkan per orang selama satu bulannya.
Pada penambahan sampah berfungsi sebagai laju masukan pada level sampah merupakan pengurangan antara jumlah sampah yang tidak terkelola per orang per
hari yaitu sebanyak 2,5 liter selama satu tahun dengan pengelolaan sampah yang dihitung berdasarkan angka rupiah yang dikeluarkan dalam mengelola sampah
sehingga diperoleh angka pengelolaan sampah per rupiah sebanyak 350.665,8 liter selama setahun, pengelolaan sampah berfungsi sebagai constanta yang
menunjukkan jumlah rupiah yang dikeluarkan per orang selama satu bulannya. Untuk laju kualitas lingkunga berfungsi sebagai laju masukan pada level
kualitas lingkungan merupakan persentase jumlah limbah dan sampah yang tidak terkelola per orang per hari dan keberhasilan dari program rutinitas sosialisasi,
berdasarkan survey sosialisasi mengenai DBD sebanyak 85,76 persen, serta penegakan hukum yang berdasarkan hasil wawancara expert keberhailannya
sebesar 40 persen dan fraksi pengelolaan lingkungan yang ada yang merupakan constant. Sedangkan untuk nilai 7.880.130.000 merupakan total limbah padat
yang tidak terkelola pada tahun awal simulasi dan 31.520.520.000 merupakan total limbah cair yang tidak terkelola pada tahun awal simulasi.
Pada pertambahan nyamuk berfungsi sebagai laju masukan pada level nyamuk istirahat per rumah merupakan pertambahan tempat perkembangbiakan
nyamuk dengan perkalian angka pertambahan yang merupakan constanta sebesar 0.05 dengan nyamuk istirahat per rumah pada awal tahun simulasi sebanyak 2.
Pengurangan nyamuk berfungsi sebagai laju keluaran pada level nyamuk istirahat per rumah merupakan pembagian nyamuk istirahat per rumah dengan constanta
pemberantasan. Kemungkinan gigitan nyamuk berfungsi sebagai laju masukan pada level
gigitan nyamuk merupakan pertambahan antara angka hinggap per jam yang
129 merupakan constanta sebesar 1.45 dengan jumlah penduduk yang tidak
menerapkan PHBS yang dikalikan dengan nyamuk istirahat per rumah, sehingga asumsi adalah orang yang tidak menerapkan PHBS tersebut yang dimungkinkan
terkena gigitan nyamuk. Sedangkan untuk TPN atau tempat perkembangbiakan nyamuk merupakan
auxiliary hasil pertambahan persen kualitas lingkungan, suhu dan kelembaban dimana persen tersebut diperoleh dari rata-rata masing-masing constanta, yang
dikurangi dengan persen pengelolaan air bersih yang merupakan auxiliary diambil dari jumlah masyarakat yang menerapkan PHBS dibagi jumlah populasi yang ada.
5.2.3.4.2. Sub Model Sosial
Aspek sosial yang paling berpengaruh terhadap keberhasilan model pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Provinsi
DKI Jakarta adalah sosialisasi dan pemberantasan nyamuk. Di mana sosialisasi yang berdampak terhadap perubahan persepsi masyarakat sehingga mau dalam
menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat. Tempat perkembangbiakan nyamuk dapat dikontrol apabila perilaku hidup bersih dan sehat berhasil diterapkan
sehingga populasi nyamuk dapat dikontrol selain dilakukan dengan pemberantasan. Keterkaitan sosialisasi dan pemberantasan tersebut akan terus berdampak terhadap
kejadian kasus DBD yang dapat mengurangi populasi penduduk akibat kematian dari kasus DBD. Mengenai data pertumbuhan penduduk DKI Jakarta terdapat pada
Lampiran 6.
130
Gambar 54. Diagram sosial dalam pencegahan berbasis lingkungan di Provinsi DKI Jakarta
Model pencegahan penyebaran penyakit DBD berbasis lingkungan yang telah dirumuskan dapat digunakan dengan bebarapa asumsi yang akan membatasi
keberlakuan model khususnya sub model sosial. Asumsi-asumsi tersebut adalah : 1. Laju angka kelahiran dianggap tetap dengan tidak terjadi perubahan fraksi
fertilisasi. 2. Untuk kematian selain kasus DBD dianggap berdasarkan umur harapan
hidup per orang dengan asumsi rata-rata adalah 65 tahun. Pada kelahiran berfungsi sebagai laju masukan pada level populasi penduduk
merupakan perkalian antara rata-rata fertilisasi dengan populasi penduduk. Kematian berfungsi sebagai laju keluaran pada level populasi merupakan
pembagian populasi dengan constanta umur dengan nilai 65 yang merupakan rata- rata harapan hidup ditambah dengan jumlah dari kematian berdasarkan kasus DBD.
Pada penambahan kasus berfungsi sebagai laju masukan pada level DBD merupakan perkalian graph kasus DBD dengan auxiliary laju kasus DBD.
Sedangkan untuk PHBS merupakan auxiliary hasil perkalian antar populasi penduduk dengan keberhasilan sosialisas dimana persentase constanta sosialisasi
yang ada sebesar 87,56 persen yang dikurangi dengan keberhasilan penegakan hukum berdasarkan pendapat pakar sebesar 40 persen dari rata-rata nilai constanta
tanggung jawab masyarakat dan kesadaran pengelolaan lingkungan.
131
5.2.3.4.3. Sub Model Ekonomi
Untuk sub model ekonomi berdasarkan pemanfaatan tanaman anti nyamuk yang dapat dikembangkan oleh masyarakat sehingga masyarakat akan
mendapatkan manfaat ekonominya. Selain itu pemanfaatan juga dipengaruhi kebutuhan permukiman masyarakat agar dapat mengembangkannya.
Gambar 46. Diagram ekonomi dalam pencegahan berbasis lingkungan di Provinsi DKI Jakarta
Model pencegahan penyebaran penyakit DBD berbasis lingkungan yang telah dirumuskan dapat digunakan dengan asumsi yang akan membatasi keberlakuan
model khususnya sub model ekonomi. Asumsi adalah angka pemanfaatan tanaman baru optimal dilakukan sebanyak 10.
Untuk kebutuhan permukiman berfungsi sebagai laju masukan pada level ruang permukiman merupakan perkalian antara populasi penduduk dengan mukim
perkapita. Sehingga berpengaruh pada auxiliary pemanfaatan tanaman yang merupakan perkalian dari delay PHBS dibagi kebutuhan permukiman dengan laju
pemanfaatan tanaman. Delay PHBS diasumsikan karena masyarakat baru akan bisa ikut menerapkan pemanfaatannya setelah kurun waktu dua tahun.
Pada auxiliary nilai ekonomi diperoleh dari pertambahan hasil nilai pemanfaatan tanaman, nilai intangible TPN dan pengelolaan air bersih..
132
5.3. Skenario Kondisi dan Skenario Rekomendasi Kebijakan Pencegahan