Pencegahan dan Pemberantasan penyakit DBD

24

2.6. Pencegahan dan Pemberantasan penyakit DBD

Pencegahan penyakit DBD didasarkan pada prinsip pemutusan rantai penularan, karena sampai saat ini belum terdapat vaksin yang efektif terhadap virus dengue. Program pemberantasan DBD di Indonesia mengadaptasi hasil Konggres WHO ke-46 tahun 1993. Strategi yang direkomendasikan adalah pemantauan vektor terus menerus sehingga dapat memutuskan rantai penularan. Gubler et al. 1979 melaporkan ada lima kemungkinan cara yang dapat dilakukan untuk memutuskan mata rantai penularan yaitu : a Memusnahkan tempat hidup nyamuk, b Memberikan obat anti virus, tetapi obat anti virus dengue belum ditemukan, c Mengisolasi penderita, d Memberantas vektor pengasapan, e Mencegah gigitan nyamuk, f Memberikan imunisasi, tapi vaksin terhadap virus dengue masih dalam taraf penelitian di Bangkok. Pemberantasan nyamuk dewasa yang menggunakan bahan kimia thermalfooging masih dianggap sebagai strategi penting untuk memberantas nyamuk, namun berdampak kecil pada upaya pemberantasan DBD jangka panjang. fooging dilakukan jika ditemukan sekurangnya tiga penderita panas tanpa sebab dan kepadatan jentik tinggi. Campuran bahan kimia untuk pengasapan adalah melathion atau fenitrothion dalam dosis 438 gram per hektar dilarutkan dalam 4 solar atau minyak tanah, dilakukan di dalam rumah ataupun di luar rumah. pada saat terjadi wabah penyemprotan dilakukan minimal dua kali dalam jarak 10 hari di rumah penderita dan pada jarak 100 meter di sekelilingnya Suroso, 2001 Menurut Suroso 2001 program pengasapan insektisida banyak yang mengalami kegagalan dalam memberantas nyamuk. Hal ini dikarenakan teknik pelaksanaan dan kondisi lapangan yang tidak menunjang, seperti arah angin yang menghalangi penyebaran asap, struktur media yang menjadi residu asap, struktur bangunan yang menghalangi aliran asap, mesin aplikator yang tidak prima, operator yang tidak terampil dan nyamuk serangga penular yang telah menjadi resisten terhadap insektisida. Kegagalan pengasapan juga disebabkan oleh adanya tenggang waktu antara seseorang mulai sakit sampai dilakukan pengasapan sehingga nyamuk pembawa virus dengue telah sempat berpindah ke rumah atau tempat lain dan menularkan ke orang lain, jauh sebelum dilakukan tindakan 25 pengasapan. Hal lain yang mempengaruhi kegagalan program pengasapan adalah tingginya mobilitas masyarakat perkotaan, sehingga sulit melacak sumber tempat terjadinya penularan. Pembasmian dengan larvisida dianggap lebih ekonomis dan lebih berkesinambungan karena memberantas jentik nyamuk. Larvisida yang digunakan adalah butir–butir abate SG 1 yang ditaburkan pada tempat penyimpanan air dengan dosis 1 ppm yaitu 10 gram untuk 100 liter air. Pengulangan dilakukan pada jarak dua atau tiga bulan kemudian Poorwosoedarmo, 1988 . Program pemantauan jentik berkala PJB dilakukan setiap tiga bulan dirumah dan tempat–tempat umum. Pemantauan jentik di rumah dilakukan sampai 100 rumah sampel untuk setiap kelurahan. Hasil PJB diinformasikan kepada kepala daerah setempat sebagai evaluasi dan dasar pengerakan masyarakat dalam PSN DBD dan diharapkan dengan dilaksanakan PJB angka bebas jentik setiap kelurahan dapat lebih besar dari 95 Hadinegoro dan Satari, 2002. Menurut penelitian Bohra et al. 2001, di wilayah Jalor-India terdapat delapan variabel yang efektif berkontribusi terhadap kejadian DBD, yaitu frekuensi membersihkan wadah penampung air, pola pemukiman, penggunaan pendingin air, frekuensi membersihkan pendingin air, wadah air yang tidak tertutup, penggunaan pelindung nyamuk baik berupa kawat nyamuk, penyemprotan insektisida dan penggunaan obat oles penolak nyamuk, frekuensi pengisian persediaan air dan frekuensi pembuangan sampah. Membersihkan wadah penampung air mempunyai hubungan positif dengan kejadian DBD. Bohra et al. 2001 juga menyebutkan jika membersihkan wadah air lebih dari delapan hari maka positif berkontribusi pada kejadian DBD, dan mengganti air satu atau dua kali satu minggu mengurangi risiko tersebut. Demikian pula dengan wadah air yang tidak tertutup berhubungan positif dengan kejadian DBD. Dalam laporan tersebut juga dikatakan infrastruktur buruk termasuk salah satu penyebab mudahnya transmisi kejadian DBD. Pola pemukiman padat dalam rentang jarak terbang nyamuk Aedes dari tempat perkembang biakkannya menjadi hal yang positif penyebab tingginya kasus DBD Kasnodiharjo et al., 1997. Laporan tersebut juga menyatakan bahwa pembuangan sampah lebih dari 15 hari sekali mempunyai hubungan positif 26 dengan kasus kejadian DBD. Rentang waktu pembuangan yang ideal adalah setiap tiga hari sekali sampah diangkut, tetapi jarak satu minggu satu kali sudah dianggap maksimum dan lebih dari 15 hari sangat berisiko. Banyaknya buangan kaleng, ban bekas, aneka bungkus dan wadah plastik bekas atau benda–benda lain yang potensi menjadi penampung dan terisi air saat hujan akan menjadi tempat bertelur nyamuk. Sehingga sampah harus segera diangkut dari pemukiman ke tempat pembuangan akhir. Hal yang ditemui dalam penelitian Bohra et al. 2001 umumnya sampah diangkut 15 - 20 hari sekali, sehingga disimpulkan faktor pembuang sampah inilah yang mendorong tingginya kasus DBD di India, khususnya di Jalor dan Rajasthan, tempat lokasi penelitian. Dari delapan variabel penelitian Bohra di atas enam variabel sangat terkait dengan perilaku masyarakat. Hal ini menunjukan peran perilaku sangat penting dalam mengendalikan risiko terjadinya kasus DBD, dan diharapkan dapat menjadi prioritas program intervensi yang harus diupayakan maksimal pelaksanaannya.

2.7. Nilai Manfaat Pengelolaan Lingkungan