Curah Hujan HASIL PEMBAHASAN

53 30000 24932 25000 23466 20000 Gambar 14. Grafik kasus DBD di Wilayah DKI Jakarta tahun 2000 – 2006 Berdasarkan Gambar. 14 pada tahun 2002 telah terjadi penurunan kasus DBD yang nyata dibandingkan pada tahun 2003. Hal ini mungkin disebabkan pada periode tahun 2002 telah terjadi musibah Banjir di DKI Jakarta, keadaan ini menyulitkan nyamuk Aedes aegyupti untuk meletakkan telur karena tempat penampungan air TPA telah digenangi air yang mengalir dengan deras. Meskipun kasus DBD tahun 2002 rendah tapi CFR cukup tinggi 0,9. Kseadaan ini selain akibat terlambatnya masyarakat membawa kepelayanan kesehatan untuk mendapatkan pertolongan dini juga musibah banjir telah menimbulkan daya tahan tubuh menurun terutama untuk mencegah penyakit infeksi yang diakibatkan oleh lingkungan.

5.1.2. Peran Faktor Potensial pada Pencegahan Berbasis Lingkungan

terhadap Penyebaran Penyakit DBD di Provinsi DKI Jakarta 5.1.2.1. Faktor Iklim

a. Curah Hujan

Pada Tabel. 5 terdapat variasi curah hujan mm diwilayah DKI Jakarta periode tahun 2002 – 2006, rata-rata curah hujan tertinggi terjadi pada tahun 2002 5,5 mm karena terdapat intensitas hujan yang ekstrim diatas rata-rata pada bulan Januari 26,93 dan bulan Februari 20,2 mm, sehingga menyebabkan musibah banjir di DKI Jakarta. Jika dibandingkan pada tahun 2005, meskipun curah hujan pada bulan Januari tertinggi diatas rata-rata 16,4 mm tetapi masih lebih rendah 5750 14071 20640 15000 Kasus 10000 7437 8729 5000 2000 2006 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun Kasus DBD 54 dari bulan Januari tahun 2002. Curah hujan rata-rata terendah terdapat pada tahun 2003 2,2 mm, intensitas hujan terendah terdapat pada bulan Desember 8,5 mm. Secara keseluruhan selama periode 2002 – 2006 curah hujan rata-rata tertinggi terdapat pada bulan Februari 12,2 mm dan terendah pada bulan September 0,5 mm. Tabel 5. Curah hujan mm di wilayah DKI Jakarta, periode tahun 2002- 2006 Bulan 2002 2003 2004 2005 2006 Rata-rata Januari 26.93 1.28 4.9 16.4 9.4 11.8 Februari 20.2 5.3 18 7.9 9.7 12.2 Maret 5.53 2.4 3.9 1.7 7.6 4.2 April 5.97 0.6 1.8 5.5 3.3 3.4 Mei 0.91 2.1 5.2 7.3 1.7 3.5 Juni 1.27 0.04 0.4 5.4 1.2 1.7 Juli 3.7 1.1 1.7 0.2 1.3 Agustus 0.23 0.6 0 4.7 0.3 1.2 September 0.12 1 0.2 1.2 0.5 Oktober 0.03 2.2 0.5 3.7 0.2 1.3 November 0.34 1.8 2.9 4.0 3.2 2.5 Desember 0.69 8.5 5.3 4.9 3.8 4.6 Rata-rata 5.5 2.2 3.7 5.4 3.4 4.04 Sumber : Dinas Kesehatan 2006 Berdasarkan fluktuasi kasus DBD dan curah hujan tahun 2002 – 2006 yang terdapat pada Tabel. 5, pada tahun 2002 intensitas hujan tertinggi 5,5 mm dan jumlah kasus terendah 5750 kasus, pada tahun 2003 intensitas hujan terendah 2,2 mm dan terjadi peningkatan jumlah kasus DBD 14071 kasus. Hasil analisis Epidemiologi yang dilakukan peneliti, terjadi perbedaan variasi intensitas hujan yang nyata pada tiap bulan dibandingkan pada bulan Januari 26,93 mm dan Desember 0,69 mm. Keadaan ini telah menimbulkan Water spot titik air yang tergenang setelah musibah banjir dan fenomena ini lebih nyata pada saat memasuki periode intensitas hujan rendah yaitu pada bulan Agustus 0,23 mm. Akumulasi dari kuantitas water spot yang meningkat tiap bulan telah menyebabkan peningkatan populasi nyamuk Aedes aegypti dan secara sekuens terjadi peningkatan kejadian kasus DBD dengan akumulasi epidemi terjadi pada bulan Februari dan Maret tahun 2003. 55 Menurut Gubler 1979 variabilitas iklim pada intensitas hujan per tahun dapat menjadi faktor yang berperan jika terjadi titik peluang pada serangga penular untuk melakukan gonotropic cycle. Kemampuan bertelur dan penetasan nyamuk Aedes aegypti menurut Oda 1982 dapat terjadi sepanjang waktu tanpa mengenal musim sehingga nyamuk ini selalu ditemukan sepanjang tahun didaerah tropis. Berdasarkan pernyataan Gubler dan Oda dan dari hasil kajian serta analisa epidemiologi, peneliti menyatakan bahwa managemen water spot titik air secara natural dan sintetis sangat berperan terhadap kelangsungan siklus hidup nyamuk Aedes aegypti. Berdasarkan hasil persamaan regresi linier yang terdapat pada Gambar. 15 dapat diketahui bahwa hubungan antara tingkat kejadian kasus DBD dengan curah hujan menunjukkan adanya hubunganhubungan kuat R= 79,2.Nilai koefisien determinasi sebesar 0,77 artinya persamaan garis regresinya dapat menerangkan 77,2 variasi kejadian kasus DBD di Wilayah Jakarta berdasarkan faktor curah hujan berperan sebagai faktor determinan terhadap kejadian kasus DBD. Dari hasil uji regresi didapat nilai constant nilai intercept atau nilai a sebesar 6687 dan nilai b = 973 sehingga persamaan regresinya : Y = a + bx, jadi Kejadian Kasus = 6687 + 973 Curah Hujan . Dari persaamaan tersebut menunjukkan bahwa setiap penambahan curah hujan 1 mm akan memberikan perubahan pada peningkatan kejadian sebanyak 973 kasus. Grafik persamaan regresi linier antara kasus DBD dengan tingkat curah hujan disajikan pada Gambar 15. CH K a s u s 3 0 2 5 2 0 1 5 1 0 2 5 0 0 0 2 0 0 0 0 1 5 0 0 0 1 0 0 0 0 5 0 0 0 y = 6687 + 973x Gambar 15. Grafik persamaan regresi linier antara kasus DBD dengan tingkat curah hujan 56 Peran curah hujan dengan kejadian kasus DBD berdasarkan hasil penelitian Gubler 1979 di Asia Tenggara menunjukkan hubungan yang kuat r = 0,95 dengan kejadian kasus DBD. Puncak transmisi terjadi pada periode intensitas hujan dan suhu tinggi, karena adanya peningkatan water spot titik air. Penelitian Gagnon 2001 menyebutkan telah terjadi anomali curah hujan curah hujan rata- rata rendah karena pengaruh El Nino sehingga pada tahun 1994 – 1998 terjadi anomali iklim dan peningkatan kejadian kasus DBD di Indonesia.

a.1 Pemantauan Jentik Nyamuk