akibat serangan hama PBK secara nasional diperkirakan lebih dari Rp 1,1 triliun Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan 2004. Sementara itu, kerugian
akibat serangan hama PBK di Sulawesi Selatan diperkirakan sebesar Rp 810 milyar per tahun Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan 2004 dalam Mustafa 2005.
2.4.1. Kerusakan Lingkungan Akibat Pangembangan Kakao
Pengembangan perkebunan kakao yang begitu pesat tersebut, di satu sisi memberikan peran yang cukup besar bagi perekonomian regional, tetapi di sisi lain
berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi stabilitas ekosistemlingkungan. Perkebunan kakao umumnya diusahakan petani di lereng-lereng bukit dan
pegunungan, karena lahan di Sulawesi Selatan sebagian besar 75 merupakan bukit dan pegunungan. Alih fungsi lahan pada kondisi lahan yang demikian
berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan berupa peningkatan erosi dan penurunan kesuburan lahan. Di samping itu apabila lahan yang dialihfungsikan
adalah kawasan hutan maka beban kerusakan lingkungan bertambah dengan menurunnya keanekaragaman hayati dan menurunnya fungsi ekologis sebagai
pendukung kehidupan. Menurut Wati 2002, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir 1991-2001
konversi kawasan hutan menjadi areal perkebunan di kawasan DAS Saddang yang wilayahnya mencakup beberapa kabupaten yaitu Kabupaten Tana Toraja, Polewali-
Mamasa, Enrekan, Pinrang, Mamuju dan Luwu cukup besar. Areal hutan menyusut dari 358.676 ha 55,6 dari total areal DAS Saddang menjadi 296.101 ha 45,9
pada tahun 2002, sedangkan areal perkebunan mengalami peningkatan dari 29.675 ha 4,6 tahun 1991 menjadi 234.171 ha 36,3 pada tahun 2002. Komoditas
perkebunan yang banyak diusahakan di daerah ini adalah kopi, kakao, vanili, cengkeh, kelapa, kayu manis, pala, kemiri dan jambu mete.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa tingkat erosi di lahan-lahan perkebunan di kawasan DAS Saddang cukup tinggi yaitu rata-rata mencapai 547,09 tonhatahun.
Tingkat erosi tersebut tergolong berat, meskipun tidak seberat erosi di lahan tanaman pangan perladangan berpindah Wati, 2002. Kerusakan lingkungan akibat pesatnya
perluasan perkebunan kakao juga dikemukakan Akiyama dan Nishio 1997, yang menyatakan bahwa pengembangan perkebunan kakao yang begitu pesat di Sulawesi
Selatan di satu sisi memberikan dampak positif bagi perekonomian daerah, tetapi disisi lain menimbulkan dampak negatif berupa peningkatan erosi dan menurunkan
areal tangkapan air serta penyusutan keanekaragaman hayati. Kerusakan lingkungan akibat konversi hutan menjadi lahan perkebunan
kakao juga terjadi di Ghana. Menurut Barbier 2000, perluasan areal perkebunan kakao di Ghana menyebabkan penyusutan areal hutan dan dengan adanya kenaikan
pendapatan dari hasil kakao membuat laju perluasan areal kakao dan penyusutan areal hutan makin cepat. Karena teknologi budidaya yang dikembangkan tidak
lestari, maka pemanfaatan hutan menjadi lahan perkebunan kakao berdampak pada peningkatan degradasi lahan. Peningkatan degradasi lahan hutan tersebut makin
pesat lagi karena pengembangan perkebunan kakao banyak dilakukan oleh masyarakat tani yang tidak memiliki lahan dan modal usaha, sehingga yang menjadi
sasaran pengembangan perkebunan adalah kawasan hutan. Sebenarnya dampak kerusakan lingkungan akibat pesatnya pengembangan
perkebunan kakao dapat dikurangi jika petani mengikuti arahan pemerintah yang termuat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW dan menerapkan teknologi
budidaya konservasi. Pengembangan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan difasilitasi pemerintah daerah melalui berbagai progam yang diawali dengan
program Pewilayahan Komoditas, dilanjutkan dengan program Grateks-2 dan yang sekarang sedang berlangsung adalah program Gerbang Emas Dinas Perkebunan
Provinsi Sulawesi Selatan 1998, 2004, dan 2006. Pewilayahan komoditas merupakan salah satu konsepsi dari tri konsepsi
pembangunan daerah yang meliputi; perubahan pola pikir, pewilayahan komoditas, dan petik olah dan jual. Sasaran program tersebut adalah terbentuknya sentra-sentra
pengembangan komoditas unggulan seperti kakao di wilayah Mandar dan Luwu Mandalu, kopi arabika di wilayah Mamasa, Duri dan Tana Toraja Madutora
Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan 2004.
Selanjutnya pengembangan perkebunan kakao difasilitasi dengan program Gerakan peningkatan produksi dua kali lipat Grateks-2. Program ini pada
hakekatnya adalah pembangunan agribisnis perkebunan dengan sasaran utama peningkatan produksi. Melalui program Grateks-2 tersebut telah berhasil memacu
peningkatan produksi perkebunan rata-rata di atas 15tahun pada periode 1998- 2002. Khusus komoditas kakao terjadi peningkatan produksi rata-rata 67,41tahun
Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan 2003. Pada era otonomi daerah, pembangunan di Sulawesi Selatan dilanjutkan
melalui program Gerakan pembangunan ekonomi masyarakat Gerbang Emas. Program tersebut di sub sektor perkebunan diprioritaskan pada tiga komoditas yaitu
kelapa, kakao dan kopi. Sasaran yang ingin dicapai adalah terbentuknya kawasan sentra produksi komoditas unggulan yang prospektif, kompak, ekonomis dan ramah
lingkungan, sehingga mampu memberikan sumbangan pendapatan kepada pekebun di atas Rp 6,5 jutaKKtahun Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan 2004b.
Kesadaran akan perlunya memasukkan sasaran pengembangan perkebunan ramah lingkungan agak terlambat, karena sebagian kawasan hutan yang berfungsi
sebagai penyanggapendukung kehidupan telah terusik dan dampaknya mulai dirasakan masyarakat seperti banjir dan kekeringan dikawasan Danau Tempe, serta
menyusutnya potensi ekonomi dari Danau Tempe. Oleh karena itu, perkebunan yang berhasil dibangun perlu dikelola dengan baik, sehingga dapat menggantikan sebagian
fungsi hutan yang terlanjur berubah. Mengingat pentingnya peran perkebunan kakao bagi perekonomian regional
Sulawesi Selatan dan adanya dampak negatif karena pengembangan areal perkebunan kakao yang kurang terarah, maka untuk menjamin keberlanjutan
pembangunan perkebunan kakao di daerah ini perlu disusun suatu strategi pembangunan perkebunan kakao yang memenuhi prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan. Hal ini berarti bahwa pembangunan perkebunan kakao diupayakan agar tetap memberikan keuntungan secara ekonomi, tidak menimbulkan kesenjangan
sosial dan tidak menimbulkan penurunan kualitas lingkungan biofisik.
2.4.2. Ancaman Hama PBK dan Upaya Pengendaliannya