Tabel 27. Pendapatan dan pengeluaran keluarga petani kakao, 2005 Uraian Pendapatan
dan Pengeluaran
Rp Pendapatan dari perkebunan kakao
5.817.250 70,35
Pendapatan dari usaha padi sawah 551.500
6,67 Pendapatan dari usaha ternak
362.500 4,38
Pendapatan usahatani lainnya 344.700
4,17 Pendapatan non-usahatani
1.193.125 14,43
Total pendapatan keluarga petani 8.269.075
100,00 Pengeluaran konsumsi keluarga
4.736.875 77,06
Pengeluaran lainnya 1.410.438
32,94 Total pengeluaran keluarga petani
6.147.313 100,00
Tabungan 2.121.763 Kerugian akibat serangan hama PBK
7.507.455 Pendapatan petani seharusnya
15.776.530 Sementara itu, kebutuhan hidup keluarga petani kakao rata-rata sebesar Rp
6,15 juta, terdiri dari kebutuhan untuk konsumsi keluarga Rp 4,74 juta dan kebutuhan lainnya Rp 1,41 juta. Secara umum dengan pendapatan rata-rata sebesar
Rp 8,27 juta, petani kakao masih bisa menyisakan pendapatan untuk menabung sebesar Rp 2,12 juta. Namun apabila dikaji lebih lanjut, ternyata hanya sebagian
kecil petani kakao yang bisa menyisakan pendapatannya untuk ditabung dan sebagian besar 57,5 petani kakao hidup dalam kondisi paspasan, bahkan 17,5
diantaranya telah terjerat hutang. Akibatnya sebagian besar petani tidak bisa melakukan pengelolaan kebun
sesuai dengan anjuran terutama untuk pemupukan dan pemeliharaan tanaman kakao dengan baik. Kondisi tersebut diperparah lagi oleh makin mengganasnya serangan
hama PBK, sehingga produksi kebun kakao yang bisa diselamatkan petani makin
rendah. Apabila serangan hama PBK tidak segera dapat dikendalikan, maka akan
terbentuk kantong-kantong kemiskinan di sentra produksi kakao Sulawesi Selatan.
8.1.3. Pengendalian Hama PBK
Pengendalian hama PBK sudah dilakukan petani sejak hama PBK teridentifikasi menyerang perkebunan kakao Sulawesi Selatan tahun 1995. Namun
karena karakteristik hama PBK yang aktif dimalam hari dan sebagian besar masa
hidupnya berada dalam buah kakao maka berbagai upaya pengendalian yang dilakukan petani kurang efektif.
Sebenarnya telah
tersedia teknologi pengendalian hama PBK yang telah teruji mampu mengurangi serangan hama PBK, tetapi teknologi tersebut harus diterapkan
secara bersama-sama dan menyeluruh, sehingga siklus hidup hama PBK dapat diputuskan. Teknologi pengendalian hama yang dimaksud cukup sederhana yaitu
dengan memperbaiki sistem budidaya yang dikenal dengan istilah PsPSP panen sering, pemangkasan, sanitasi dan pemupukan.
Panen sering dianjurkan secara terus menerus dengan interval 5-7 hari. Tujuannya agar buah yang menjelang matang dan mengandung larva hama PBK ikut
terpanen. Kemudian buah yang mengandung larva tersebut dipisahkan dari buah yang sehat dan selanjutnya dikubur dalam tanah atau dibakar. Sedangkan
pemangkasan dilakukan untuk mengurangi naungan sehingga lingkungan perkebunan kakao tidak disenangi oleh ngengat PBK. Sementara itu, sanitasi
dilakukan dengan cara membersihkan ranting-ranting atau daun kering di pohon maupun di permukaan tanah kemudian dikubur atau dibakar. Tujuannya adalah
untuk mematikan kepompong hama PBK yang berada di serasah atau ranting dan daun kering. Sedangkan pemupukan dilakukan dengan memberikan pupuk yang
berimbang dengan tujuan untuk meningkatkan produksi. Dengan tingkat produksi yang tinggi akan lebih banyak buah kakao yang dihasilkan dan lebih banyak pula
buah kakao yang tidak terserang hama PBK. Teknologi pengendalian hama PBK PsPSP tersebut sudah disosialisasikan
oleh pemerintah kepada petani, tetapi kurang mendapat respon dari petani karena berbagai kendala. Keterbatasan modal usaha dan tenaga kerja serta kondisi kebun
yang sudah seperti hutan kakao dan saling sambung-menyambung merupakan beberapa kendala yang dihadapi petani. Di samping itu, belum adanya kebersamaan
langkah untuk mengendalikan hama PBK menjadi penyebab tidak efektifnya teknologi PsPSP untuk memotong siklus hidup hama PBK. Untuk lebih jelasnya
berikut ini akan dibahas berbagai faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi pengendalian hama PBK.
8.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adopsi Teknologi