Dampak Pesatnya Pengembangan Perkebunan Kakao Terhadap Serangan Hama PBK, Lingkungan dan Perekonomian Regional Sulawesi Selatan.

(1)

Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Pada tahun 2004, perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar satu juta kepala keluarga petani serta memberikan sumbangan devisa sebesar US $ 546 juta. Nilai devisa ekspor kakao tersebut sedikit lebih rendah dari nilai ekspor kakao tahun 2002 dan 2003 yang masing-masing sebesar US $ 701 juta dan US $ 621 juta (Direktorat Jenderal Perkebunan 2006).

Sulawesi Selatan sebagai sentra utama produksi kakao Indonesia telah menikmati peran kakao sejak awal krisis ekonomi melanda Indonesia. Kakao tampil sebagai penyelamat ekonomi rumah tangga petani, bahkan telah menghantarkan banyak petani kakao menjadi “orang kaya baru” karena harga kakao melambung tinggi dari Rp 3.325/kg pada tahun 1997 menjadi Rp 10.740/kg tahun 1998. Sejak saat itu, komoditas kakao memberikan kontribusi yang cukup nyata bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan.

Pada tahun 1998, kakao memberikan kontribusi output sebesar Rp 2,19 triliun atau 50,65% total nilai output perkebunan Sulawesi Selatan dan kakao tampil sebagai komoditas andalan ekspor Sulawesi Selatan dengan pangsa sebesar 38,28% dari total nilai ekspor Sulawesi Selatan (Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan 1999 dan Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan 1999ª). Di samping itu, perkebunan kakao telah memacu perkembangan wilayah dan pertumbuhan sektor ekonomi lainnya, terutama yang berkaitan langsung dengan perkebunan kakao seperti: pengadaan sarana produksi, perdagangan produksi biji kakao, dan industri pengolahan biji kakao.

Perkebunan kakao masih prospektif untuk terus dikembangkan karena situasi kakao dunia mengalami defisit produksi sejak tahun 2001, sehingga harga kakao dunia cukup tinggi. Harga kakao dunia relatif stabil diatas US $ 1.300/ton sejak akhir tahun 2001, bahkan rata-rata di atas US $ 1.500/ton pada tahun 2005 (International


(2)

Cocoa Organization 2006). Kondisi ini terus memicu perluasan areal perkebunan kakao di Sulawesi Selatan. Areal perkebunan kakao di daerah ini berkembang hampir dua kali lipat dalam waktu 6 tahun terakhir yaitu dari 157.649 ha pada tahun 1997 menjadi 296.039 ha tahun 2003 atau rata-rata tumbuh 14,63% per tahun. Perkebunan kakao di Sulawesi Selatan hampir seluruhnya (99,26%) diusahakan oleh petani dengan sentra produksi Kabupaten Mamuju, Polmas, Pinrang, Bone, dan Luwu Utara (Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan 1998, 2004, dan 2004a). Perluasan areal perkebunan kakao yang begitu pesat tersebut cenderung tidak terkendali karena pengembangannya dilakukan oleh petani dengan sasaran pengembangan di lereng-lereng bukit dan pegunungan serta sebagian memasukan kawasan hutan (non budidaya). Pengembangan areal perkebunan kakao tersebut dilakukan petani tanpa dilandasi oleh studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Hal ini telah mengundang kritikan tajam karena beberapa fakta menunjukkan bahwa pengembangan perkebunan kakao di daerah ini telah menimbulkan kerusakan lingkungan berupa peningkatan erosi, kerusakan daerah tangkapan air dan penyusutan keanekaragaman hayati dengan berbagai dampak turunannya seperti peningkatan lahan kritis, banjir dan kekeringan. Menurut Akiyama dan Nishio (1997), pengembangan perkebunan kakao yang begitu pesat di Sulawesi Selatan di satu sisi memberikan dampak positif bagi perekonomian daerah, tetapi di sisi lain menimbulkan dampak negatif berupa peningkatan erosi dan menurunkan areal tangkapan air serta penyusutan keanekaragaman hayati.

Kerusakan lingkungan akibat alih fungsi lahan tersebut merupakan suatu biaya lingkungan yang biasanya tidak diperhitungkan dalam perhitungan pertumbuhan ekonomi maupun peran suatu sektor ekonomi dalam perekonomian regional. Akibatnya pertumbuhan ekonomi maupun peran suatu sektor ekonomi dalam perekonomian regional masih bersifat “semu” dan masyarakat masih harus menanggung biaya eksternalitas dari suatu proses produksi atau kegiatan ekonomi. Lebih lanjut, karena perencanaan pembangunan ekonomi umumnya disusun berdasarkan hasil-hasil pembangunan sebelumnya sehingga ada kemungkinan


(3)

pembangunan yang direncanakan akan lebih memperparah kerusakan lingkungan dan memperbesar beban biaya ekternalitas yang harus ditanggung masyarakat.

Lebih lanjut, pengembangan perkebunan kakao yang begitu pesat telah menghasilkan hamparan perkebunan kakao yang sambung-menyambung, sehingga setiap adanya serangan hama penyakit tanaman kakao akan cepat menyebar dan sulit dikendalikan. Pada saat ini, petani kakao Sulawesi Selatan sedang menghadapi persoalan yang sangat serius yaitu adanya serangan hama penggerek buah kakao (PBK), Conopomorpha cramerella Snell. (Lepidoptera; Gracillariidae). Hama PBK teridentifikasi mulai menyerang perkebunan kakao di Sulawesi Selatan pada tahun 1995 dan menyebar dengan pesat ke berbagai penjuru. Menurut Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan (2004 dalam Mustafa 2005), hama PBK sudah menyerang hampir seluruh perkebunan kakao di Sulawesi Selatan dan diperkirakan menimbulkan kerugian mencapai Rp 810 milyar per tahun.

Kerugian yang terus menerus menyebabkan kemampuan petani untuk memelihara perkebunan kakaonya menurun, sehingga perkebunan kakao menjadi terlantar, rusak dan lahannya akan terdegradasi. Di sisi lain, sebagian petani tetap berupaya untuk memenuhi permintaan kakao dunia yang terus meningkat dengan mengembangkan perkebunan kakao baru di daerah yang terpencil dan biasanya memasuki kawasan hutan dengan harapan terhindar dari serangan hama PBK. Pengembangan perkebunan kakao yang dilakukan petani tersebut dapat selamat dari serangan hama PBK dalam beberapa musim panen, tetapi kemudian hama PBK juga menyerang perkebunan kakao tersebut dan menimbulkan kerugian sama seperti perkebunan kakao lainnya.

Sampai tahun 2005, kerugian dan kerusakan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan akibat serangan hama PBK belum separah kerusakan perkebunan kakao di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Serangan hama PBK sejak awal tahun 2003 menyebabkan sekitar 90% dari 20.000 ha perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Sikka mengalami kerusakan dan puluhan ribu kepala keluarga petani pemiliknya


(4)

terancam kelaparan1. Meskipun demikian, tidak mustahil serangan hama PBK akan menimbulkan kerusakan perkebunan kakao dan dampak sosial ekonomi yang lebih parah bagi petani kakao di Sulawesi Selatan karena serangan hama PBK sudah beberapa kali menghancurkan perkebunan kakao di berbagai daerah di Indonesia.

Berdasarkan gambaran tersebut tampak bahwa serangan hama PBK tidak hanya menimbulkan kerugian ekonomi, kemiskinan dan kelaparan, tetapi juga berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan, baik lingkungan perkebunan kakao yang sudah ada maupun lingkungan hutan akibat percepatan proses alih fungsi hutan menjadi perkebunan kakao. Oleh karena itu, upaya untuk mengendalikan serangan hama PBK mempunyai arti yang sangat strategis untuk mengurangi kerugian ekonomi dan dampak sosial ekonomi lainnya serta mempertahankan keberlanjutan perkebunan kakao sekaligus mengurangi kerusakan lingkungan dan biaya eksternalitas.

Sebenarnya teknologi pengendalian hama PBK telah tersedia dan sudah disosialisasikan secara intensif melalui kegiatan sekolah lapang pengendalian hama terpadu (SL-PHT) sejak tahun 2000. Namun proses adopsi teknologi tersebut sangat lambat karena berbagai kendala yang dihadapi petani. Oleh karena itu mempelajari permasalahan adopsi teknologi pengendalian hama PBK dan biaya eksternalitas merupakan hal yang sangat krusial dalam upaya mempertahankan peran strategis perkebunan kakao bagi perekonomian regional dan menjaga keberlanjutan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan.

1.2. Kerangka Pemikiran

Pengembangan perkebunan kakao dan kelestarian fungsi lingkungan merupakan dua agenda yang diharapkan dapat berjalan harmonis dalam pembangunan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan. Pembangunan perkebunan di satu sisi akan memberikan dampak positif bagi perekonomian regional khususnya sebagai penyedia kesempatan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara, serta

1


(5)

pendorong pertumbuhan sektor ekonomi lainnya. Namun di sisi lain pengembangan perkebunan kakao memaksa terjadinya alih fungsi lahan dan proses alih fungsi lahan ini dapat menimbulkan dampak positif maupun negatif tergantung pada kondisi lahan yang dialih fungsikan dan teknologi budidaya kakao yang digunakan.

Teknologi budidaya kakao yang diterapkan petani sangat menentukan dampak dari proses alih fungsi lahan dan tingkat produksi perkebunan kakao petani. Alih fungsi lahan akan menimbulkan dampak positif apabila lahan yang dialih fungsikan merupakan lahan kritis yang diubah menjadi perkebunan kakao dengan menggunakan teknologi budidaya ramah lingkungan. Sebaliknya alih fungsi lahan akan berdampak negatif apabila lahan yang dialih fungsikan merupakan hutan lindung pendukung kehidupan menjadi perkebunan kakao yang kurang mampu menggantikan fungsi ekologis hutan lindung.

Dampak negatif alih fungsi lahan cukup nyata terjadi pada saat awal proses alih fungsi lahan dan akan berkurang pada saat perkebunan kakao berhasil dibangun serta kembali meningkat ketika perkebunan kakao mengalami kerusakan. Pada awal proses alih fungsi lahan muncul dampak negatif berupa: peningkatan erosi dan sedimentasi, penyusutan keanekaragaman hayati, kerusakan tata air dan peningkatan emisi gas rumah kaca CO2. Selanjutnya dampak negatif mulai berkurang pada saat tanaman kakao mulai menutupi lahan yang terbuka karena erosi lahan mulai berkurang. Namun erosi lahan dapat kembali meningkat jika perkebunan kakao tidak terpelihara dan mengalami kerusakan. Berbagai dampak negatif tersebut merupakan biaya lingkungan yang hingga saat ini masih diperlakukan sebagai biaya eksternalitas, akibatnya hasil perhitungan pertumbuhan ekonomi atau peran suatu sektor ekonomi dalam perekonomian regional masih bersifat ”semu”.

Dalam perekonomian regional sektor ekonomi kakao mempunyai keterkaitan dengan sektor ekonomi lainnya. Perkebunan kakao dalam proses produksinya memerlukan sejumlah input dan bersamaan dengan itu dihasilkan sejumlah output yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan permintaan akhir berupa konsumsi rumah tangga, ekspor dan lain-lain maupun sebagai input produksi sektor


(6)

ekonomi lainnya. Kondisi yang sama juga terjadi pada sektor perekonomian lainnya dan apabila arus input-output tersebut disederhanakan maka akan dapat dibentuk tabel input-output. Selanjutnya melalui pendekatan matematika akan dapat diperoleh berbagai informasi yang sangat berguna dalam perencanaan pembangunan perekonomian regional.

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa perkebunan kakao Sulawesi Selatan saat ini sedang menghadapi serangan hama PBK dan petani belum mampu mengendalikannya. Di sisi lain, teknologi pengendalian hama PBK yang cukup efektif untuk mengendalikan serangan hama PBK telah tersedia, tetapi belum diadopsi secara masal oleh petani. Oleh karena itu perlu dikaji faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi pengendalian hama PBK guna menunjang keberlanjutan peran perkebunan kakao bagi perekonomian Regional Sulawesi Selatan.

Berbagai permasalahan tersebut akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan Input Output dan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi pengendalian hama PBK. Kemudian hasil analisis tersebut dilengkapi dengan analisis prospektif guna merumuskan strategi pembangunan perkebunan kakao berkelanjutan. Secara sederhana kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.


(7)

Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran Pembangunan Perkebunan Kakao Berkelanjutan. Pengembangan

Perkebunan Kakao

Alih Fungsi Lahan Serangan

Hama PBK

Valuasi Ekonomi

Adopsi Teknologi: Faktor Berpengaruh Pendapatan

Petani Output, PDRB,

Lapangan Kerja

Kebun Terlantar

Strategi Pembangunan Perkebunan Kakao Berkelanjutan

Pengembangan Sektor Ekonomi Lainnya Produksi Kakao

Kerusakan Lingkungan

Perbaikan Lingkungan Teknologi

Budidaya Kakao

IO-Lingkungan: Peran Riil kakao IO-Konvensional:

Peran “Semu” kakao

Analisis Prospektif

Limbah

Keterangan:

Saling Berpengaruh Berpengaruh

Di Analisis Rekomendasi


(8)

Upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan peran perkebunan kakao secara berkelanjutan membutuhkan biaya yang cukup besar. Dalam situasi ketersediaan dana pemerintah yang relatif terbatas, maka keputusan alokasi dana pada suatu sektor perekonomian sangat tergantung pada perannya dalam menggerakkan perekonomian daerah. Melalui pendekatan input output, akan diperoleh gambaran yang lebih rinci bagaimana peran perkebunan kakao dalam menggerakkan perekonomian regional melalui penelaahan pengganda output, pengganda pendapatan dan pengganda tenaga kerja serta keterkaitan antar sektor perekonomian.

Melalui pendekatan input output juga dapat ditelaah dampak negatif dari serangan hama PBK. Apabila serangan hama PBK tidak terkendali, maka peran sektor perkebunan kakao akan mengalami kontraksi dan melalui pendekatan input output akan diperoleh gambaran berapa besar dampak serangan hama PBK bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan. Dengan memahami dampak serangan hama PBK tersebut akan diketahui bagaimana pentingnya upaya pengendalian hama PBK di daerah ini.

Namun karena adanya externalitas dalam proses produksi, maka berbagai informasi tersebut masih bersifat “semu”. Oleh karena itu perlu dilakukan koreksi dengan melakukan internalisasi biaya eksternalitas ke dalam tabel input-output konvensional, sehingga menjadi tabel input output berwawasan lingkungan. Koreksi terhadap tabel input output konvensional tersebut idealnya dilakukan dengan cara mengembangkan model tabel input output umum atau model ekonomi ekologi maupun model komoditi industri. Namun karena keterbatasan ketersediaan data, maka pengembangan model input output berwawasan lingkungan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengoreksi atau menginternalisasikan biaya eksternalitas ke nilai output tabel input output konvensional, sehingga menjadi tabel input output terkoreksi biaya eksternalitas.

Koreksi biaya eksternalitas tersebut dilakukan terhadap sektor-sektor ekonomi yang menghasilkan biaya lingkungan yang masih diperlakukan sebagai biaya eksternalitas karena secara teoritis sektor ekonomi tersebut bertanggungjawab atas pencemaran atau kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya. Koreksi output


(9)

dilakukan mengikuti asumsi dasar tabel input-output yaitu secara proposional terhadap nilai outputnya. Secara matematis, koreksi output masing-masing sektor ekonomi dengan biaya eksternalitas tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:

Xi = Xi1 + Xi2 + ... + Xij + ... + Xin + Yi ... (1)

Xi yang dikoreksi dengan biaya eksternalitas (BE) adalah Xi-BE = X*i, maka

Xi* = ai1* Xi1 + ai2*Xi2 + ... + aij*Xij + ... + ain*Xin + ai*Yi ... (2)

dimana:

Xi = Total output sektor ke-i,

Xij = Jumlah output sektor ke-i yang dijual ke sektor j,

Yi = Jumlah permintaan akhir untuk sektor ke-i,

BE = Total biaya eksternalitas sektor ke-i.

Xi* = Total output sektor ke-i yang dikoreksi dengan biaya eksternalitas,

aij = (Xij/Xi) = koefisien input output,

aij*= aij - (Xij/Xi)BE dan ai* = (Yi/Xi) - (Yi/Xi)BE.

Selanjutnya sebagaimana telah dikemukakan bahwa hama PBK merupakan ancaman yang serius bagi keberlanjutan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan. Serangan hama PBK dapat menurunkan produksi lebih dari 80%, sehingga sangat merugikan petani. Kerugian yang terus menerus menyebabkan kebun ditelantarkan dan menjadi rusak, yang pada gilirannya akan menimbulkan masalah lingkungan. Oleh karena itu diperlukan upaya yang lebih intensif untuk mengendalikan serangan hama PBK secara menyeluruh guna menyelamatkan keberlanjutan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan.

Upaya pengendalian hama PBK sebenarnya sudah dilakukan sejak hama PBK teridentifikasi menyerang perkebunan kakao di Sulawesi Selatan pada tahun 1995. Upaya pengendalian hama PBK pada awalnya dilakukan dengan menggunakan pestisida, tetapi tidak memberikan hasil yang memuaskan. Selanjutnya pengendalian hama PBK dilakukan dengan menerapkan paket teknologi PsPSP yaitu: Panen sering, Pemangkasan, Sanitasi, dan Pemupukan. Namun upaya tersebut juga belum memberikan hasil yang optimal karena sosialisasi dan adopsi teknologi pengendalian hama PBK tersebut sangat lambat. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian untuk mempercepat sosialisasi dan adopsi teknologi pengendalian hama PBK.


(10)

Menurut Rogers (1995), adopsi teknologi merupakan suatu proses yang dimulai dari pengetahuan tentang inovasi (teknologi baru), diikuti dengan pembentukan sikap terhadap inovasi dan diakhiri dengan keputusan (tindakan) untuk mengadopsi atau menolak inovasi. Pengetahuan tentang inovasi merupakan proses pengenalan dimana seseorang menerima atau mengetahui informasi tentang teknologi baru. Pembentukan sikap merupakan suatu proses mental seseorang untuk mengevaluasi terhadap teknologi baru. Sementara itu, keputusan atau tindakan merupakan suatu tahapan dimana seorang petani mulai mengambil keputusan untuk menerapkan atau tidak menerapkan teknologi baru pada usahataninya.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa adopsi teknologi dipengaruhi oleh karakteristik teknologi, karakteristik pengambil keputusan, karakteristik lingkungan, saluran komunikasi dan usaha promosi. Karakteristik teknologi meliputi keuntungan relatif, kompatibilitas, kompleksitas, trialabilitas, dan observabilitas. Sementara karakteristik petani sebagai pengambil keputusan dipengaruhi oleh individu petani, kelompok tani dan penguasa. Sedangkan karakteristik lingkungan sosial, saluran komunikasi dan usaha promosi dipengaruhi antara lain: toleransi terhadap perubahan, keberadaan sumber informasi, keberadaan pembina dan intensitas kerjasama antar petani (Rogers, 1995). Secara sederhana proses adopsi teknologi dapat dilihat pada Gambar 2.


(11)

Gambar 2. Proses Adopsi Teknologi

SIKAP TINDAKAN

ADOPSI PENGETAHUAN

Karakteristik Teknologi 1. Keuntungan ekonomi 2. Keuntungan sosial 3. Kompatibilitas 4. Kompleksitas 5. Observabilitas

Karakteristik Kebun 1. Luas kebun kakao 2. Umur tanaman 3. Kemiringan lahan. Kemampuan Petani 1. Tenaga kerja terampil 2. Modal

3. Bahan dan alat

MENOLAK

Diskontinu

1. Ganti yang baru 2. Kecewa

Terus mengadopsi

Pengadopsian terlambat Tetap menolak Sifat-sifat Individu Petani:

1. Karakteristik Petani

2. Kebutuhan Petani Terhadap Perubahan/Inovasi

Lingkungan Sosial: 1. Keberadaan Sumber Informasi 2. Keberadaan Pembinaan 3. Intensitas Kerjasama

4. Toleransi Terhadap Perbeda-an/Perubahan

5. Pola Pengambilan Keputusan


(12)

suatu variabel tidak bebas kualitatif dengan dua kategori yaitu 0 (nol) untuk menolak inovasi teknologi dan 1 (satu) untuk menerima atau mengadopsi teknologi. Menurut Pindyck dan Rubinfeld (1998), untuk menduga regresi peubah tidak bebas kualitatif dapat dilakukan melalui tiga pendekatan yaitu: Model Probabilistik Linier (Linear Probability Model), Model Probit (Probit Model), dan Model Logit (Logit Model). Model Probabilistik Linier mempunyai kelemahan karena ada kemungkinan peluang bersyaratnya berada diluar kisaran 0-1, sehingga sulit dilakukan pendugaan dengan menggunakan model OLS (Ordinary Least Square). Sementara itu, Model Probit dan Model Logit selalu memenuhi peluang bersyarat pada kisaran 0-1. Namun Model Probit lebih rumit perhitungannya dari pada Model Logit, maka dalam penelitian terapan lebih sering digunakan Model Logit.

Pada penelitian ini pendugaan faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi pengendalian hama PBK dilakukan dengan menggunakan Model Logit yang dirumuskan sebagai berikut (Pindyck dan Rubinfeld 1998):

⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + = ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + = + =

= i i z + Xi

e e

X Z

F

i α β

β α 1 1 1 1 ) ( ) (

Pi ….…………...…(3)

Apabila ruas kiri dan kanan persamaan (1) di kalikan dengan (1+e-zi), maka akan diperoleh:

1 )P (1+ezi i =

... (4) Kemudian jika kedua ruas kiri dan kanan persamaan (2) dibagi dengan Pi dan dikurangi 1 maka diperoleh:

⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − = ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − = − i i i z P P P

e i 1 1 1 ... (5) Dengan mendefinisikan ezi =1/ezi maka

⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − = − i i z P P e i


(13)

Jika kedua ruas kiri dan kanan di Ln-kan maka diperoleh : i

i i

i

i X e

P P Ln

Z ⎟⎟ = + +

⎠ ⎞ ⎜⎜

⎝ ⎛

= α β

1 ... (7)

dimana:

Pi = Peluang petani mengadopsi teknologi pengendalian hama PBK (Pi =1

jika petani mengadopsi dan Pi=0 jika petani tidak mengadopsi), Xi = Variabel bebas ( i = 1, 2, 3, ... n)

α = intersep,

βi = Parameter peubah Xi ei = galat acak.

Berdasarkan latar belakang masalah dan kerangka pemikiran yang telah diuraikan diatas, maka kegiatan penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan sebagai berikut: Tahap pertama adalah perumusan masalah dan tujuan penelitian. Tahap kedua adalah survei pendahuluan untuk mengumpulkan data dasar dan penentuan lokasi sampel serta penentuan pendekatan pemecahan masalah. Selanjutnya, tahap ketiga adalah survei utama untuk mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Berdasarkan data dan informasi yang berhasil dikumpulkan dilakukan analisis data dan simulasi guna merumuskan strategi dan kebijakan pembangunan perkebunan kakao yang berkelanjutan di Sulawesi Selatan (Gambar 3).


(14)

Gambar 3. Tahapan Kegiatan Penelitian.

Persiapan Penelitian

- Perumusan masalah,

- Perumusan tujuan penelitian

- Biaya Lingkungan,

- Tabel IO konvensional dan IO yang dikoreksi biaya eksternalitas, - Simulasi dampak serangan hama PBK,

- Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi pengendalian hama PBK-PsPSP.

Survei Utama Survei Pendahuluan

- Identifikasi data, lokasi, dan pendekatan, - Pengumpulan data dasar,

- Pengolahan dan analisis data dasar.

Analisis Prospektif untuk merumuskan strategi pembangunan perkebunan kakao berkelanjutan.

Pengolahan dan Analisis Data

- Identifikasi dan pengumpulan data sekunder, - Pengumpulan data dan informasi primer.


(15)

1.3. Perumusan Masalah

Perkebunan kakao mempunyai arti yang cukup strategis bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan. Namun dalam pengembangannya terdapat beberapa permasalahan khususnya permasalahan lingkungan dan serangan hama PBK yang mengancam keberlanjutan perkebunan kakao di daerah ini. Permasalahan tersebut perlu mendapat perhatian yang lebih serius karena Sulawesi Selatan merupakan sentra utama produksi kakao nasional dan kakao merupakan salah satu andalan ekspor komoditas perkebun Indonesia.

Kesadaran akan pentingnya peran perkebunan dalam perekonomian nasional telah mendorong pemerintah pusat untuk mencanangkan program revitalisasi terhadap tiga komoditas utama perkebunan yaitu kelapa sawit, karet dan kakao mulai pertengahan tahun 2005. Pencanangan program revitalisasi tersebut disambut baik oleh dunia usaha khususnya perusahaan perkebunan besar yang mengusahakan komoditas kelapa sawit. Program revitalisasi perkebunan juga mendapat dukungan dari perbankan nasional khususnya BRI dan Bank Mandiri. Namun kenyataannya perhatian dan respon yang diterima oleh komoditas kakao sangat berbeda dengan kelapa sawit, padahal kakao sedang menghadapi berbagai permasalahan yang cukup berat dan memerlukan perhatian yang lebih serius.

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa perkebunan kakao telah memberikan sumbangan yang cukup nyata bagi penyediaan lapangan kerja, pendapatan petani, pangsa PDRB dan ekspor Sulawesi Selatan, meskipun peran tersebut masih bersifat semu karena berbagai kerusakan lingkungan dan dampak turunannya belum diperhitungkan. Di sisi lain, serangan hama PBK tidak hanya menimbulkan kerugian ekonomi, tetapi berpotensi untuk melahirkan kantong-kantong kemiskinan di sentra produksi kakao dan menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana sesungguhnya peran perkebunan kakao, dampak serangan hama PBK dan keberlanjutan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian untuk memberikan gambaran dan informasi khususnya kepada para pengambil kebijakan dan pelaku agribisnis perkebunan kakao tentang:


(16)

a. Berapa besar peranan perkebunan kakao bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan, khususnya dalam menghasilkan output, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), ekspor, penyediaan lapangan kerja dan sumber pendapatan, serta perannya dalam menggerakkan perekonomian regional.

b. Berapa besar biaya lingkungan (eksternalitas) yang harus diperhitungkan agar penilaian peran kakao tidak bersifat ”semu” dan bagaimana pengaruh internalisasi biaya eksternalitas terhadap peran kakao bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan.

c. Bagaimana dampak serangan hama PBK terhadap pendapatan petani dan perekonomian Regional Sulawesi Selatan serta peningkatan biaya eksternalitas karena peningkatan areal perkebunan kakao petani yang rusak dan upaya perluasan areal perkebunan kakao untuk mengantisipasi permintaan kakao dunia yang terus meningkat.

d. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi adopsi teknologi pengendalian hama PBK dan bagaimana mempercepat laju adopsi teknologi pengendalian hama PBK tersebut untuk mengamankan pendapatan petani dan pangsa kakao dalam menghasilkan PDRB, serta menjaga keberlanjutan peran perkebunan kakao bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan.

1.4. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang, kerangka pemikiran, dan permasalahan yang telah diuraikan tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk merumuskan strategi pembangunan perkebunan kakao berkelanjutan di Sulawesi Selatan. Sehubungan dengan itu dilakukan beberapa kegiatan sebagai berikut:

a. Mengidentifikasi dan menganalisis biaya eksternalitas pengembangan perkebunan kakao dan biaya eksternalitas karena kerusakan perkebunan kakao akibat serangan hama PBK serta menganalisis biaya eksternalitas sektor perekonomian lainnya.

b. Menganalisis peran perkebunan kakao bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan, khususnya dalam menghasilkan output, PDRB, ekspor, penyediaan


(17)

lapangan kerja dan sumber pendapatan, serta perannya dalam menggerakkan perekonomian regional.

c. Menganalisis dampak internalisasi biaya eksternalitas berbagai sektor ekonomi terhadap output, PDRB dan nilai indikator pengganda serta nilai indikator keterkaitan berbagai sektor ekonomi dalam perekonomian regional Sulawesi Selatan.

d. Mengidentifikasi dan menganalisis dampak serangan hama PBK terhadap pendapatan petani kakao dan perekonomian Regional Sulawesi Selatan serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi dalam rangka mempercepat adopsi teknologi pengendalian hama PBK.

1.5. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi sebagai berikut: a. Memberikan masukan bagi pengambil kebijakan dalam merumuskan kebijakan

pembangunan regional, khususnya pembangunan perkebunan kakao yang berkelanjutan di Sulawesi Selatan.

b. Menambah khasanah Ilmu Pengetahuan khususnya Ilmu-Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, terutama pengelolaan sumberdaya alam untuk pengembangan perkebunan kakao berkelanjutan melalui pendekatan perencanaan yang terintegrasi antara pertumbuhan ekonomi pengembangan wilayah dan kualitas lingkungan.

1.6. Kebaharuan (Novelty)

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan serangkaian pendekatan atau metode yang meliputi: berbagai metode valuasi ekonomi untuk menghitung biaya lingkungan (eksternalitas) dari berbagai sektor ekonomi, analisis Tabel Input Output konvensional dan Tabel Input Output yang dikoreksi dengan biaya eksternalitas, pendekatan dengan Model Logit untuk menemukan faktor-faktor kunci yang mempengaruhi adopsi teknologi pengendalian hama PBK dan analisis prospektif untuk memberikan arahan strategi pembangunan perkebunan kakao berkelanjutan.


(18)

Metode/pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode-metode yang sudah baku yang dikemas dalam suatu rangkaian yang baru untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Jadi kebaharuan dari penelitian ini adalah rangkaian metode penelitian dan hasil penelitiannya terutama peran riil perkebunan kakao, faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi dan arahan kebijakan untuk mempercepat adopsi teknologi pengendalian hama PBK serta arahan strategi pembangunan perkebunan kakao yang berkelanjutan di Sulawesi Selatan.


(19)

Pembangunan pada awalnya identik dengan upaya untuk meningkatkan pendapatan per kapita dan indikator keberhasilannya adalah peningkatan pendapatan nasional (GNP) per kapita. Hal ini sangat jelas terlihat dari pemikiran-pemikiran awal mengenai pembangunan seperti teori Harrod Domar, Arthur Lewis, WW Rostow, Hirschman dan Leibenstein. Namun sekitar tahun 1960, ketika data makro yang dapat diperbandingkan secara internasional telah tersedia, para ahli ekonomi menemukan bahwa pembangunan tidak hanya berdimensi ekonomi, tetapi multidimensi (Kuncoro 2003).

Kenyataan di negara yang sedang berkembang menunjukkan bahwa pertumbuhan tidak identik dengan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada tahap awal pembangunan di negara berkembang dapat dicapai, setidaknya melebihi negara-negara maju. Namun pertumbuhan tersebut dibarengi oleh munculnya permasalahan-permasalahan pembangunan seperti pengangguran, kemiskinan di pedesaan, ketimpangan distribusi pendapatan dan ketidak seimbangan struktural (Sjahrir 1986). Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan berdimensi luas tidak hanya sekedar peningkatan pertumbuhan ekonomi, sehingga para ahli merasa perlu untuk melakukan pengkajian ulang tentang arti pembangunan. Pembangunan ekonomi tidak lagi memuja pertumbuhan GNP sebagai sasaran pembangunan, tetapi perlu lebih memusatkan perhatian pada kualitas dan proses pembangunan.

Menurut Kuncoro (2003), selama dasawarsa 1970-an, redefinisi pembangunan ekonomi diwujudkan dalam upaya meniadakan atau setidaknya mengurangi kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan. Untuk mewujudkan sasaran tersebut munculah konsep dan strategi pembangunan yang baru seperti: pertumbuhan dengan distribusi, pembangunan dengan strategi kebutuhan pokok, pembangunan mandiri, pembangunan yang memperhatikan ketimpangan pendapatan menurut etnis, dan pembangunan berkelanjutan dengan perhatian terhadap alam/lingkungan.


(20)

Begitu kompleksnya pembangunan menyebabkan muncul banyak teori dan tidak ada satu teori pembangunan yang tepat untuk diterapkan di semua negara di dunia. Teori-teori pembangunan yang ada pada tahap awal sangat didominasi oleh hasil pemikiran ekonom barat, sehingga tidak selalu cocok untuk diterapkan di negara-negara yang sedang berkembang. Kondisi ini memacu munculnya teori-teori baru tentang pembangunan. Karena begitu banyaknya teori pembangunan yang diformulasikan oleh para ahli ekonomi, maka agak sulit untuk mengelompokkannya dalam suatu aliran tertentu. Meskipun demikian, menurut Kuncoro (2003), paling tidak ada 5 kelompok teori pembangunan yaitu: a. Teori pertumbuhan linear; b. Teori perubahan struktural; c. Teori revolusi ketergantungan internasional; d. Teori neo-klasik; dan e. Teori-teori baru.

2.1.1. Teori Pertumbuhan Linear

Teori pertumbuhan linear mendominasi perkembangan teori pembangunan sejak pertama kali dikemukakan oleh Adam Smith, diikuti oleh Karl Marx dan mencapai puncak kejayaannya dengan lahirnya teori pertumbuhan yang dikemukakan oleh Rostow. Dasar pemikiran dari teori ini adalah evolusi proses pembangunan yang dialami oleh suatu negara selalu melalui tahapan tertentu. Masing-masing tahapan pembangunan mutlak dilalui satu per satu secara berurutan menuju tingkat yang semakin tinggi.

Adam Smith membagi tahapan pertumbuhan ekonomi dalam 5 tahapan secara berurutan mulai dari tahap perburuan, tahap berternak, tahap bercocok tanam, tahap perdagangan dan terakhir tahap perindustrian. Menurut teori ini, masyarakat akan bergerak dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern yang kapitalis. Teori ini menempatkan buruh sebagai input dalam proses produksi sehingga tidak mempunyai posisi tawar dan menempatkan modal sebagai faktor penentu bagi cepat atau lambatnya pertumbuhan. Adam Smith mengasumsikan hanya tuan tanah dan pengusaha yang mampu menabung dan mengakumulasikan modal, sehingga mereka memiliki posisi tawar yang kuat dan menimbulkan konsekwesi terjadi eksploitasi


(21)

terhadap kaum buruh. Asumsi tersebut menunjukkan kekejaman teori Adam Smith dengan sistem ekonomi kapitalis.

Sementara Karl Marx membagi evolusi perkembangan masyarakat menjadi tiga yaitu dimulai dari feodalisme, kapitalisme dan terakhir adalah sosialisme. Evolusi perkembangan masyarakat tersebut sejalan dengan proses pembangunan yang dilaksanakan. Menurut teori ini, masyarakat feodalisme mencerminkan kondisi dimana perekonomian yang ada masih bersifat tradisional dan tuan tanah menjadi pelaku ekonomi yang mempunyai posisi tawar yang tinggi. Perkembangan teknologi menimbulkan penggeseran dari masyarakat agraris-feodal menjadi masyarakat industri yang kapitalis dan para pengusaha memiliki posisi tawar yang tinggi. Eksploitasi terhadap kaum buruh dan penggunaan input yang padat kapital pada akhirnya akan menimbulkan revolusi sosial yang dilakukan kaum buruh sehingga terbentuk tatanan masyarakat sosialis. Teori Marx ini tampaknya sangat diwarnai subjektivitas dan kebencian Marx terhadap sistem kapitalis, sehingga ia mendeskripsikan kehancuran kapitalis yang akan digantikan oleh sosialis harus melalui revolusi. Meskipun demikian, teori ini justru banyak menyumbang untuk kelanggengan kehidupan ekonomi kapitalis, karena perkiraan dampak negatif revolusi sosial tersebut menjadikan masukan untuk menyempurnakan sistem yang ada.

Selanjutnya sebagai garda depan teori pertumbuhan linear dikemukakan oleh Walt Whitman Rostow pada dekade 1950-1960. Rostow membagi proses pembangunan ekonomi suatu negara dalam lima tahapan yaitu: tahap perekonomian tradisional, tahap prakondisi tinggal landas, tahap tinggal landas, tahap menuju kedewasaan, dan tahap konsumsi massa tinggi. Proses pembangunan ekonomi dimulai dari tahapan perekonomian tradisional yang dicirikan oleh dominannya sektor pertanian dengan pemanfaatan teknologi yang rendah. Kemudian proses pembangunan masuk ke tahap dua yang merupakan proses transisi dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri. Pada tahap ini sektor pertanian masih memegang peranan penting bagi perekonomian, tetapi sektor industri mulai berkembang dan perekonomian mulai bergerak dinamis. Selanjutnya tahap tinggal landas yaitu suatu


(22)

tahapan yang paling menentukan dalam keseluruhan proses pembangunan bagi kehidupan masyarakat. Ada tiga persyaratan yang saling berkaitan yang harus dipenuhi untuk proses tinggal landas yaitu kenaikan investasi produktif 5-10% dari pendapatan nasional, perkembangan salah satu atau beberapa sektor manufaktur penting dengan pertumbuhan yang tinggi dan terciptanya kerangka politik, sosial dan institusional yang menimbulkan hasrat ekspansi di sektor modern yang berdampak mendorong pertumbuhan ekonomi. Proses selanjutnya adalah tahap menuju kedewasaan ditandai dengan penerapan teknologi modern terhadap sumberdaya yang dimiliki dan produksi dilakukan secara swadaya. Dan yang terakhir adalah tahap konsumsi massa tinggi yang ditandai oleh adanya migrasi besar-besaran dari masyarakat pusat kota ke pinggiran perkotaan. Pada tahap ini terjadi perubahan orientasi dari pendekatan penawaran ke pendekatan permintaan dan terjadi perubahan pandangan bahwa kesejahteraan bukanlah permasalahan individu, tetapi mencakup kesejahteraan masyarakat secara bersama-sama. Teori Rostow tidak terlepas dari berbagai kritikan, bahkan dapat dikatakan bahwa kritikan terhadap teori ini lebih panjang dari pada teorinya. Meskipun demikian, teori tersebut banyak mempengaruhi pandangan dan persepsi para ahli ekonomi mengenai strategi pembangunan yang harus dilakukan, terutama di negara-negara yang sedang berkembang.

2.1.2. Teori Perubahan Struktural

Teori perubahan struktural menitik beratkan pembahasan pada mekanisme tranformasi ekonomi yang dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang. Ada dua teori yang sangat berpengaruh yaitu: Teori pembangunan Arthur Lewis dan Teori transformasi struktural Hollis Chenery.

Dalam model Lewis, perekonomian dianggap terdiri dari dua sektor yaitu sektor tradisional dan sektor industri. Sektor tradisional yakni sektor pedesaan, masyarakatnya berada pada kondisi subsisten yang kelebihan tenaga kerja, sehingga produktivitas marjinalnya sama dengan nol. Di sisi lain, sektor industri yang berada di perkotaan mempunyai tingkat produktivitas yang tinggi dan mengisyaratkan


(23)

bahwa nilai produk marjinal tenaga kerja positif, sehingga dapat menampung tenaga kerja dari pedesaan.

Teori yang kedua yang dikembangkan oleh Chenery memfokuskan pada proses perubahan struktur ekonomi secara bertahap. Hasil penelitian Chenery menunjukkan bahwa perekonomian suatu negara akan bergeser dari yang semula mengandalkan sektor pertanian menuju ke sektor industri. Kondisi tersebut ditandai oleh perubahan pangsa sektor industri dalam GNP yang meningkat dan pangsa sektor pertanian dalam GNP yang menurun. Selanjutnya Chenery membuat pengelompokan negara sesuai dengan proses perubahan struktural yang dialami berdasarkan tingkat pendapatan per kapita. Negara yang pendapatan per kapitanya kurang dari $ 600 dikelompokkan ke dalam negara yang baru melakukan pembangunan. Sementara negara yang pendapatan per kapitanya anrata $ 600 hingga $ 3.000 digolongkan ke dalam kelompok negara dalam fase transisi pembangunan.

2.1.3. Teori Revolusi Ketergantungan Internasional

Teori ini lahir dari hasil diskusi para ekonom negara-negara Amerika Latin yang dicetuskan oleh Paul Baran. Teori ketergantungan internasional berusaha menjelaskan penyebab keterbelakangan ekonomi yang dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang. Teori ini memandang bahwa negara-negara yang sedang berkembang menjadi korban berbagai macam perilaku kelembagaan, politik dan ekonomi domestik maupun internasional, sehingga terjebak dalam hubungan ketergantungan dan dominansi negara kaya. Ekonom penganut teori ini menuduh badan-badan dunia internasional seperti Bank Dunia dan IMF sebagai lembaga yang menyebabkan meningkatnya ketergantungan yang terjadi di negara-negara yang sedang berkembang.

Teori ketergantungan merupakan varian dari teori yang dikembangkan oleh Karl Marx, sehingga tampak adanya pertentangan kelas dalam masyarakat tetapi dalam konteks internasional yaitu antara negara miskin dengan negara kaya yang lebih maju. Teori ini mendapat kritikan karena hanya mampu mengumpulkan sebab-sebab terjadinya keterbelakangan dan ketergantungan tanpa mampu mencarikan


(24)

solusi jalan keluarnya. Solusi yang ditawarkan hanyalah melakukan isolasi terhadap pengaruh luar dan hal ini sulit dilakukan karena globalisasi. Meskipun demikian, teori ini paling tidak telah memberikan peringatan kepada para penguasa negara-negara yang sedang berkembang agar tidak terjebak dalam ketergantungan dari negara maju.

2.1.4. Teori Neo-Klasik

Teori Neo-Klasik lahir pada dekade 1980-an sebagai sanggahan terhadap teori ketergantungan dimana negara maju mengeksploitasi negara yang sedang berkembang. Teori ini merekomendasikan swastanisasi BUMN dan menciptakan iklim kondusif bagi peningkatan peran swasta. Teori Neo-Klasik berpendapat bahwa keterbelakangan bukan disebabkan oleh pengaruh eksternal, tetapi lebih dipengaruhi oleh internal dalam negara berkembang itu sendiri. Alokasi sumberdaya yang salah, merebaknya korupsi, dan terlalu besar campurtangan pemerintah merupakan penyebab utama ketidak efisienan mesin perekonomian. Menurut teori Neo-Klasik, pasar bebas dan bersaing sempurna merupakan kata kunci bagi keberhasilan pembangunan.

Teori ini tampaknya hanya tepat diterapkan di negara maju karena perdagangan bebas dan pasar bersaing sempurna hanya dapat dipenuhi oleh negara maju. Perbedaan struktur masyarakat dan kelembagaan negara maju dan negara berkembang menyebabkan teori ini gagal untuk diterapkan di negara-negara yang sedang berkembang.

2.1.5. Teori Teori Baru

Dalam perkembangan literatur terakhir, beberapa ahli mengklaim paling tidak ada tiga teori baru yang muncul yaitu: teori pertumbuhan baru, teori geografi ekonomi baru dan teori perdagangan baru. Teori pertumbuhan baru dilontarkan oleh para ekonom yang prihatin dan gencar mengkritik keandalan teori neo-klasik dalam menjelaskan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Teori pertumbuhan baru berpendapat bahwa pertumbuhan GNP lebih ditentukan oleh


(25)

sistem proses produksi dan bukan berasal dari luar sistem. Motivasi dasar teori ini adalah menjelaskan perbedaan tingkat pertumbuhan antar negara dan menjelaskan faktor-faktor yang menentukan ukuran dan tingkat pertumbuhan GDP yang belum dijelaskan dan dianggap ditentukan secara eksogen oleh persamaan pertumbuhan Neo-klasik versi Solow.

Sementara teori geografi baru dan teori perdagangan baru muncul karena lebih dari seratus tahun, para pakar geografi, pakar ekonomi, perencana kota, para ahli strategi bisnis, ilmuwan regional dan ilmuwan sosial lainnya masih belum mampu memberikan penjelasan tentang mengapa dan di mana aktivitas ekonomi berlokasi. Teori geografi baru telah berhasil memberikan penjelasan mengenai perdagangan dan ketimpangan distribusi kegiatan ekonomi, tetapi mendapat kritikan karena pendekatan yang mereka gunakan bukanlah hal yang baru melainkan penemuan kembali teori lokasi tradisional dan ilmu regional. Sedangkan teori perdagangan baru menawarkan perspektif yang berbeda dengan teori geografi ekonomi baru dan neo-klasik. Para pendukung teori perdagangan baru berpendapat bahwa ukuran pasar ditentukan secara fundamental oleh besar kecilnya angkatan kerja pada suatu negara dan tenaga kerja tidak mudah untuk berpindah lintas negara. Mereka percaya bahwa penentu utama lokasi adalah derajat tingkat pendapatan yang meningkat dari suatu pabrik, tingkat substitusi antar produk yang berbeda dan ukuran pasar domestik.

2.1.6. Perlunya Pengembangan Teori Pembangunan Berkelanjutan

Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa teori pembangunan ekonomi yang dikembangkan hingga saat ini umumnya lebih menekankan pada pertumbuhan dan efesiensi, serta kurang memperhatikan aspek sumberdaya alam dan lingkungan. Menurut Capra (2002), aspek sumberdaya alam dan lingkungan sebenarnya merupakan salah satu unsur yang ada dalam model ekonomi klasik. Namun karena pada saat awal pengembangan teori tersebut sumberdaya alam masih berlimpah dan jumlah penduduk masih sedikit, maka isu pentingnya untuk memperhatikan sumberdaya alam bukan merupakan isu sentral pada saat itu.


(26)

Anggapan bahwa sumberdaya alam yang berlimpah tersebut terus digunakan dalam pengembangan model ekonomi selanjutnya, bahkan mazhab Neo-klasik telah menghilangkan faktor sumberdaya alam dari model ekonomi yang mereka kembangkan. Model ekonomi mazhab Neo-klasik hanya berkonsentrasi pada dua variabel yaitu sumberdaya manusia dan modal atau kapital. Sementara variabel sosial dan lingkungan mereka keluarkan dari model ekonomi, sehingga memungkinkan pengembangan model ekonomi analog dengan percobaan ilmu fisik yang terkendali. Namun model ekonomi tersebut menjadi tidak realistis dan keberhasilan pembangunan bersifat ”semu”, karena kerusakan lingkungan akibat kegiatan ekonomi yang diekternalitaskan menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat khususnya disekitar sumberdaya alam yang diekploitasi.

Kondisi sistem perekonomian yang dibangun berdasarkan model ekonomi tersebut secara lebih tegas dikemukakan oleh Brown (1995) yang menyatakan bahwa sistem perekonomian dunia saat ini secara perlahan-lahan mulai menghancurkan diri sendiri karena aktivitas ekonomi umumnya menimbulkan kerusakan dan degradasi lingkungan hidup. Apabila kerusakan sistem penunjang perekonomian terus berlanjut maka pertumbuhan ekonomi akan merosot di bawah pertumbuhan penduduk. Oleh karena itu perlu segera disusun strategi pembangunan bagi masyarakat dunia secara keseluruhan sehingga pembangunan ekonomi dunia dapat berkelanjutan.

Menurut Capra (2002), untuk menjamin keberlanjutan pembangunan ekonomi dunia diperlukan revisi konsep dan teori ekonomi khususnya pendefinisian kembali ”efesiensi dan produktivitas serta konsep keuntungan. Efesiensi tidak bisa lagi dinilai berdasarkan tingkat individu atau perusahaan, tetapi dinilai berdasarkan tingkat ekosistem. Demikian pula halnya dengan produktivitas tidak lagi didefinisikan sebagai output per jam kerja karyawan yang berdampak pada otomatisasi dan mekanisasi sehingga memperbanyak pengangguran dimana produktivitas mereka menjadi nol. Sementara konsep keuntungan perlu direvisi agar tidak lagi dipandang sebagai keuntungan pribadi yang mengabaikan (ekternalitas) biaya sosial dan lingkungan. Selanjutnya disusun perangkat model baru yang


(27)

mengintegrasikan berbagai cabang ilmu pengetahuan dalam suatu kerangka ekologis yang luas.

Lebih lanjut dikemukakan bahwa garis besar dari kerangka tersebut dibentuk oleh sekelompok orang yang menolak untuk disebut sebagai ahli ekonomi atau dikaitkan dengan disiplin akademik konvensional tunggal yang didefinisikan secara sempit. Pendekatan yang digunakan tetap ilmiah, tetapi jauh melampaui gambaran ilmu ala Descartes-Newton. Dasar empirisnya tidak hanya meliputi data ekonomi, fakta sosial dan politik, serta fenomena psikologis, tetapi juga suatu referensi yang jelas terhadap nilai-nilai budaya. Dari dasar inilah, para ilmuwan tersebut akan mampu membangun model-model fenomena ekonomi yang realistik dan dapat dipercaya (Capra 2002).

2.2. Pembangunan Berkelanjutan

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan salah satu paradigma, konsep atau strategi pembangunan yang lahir sebagai upaya untuk merubah pandangan para ekonom dan perencana pembangunan yang terlalu memuja peretumbuhan GNP sebagai tujuan pembangunan. Pembangunan berkelanjutan membawa pesan utama agar pembangunan ekonomi tidak melupakan sistem biologi alam atau lingkungan yang menopang ekonomi dunia. Pada saat ini banyak bukti-bukti impiris yang menunjukkan bahwa pembangunan yang dilaksanakan selama ini telah menimbulkan berbagai kemerosotan dan kerusakan lingkungan hidup, baik pada skala lokal, regional maupun skala global. Polusi oleh limbah, kerusakan hutan dan terumbu karang, hujan asam, menipisnya lapisan ozon dan perubahan iklim global merupakan contoh-contoh kemerosotan lingkungan hidup yang mengancam masa depan bumi.

Menurut Djajadiningrat (2001), pada abad keduapuluh kita menyaksikan pertumbuhan populasi penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang begitu pesat dan tidak pernah terjadi pada abad sebelumnya. Penduduk dunia bertambah lebih dari tiga kali lipat, sementara pendapatan dunia meningkat sekitar dua puluh kali lipat dan penggunaan minyak bumi meningkat menjadi lebih dari sepuluh kali lipat.


(28)

Perubahan besar tersebut menimbulkan peningkatan pembuangan limbah beracun ke lingkungan. Pada awalnya pencemaran masih bersifat lokal, tetapi kini pencemaran sudah mengglobal, sehingga menimbulkan gangguan pada keseimbangan lingkungan hidup. Masalah lingkungan berkembang sedemikian cepat, baik di tingkat nasional maupun internasional, sehingga tidak ada satupun negara yang dapat menghindarinya.

Dengan memperhatikan berbagai bukti impiris tersebut munculah kesadaran masyarakat dunia untuk merubah paradigma pembangunan yang selama ini hanya mengutamakan aspek ekonomi dan melupakan dampak buruknya terhadap sumberdaya alam dan lingkungan, kearah pembangunan yang bersahabat dengan lingkungan. Kesadaran tersebut datangnya agak terlambat dan sebagian negara maju masih enggan untuk melakukan perubahan. Hal ini dapat dilihat bagaimana alotnya proses ratifikasi Protokol Kyoto sebagai komitmen tertulis dalam upaya menghambat perubahan iklim. Untuk lebih memahami bagaimana perkembangan paradigma pembangunan berkelanjutan, berikut ini akan diuraikan secara singkat sejarah perkembangan konsepsi pembangunan berkelanjutan dan konsepsi pembangunan berkelanjutan.

2.2.1. Sejarah Konsepsi Pembangunan Berkelanjutan

Kesadaran dan desakan akan pentingnya memperhatikan lingkungan dalam pembangunan ekonomi mulai mendapat perhatian serius sejak terbitnya buku Rachel Carson yang berjudul The Silent Spring tahun 1962. Sejak itu muncullah gerakan lingkungan hidup hingga terselenggaranya Konperensi PBB tentang lingkungan hidup pada bulan Juni 1972 di Stokholm. Selanjutnya upaya untuk menyelamatkan lingkungan hidup dipertegas lagi dengan terbitnya suatu laporan yang disiapkan oleh World Commission on Environment and Development (Komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan) pada tahun 1987. Inti konsep komisi tersebut adalah pembangunan berkelanjutan yaitu: pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk mencukupi kebutuhan mereka (Soemarwoto 2001).


(29)

Hasil Konperensi PBB di Stockholm dan Laporan Komisi Dunia tersebut selanjutnya dijadikan sebagai landasan bagi terlaksananya Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil pada tahun 1992. Konperensi tersebut merupakan tonggak sejarah kebangkitan dunia tentang kepedulian terhadap

lingkungan. KTT Bumi yang dihadiri oleh 179 kepala negara dan kepala

pemerintahan negara-negara di dunia tersebut telah menghasilkan lima dokumen penting yaitu: Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan, Pernyataan tentang Prinsip Kehutanan, Konvensi tentang Perubahan Iklim, Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati, dan Agenda 21 Global (Kantor Menteri Negara

Lingkungan Hidup 1997).

Pemimpin masyarakat dunia telah sepakat untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan dengan meletakkan aspek lingkungan sebagai parameter yang harus diperhitungkan dalam setiap gerak pembangunan, di samping aspek lainnya seperti ekonomi, politik, sosial dan budaya. Perubahan paradigma pembangunan global tersebut sekaligus merubah arah semua elemen dan perangkat pembangunan kearah yang lebih bersahabat dengan lingkungan.

Hasil KTT Bumi tersebut selanjutnya dijadikan sebagai dasar bagi seluruh bangsa-bangsa di dunia untuk melakukan kegiatan pembangunan berkelanjutan. Namun upaya untuk segera melakukan perubahan masih harus melewati jalan yang panjang. Konvensi perubahan iklim baru mempunyai kekuatan hukum setelah diratifikasi oleh 50 negara pada tanggal 21 Maret 1994 dan untuk penerapannyapun masih harus melewati perundingan yang sangat alot.

Pada bulan Desember 1997, berhasil dirumuskan sebuah kesepakatan upaya untuk menghambat perubahan iklim. Kesepakatan tersebut dikenal dengan Protokol Kyoto. Namun kesepakatan inipun baru mempunyai kekuatan hukum setelah di ratifikasi oleh 55 negara dengan jumlah emisi 55% dari total emisi negara Annex I pada tahun 1990. Setelah melalui perundingan dan negosiasi akhirnya Protokol Kyoto berkekuatan hukum sejak 16 Februari 2005.


(30)

Sementara itu, dokumen lainnya yang cukup penting untuk memberikan arahan agar setiap negara melaksanakan pembangunan berkelanjutan adalah Agenda 21 Global. Dokumen setebal 700 halaman tersebut berisikan program aksi

pembangunan berkelanjutan yang dapat digunakan oleh pemerintah, organisasi internasional, kalangan industri maupun masyarakat lainnya untuk mendukung upaya pengintegrasian lingkungan ke dalam seluruh aspek kegiatan sosial ekonomi. Tujuan dari setiap kegiatan yang tercantum dalam Agenda 21, pada dasarnya adalah untuk mengentaskan kemiskinan, kelaparan, penyakit dan buta huruf di seluruh dunia, di samping untuk menghentikan kerusakan ekosistem yang penting bagi kehidupan manusia (Djajadiningrat 2001).

Pemerintah Indonesia menindaklanjuti hasil KTT Bumi dengan meratifikasi konvensi perubahan iklim dan konvensi keanekaragaman hayati pada tahun 1994 dan meratifikasi Protokol Kyoto pada tahun 2004, serta menerbitkan Agenda 21

Indonesia pada tahun 1997. Agenda 21 Indonesia terdiri dari 18 bab yang isinya merupakan suatu pedoman program pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di abad ke 21. Dokumen Agenda 21 Indonesia tersebut merupakan terjemahan, interpretasi dan penyesuaian kondisi dan perkembangan Indonesia dengan Agenda 21 Global.

2.2.2. Konsepsi Pembangunan Berkelanjutan

Konsep pembangunan berkelanjutan cukup sederhana namun mengandung pengertian yang kompleks, multidimensi dan multi-interpretasi. Oleh karena itu para ahli sepakat untuk sementara mengadopsi pengertian yang telah disepakati oleh komisi Brundtland yang menyatakan bahwa “Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka”. Konsep pembangunan berkelanjutan tersebut masih sangat normatif sehingga operasionalnya menghadapi banyak kendala (Fauzi 2004).


(31)

Jadi walaupun arah pembangunan negara-negara di dunia telah disepakati, tetapi perdebatan di kalangan politisi, akademisi maupun LSM masih terus berlangsung. Perdebatan berkembang bukanlah tentang konsepnya, tetapi bagaimana konsep itu dapat dilaksanakan karena syarat terlaksananya konsep tersebut tidak mudah dipenuhi. Sampai saat ini belum dapat dibuat pedoman umum kebijakan atau kegiatan pembangunan berkelanjutan karena sistem sosial, ekonomi dan kondisi ekologi tiap negara sangat beragam. Hal ini telah disadari oleh semua pihak, karena itu setiap negara harus menyusun sendiri model pembangunan berkelanjutan yang disesuaikan dengan konteks, kebutuhan, kondisi dan peluang yang ada.

Munasinghe (1993), mencoba mengelaborasi lebih lanjut konseptual pembangunan berkelanjutan dengan mengajukan tiga pilar keberlanjutan yaitu pilar ekonomi, sosial dan ekologi. Pilar ekonomi menekankan bahwa pembangunan atau peningkatan pendapatan dilakukan dengan penggunaan sumberdaya yang efisien. Pilar sosial menekankan agar pembangunan tidak menimbulkan konflik dan kesenjangan sosial. Pilar ekologi menekankan pentingnya perlindungan keanekaragaman hayati untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Pembangunan dapat dikatakan berkelanjutan apabila kegiatan pembangunan tersebut layak secara ekonomi, tidak terjadi kesenjangan sosial budaya dan tidak menyebabkan penurunan kualitas lingkungan.

Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh Salim (2005), yang menyatakan bahwa keberlanjutan pembangunan pada hakekatnya mencakup: keberlanjutan ekonomi yang ditopang oleh modal buatan manusia, keberlanjutan sosial yang ditopang oleh modal manusia dan modal sosial, dan keberlanjutan ekologi yang ditopang oleh modal ekosistem alami. Pembangunan akan berkelanjutan apabila: penyusutan modal buatan manusia disubstitusi oleh modal sosial dan ekologi; modal manusia mampu menambah nilai sumberdaya alam dan modal sosial menambah nilai kualitas jejaring sosial; modal ekologi melestarikan ekosistem alami penunjang kehidupan manusia.

Menurut Mitchell et al. (2003), ada beberapa prinsip pembangunan berkelanjutan yang cukup penting antara lain: melindungi sistem penunjang


(32)

kehidupan, melindungi dan meningkatkan keanekaragaman hayati, mempertahankan kegiatan manusia dibawah daya dukung biosfer, mengenali biaya lingkungan dari kegiatan manusia dan merehabilitasi ekosistem yang rusak. Prinsip-prinsip tersebut masih memerlukan pengembangan berbagai indikator, sehingga lebih operasional dan praktikal.

Pandangan lain disampaikan oleh Djajadiningrat (2001), bahwa pembangunan berkelanjutan adalah suatu proses perubahan dalam eksploitasi sumberdaya, pengembangan teknologi, dan pengembangan kelembagaan yang semuanya selaras untuk meningkatkan potensi masa kini dan masa depan bagi pemenuhan kebutuhan dan aspirasi manusia. Jadi dalam pembangunan berkelanjutan terkandung paling tidak empat prinsip dasar yaitu: pemerataan, keanekaragaman, integrasi, dan perspektif jangka panjang.

Pembangunan berkelanjutan menjamin pemerataan dan keadilan sosial untuk generasi masa kini dan generasi mendatang. Prinsip ini mengisyaratkan bahwa pembangunan berkelanjutan menuntut pencapaian pemerataan distribusi kesejahteraan antar negara dan antar generasi. Meskipun pemerataan bukanlah hal yang secara langsung dapat dicapai dan konsepnya relatif, tetapi etika pembangunan berkelanjutan mengarahkan upaya untuk memperkecil kesenjangan pendapatan antar negara maupun antar individu secara global. Selain itu pembangunan generasi masa kini harus selalu mengindahkan generasi mendatang.

Pembangunan berkelanjutan menghargai keanekaragaman dan hal ini merupakan prasyarat untuk memastikan bahwa sumberdaya alam selalu tersedia secara berkelanjutan untuk masa kini dan masa datang. Keanekaragaman hayati merupakan dasar bagi keseimbangan tatanan lingkungan atau ekosistem. Disamping itu keanekaragaman budaya akan mendorong perlakuan yang merata terhadap setiap orang dan membuat pengetahuan terhadap tradisi berbagai masyarakat dapat lebih dimengerti oleh masyarakat.

Pembangunan berkelanjutan menggunakan pendekatan integratif yaitu mengutamakan keterkaitan antara manusia dengan alam. Prinsip ini mengisyaratkan bahwa dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan harus lebih integratif dan


(33)

memanfaatkan pengertian tentang kompleksnya keterkaitan antara sistem alam dan sistem sosial pada setiap langkah pembangunan.

Pembangunan berkelanjutan menuntut perspektif jangka panjang, sehingga perlu perubahan pemikiran para pengambil keputusan ekonomi maupun masyarakat yang cenderung menilai masa kini lebih tinggi dari masa depan. Prospektif jangka panjang lebih dikedepankan dari pada kerangka jangka pendek yang hingga kini masih mendominasi keputusan ekonomi.

Dengan memperhatikan berbagai konsep dan prinsip pembangunan berkelanjutan tersebut maka paling tidak ada beberapa prinsip dasar yang perlu mendapat perhatian dalam melaksanakan pembangunan yaitu: a. Pertumbuhan ekonomi dan efesiensi penggunaan sumberdaya alam; b. Menjaga kelestarian fungsi ekologis penunjang kehidupan; c. Pemerataan antar waktu dan antar wilayah.

Untuk mengetahui atau mengukur apakah kegiatan pembangunan telah memenuhi prinsip dasar pembangunan berkelanjutan diperlukan berbagai alat analisis. Salah satu alat analisis yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi dan keterkaitannya dengan aspek lingkungan adalah Analisis Tabel Input Output.

2.3. Model Input Output

Model Analisis Tabel Input Output pertama kali dikembangkan oleh seorang ekonom berkebangsaan Perancis yaitu Francois Quesnai pada tahun 1758 dalam artikel yang berjudul: Tableau Economique. Dalam tersebut F. Quesnai menguraikan bagaimana tuan tanah menerima uang sewa lahan dan menggunakannya untuk membeli hasil pertanian dan hasil kerajinan. Lebih lanjut, petani dan pengrajin membelanjakan uangnya untuk bahan makanan dan bahan baku dan seterusnya (Miller dan Blair 1985).

Lebih dari satu abad kemudian yaitu pada tahun 1874, Leon Walras mengembangkan pendekatan F. Quesnai dengan menerapkan model Newtonian dalam bidang ekonomi. L. Walras mengembangkan teori keseimbangan umum di


(34)

bidang ekonomi dan model matematik hubungan faktor produksi (input) dengan produk yang dihasilkannya (output). Selanjutnya model Walras tersebut disederhanakan oleh Wassily Leontief. Model input-output Leontief tersebut digunakan untuk menganalisis struktur ekonomi Amerika yang dipublikasikan tahun 1941 (Miller dan Blair 1985).

Berdasarkan hasil karya tersebut dan upaya pengembangannya untuk berbagai keperluan analisis, W. Leontief mendapat hadiah Nobel di bidang Ilmu Ekonomi pada tahun 1973. Model analisis input-output atau lebih dikenal dengan Model Leontief ini diakui secara luas sangat bermanfaat untuk menganalisis kondisi perekonomian regional maupun nasional, dalam kaitannya dengan perencanaan pembangunan ekonomi suatu wilayah. Lebih lanjut dikemukakan bahwa keuntungan menggunakan analisis input-output adalah sebagai berikut (Tarigan 2004):

1. Analisis Input Output dapat memberikan gambaran keterkaitan antar sektor perekonomian, sehingga memperluas wawasan terhadap perekonomian wilayah. Perekonomian wilayah bukan lagi sebagai kumpulan sektor-sektor, melainkan merupakan suatu sistem yang saling berhubungan. Perubahan pada salah satu sektor akan mempengaruhi keseluruhan sektor walaupun perubahan itu akan terjadi secara bertahap.

2. Dengan Analisis Input Output dapat diketahui keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan keterkaitan ke depan (forward linkage) dari setiap sektor, sehingga mudah untuk menetapkan sektor mana yang dijadikan sebagai sektor strategis dalam perencanaan pembangunan perekonomian wilayah.

3. Analisis Input Output dapat meramalkan pertumbuhan ekonomi dan kenaikan tingkat kemakmuran, seandainya terjadi kenaikan permintaan akhir dari berbagai sektor. Hal ini dapat dianalisis melalui peningkatan input antara dan kenaikan input primer yang merupakan nilai tambah (kemakmuran).

4. Analisis Input Output dapat menelaah permasalahan secara konprehensif, sehingga sangat berguna sebagai salah satu alat analisis dalam perencanaan pembangunan ekonomi wilayah.


(35)

5. Analisis Input Output dapat digunakan untuk menghitung kebutuhan tenaga kerja dan modal dalam perencanaan pembangunan ekonomi wilayah.

2.3.1. Model Input Output Konvensional

Kerangka dasar dari analisis input-output adalah suatu bentuk analisis hubungan ketergantungan antar sektor ekonomi dalam suatu sistem perekonomian regional pada periode tertentu (satu tahun) dan perekonomian dalam kondisi stabil. Informasi tentang transaksi barang dan jasa serta saling keterkaitan antar sektor ekonomi dalam satu wilayah tersebut disajikan dalam bentuk matriks dengan empat kuadran (Miller dan Blair 1985 dan Badan Pusat statistik 1999).

Kuadran pertama menunjukkan arus barang dan jasa yang dihasilkan dan digunakan oleh sektor-sektor dalam suatu perekonomian. Kuadran ini menunjukkan distribusi penggunaan barang dan jasa untuk proses produksi. Penggunaan atau konsumsi barang dan jasa yang dimaksud di sini adalah sebagai bahan baku atau bahan penolong, sehingga transaksi pada kuadran pertama ini disebut juga sebagai transaksi antara. Kuadran kedua menunjukkan permintaan akhir yaitu penggunaan barang dan jasa untuk konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, investasi dan ekspor. Kuadran ketiga memperlihatkan input primer sektor produsi yaitu input yang bukan merupakan bagian output dari suatu sektor produksi seperti pada kuadran pertama dan kedua. Input primer adalah semua balas jasa faktor produksi yang meliputi upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan dan pajak tidak langsung netto. Sementara kuadran keempat menggambarkan input primer yang langsung didistribusikan ke sektor-sektor permintaan akhir. Informasi pada kuadran keempat ini bukan merupakan informasi penting, sehingga sering diabaikan. Ilustrasi Tabel Input Output dapat dilihat pada Tabel 1.

Berdasarkan ilustrasi tersebut tampak bahwa dengan menggunakan Tabel Input Output dapat dilihat bagaimana output dari suatu sektor ekonomi didistribusikan ke sektor ekonomi lainnya dan bagaimana pula suatu sektor ekonomi memperoleh input yang diperlukan dari sektor ekonomi lainnya. Besarnya ketergantungan suatu sektor ekonomi ditentukan oleh besarnya input yang digunakan


(36)

dalam proses produksi sektor ekonomi tersebut dan sebaliknya besarnya dukungan suatu sektor ekonomi terhadap sektor ekonomi lainnya ditentukan oleh besarnya output sektor ekonomi tersebut yang digunakan dalam proses produksi sektor ekonomi lainnya. Oleh karena itu perencanaan pengembangan suatu sektor ekonomi harus memperhatikan prospek pengembangan sektor ekonomi lainnya.

Tabel 1. Ilustrasi tabel input-output

Alokasi Output Permintaan Antara Permintaan Total Struktur Input Sektor Produksi

1 ... j ... n

Akhir Output

Kuadran I Kuadran II

Sektor 1 X11 X1j X1n F1 X1

: : : : : : : : : : : :

Sektor i Xi1 Xij Xin Fi Xi

: : : : : : : : : : : :

Sektor n Xn1 Xnj Xnn Fn Xn

Kuadran III Kuadran IV

Input Primer V1 Vj Vn

Jumlah Input X1 Xj Xn

Sumber: Badan Pusat Statistik. 1999.

Dalam penyusunan model Tabel Input Output digunakan tiga asumsi dasar yaitu (Badan Pusat Statistik 1999):

a. Homogenitas: tiap sektor memproduksi suatu output tunggal dengan struktur input tunggal dan tidak ada substitusi otomatis antara berbagai sektor;

b. Proporsionalitas: dalam proses produksi, hubungan antar input dengan output merupakan fungsi linier yaitu tiap jenis input yang diserap oleh sektor tertentu naik atau turun sebanding dengan kenaikan atau penurunan output sektor tersebut;

c. Additivitas; efek total pelaksanaan produksi di berbagai sektor dihasilkan oleh masing-masing sektor secara terpisah. Hal ini berarti bahwa semua pengaruh dari luar sitem input output diabaikan.


(37)

Dengan adanya asumsi tersebut, Tabel Input Output mempunyai keterbatasan antara lain; karena rasio input output tetap konstan sepanjang periode analisis, produsen tidak dapat menyesuaikan perubahan-perubahan inputnya atau mengubah proses produksi. Walaupun demikian, model input output mempunyai keunggulan sebagai alat analisis ekonomi yang lengkap dan komprehensif, sehingga sangat relevan untuk digunakan sebagai alat analisis dalam penelitian ini khususnya untuk mengetahui keterkaitan perkebunan kakao dengan sektor perekonomian lainnya dan peran perkebunan kakao bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan, serta dampak perubahan permintaan akhir terhadap perluasan areal perkebunan kakao. Selanjutnya dengan melakukan modifikasi menjadi model Tabel Input Output berwawasan lingkungan dapat diketahui peran sesungguhnya dari perkebunan kakao maupun sektor ekonomi lainnya bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan.

2.3.2. Model Input Output Berwawasan Lingkungan

Karena kemampuannya untuk menunjukkan keterkaitan berbagai sektor dalam suatu sistem perekonomian regional, maka analisis Tabel Input Output dikembangkan untuk pemanfaatan yang lebih khusus seperti menganalisis dampak produksi dan konsumsi energi, dan menganalisis interaksi antara kegiatan ekonomi dan lingkungan.

Menurut Miller dan Blair (1985) Tabel Input Output berwawasan lingkungan dapat disusun dengan cara menginternalitaskan beban lingkungan sebagai kolom dan baris pengurang dari matriks koefisien input-output. Lebih lanjut dikemukakan oleh Miller dan Blair (1985), ada tiga metode yang dapat digunakan untuk menyusun Tabel Input-Output berwawasan lingkungan yaitu: Model Tabel Input-Output Umum, Model Ekonomi-Ekologi dan Model Komoditi Industri. Model Tabel Input-Output Umum dibentuk dengan menambahkan pencemaran yang dihasilkan pada matriks koefisien teknik Tabel Input-Output. Model Ekonomi-Ekologi dihasilkan dengan memperluas kerangka dasar keterkaitan suatu sektor dengan sektor ekosistem. Sementara Model Komoditi Industri memperlakukan faktor lingkungan


(38)

sebagai suatu komoditi seperti komoditi lainnya dalam Tabel Input-Output konvensional.

Analisis interaksi kegiatan ekonomi dan lingkungan dengan menggunakan model Input-Output telah banyak dilakukan untuk berbagai keperluan, terutama untuk memperoleh informasi yang dapat dijadikan sebagai dasar perumusan kebijakan publik yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi dan lingkungan. Model analisis Input Output berkembang pesat untuk berbagai keperluan karena ditunjang oleh kemajuan di bidang teknologi komputasi yang mampu menghitung data cukup besar dengan kecepatan tinggi.

Najmulmunir (2001), menggunakan model Input Output untuk menganalisis dampak pembangunan ekonomi terhadap perkembangan wilayah dan kualitas lingkungan di Lampung. Pengembangan model analisis kebutuhan ruang/lahan dan model analisis dampak beban pencemaran lingkungan diturunkan dari model Input Output. Model analisis kebutuhan lahan diturunkan dari prediksi output yang ditransformasikan ke dalam produktivitas lahan yang selanjutnya akan berimplikasi pada perubahan struktur penggunaan lahan. Sedangkan model analisis dampak beban pencemaran lingkungan diturunkan dari proyeksi produksi.

Hinterberger and Giljum (2003), mengembangkan model analisis Input Output lingkungan untuk menganalisis aliran bahan dan penggunaan lahan dari suatu sektor ekonomi. Dengan berbagai skenario yang meliputi dimensi ekonomi, lingkungan dan sosial, model tersebut dapat memberikan gambaran penggunaan lahan akibat perubahan permintaan terhadap komoditas yang menggunakan lahan tersebut. Berdasarkan hasil kajian tersebut dapat dirumuskan alternatif kebijakan terbaik untuk melaksanakan strategi pembangunan berkelanjutan.

Hayami et al. (1997), menggunakan model input output untuk menganalisis isu kebijakan publik berkaitan dengan pilihan teknologi produksi dengan pemanasan global. Pokok pembahasannya adalah aplikasi manajemen lingkungan di Jepang terkait dengan produksi semen, penggunaan kertas daur ulang, dan bahan penyekat rumah. Pada masing-masing sektor tersebut berhasil ditunjukkan bahwa pilihan teknologi produksi menentukan tingkat emisi CO2 dan gas lainnya yang sensitif


(39)

terhadap lingkungan, sehingga dapat ditentukan pilihan kebijakan untuk menurunkan tingkat emisi CO2 maupun gas lainnya.

Silva (2001), menggunakan model analisis Input Output Lingkungan untuk menganalisis emisi gas rumah kaca di Portugal. Penelitian berhasil menunjukkan bahwa tanpa adanya suatu kebijakan tertentu, emisi gas rumah kaca di Portugal pada tahun 2010 akan jauh melebihi target peningkatan emisi sebesar 27% dibandingkan tingkat emisi tahun 1990 yang disepakati dalam Kyoto Protokol. Lebih lanjut, dikemukakan bahwa model analisis Input Output Lingkungan merupakan suatu alat analisis yang ampuh untuk memperhitungkan emisi gas rumah kaca dikaitkan dengan produk akhir dari berbagai sektor perekonomian suatu wilayah atau negara. Namun kebermanfaatannya sangat tergantung pada ketersediaan dan kualitas data yang bisa digunakan untuk analisis tersebut.

Lebih lanjut, model analisis Input output yang akan dibangun dalam penelitian ini juga memiliki keterbatas sama seperti model analisis input output konvensional terutama karena keterbatasan ketersediaan data dan penggunaan asumsi yang juga menyebabkan kertebatasan. Meskipun demikian, penelitian ini berupaya untuk mengungkapkan seberapa besar pengaruh biaya eksternalitas berbagai sektor ekonomi terhadap nilai output dan PDRB serta besaran nilai pengganda output, pendapatan, tenaga kerja dan nilai indeks keterkaitan antar sektor ekonomi dalam perekonomian regional Sulawesi Selatan.

2.3.3. Pengertian dan Pengukuran Eksternalitas

Sumberdaya alam atau lingkungan hidup mempunyai tiga fungsi utama yaitu: sebagai sumber bahan mentah, sebagai asimilator atau pengolah limbah dan sebagai sumber hiburan atau kesenangan. Lingkungan menyediakan berbagai kebutuhan manusia mulai dari sumberdaya tanah, air, hutan, tambang dan sebagainya yang dapat digunakan sebagai sumber bahan mentah untuk diolah menjadi barang jadi atau langsung dikonsumsi. Lingkungan juga berperan sebagai asimilator yang dapat mengolah limbah secara alami dan lingkungan alami dengan berbagai keindahannya


(40)

juga berperan memberikan jasa hiburan atau kesenangan bagi manusia (Suparmoko dan Suparmoko, 2000).

Lebih lanjut dikemukan oleh Suparmoko dan Suparmoko (2000), bahwa semakin meningkatnya pembangunan demi meningkatkan kesejahteraan manusia, ternyata berdampak terhadap fungsi atau peranan lingkungan. Jumlah bahan mentah yang disediakan lingkungan semakin berkurang dan menjadi langka, kemampuan alam untuk mengolah limbah semakin berkurang karena melebihi kapasitas daya tampung lingkungan, dan kemampuan lingkungan untuk menyediakan kesenangan juga berkurang karena banyak sumberdaya alam dan lingkungan yang diubah fungsinya atau karena meningkatnya pencemaran.

Penurunan peran atau fungsi lingkungan yang terjadi akibat aktivitas ekonomi tersebut perlu diperhitungkan dalam perhitungan pendapatan nasional (GNP), sehingga indikator keberhasilan pembangunan ekonomi tersebut benar-benar mencerminkan ukuran yang sesungguhnya mengenai standar kehidupan masyarakat. Demikian pula halnya terkait dengan evaluasi peran sektor ekonomi tertentu terhadap perekonomian regional atau nasional, perlu dikoreksi dengan cara memperhitungkan biaya maupun manfaat eksternalitasnya, sehingga tidak menimbulkan bias dalam penilaian dan perencanaan pembangunan ekonomi selanjutnya.

Menurut Suparmoko dan Suparmoko (2000), eksternalitas terjadi apabila seseorang melakukan suatu kegiatan dan kegiatan tersebut menimbulkan dampak kepada orang lain baik berupa manfaat eksternal maupun biaya eksternal yang tidak memerlukan kewajiban untuk menerima atau melakukan pembayaran. Adanya eksternalitas yang sering tidak diperhitungkan tersebut menyebabkan keputusan dari pengambil kebijakan atau manajer tidak tepat dan kegiatan yang dilakukan berdasarkan keputusan tersebut tidak efisien.

Oleh karena itu, biaya dan manfaat eksternalitas dari tiap-tiap sektor ekonomi perlu diinternalisasikan. Internalisasi biaya dan manfaat lingkungan dapat dilakukan dengan memperhitungkan dampak dari suatu aktivitas terhadap sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang masih diperlakukan sebagai eksternalitas. Menurut


(41)

Suparmoko (2002), ada beberapa langkah operasional dan metode penilaian terhadap dampak lingkungan yang umum digunakan di berbagai negara. Langkah penilaian diawali dengan identifikasi dampak peting dari suatu kegiatan. Kemudian mengkuantifikasi besarnya dampak tersebut dan dilanjutkan dengan melakukan penilaian berdasarkan nilai uang dan analisis ekonomi dari dampak penting yang telah diidentifikasi. Adapun metode yang dapat digunakan untuk melakukan penilaian ekonomi dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: a. Metode yang secara langsung menggunakan harga pasar; b. Metode yang menggunakan nilai pasar barang pengganti atau barang pelengkap; dan c. Metode yang didasarkan pada hasil survei.

Pada penelitian ini, pengukuran eksternalitas dilakukan mengikuti langkah-langkah operasional dan metode penilaian yang umum digunakan. Namun penilaian terhadap dampak penting yang telah teridentifikasi lebih banyak dilakukan berdasarkan hasil penelitian terdahulu dari berbagai belahan dunia, karena sangat terbatasnya hasil penelitian di lokasi penelitian ini dan masih rendahnya pemahaman serta penilaian masyarakat terhadap lingkungan hidup.

Eksternalitas dari suatu sektor ekonomi muncul karena adanya alih fungsi lahan atau karena adanya limbah yang dihasilkan oleh aktivitas ekonomi. Alih fungsi lahan yang umum terjadi adalah pengalihan lahan kehutanan ke sektor pertanian ataupun sektor perekonomian lainnya. Proses pengalihan fungsi lahan tersebut menyebabkan terganggunya atau rusaknya beberapa fungsi hutan sebagai penunjang kehidupan dan kerusakan tersebut tidak diperhitungkan sebagai biaya tetapi diperlakukan sebagai eksternalitas. Sedangkan limbah yang dihasilkan oleh aktivitas ekonomi yang tidak memenuhi baku mutu lingkungan merupakan suatu eksternalitas yang membebani pihak lain. Limbah yang dihasilkan berbagai aktivitas ekonomi cukup beragam, baik berupa padatan, cairan maupun gas dan beban eksternalitas dari limbah tersebut dapat bersifat lokal, regional maupun global.

Untuk mengetahui besarnya eksternalitas dari alih fungsi lahan kehutanan menjadi lahan usaha pertanian maupun kegiatan ekonomi lainnya terlebih dahulu perlu diketahui nilai total dari sumberdaya hutan. Kemudian mengidentifikasi


(42)

dampak dari alih fungsi lahan dan menilai dampak tersebut kedalam bentuk nilai uang. Menurut Krieger (2001), ekosistem hutan mempunyai nilai yang cukup besar bagi suatu kawasan, baik sebagai penghasil barang maupun jasa lingkungan. Sebagai penghasil barang, hutan merupakan penghasil kayu dan non-kayu. Sementara sebagai pemberi jasa lingkungan, hutan berfungsi mempengaruhi iklim, tata air khususnya pencegah banjir dan penyedia air, pengendali erosi dan pencegah sedimentasi, pembentukan tanah, siklus hara, asimilasi limbah, sumber plasma nutfah dan tempat rekreasi serta kebudayaan. Secara umum nilai dari suatu kawasan hutan tropis dapat mencapai lebih dari US $ 2 juta/ha.

Alih fungsi lahan kehutanan menjadi lahan pertanian akan menimbulkan berbagai dampak negatif karena hilangnya berbagai fungsi hutan antara lain: rusaknya tata air khususnya fungsi pengendali banjir dan penyediaan air, peningkatan erosi tanah, terganggunya siklus hara dan asimilasi karbon, serta penyusutan keanekaragaman hayati. Menurut Pearce and Pearce (2001), dampak negatif tersebut semakin besar lagi nilainya jika diperhitungkan berbagai fungsi hutan lainnya yang ikut hilang serta dampak turunan lainnya seperti sedimentasi dari tanah yang tererosi yang dapat menyebabkan kerusakan ekosistem di bagian hilir sungai.

Berbagai hasil penelitian yang berhasil dirangkum oleh Pearce (2001), menunjukkan bahwa nilai jasa dari suatu kawasan hutan tropis sangat bervariasi tergantung pada kondisi hutan dan fungsi dari kawasan hutan tersebut serta pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap pentingnya hutan sebagai penunjang kehidupan. Alih fungsi lahan hutan menyebabkan rusaknya fungsi hutan sebagai pengendali banjir dan penyedia air dengan nilai bervariasi antara US $ 0-24/ha di Kameron (Yaron 2001 dalam Pearce 2001), sedangkan di Malaysia bervariasi antara US $ 0-15/ha (Kumari 1996 dalam Pearce 2001) dan US $ 12/ha di Guatemala (Ammour et al. 2000 dalam Pearce 2001).

Alih fungsi lahan juga menyebabkan menyusutnya keanekaragaman hayati hutan hujan tropis dengan nilai bervariasi US 0,01-21/ha (Pearce and Moran 1994), sedangkan menurut Balick dan Mendelsohn (1992 dalam Bann 1997), nilai


(43)

keanekaragaman hayati hutan tropis berkisar antara US $ 9-61/ha. Tingginya nilai keanekaragaman hayati tersebut karena banyaknya tanaman yang dapat dijadikan sebagai bahan baku obat-obatan dan sumber plasma nutfah berbagai jenis tanaman pertanian.

Alih fungsi lahan hutan umumnya dilakukan dengan cara tebang, tebas dan bakar, sehingga menimbulkan emisi gas CO2 dan hilangnya kemampuan untuk mengabsorsi CO2 serta hilangnya kemampuan untuk memproduksi O2. Nilai eksternalitas dari emisi CO2 sangat bervariasi tergantung dari kondisi hutan dan kandungan masa karbon yang terbakar. Kandungan karbon, suatu kawasan hutan primer dapat mencapai 200 ton/ha, sementara kandungan karbon hutan yang terbuka diperkirakan 100 ton/ha (Bann 1997). Dengan harga transaksi karbon yang berlaku saat ini yaitu US $ 5/ton, maka alih fungsi lahan hutan dapat menimbulkan emisi karbon sebesar US $ 500-1.000/ha.

Alih fungsi lahan juga menyebabkan hilangnya fungsi hutan dalam menyediakan unsur hara dan pengendali erosi. Alih fungsi lahan menyebabkan terjadi peningkatan erosi tanah karena lahan menjadi terbuka pada saat dialihfungsikan. Kerugian akibat erosi dapat dihitung dengan menggunakan pendekatan biaya pengganti unsur hara yang hilang karena erosi. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa hutan dapat mencegah kerugian akibat erosi tanah di Turki mencapai US $ 46/ha (Bann 1998 dalam Pearce 2001). Sementara itu, Manurung (2001), dalam menganalisis biaya lingkungan konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, memberikan penilaian fungsi hutan untuk mengendalikan erosi tanah sebesar US $ 53/ha. Pada penelitian ini, kerugian akibat erosi dianalisis dengan menggunakan pendekatan pendugaan erosi tanah berdasarkan Universal Soil Loss Equation (USLE) dan pendekatan biaya pengganti unsur hara yang hilang karena erosi.

Selanjutnya valuasi ekonomi terhadap eksternalitas limbah yang dihasilkan berbagai sektor ekonomi dilakukan melalui identifikasi jumlah limbah yang dihasilkan dan dampaknya terhadap lingkungan. Kemudian hasil identifikasi tersebut dinilai kedalam bentuk nilai uang. Penilaian dampak limbah terhadap


(1)

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN ... 70

4.1. Letak Geografis, Kondisi Tanah dan Keadaan Iklim ... 70

4.2. Penduduk dan Mata Pencaharian ... 75

4.3. Pembangunan Regional Sulawesi Selatan ... 77

4.3.1. Kondisi Perekonomian Regional Sulawesi Selatan ... 77

4.3.2. Strategi dan Kebijakan Pembangunan Regional Sulawesi Selatan ... 80

4.3.3. Program dan Kegiatan Pembangunan Regional Sulawesi Selatan ... 81

4.3.4. Kinerja Kebijakan Pembangunan Regional Sulawesi Selatan 2003 ... 83

4.4. Kondisi Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Selatan ... 85

4.4.1. Kondisi Sumberdaya Alam ... 86

4.4.2. Kondisi Lingkungan Buatan... 91

4.4.3. Penurunan Kualitas Lingkungan ... 94

4.5. Perkembangan Perkebunan Kakao di Sulawesi Selatan ... 98

4.5.1. Dampak Perluasan Perkebunan Kakao Terhadap Serangan Hama PBK ... 100

4.5.2. Dampak Perluasan Perkebunan Kakao Terhadap Lingkungan ... 101

4.5.3. Dampak Perluasan Perkebunan Kakao Terhadap Perekonomian Regional ... 102

V. BIAYA LINGKUNGAN HIDUP DAN EKSTERNALITAS ... 103

5.1. Biaya Lingkungan Hidup Berbagai Sektor Ekonomi ... 104

5.1.1. Sektor Pertanian ... 105

5.1.2. Sektor Pertambangan dan Penggalian ... 117

5.1.3. Sektor Industri ... 119

5.1.4. Sektor Listrik, Gas dan Air Mimum ... 122

5.1.5. Sektor Bangunan ... 123

5.1.6. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran ... 123

5.1.7. Sektor Angkutan dan Komunikasi ... 124

5.1.8. Sektor Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya ... 124

5.1.9. Sektor Jasa ... 125

5.2. Biaya Lingkungan Sebagai Eksternalitas ... 126

VI. PERAN KAKAO BAGI PEREKONOMIAN REGIONAL ... 130

6.1. Peran Kakao dalam Struktur Perekonomian Regional ... 131

6.1.1. Peran Kakao dalam Pembentukan Output ... 132

6.1.2. Peran Kakao dalam Menghasilkan PDRB ... 134

6.1.3. Kontribusi Kakao bagi Penerimaan Ekspor ... 135

6.1.4. Peran Kakao dalam Penyerapan Tenaga Kerja ... 137

6.2.Peran Kakao Bagi Pertumbuhan Ekonomi Regional ... 138

6.2.1. Peran Kakao dalam Pengganda Output ... 138

6.2.2. Peran Kakao dalam Pengganda Pendapatan ... 139

6.2.3. Peran Kakao dalam Pengganda Tenaga Kerja ... 140

6.2.4. Keterkaitan dengan Sektor Ekonomi Lainnya ... 140

6.2.5. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Biaya Eksternalitas ... 142


(2)

VII. PROSPEK PERAN KAKAO BAGI PEREKONOMIAN

REGIONAL ... 144

7.1. Dampak Internalisasi Biaya Eksternalitas ... 145

7.1.1 Dampak Internalisasi Biaya Eksternalitas Terhadap Output ... 145

7.1.2. Dampak Internalisasi Biaya Eksternalitas Terhadap PDRB ... 147

7.1.3. Dampak Internalisasi Biaya Eksternalitas Terhadap Tenaga Kerja Dan Keterkaitan Antar Sektor Ekonomi .... 150

7.2. Dampak Serangan Hama PBK ... 153

7.2.1. Dampak Serangan Hama PBK Terhadap Pendapatan Petani ... 153

7.2.2. Dampak Serangan Hama PBK Terhadap Penekonomian Regional ... 154

7.2.3. Dampak Serangan Hama PBK Terhadap Biaya Eksternalitas ... 156

VIII. ADOPSI TEKNOLOGI UNTUK KEBERLANJUTAN PERAN KAKAO BAGI PEREKONOMIAN REGIONAL ... 158

8.1. Keragaan Usahatani Kakao ... 158

8.1.1. Karakteristik Petani Kakao ... 159

8.1.2. Pendapatan Petani Kakao ... 160

8.1.3. Pengendalian Hama PBK ... 162

8.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adopsi Teknologi ... 163

8.2.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan Petani ... 163

8.2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap Petani ... 166

8.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tindakan Petani ... 167

IX. STRATEGI PEMBANGUNAN PERKEBUNAN KAKAO BERKELANJUTAN ... 170

9.1. Identifikasi Faktor-faktor yang Berpengaruh ... 170

9.2. Kondisi Faktor-faktor yang Berpengaruh ... 175

9.3. Arahan Strategi Pembangunan Perkebunan Kakao Berkelanjutan ... 180

9.3.1. Peningkatan Produktivitas Perkebun Kakao ... 181

9.3.2. Penyediaan Teknologi Mutakhir Secara Lokal ... 181

9.3.3. Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Petani ... 182

9.3.4. Dukungan Kebijakan Pemerintah ... 183

X. KESIMPULAN DAN SARAN ... 185

10.1. Kesimpulan ... 185

10.2. Saran ... 187

DAFTAR PUSTAKA ... 189


(3)

xiv

DAFTAR TABEL Halaman 1. Ilustrasi tabel input-output ... 36

2. Model umum tabel input output (nxn) ... 60

3. Rumus pengganda output, pendapatan dan tenaga kerja ... 61

4. Pengaruh langsung antar faktor yang mempengaruhi sistem agribisnis kakao ... 65

5. Kondisi topografi wilayah Provinsi Sulawesi Selatan ... 72

6. Erosi tanah pada beberapa daerah aliran sungai (DAS)/sub DAS ... 73

7. Tipe iklim, bulan kering dan penyebarannya ... 74

8. Perkembangan penduduk kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Selatan, 1999-2003 ... 75

9. Distribusi pekerja pada berbagai lapangan pekerjaan, 2003 ... 77

10. Perkembangan kontribusi berbagai sektor ekonomi terhadap PDRB atas harga berlaku ... 78

11. Pertumbuhan PDRB Provinsi Sulawesi Selatan 1993-2003 ... 80

12. Pencemaran udara yang dihasilkan oleh rumah tangga dan industri dari pembakaran BBM dan limbah padat di Sulawesi Selatan tahun 2003 ... 96

13. Beban pencemaran air di Sulawesi Selatan ... 97

14. Perkembangan areal perkebunan di Provinsi Sulawesi Selatan 1990- 2003 ... 99

15. Biaya eksternalitas sektor ekonomi tanaman bahan makanan non padi ... 109

16. Sebaran areal perkebunan kopi dan perkiraan erosi tanah tahun 2003 ... 110

17. Sebaran areal perkebunan kakao dan perkiraan erosi tanah tahun 2003 ... 111

18. Sebaran areal perkebunan lainnya dan perkiraan erosi tanah tahun 2003 ... 113

19. Biaya ekternalitas berbagai sektor ekonomi, 2003 ... 126

20. Posisi nilai output berbagai sektor ekonomi dalam perekonomian regional Sulawesi Selatan, tahun 2000 dan 2003 ... 133


(4)

xv 21. Posisi berbagai sektor ekonomi dalam perekonomian regional

Sulawesi Selatan berdasarkan PDRB, tahun 2000 dan 2003... 135

22. Perkembangan nilai ekspor dan perdagangan antar provinsi berbagai

sektor ekonomi dalam perekonomian regional Sulawesi Selatan ... 137 23. Nilai pengganda beban biaya eksternalitas perekonomian regional

Sulawesi Selatan ... 143 24. Posisi nilai output berbagai sektor ekonomi pada tabel IO konvensional

dan tabel IO dikoreksi biaya eksternalitas Sulawesi Selatan, tahun 2003 .. 147 25. Posisi nilai PDRB berbagai sektor ekonomi pada tabel IO konvensional

dan tabel IO dikoreksi biaya eksternalitas Sulawesi Selatan, tahun 2003 .. 148 26. Karakteristik petani kakao dan kondisi usahataninya, 2005 ... 160 27. Pendapatan dan pengeluaran keluarga petani kakao, 2005 ... 161 28. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan petani ... 164 29. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan petani dalam model

persamaan yang disederhanakan ... 166 30. Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap petani ... 166 31. Faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan petani ... 167 32. Skor hasil penilaian para pakar terhadap pengaruh langsung antar

faktor yang mempengaruhi sistem agribisnis kakao ... 173 33. Beberapa kemungkinan kondisi dari faktor-faktor yang berpengaruh ... 176


(5)

xvi

DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Bagan kerangka pemikiran pembangunan perkebunan kakao berkelanjutan... 7

2. Proses adopsi teknologi ... 11

3. Tahapan kegiatan penelitian ... 14

4. Tngkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor yang berpengaruh dalam sistem agribisnis kakao ... 66

5. Peta provinsi Sulawesi Selatan ... 71

6. Peta penutupan lahan hutan, 1997 ... 88

7. Peta kawasan yang mempengaruhi dan dipengaruhi Danau Tempe ... 89

8. Hasil analisis keterkaitan antar faktor yang mempengaruhi agribisnis kakao di Sulawesi Selatan ... 174


(6)

xvii DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Klasifikasi sektor tabel I-O Sulawesi Selatan tahun 2000 yang

disederhanakan dari 112 sektor menjadi 25 sektor ... 198

2. Tabel IO Sulawesi Selatan tahun 2000 yang disederhanakan, atas

dasar harga produsen (jutaan rupiah)... 202

3. Variabel-variabel yang diduga berpengaruh terhadap adopsi

teknologi pengendalian hama PBK (PsPSP), 2006 ... 206

4. Kandungan Unsur Hara Utama N, P, dan K Tanah di Sulawesi Selatan 212

5. Tabel IO Sulawesi Selatan Tahun 2003, atas dasar harga produsen

(jutaan rupiah)... 213

6. Tabel IO Sulawesi Selatan Tahun 2003 dikoreksi biaya eksternalitas,

atas dasar harga produsen (jutaan rupiah) ... 217

7. Pengganda output berbagai sektor ekonomi dalam perekonomian

regional Sulawesi Selatan, 2003 ... 221

8. Pengganda pendapatan berbagai sektor ekonomi dalam

perekonomian regional Sulawesi Selatan, 2003 ... 223

9. Pengganda tenaga kerja berbagai sektor ekonomi dalam

perekonomian regional Sulawesi Selatan, 2003 ... 225

10. Daya Penyebaran dan daya kepekaan pada IO-konvensional dan

IO-dikoreksi biaya eksternalitas ... 227

11. Peringkat sektor ekonomi berdasarkan nilai indeks keterkaitannya