Analisis Forecast Error Variance Decompotition

-.06 -.04 -.02 .00 .02 .04 .06 .08 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 Response of INFLASI to Cholesky One S.D. LN_G Innovation respon inflasi terhadap guncangan pengeluaran pemerintah mulai mencapai keseimbangan pada bulan ke-21, dimana inflasi merespon negatif guncangan tersebut pada kisaran 0,017 persen. Gambar 4.13. Respon Inflasi terhadap Guncangan Pengeluaran Pemerintah

4.2.4. Analisis Forecast Error Variance Decompotition

FEVD bermanfaat untuk menjelaskan kontribusi masing-masing variabel terhadap shock guncangan yang ditimbulkannya terhadap variabel endogen utama yang diamati. Dengan kata lain, FEVD menjelaskan proporsi variabel lain dalam menjelaskan variabilitas variabel endogen utama penelitian. Dalam kaitannya dengan FEVD maka penelitian ini akan membahas bagaimana kontibusi berbagai macam variabel yang terdapat dalam ruang lingkup penelitian dalam menjelaskan laju inflasi. Berdasarkan hasil dekomposisi varian tabel 4.10, dapat disimpulkan bahwa pada awal periode yaitu di bulan pertama, variabilitas laju inflasi disebabkan oleh guncangan inflasi periode sebelumnya yakni sebesar 100 persen. Pada bulan kedua tampak variabel-variabel lain mulai memengaruhi variabilitas laju inflasi. Pada tahun pertama 12 bulan kontribusi inflasi periode sebelumnya dalam menjelaskan inflasi masih dominan namun berkurang yaitu sebesar 81,68 persen. Variabel nilai tukar LN_KURS menempati posisi kedua yaitu sebesar 4,34 persen. Setelah itu diikuti oleh kontribusi pertumbuhan uang beredar M2GROWTH dan PDB LN_PDB yaitu sebesar 3,85 persen dan 3,07 persen. Sedangkan variabel lain seperti pengeluaran pemerintah, harga minyak dunia, suku bunga, harga pangan dunia, dan dummy ITF masing-masing sebesar 1,89 persen, 1,75 persen, 1,41 persen, 1,26 persen dan 0,72 persen. Pada tahun kedua 24 bulan kontribusi inflasi periode sebelumnya dalam menjelaskan fluktuasi laju inflasi masih dominan namun berkurang yaitu sebesar 78,57 persen. Variabel nilai tukar LN_KURS masih menempati posisi kedua dimana kontribusi nilai tukar meningkat dari tahun sebelumnya menjadi 5,12 persen. Pada tahun kedua ini kontribusi dari pertumbuhan uang beredar dan PDB menurun menjadi 3,71 persen dan 3,03 persen. Kontribusi harga minyak dunia pada tahun kedua ini meningkat menjadi 3,40. Pada tahun ketiga 36 bulan kontribusi inflasi periode sebelumnya dalam menjelaskan fluktuasi laju inflasi masih dominan namun berkurang yaitu sebesar 75,67 persen. Variabel nilai tukar LN_KURS masih menempati posisi kedua, dimana kontribusinya semakin meningkat dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 5,86 persen. Kontribusi harga minyak dunia LN_OILPRICE menempati posisi ketiga, dimana pada tahun ketiga ini kontribusi harga minyak dunia meningkat menjadi 4,94 persen. Pada tahun keempat 48 bulan kontribusi inflasi periode sebelumnya dalam menjelaskan fluktuasi laju inflasi itu sendiri masih dominan namun berkurang yaitu sebesar 72,98 persen. Pada tahun keempat ini diikuti oleh peningkatan kontribusi guncangan nilai tukar LN_KURS dan harga minyak dunia LN_OILPRICE masing-masing sebesar 6,54 persen dan 6,37 persen. Selanjutnya diikuti oleh kontribusi uang beredar M2GROWTH yang menurun menjadi 3,45 persen. Periode jangka panjang yang distimulasikan dalam analisis ini yakni proyeksi pada tahun kelima 49-60 bulan kontibusi inflasi periode sebelumnya dalam menjelaskan fluktuasi laju inflasi masih dominan namun berkurang yaitu sebesar 70,48 persen. Dalam jangka panjang, variabel berikutnya yang memengaruhi inflasi yaitu harga minyak dunia LN_OILPRICE dan nilai tukar LN_KURS masing-masing sebesar 7,70 persen dan 7,17 persen. Selanjutnya diikuti oleh uang beredar M2GROWTH, pengeluaran pemerintah LN_G, PDB LN_PDB, suku bunga SB, ITF DUMMY dan harga pangan dunia LN_FPI masing-masing sebesar 3,33 persen, 3,20 persen, 2,96 persen, 2,54 persen, 1,37 persen dan 1,21 persen. Hasil variance decompotition menunjukkan bahwa selama lima tahun kedepan inflasi periode sebelumnya akan memberikan kontribusi terbesar pada inflasi Indonesia yaitu sebesar 70,48 persen. Hal ini sesuai dengan teori ekspektasi inflasi, dimana laju inflasi yang akan datang dipengaruhi nilainya oleh laju inflasi itu sendiri di masa lampau. Selain itu, penelitian ini juga sesuai dengan Susanto 2005 yang mengatakan bahwa ekspektasi inflasi merupakan kontribusi terbesar dalam memengaruhi inflasi di Indonesia. Tabel 4.10. Variance Decompotition Variabel Dependen Dijelaskan Oleh Guncangan Periode INFLASI LN_KURS LN_OILPRICE LN_FPI M2GROWTH LN_PDB SB LN_G DUMMY INFLASI 1 100.0000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 12 81.68067 4.344984 1.752393 1.260343 3.855429 3.078064 1.414890 1.892953 0.720273 24 78.57373 5.127656 3.404359 1.245156 3.710736 3.039830 1.724253 2.271597 0.902682 36 75.67600 5.860804 4.944691 1.234013 3.576317 3.012252 2.018137 2.606454 1.071330 48 72.98790 6.541136 6.373799 1.223555 3.451613 2.986622 2.290631 2.916929 1.227817 60 70.48682 7.174122 7.703467 1.213829 3.335584 2.962766 2.544171 3.205825 1.373417 62

4.3 Implikasi Kebijakan

Pengaruh faktor eksternal tidak terlepas dari karakteristik negara Indonesia sebagai negara small open economy dimana stabilitas perekonomian domestik dapat dipengaruhi oleh guncangan perekonomian dunia. Adapun faktor eksternal seperti nilai tukar, harga minyak dunia dan harga pangan dunia yang dapat mempengaruhi inflasi di Indonesia. Pentingnya pengaruh harga minyak dunia dan harga pangan dunia dikarenakan Indonesia masih bergantung pada impor minyak dan impor pangan. Sejak tahun 2003, Indonesia telah mengundurkan diri dari keanggotaan OPEC Organization of the Petroleum Exporting Countries dan menjadi negara pengimpor minyak. Hal ini dilakukan karena produksi minyak dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsinya. Selain itu, menurut Braun 2008 harga pada pangan dunia dapat menaikkan tekanan secara umum pada inflasi. Dalam kaitannya dengan negara berkembang, hal ini dapat terjadi karena rata-rata konsumsi pangan menempati porsi terbesar dari tingkat konsumsi masyarakat. Implikasi kebijakan untuk meminimalisir guncangan faktor eksternal ini, yaitu sebaiknya meningkatkan kemandirian energi dan pangan. Swasembada energi dapat dilakukan dengan mencari alternatif sumber energi baru yang dapat diproduksi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan energi nasional. Swasembada pangan dapat dilakukan melalui pemenuhan kebutuhan pangan yang seoptimal mungkin berasal dari pasokan domestik dengan meminimalkan ketergantungan pada impor pangan. Pengaruh faktor eksternal lainnya, yaitu nilai tukar. Ketika terjadi depresiasi nilai tukar maka harga barang impor akan meningkat. Peningkatan