Keadaan Fisik Wilayah Hujan

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Variabilitas iklim dan cuaca merupakan suatu kondisi adanya perubahan cuaca yang berlangsung dalam kurun waktu yang sangat lama. Variabilitas iklim suatu daerah salah satunya ditandai oleh fluktuasi dari tahun ke tahun dan pada waktu tertentu dapat menyimpang dari kondisi normalnya. Salah satu bentuk penyimpangan yang terjadi adalah curah hujan yang berada di bawah normal pada periode waktu tertentu dan terkadang dengan rentang waktu yang sangat panjang. Salah satu gejala alam yang sangat berpengaruh dan berpotensi besar menyebabkan curah hujan jauh di bawah kondisi normal adalah ENSO El-Nino Southern Oscillation . ENSO adalah meningkatnya suhu muka laut di sekitar Pasifik Tengah dan Timur sepanjang ekuator dari nilai rata-ratanya. Kejadian tersebut ditandai dengan melemahnya angin pasat dan bergesernya pusat konvergensi siklus Walker sebagai akibat dari peningkatan suhu muka laut tersebut. Fenomena ENSO ini akan mengakibatkan kekeringan yang sangat nyata di sebagian besar wilayah Indonesia Boer 1999. Kekeringan merupakan fenomena alam yang terjadi akibat berkurangnya curah hujan di suatu tempat dalam selang waktu yang lama. Kekeringan mengakibatkan berkurangnya pasokan air sungai karena debit yang menyusut dan menurunnya lengas tanah yang berakhir dengan terjadinya kerusakan pada sistem produksi tanaman Khairullah 2009. Batasan kekeringan berbeda-beda bergantung pada latar belakang serta perhatian ataupun dampak yang diperhitungkan terkait dengan hubungan antara kebutuhan dan ketersediaan air. Dalam bidang pertanian, kekeringan diartikan dengan berkurangnya lengas tanah yang dibutuhkan oleh tanaman selama masa tanam. Palmer 1965 mencoba memanfaatkan data iklim berupa curah hujan, suhu udara dan kelengasan tanah sebagai peubah untuk menduga tingkat kekeringan di suatu wilayah yang dinyatakan sebagai Indeks Palmer. Indeks ini dapat digunakan sebagai salah satu parameter untuk menentukan perubahan tingkat kekeringan pada suatu daerah. Metode tersebut menggunakan prinsip neraca air yang telah banyak digunakan di Amerika Serikat dan beberapa kawasan dunia lainnya. Perbedaan topografi lokal, elevasi, kedekatannya dengan laut, jenis tanah dan teksturnya maupun bentuk penggunaan lahan akan mencirikan suatu tempat dengan tingkat kekeringan yang berbeda. Selain itu, cara budidaya pertanian yang tidak berwawasan lingkungan sehingga menimbulkan gejala kekurangan air. Pertanian tanaman pangan dan palawija merupakan dua bentuk pertanian yang memiliki respon berbeda terhadap gejala kekurangan air. Pertanian tanaman pangan umumnya sangat memerlukan ketersedian air yang tinggi selama fase pertumbuhan dan perkembangannya. Pertanian palawija memiliki respon yang berbeda terhadap gejala kekurangan air, karena tanaman palawija merupakan tanaman yang tahan terhadap kondisi tersebut. Dengan kata lain, ketersedian air yang melimpah apabila dikelola dan di manfaatkan dengan baik akan memberikan dampak yang sangat positif, khususnya di bidang pertanian. Faktor lain yang membedakan antara pertanian pangan dan palawija adalah berdasarkan waktu tanamnya. Pertanian tanaman pangan yang mengkonsumsi air lebih banyak sangat cocok apabila dilakukan pada musim penghujan. Sedangkan pada musim kemarau dimana terjadi penurunan curah hujan, pertanian palawija sangat baik untuk dijadikan alternatif karena air tanaman yang diperlukan sedikit, tidak sebanyak pertanian tanaman pangan. Gejala kekurangan air dan penentuan waktu tanam suatu komoditas pertanian dapat dikaji berdasarkan tingkat kekeringan suatu wilayah akibat fluktuasi curah hujan. Fluktuasi curah hujan inilah yang lebih dominan menetukan naik atau turunnya hasil produksi komoditas pertanian di suatu wilayah, sehingga perlu dipahami dan dikaji lebih jauh.

1.2 Tujuan

1. Menentukan tingkat kekeringan di Sulawesi Selatan. 2. Menganalisis pengaruh ENSO terhadap tingkat kekeringan di Sulawesi Selatan. 3. Membandingkan produksi tanaman pangan dan palawija pada tahun-tahun normal dan ENSO.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keadaan Fisik Wilayah

Provinsi Sulawesi Selatan secara geografis berada pada kooordinat 0°12 - 8° LS dan 116°48 - 122°36 BT dengan luas daratan sebesar 6.248.300 Ha. Wilayah Sulawesi Selatan terbagi dalam 22 kabupaten, 2 kotamadya, 197 kecamatan, dan 3.130 desa. Provinsi ini berbatasan dengan Sulawesi Tengah di bagian utara, Teluk Bone dan 1 Sulawesi Tenggara di bagian timur, Selat Makasar di bagian barat, dan Laut Flores di bagian selatan. Departemen Kehutanan 2002. Topografi wilayah Sulawesi Selatan bervariasi mulai dari ketinggian 0 hingga 3455 meter di atas permukaan laut mdpl. Wilayah tertinggi terdapat pada bukit Rante Kombola yang berbatasan dengan kabupaten Enrekang dan Luwu. Keadaan topografi berpengaruh terhadap kondisi iklim yang ada di wilayah Sulawesi Selatan. Suhu minimum dan maksimum di wilayah tersebut sekitar 22 o C dan 33 o C, dengan kelembaban udara berkisar antara 83 hingga 88. Sulawesi Selatan memiliki curah hujan rata-rata tahunan sebesar 2500 mm dengan curah hujan maksimum terjadi pada bulan Januari dan curah hujan minimum terjadi pada bulan Agustus. Gambar 1 Provinsi Sulawesi Selatan Sumber : Departemen Kehutanan 2002

2.2 Hujan

Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting karena merupakan bagian dari siklus hidrologi. Hujan adalah salah satu bentuk dari presipitasi. Lakitan 2002 menyatakan presipitasi adalah proses jatuhnya butiran air atau kristal es ke permukaan bumi. Tjasyono 2004 mendefinisikan presipitasi sebagai bentuk air cair dan padat es yang jatuh ke permukaan bumi dimana kabut, embun dan embun beku bukan merupakan bagian dari presipitasi frost walaupun berperan dalam alih kebasahan moisture. Keragaman menurut ruang sangat dipengaruhi oleh perbedaan letak geografis, misalnya topografi, perbedaan elevasi hingga letak lintang. Keragaman menurut waktu sangat dipengaruhi oleh arah angin akibat adanya pemanasan oleh radiasi matahari. Berbagai macam keadaan alam yang ada tersebut saling berkombinasi secara bersamaan sehingga membentuk penerimaan hujan yang sangat kompleks Critchfield 1979 dalam Historiawati 1987. Fluktuasi dan keragaman curah hujan pada suatu daerah akan sangat menentukan terjadi atau tidaknya suatu peristiwa kekeringan yang salah satu dampak nyatanya akan menyebabkan kegagalan panen. Ha ini disebabkan pada saat terjadinya hujan tidak semua curah hujan yang jatuh pada permukaan tanah efektif bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. 2.3 Tanah Menurut Dudal dan Supraptohardjo dalam Peta Agroekologi Utama Tanaman Pangan di Indonesia, Puslitbang, Deptan 1991 kelompok tanah utama Great Soil Group di Sulawesi terdiri dari jenis podsolik merah kuning, podsolik coklat kelabu, dan mediteran. Jenis tanah podsolik mencakup tanah-tanah subur bertekstur lempung hingga berpasir dan umumnya terdapat di dataran rendah, sedangkan jenis mediteran juga merupakan tanah-tanah subur dengan sifat tanah baik, namun umumnya terdapat di daerah beriklim kering. Sifat tanah ini ditinjau dari kandungan hara untuk kebutuhan tanaman. Karakteristik tanah yang terdapat di Sulawesi Selatan seperti macam tanah, bahan induk, tekstur dan fisiografi serta perkiraan luas dari masing-masing jenis tanah dapat dilihat pada lampiran 6.

2.4 ENSO El-Nino Southern Oscillation