1. Pola hujan Monsun, yang wilayahnya
memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim
kemarau kemudian dikelompokan dalam Zona Musim ZOM, tipe curah hujan
yang bersifat unimodial satu puncak musim hujan, DJF musim hujan, JJA
musim kemarau.
Gambar 3 Pola hujan monsun
2. Pola hujan Equatorial, yang wilayahnya
memiliki distribusi hujan bulanan bimodial dengan dua puncak musim hujan
maksimum dan hampir sepanjang tahun masuk dalam kreteria musim hujan. Pola
ekuatorial dicirikan oleh tipe curah hujan dengan bentuk bimodial dua puncak
hujan yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober atau pada saat terjadi
equinoks.
Gambar 4 Pola hujan Equatorial
3. Pola hujan Lokal, yang wilayahnya
memiliki distribusi hujan bulanan kebalikan dengan pola monsun. Pola lokal
dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodial satu puncak hujan, tetapi
bentuknya berlawanan dengan tipe hujan monsun.
Gambar 5 Pola hujan lokal
Gambar 6 Peta sebaran pola hujan Indonesia. Sumber : Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika BMKG 1990
2.6 Palmer Drought Severity Index PDSI
Palmer Drought Severity Index PDSI
atau lebih dikenal Indeks Palmer pertama kali dikembangkan oleh Wayne Palmer pada tahun
1960-an. Indeks Palmer merupaka salah satu metode yang sering digunakan dalam
menentukan tingkat kekeringan. Perhitungan indeks Palmer menggunakan data suhu dan
curah hujan serta Avalaible Water Capacity AWC untuk menentukan kekeringan di suatu
wilayah. Selain itu koordinat lintang juga diperlukan dalam perhitungan Palmer untuk
menentukan panjang hari. Indeks Palmer sangat efektif digunakan untuk menentukan
kekeringan jangka panjang, terutama untuk daerah beriklim semiarid dan daerah beriklim
sub-humid kering Guttam et al., dalam Turyanti 1995.
4
Indeks Palmer dapat menunjukkan indeks terlalu basah atau terlalu kering dari
keadaan normalnya pada suatu daerah dengan pengklasifikasian menggunakan angka.
Apabila indeks menunjukkan angka yang positif atau lebih besar dari nol, maka daerah
tersebut bersifat basah dan tidak mengalami kekeringan. Semakin besar nilai indeks
tersebut, maka kondisi daerah tersebut akan akan semakin ekstrim basah. Sebaliknya
apabila indeks menunjukkan angka yang negatif atau lebih kecil dari nol, maka daerah
tersebut bersifat kering dan dinyatakan mengalami kekeringan. Semakin kecil nilai
indeks tersebut, maka kondisi daerah tersebut akan semakin ekstrim kering atau dengan kata
lain daerah tersebut mengalami kekeringan yang sangat nyata Tabel 1.
Tabel 1 Kelas indeks kekeringan dan sifat cuaca Palmer, 1965
Indeks Kekeringan Sifat Cuaca
≥ 4.00 Ekstrem basah
3.00 – 3.99 Sangat basah
2.00 – 2.99 Agak basah
1.00 – 1.99 Sedikit basah
0.50 – 0.99 Awal selang basah
0.49 – -0.49 Normal
-0.50 – - 0.99 Awal selang kering
-1.00 – -1.99 Sedikit kering
-2.00 – -2.99 Agak kering
-3.00 – -3.99 Sangat kering
≤ -4.00 Ekstrem kering
Menurut National Drought Mitigation Center
2006, Indeks Palmer sangat baik dan lebih memberikan prediksi kekeringan yang
signifikan apabila diterapkan pada area yang luas dan daerah dengan topografi yang
seragam, sehingga cakupannya lebih luas. Sulawesi Selatan merupakan provinsi yang
memiliki topografi beragam, sehingga untuk perhitungan Indeks kekeringannya faktor
topografi diasumsikan seragam.
2.7 Karakteristik Tanaman