37 Seluruh unit pengolahan fillet ikan yang termasuk dalam kelompok BM
memasarkan produknya di pasar dalam negeri pada konsumen industri. Hanya satu responden kelompok BM yang memasarkan fillet ke konsumen industri dan
pasar retail melalui perantara. Sedangkan responden kelompok LM memasarkan produknya di pasar dalam negeri dan mayoritas di pasar luar negeri ekspor.
4.2 Proses Pengolahan Fillet Ikan
Responden kelompok BM mengolah fillet tanpa memperhatikan persyaratan dan ketentuan sebagaimana diatur dalam Standar Nasional Indonesia SNI 01-
2696.3-2006 tentang Penanganan dan Pengolahan Fillet Kakap Beku. Secara rinci, perbandingan proses pengolahan fillet ikan yang dilakukan di unit
pengolahan fillet kelompok BM dengan LM dalam kaitannya dengan pemenuhan persyaratan dan ketentuan pengolahan fillet seperti diatur dalam SNI 01-2696.3-
2006 tentang Penanganan dan Pengolahan Fillet Kakap Beku dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Perbandingan jumlah unit pengolahan fillet dalam memenuhi ketentuan proses pengolahan sesuai SNI berdasarkan penerapan CPB dan SPOS.
Urutan Proses BM
LM Unit
Unit
Penerimaan 11
100 Sortasi I
11 100
Penyiangan 11
100 Pencucian I
11 100
Pemfilletan 11
100 Perapihan
11 100
Pencucian II 11
100 Sortasi II
11 100
Penimbangan 11
100 Pengepakan
8 53,33
11 100
Keterangan: BM = berhenti menerapkan CPB dan SPOS LM = lanjut menerapkan CPB dan SPOS
38 Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa pada umumnya unit pengolahan
fillet ikan yang termasuk dalam Kelompok BM melaksanakan proses pengolahan
fillet tidak sesuai dengan yang diatur dalam SNI 01-2696.3-2006 tentang
Penanganan dan Pengolahan Fillet Kakap Beku. Sedangkan pada unit pengolahan fillet
ikan kelompok LM, proses pengolahan fillet ikan yang dilakukan telah memenuhi ketentuan sebagaimana yang ditetapkan dalam SNI 01-2696.3-2006
tentang Penanganan dan Pengolahan Fillet Kakap Beku. Bentuk tidak dipenuhinya persyaratan pengolahan fillet ikan oleh
responden kelompok BM dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Penerimaan
Pada proses penerimaan, tidak dilaksanakan dalam kondisi saniter, tidak dilaksanakan pengujian bahan baku secara organoleptik ataupun melihat riwayat
perlakuan bahan baku yang diterima apakah ditangani dengan sistem rantai dingin sejak dari atas kapal hingga ke tangan supplierpemasok. Apabila terjadi
penundaan proses, bahan baku ikan tidak diberikan es sehingga suhunya tidak dipertahankan agar tetap dingin.
2. Sortasi I Proses sortasi tidak dilaksanakan. Seluruh bahan baku fillet yang ada
dikeranjang selalu diproses lebih lanjut tanpa memperhatikan ukuran dan mutunya.
3. Penyiangan Proses penyiangan tidak dilakukan dalam kondisi yang saniter dan bersih.
Ikan yang menunggu untuk disiangi tidak diberikan es dengan jumlah yang cukup untuk menjaga suhunya tetap dingin agar tidak mendorong berkembangnya
bakteri. 4. Pencucian I
Pencucian dilakukan dengan air yang tidak dingin. Air untuk mencuci seringkali tidak diganti apabila sudah menjadi keruh dan terkadang dicampur
dengan air yang baru. Hal ini rentan mengakibatkan terjadinya kontaminasi pada ikan. Selain itu, Ikan yang telah dicuci diletakan pada keranjang berlubang yang
bersentuhan langsung dengan lantai.
39 5. Pemfilletan
Proses pemfilletan dilakukan pada kondisi yang tidak saniter dan bersih. Kondisi yang tidak saniter dan bersih ini berasal dari sarana pengolahan yang
digunakan maupun lingkungan tempat mengolah fillet. Sarana pemfilletan terbuat dari kayu. Adapun pisau yang digunakan untuk memfillet ikan tidak rutin dicuci
dengan air bersih. Hal tersebut menyebabkan resiko fillet terkontaminasi oleh bakteri dan serpihan kayu menjadi lebih besar. Fillet yang dihasilkan tidak
diberikan es agar suhunya tetap dingin. 6. Perapihan
Proses perapihan fillet dilakukan pada kondisi yang tidak saniter dan higienis. Sarana yang digunakan untuk proses perapihan fillet seperti meja terbuat
dari bahan kayu. Hal tersebut memungkinkan ikan terkontaminasi oleh bakteri, serpihan kayu, sisa sisik yang menempel dan sumber kontaminan lainnya. Fillet
ikan yang sudah dirapihkan bentuknya tidak segera dipertahankan suhunya agar tetap dingin.
7. Pencucian II Pencucian dilakukan dengan air tanah atau PDAM yang tidak dingin dan
belum terukur kualitasnya. Air untuk mencuci sering tidak diganti apabila sudah keruh atau air yang sudah keruh tersebut hanya ditambahkan dengan air yang
baru. Fillet ikan yang telah dicuci diletakan dalam keranjang berlubang yang bersentukan langsung dengan lantai. Perlakuan tersebut memungkinkan fillet
terkontaminasi oleh bakteri dan kontaminan lainnya. 8. Sortasi II
Proses sortasi pada umumnya tidak dilakukan dalam proses pengolahan fillet
. Apabila dilakukan, ikan yang telah disortir tidak dipertahankan suhunya agar tetap dingin.
9. Penimbangan Penimbangan tidak dilakukan secara cepat, saniter dan dalam kondisi
dingin. Hal ini ditunjukan dari seringnya fillet ikan yang akan ditimbang atau menunggu untuk ditimbang diletakan di atas meja yang terbuat dari kayu dan
tidak diberi es.
40 10. Pengepakan
Hanya delapan responden kelompok BM yang melakukan proses pengepakan sebagaimana yang disyaratkan, yaitu ikan yang telah ditimbang di
dalam plastik seberat 1 kg secepat mungkin diletakan dalam blongtong plastik besar yang bersisi air dingin.
Proses pengepakan yang dilakukan di unit pengolahan fillet yang termasuk dalam kelompok BM mengindikasikan bahwa dalam menjaga mutu fillet ikan,
para pengolah fillet masih berorientasi pada produk akhir end product orientation
. Hal ini dapat dilihat dari pemberian es yang hanya dilakukan pada tahapan pengepakan dan menyampingkan kemungkinan berkembangnya bakteri
selama proses pengolahan sebagai akibat tidak diterapkannya rantai dingin secara berkesinambungan selama proses pengolahan fillet. Hal tersebut mencerminkan
rendahnya tingkat pengetahuan responden kelompok BM tentang CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan.
Berdasarkan pengamatan di unit pengolahan fillet ikan yang termasuk dalam kelompok BM, tidak dipenuhinya ketentuan dalam mengolah fillet
sebagaimana diatur dalam SNI menyebabkan fillet ikan rentan terkontaminasi selama proses pengolahan. Kontaminasi dapat berasal dari lingkungan unit
pengolahan, sarana dan prasarana yang digunakan dalam mengolah, dan ketidakdisiplinan karyawan dalam menerapkan prinsip-prinsip higiene selama
melakukan proses pengolahan. Beberapa hal yang memungkinkan fillet rentan terkontaminasi antara lain
masih digunakannya sarana pengolahan yang terbuat dari bahan kayu, tidak diterapkannya prinsip kehati-hatian dan rantai dingin cold chain selama proses
pengolahan fillet ikan, banyaknya karyawan yang tidak menggunakan perlengkapan kerja sebagaimana yang dipersyaratkan serta masih adanya
karyawan yang merokok, makan dan minum selama proses pengolahan fillet ikan berlangsung.
Berdasarkan Tabel 5 juga dapat dilihat bahwa seluruh responden kelompok LM melakukan proses pengolahan fillet sesuai dengan ketentuan dalam
SNI 01-2696.3-2006 tentang Penanganan dan Pengolahan Fillet Kakap Beku. Hal tersebut ditunjukan dengan dipenuhinya persyaratan CPB dan SPOS pengolahan
41 fillet
ikan seperti menerapkan rantai dingin selama proses pengolahan, mencegah terjadinya kontaminasi silang, menjaga kebiasaan karyawan agar tidak
mengontaminasi produk, menjaga kebersihan peralatan dan ruangan proses, menggunakan air dan es yang memenuhi persyaratan dalam melaksanakan proses
pengolahan, memenuhi persyaratan lokasi dan konstruksi bangunan sebagaimana yang dipersyaratkan, membuat prosedur pencatatan dan pemantauan, dan lain
sebagainya . Berdasarkan uraian di atas, penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet
ikan sangat perlu dilakukan oleh responden kelompok BM untuk meningkatkan jaminan mutu dan keamanan produk fillet yang dihasilkan. Hal ini mengingat
CPB dan SPOS merupakan persyaratan kelayakan dasar pre requisite yang apabila dilaksanakan secara konsisten oleh responden maka akan dapat menjamin
mutu dan kemanan produk fillet yang diproduksi. CPB dan SPOS berbeda dengan sistem manajemen mutu Hazard Analysis
Critical Control Point HACCP maupun ISO. CPB bersisi minimum standar
sanitasi dan proses pengolahan
yang diperlukan untuk menjamin
proses pengolahan pangan secara utuh Luning et al 2002. Adapun SPOS adalah prosedur
memelihara kondisi sanitasi yang berhubungan dengan seluruh fasilitas produksi dan tidak terbatas pada tahap tertentu atau critical control point Surono 2007.
Artinya melalui penerapan CPB, diharapkan responden kelompok BM akan memenuhi standar minimum sanitasi dan proses pengolahan fillet ikan. Pada saat
yang bersamaan, dengan penerapan SPOS, para pengolah fillet kelompok BM akan dapat mengendalikan penerapan CPB pengolahan fillet ikan melalui
prosedur pemantauan yang teratur. Implementasi CPB dan SPOS pengolahan fillet
ikan secara konsisten akan menjamin mutu dan keamanan produk fillet yang dihasilkan oleh responden pengolah fillet ikan kelompok BM.
HACCP adalah sistem manajemen keamanan pangan yang didasarkan pada kesadaran bahwa bahaya dapat timbul pada setiap titik pada proses produksi,
namun dapat dikendalikan dengan tindakan pencegahan dan pengendalian bahaya tersebut pada titik kritis Ditjen P2HP 2008. Hal itu berarti sebagai sistem
jaminan mutu dan keamanan pangan, HACCP menekankan tindakan pencegahan dan pengendalian pada titik kritis tertentu dan tidak terhadap keseluruhan hal-hal
42 yang diatur dalam CPB dan SPOS. Oleh karena itu, agar implementasi HACCP
dapat berjalan secara efektif, diperlukan pemenuhan persyaratan CPB dan SPOS secara konsisten terlebih dahulu.
ISO adalah sistem manajemen mutu yang pada awalnya diterapkan di pabrik-pabrik. Namun saat ini, ISO telah diterapkan di organisasi, perusahaan
bahkan perguruan tinggi serta universitas. ISO adalah badan penetap standar internasional yang terdiri dari wakil-wakil dari badan standardisasi nasional setiap
negara. ISO 9000 adalah kumpulan standar untuk sistem manajemen mutu.
Penerapan ISO di suatu perusahaan berguna untuk meningkatkan citra perusahaan, meningkatkan kinerja lingkungan perusahaan, meningkatkan efisiensi
kegiatan, memperbaiki manajemen organisasi dengan menerapkan perencanaan, pelaksanaan, pengukuran dan tindakan perbaikan plan, do, check, action,
meningkatkan penataan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dalam hal pengelolaan lingkungan, mengurangi risiko usaha, meningkatkan daya saing,
meningkatkan komunikasi internal dan hubungan baik dengan berbagai pihak yang berkepentingan dan mendapat kepercayaan dari konsumenmitra
kerjapemodal. Hal tersebut menunjukan bahwa sertifikasi atas penerapan salah satu ISO 9000 tidak sepenuhnya menjamin kualitas dan kemanan dari barang
yang dihasilkan melainkan hanya menerangkan bahwa suatu perusahaan atau organisasi telah melaksanakan bisnis proses yang berkualitas secara konsisten
http:id.wikipedia.orgwikiISO 9000. 2010 .
4.3 Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Penerapan CPB dan SPOS