32
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Unit Pengolahan Fillet Ikan
4.1.1 Lokasi Unit Pengolahan Fillet
Pada penelitian ini, lokasi unit pengolahan fillet ikan yang dijadikan tempat penelitian tersebar di Pulau Jawa. Apabila dirinci berdasarkan provinsi dan
status penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan, maka sebaran lokasi unit pengolahan fillet ikan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Sebaran lokasi unit pengolahan ikan UPI berbentuk fillet berdasarkan provinsi dan status penerapan CPB dan SPOS
No Provinsi
Status UPI Total UPI
BM LM
1 Banten
1 1
2 DKI Jakarta
3 3
3 Jawa Barat
1 1
4 Jawa Tengah
15 2
17 5
Jawa Timur 4
4
Total
15 11
26 Keterangan: BM = berhenti menerapkan CPB dan SPOS
LM = lanjut menerapkan CPB dan SPOS Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa provinsi Jawa Tengah memiliki unit
pengolahan fillet ikan terbesar dengan jumlah tujuh belas, diikuti provinsi Jawa Timur empat unit dan provinsi DKI Jakarta tiga unit. Banyaknya unit pengolahan
fillet ikan di tiga provinsi tersebut dikarenakan letaknya yang berdekatan dengan
sumber bahan baku ikan seperti Pelabuhan Perikanan Samudra PPS Nizam Zachman Muara Baru, Pelabuhan Pendaratan Ikan PPI Muara Angke, Pelabuhan
Perikanan Nusantara PPN Pekalongan, PPI Tegal Sari, PPS Cilacap, PPN Brondong, PPN Prigi dan lain sebagainya.
33 Khusus di provinsi Jawa Tengah, dari tujuh belas unit pengolahan fillet
ikan yang ada, lima belas diantaranya saat ini berhenti menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan sedangkan dua unit pengolahan lainnya lanjut
menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Kelima belas unit pengolahan tersebut terletak di Kawasan Tegal Sari, Kota Tegal, Jawa Tengah.
4.1.2 Kapasitas Produksi dan Tingkat Utilisasi
Total kapasitas produksi terpasang seluruh unit pengolahan fillet ikan yang dijadikan lokus penelitian adalah 176,2 tonhari dengan realisasi produksi
sebesar 103,5 tonhari Lampiran 9. Artinya, dari total kapasitas produksi terpasang, tingkat utilisasinya baru mencapai 58,74 sehingga terdapat kapasitas
menganggur atau idle capacity sebesar 41,26. Pada unit pengolahan fillet ikan yang termasuk kelompok BM, total
kapasitas produksi terpasang mencapai 83,2 tonhari dengan realisasi produksi sebesar 53,2 tonhari. Artinya, unit pengolahan fillet ikan tersebut memiliki
tingkat utilitas sebesar 63,9 sehingga terdapat idle capacity sebesar 36,1. Pada unit pengolahan fillet ikan yang termasuk kelompok LM, total kapasitas
produksi terpasang mencapai 93,0 tonhari dengan realisasi produksi sebesar 50,3 tonhari. Artinya, pada unit pengolahan fillet ikan tersebut, memiliki tingkat
utilitas sebesar 54,1 sehingga terdapat kapasitas menganggur atau idle capacity sebesar 45,9 Lampiran 9.
Kondisi idle capacity di unit pengolahan fillet milik responden kelompok BM dan LM mengakibatkan sarana pengolahan fillet tidak dapat dioperasikan
secara maksimal sesuai dengan kapasitasnya. Tingkat idle capacity yang tinggi ini dikhawatirkan menyebabkan biaya produksi fillet menjadi tidak ekonomis
karena seluruh total biaya produksi hanya dapat ditanggung oleh produk fillet yang jumlahnya kurang dari yang seharusnya.
Secara umum, rendahnya tingkat utilitas pada unit pengolahan fillet ikan disebabkan oleh kurangnya bahan baku. Oleh karena itu, dalam upaya
meningkatkan utilitas unit pengolahan fillet, perlu dilakukan upaya pengembangan kemitraan antara unit pengolahan fillet ikan dengan perusahaan
penangkap ikan, peningkatan mutu bahan baku serta mengembangkan
34 diversifikasi produk fillet dari yang berbasis pada bahan baku hasil tangkapan
menjadi hasil budidaya seperti patin, lele dan nila. Departemen Kelautan dan Perikanan 2009 menyatakan, pada tahun 2006, produksi lele baru mencapai
77.542 ton meningkat pada tahun 2007 menjadi 112.571 ton. Adapun patin, pada tahun 2006, produksinya hanya sebesar 31.490 ton meningkat pada tahun 2007
menjadi 79.051 ton dan nila sebesar 169.390 ton pada tahun 2006 meningkat menjadi 214.401 ton pada tahun 2007.
Nurdjana 2009 menyatakan bahwa mulai periode 2009-2014, Kementerian Kelautan dan Perikanan akan mendorong peningkatan budidaya ikan patin hingga
70, yaitu dari 132.600 ton di tahun 2009 menjadi 1.883.000 pada tahun 2014. Lebih lanjut Nurdjana 2009 menyatakan bahwa mulai periode 2009-2014,
produksi ikan lele akan ditingkatkan sebesar 35, yaitu dari 200.000 ton di tahun 2009 menjadi 900.000 ton pada tahun 2014 dan nila sebesar 27, yaitu dari
378.300 ton di tahun 2009 menjadi 1.242.900 ton pada tahun 2014. Peningkatan produksi tersebut menggambarkan bahwa pada periode ke depan, ketersediaan
bahan baku ikan patin, lele dan nila akan berlimpah. Apabila unit pengolahan fillet mendiversifikasi produk dengan bahan baku yang berasal tiga komoditas tersebut
akan mendapatkan jaminan ketersediaan bahan baku, sehingga utilitas unit pengolahan fillet akan lebih besar lagi.
4.1.3 Tenaga Kerja Pengolahan Fillet Ikan