5 taksonominya ikan dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu Ciprinid, Siklid, Salmonid, dan Klaridid.
Biasanya ikan dibagi menjadi ikan tanpa rahang kelas Agnatha, ikan bertulang rawan kelas Chondrichthyes, dan sisanya tergolong ikan bertulang keras kelas Osteichthyes.
Pengetahuan tentang tingkah laku ikan sangat menunjang untuk penangkapannya. Tingkah laku yang menunjang tersebut antara lain adalah tingkah laku berkelompok schooling behaviour,
kebiasaan renang, kebiasaan makan, pola penyelamatan diri, serta berbagai pola tingkah laku lainnya yang memungkinkan ikan dapat tertangkap maupun meloloskan diri dari alat tangkap. Dalam setiap
aktivitas hidupnya, ikan tidak terlepas dari kemampuan gerak. Kemampuan ikan melakukan gerak menyebabkan ikan dapat berenang untuk bermigrasi baik untuk mencari makan ataupun untuk
menghindari predator. Setiap jenis ikan memiliki kemampuan renang yang berbeda-beda, tergantung dari bentuk tubuh dan pola renangnya.
Pola tingkah laku renang ikan adalah gambaran gerakan ikan ketika berenang yang dipengaruhi oleh sirip dan bentuk tubuh ikan. Kecepatan dan ketahanan renang ikan merupakan faktor mendasar
yang perlu diketahui baik untuk meningkatkan efisiensi ataupun untuk mendapatkan hasil tangkapan yang selektif terhadap spesies dan ukurannya. Purbayanto 2010 mengemukan bahwa kebanyakan
ikan bertulang rawan elasmobranchii serta ikan bertulang sejati teleostei, ternyata lebih aktif berenang pada malam hari daripada siang hari.
Kecepatan renang dari udang berkisar antara 0.54 – 1.14 mdet. Sedangkan untuk kecepatan
renang ikan dari jenis Thunnidae seperti cakalang dan tuna sirip biru, memiliki kecepatan renang antara 0.8 - 25 mdetik. Selain itu tuna jenis Euthyunus affinis berenang dengan keceparan rata-rata
80 cmdetik pada siang hari dan 83 cmdetik pada malam hari. Pada saat tersedia makanan aktivitasnya renangnnya meningkat menjadi 108 cmdetik pada siang hari dan 93 cmdetik pada
malam hari. Sedangkan untuk kuat renangnya dapat mencapai 35 km12 jam. Sedangkan untuk ikan herring, akan membentuk kelompok bergerak menuju daerah pemijahan dengan kecepatan rata-rata 6-
10 mil24 jam dan apabila sudah mendekati daerah yang dituju maka kecepatannya akan meningkat menjadi sekitar 24-40 mil24jam Gunarso, 1985 dalam Purbayanto, 2010.
Brainbrigde 1958 dalam Purbayanto 2010 telah mengukur kecepatan renang ikan dengan parameter terkait lainnya secara sistematis. Dia yang pertama kali menemukan hubungan linear antara
kecepatan renang ikan dengan frekuensi kibasan ekornya. Dikatakannya bahwa jarak yang ditempuh ke depan dalam satu kibasan ekor, yaitu panjang langkah stridelength adalah proporsional terhadap
panjang tubuh ikan pada kecepatan yang lebih tinggi 0.6 sampai 0.8 panjang tubuh. Persamaan matematis yang disarankan untuk memprediksi atau menghitung kecepatan renang ikan U dari
frekuensi kibasan ekor F adalah: U = L 0.75 F – 1, dimana L adalah panjang tubuh ikan. Secara
lebih rinci, kecepatan beberapa jenis ikan disajikan pada Lampiran 1, Lampiran 2, dan Lampiran 3.
2.3 PENGERTIAN TAMBAK
Tambak adalah salah satu habitat yang biasanya digunakan sebagai tempat untuk kegiatan budidaya perikanan yang berlokasi di daerah pesisir. Secara umum, tambak biasanya dikaitkan dengan
budidaya udang atau ikan. Jenis udang yang biasa dibudidayakan di dalam tambak adalah udang windu.Tambak merupakan kolam yang dibangun di daerah pasang surut dan digunakan untuk
memelihara bandeng, udang laut dan hewan lainnya yang biasa hidup di air payau Martosudarmo dan Bambang 1992, diacu dakam Manurung 2006. Air yang masuk kedalam kolam tambak sebagian
besar berasal dari laut saat terjadi pasang, sehingga pengelolaan air dalam tambak dilakukan dengan memanfatkan pasang surut air laut.
Tambak merupakan genangan air campuran dari laut dan sungai yang dibatasi oleh pematang –
pematang dan dapat diatur melalui pintu air serta digunakan untuk usaha budidaya bandeng, udang,
6 dan hasil perikanan lainnya Poernomo ,1985 diacu dalam Manurung, 2006 . Untuk membuat suatu
tambak diperlukan pengelolaan yang baik yang menyangkut perencanaan, pembangunan, ataupun rehabilitasi tambak. Dalam hal ini diperlukan suatu kajian yang mendalam baik dari berbagai aspek
yang menyangkut kajian teknis maupun non teknis. Keberhasilan dalam budidaya udang di tambak sangat dipengaruhi oleh ketersediaan lahan pertambakan yang memenuhi persyaratan baik fisik, kimia
dan biologi Afrianto dan Evi 1991, diacu dalam Manurung, 2006. Untuk mendapatkan lahan yang memenuhi persyaratan tersebut maka perlu dilakukannya perencanaan yang mencakup dua hal yaitu :
penentuan areal yang memenuhi syarat untuk dijadikan tambak dan pembuatan konstruksi tambak.
2.4 SISTEM BUDIDAYA TAMBAK
Menurut Mujiman dan Suyanto 2005 terdapat 3 sistem budidaya udang, yaitu : 1. Sistem Budidaya Tradisional atau Ekstensif
Petakan tambak pada sistem budidaya tradisional memiliki bentuk dan ukuran yang tidak teratur, luas lahannya antara 3 ha sampai 10 ha per petak. Setiap petakan
mempunyai saluran keliling caren yang lebarnya 5 – 10 m di sepanjang keliling petakan
sebelah dalam, di bagian tengah juga dibuat caren dari sudut ke sudut diagonal dengan kedalaman 30
– 50 cm. Pada tambak tradisional ini tidak diberi pupuk sehingga produktivitas semata
– mata tergantung dari makanan alami yang tersebar diseluruh tambak yang kelebatannya tergantung dari kesuburan alamiah, pemberantasan hama juga
tidak dilakukan, akibatnya produktivitas semakin rendah. Padat penebarannya rata – rata
antara 3000 post larvahektar berkisar antara 1000 – 10000 benur hektar, sering kali
dicampur bandeng 500 – 2000 nenerhektar pada tambak yang siap tebar.
2. Sistem Budidaya Semi – intensif
Petakan tambak pada budidaya semi – intensif memiliki bentuk yang lebih teratur
dengan maksud agar lebih mudah dalam pengelolaan airnya. Bentuk petakan umumnya empat persegi panjang dengan luas 1 ha sampai 3 ha per petakan. Tiap petakan
mempunyai pintu pemasukan inlet dan pintu pengeluaran air outlet yang terpusat untuk pergantian air, penyiapan kolam sebelum ditebari benih, dan pemanenan. Pakan
udang masih dari pakan alami yang didorong pertumbuhannnya dengan pemupukan. Tetapi selanjutnya perlu diberi pakan tambahan berupa ikan
– ikan rucah dari laut, rebon, siput
– siput tambak, dicampur dengan bekatul dedak halus. Padat penebaran 20000 – 50000 benurhektar, dengan produksi pertahunnya dapat mencapai 600 kg
– 1000 kgHatahun. Ukuran udang yang dipanen cukup memenuhi syarat ekspor yaitu 25-30
ekorkg. Lama pemeliharaan 4-5 bulan. Pada tambak semi – intensif pengelolaan air
cukup baik, ketika air pasang naik, sebagian air tambak diganti dengan air baru sehingga kualitas air cukup terjaga dan kehidupan udang sehat. Bahkan menggunakan pompa untuk
dapat mengganti air pasang surut bila diperkirakan perlu. Pemberantasan hama dilakukan pada waktu mempersiapkan tambak sebelum penebaran benur, serangan hama juga
dicegah dengan memasang sistem jaringan pada pintu – pintu air.
3. Sistem Budidaya Intensif Sistem budidaya intensif dilakukan dengan teknik canggih dan memerlukan
masukan input biaya yang besar. Petakan umumnya kecil – kecil 0.2 ha sampai 0.5 ha
per petakan, dengan tujuan agar lebih mudah dalam pengelolaan air dan pengawasannya. Ciri khas budidaya intensif adalah padat penebaran benur sangat tinggi yaitu 50000
7 sampai 600000 ekorha. Makanan sepenuhnya tergantung dari makanan yang diberikan
dengan komposisi yang ideal bagi pertumbuhan. Diberi aerasi dengan kicir, atau alat lain untuk menambah kadar oksigen dalam air. Pergantian air dilakukan sangat sering
dan biasanya dengan menggunakan pompa, agar air tetap bersih tidak menjadi kotor oleh sisa
– sisa makanan dan kotoran ekskresi udang. Produksi persatuan luas petak dapat mencapai 1000 sampai 20000 kgHatahun.
2.5 PEMANENAN UDANG